• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kering Lembab Cukup basah Basah Amat basah Jenuh

Kering Koefisien Batas Tegangan Oven Higroskopis Remah Nol pF 7.0 pF 4.5 pF 2.8 pF 0 Bentuk

Konsistensi Keras, kasar

Remah,

lunak Plastik, lengket

Encer, mengalir Derajat

Konsistensi Relatif

Amat tinggi Rendah Tinggi Amat

rendah

Gaya-gaya Kohesi Adhesi

Kekuatan Sangga Tanah

Tinggi Cukup tinggi Rendah Amat rendah Praktis

tidak ada Pengolahan Tanah Gaya penarikan alat (draft) berat Gaya penarikan alat (draft) ringan Draft berat, implemen cenderung masuk ke dalam tanah, dan slip

Draft lebih ringan, traksi rendah, implemen bisa ambles Hampir tidak mungkin bisa dilakukan Hasil Olahan Tanah Bongkahan tanah, berdebu Hancuran tanah (tanah halus)

Tanah lumpur Tanah mengalir

Grafik Derajat Konsistensi Relatif

28

Faktor Iklim

Pertumbuhan dan produksi tebu dipengaruhi oleh iklim, terutama yang berkaitan dengan suhu, jumlah (lama) penyinaran matahari, dan besarnya curah hujan. Menurut Chapman dan Carter (1976) tebu dapat tumbuh dan beradaptasi dengan baik di areal-areal dengan suhu minimum bulanan rata-rata 21ºC atau lebih. Tebu tidak dapat hidup pada suhu terlampau tinggi. Pertumbuhan akar tebu terbaik pada suhu 21-27ºC. Pertumbuhan akar tebu menjadi lambat pada suhu kurang dari 21ºC, dan pada hakekatnya akan terhenti atau mati pada suhu ≤ 10ºC. Suhu minimum rata-rata untuk perkecambahan tebu adalah 18-20º. Pertumbuhan tebu juga dipengaruhi oleh intensitas cahaya matahari. Hasil studi di Hawaii menunjukkan bahwa produksi batang dan kadar gula tebu turun ketik a intensitas cahaya matahari berkurang. Tebu membutuhkan curah hujan 115-130 cm/tahun untuk memperoleh produksi tinggi.

Faktor Tanaman

Salah satu faktor dari tanaman yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi tebu adalah varietas tanaman tebu itu sendiri. Menurut Fauconnier (1993) varietas tebu adalah suatu klon (clone) yang dikembangkan dari benih (seed) dan dikembangbiakkan melalui stek batang tebu (setts).

Setyamidjaja dan Azharni (1992) menyebutkan bahwa untuk memperoleh varietas tebu unggul dapat dilakukan berbagai persilangan antarvarietas sehingga memiliki sifat-sifat produksi tinggi, tahan terhadap penyakit, dan tumbuhnya cepat. Menurut Fauconnier (1993) tujuan utama program persilangan tebu yaitu: (1) memperbaiki kemampuan tebu untuk berproduksi tinggi, (2) memperoleh kualitas dan kuantitas sukrosa yang tinggi, (3) mempercepat umur kemasakan tebu, (4) mempertinggi ketahanan tebu terhadap serangan berbagai penyakit dan adaptasi dengan lingkungan iklim setempat, dan (5) meningkatkan daya tumbuh tebu mulai dari perkecambahan hingga saat panen, termasuk penutupan tanah yang cepat sehingga kompetisi dengan gulma dapat diminimalkan.

Gulma

Pada saat tanaman tebu berinteraksi dengan lingkungan maka tidak menutup kemungkinan akan bersaing dengan gulma yang tumbuh di sekitar

tanaman tebu tersebut. Menurut Moenandir (1988) gulma selalu berada dimana ada tanaman tumbuh karena gulma selalu berasosiasi dengan tanaman tertentu. Dengan sendirinya gulma juga ada di sekitar tanaman dan saling berin teraksi. Salah satu bentuk interaksi adalah persaingan atau kompetisi.

Gulma didefinisikan sebagai tanaman yang tidak diinginkan tumbuh pada tempat-tempat dimana tanaman dibudidayakan manusia (Humbert 1968, dan Lockhart dan Wiseman 1988). Secara anthroposentris, gulma dapat didefinisikan sebagai semua jenis vegetasi atau tumbuhan yang menimbulkan gangguan pada lokasi tertentu terhadap tujuan yang diinginkan manusia, dan sejenis tumbuhan yang individu-individunya sering kali tumbuh pada tempat-tempat di mana mereka menimbulkan kerugian pada manusia. Secara ekologis, gulma juga dapat didefinisikan sebagai tumbuhan yang telah beradaptasi dengan habitat buatan dan menimbulkan gangguan terhadap segala aktivitas manusia (Sastroutomo 1990).

Gulma dapat berkembangbiak dengan menggunakan biji dan rhizom. Gulma yang berkembangbiak dengan biji sering sulit untuk dikontrol atau dikendalikan ketika gulma mencapai fase perkecambahan di sekeliling areal tanaman. Gulma yang berkembangbiak dengan akar sangat sulit diko ntrol secara mekanis. Sering dijumpai beberapa akar gulma tetap berada pada kondisi yang sesuai untuk melanjutkan pertumbuhannya (Humbert 1968).

Keberadaan gulma di areal tanaman dapat menimbulkan efek merugikan, diantaranya yaitu: (1) gulma menutupi atau menaungi tanaman sehingga menurunkan produksi tanaman, (2) gulma dapat menurunkan produksi tanaman akibat kompetisi dalam pengambilan unsur hara, air, sinar matahari, dan ruang hidup, (2) mutu hasil panen menjadi turun akibat terkontaminasi bagian -bagian gulma, (3) gulma mengeluarkan senyawa allelopati yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman, (4) gulma menjadi inang (host) bagi hama dan penyakit yang menyerang tanaman, (5) mengggangu tata-guna air, (6) menambah biaya pengeringan karena ada bagian-bagian gulma yang ikut serta pada saat panen, (7) jenis gulma tertentu dapat meracuni dan melukai manusia dan hewan ternak, dan (8) menambah biaya penyiapan lahan dan panen (Wolfe dan Kipps 1953, Lockhart dan Wiseman 1988, dan Sukman dan Yakup 2002).

30

Forbes dan Watson (1992) menyebutkan bahwa terdapat 7 faktor yang mempengaruhi penurunan produksi tanaman akibat kompetisi dengan gulma: 1 Spesies tanaman

Beberapa tanaman lebih rentan terhadap penurunan produksi dibanding tanaman yang lain akibat berkompetisi dengan gulma. Tanaman biji-bijian lebih tahan terhadap kompetisi dengan gulma dibanding tanaman -tanaman berjarak tanam lebar, karena tanaman biji-bijian mampu bersaing keras dengan gulma dan mampu menekan pertumbuhan gulma.

2 Varietas tanaman

Pemilihan varietas tanaman dapat mengurangi penurunan produksi akibat kompetisi dengan gulma. Tanaman varietas tinggi dapat menekan persaingan dengan gulma dalam memperoleh cahaya matahari sehingga kehilangan produksi dapat berkurang.

3 Kerapatan tanaman

Penanaman dengan kerapatan tinggi dapat menutup tanah lebih cepat dan mengurangi kesempatan gulma untuk tumbuh.

4 Spesies gulma

Beberapa spesies gulma dapat menyebabkan kehilangan produksi yang lebih banyak terhadap tanaman. Spesies gulma yang mempunyai kerabat (family) yang berdekatan dengan tanaman akan sulit dibasmi secara kimiawi.

5 Kerapatan gulma

Kehilangan produksi tanaman akan semakin tinggi ketika kerapatan gulmanya semakin tinggi.

6 Waktu relatif perkecambahan tanaman dan gulma

Kehilangan produksi tanaman akan semakin tinggi ketika saat berkecambahnya gulma mendahului saat berkecambahnya tanaman.

7 Lingkungan tumbuh

Tanaman dan gulma mempunyai kemampuan beradaptasi dengan lingkungan tumbuh yang berbeda. Suhu dan pH optimum untuk pertumbuhan tanam an dan gulma berbeda, juga berbeda laju respon terhadap pupuk, drainase dan irigasi. Tanaman mempunyai kemampuan merespon pupuk nitrogen yang lebih baik dibanding gulma, sehingga aplikasi pupuk tersebut dalam jumlah besar dapat mengurangi kehilangan produksi akibat kompetisi dengan gulma.

Tebu ditanam dengan jarak tanam yang lebar dan tumbuh dengan lambat. Kondisi tersebut memberi kesempatan bagi gulma untuk tumbuh dan menjadi pesaing pada masa awal pertumbuhan tebu (Zimdahl 1980). Pada masa tersebut gulma akan tumbuh dengan subur ketika batang tebu masih kecil atau kurang kuat untuk tegak. Gulma berdaun lebar dan rerumputan adalah dua golongan spesies gulma yang sering berkompetisi dengan tebu (Humbert 1968).

Percobaan pada berbagai varietas tanaman menunjukkan bahwa kompetisi dengan gulma sering terjadi pada periode pertumbuhan tertentu. Periode minimum dimana tanaman harus bebas bersaing dengan gulma untuk mencegah kehilangan produksi tanaman disebut periode kritis. Oleh sebab itu pembasmian gulma secara kimiawi menggunakan herbisida dilaksanakan pada saat sebelum periode kritis dan sesudah periode kritis. Herbisida yang diaplikasikan pada saat pre-emergence harus mempunyai kemampuan mengendalikan atau menghambat perkecambahan dan pertumbuhan gulma selama periode kritis tersebut (Forbes dan Watson 1992). Tebu memerlukan masa bebas dari persaingan dengan gulma antara 2-3 bulan setelah tanam, karena pada saat tersebut tanaman tebu sedang membentuk dan menumbuhkan tunas-tunas induk muda serta dimulainya fase peranakan. Selepas masa kritis tersebut tebu mampu bersaing dengan gulma. Gulma tumbuh rapat sejak tanaman tebu berumur 4-6 minggu dan sangat lebat pada saat umur tebu 8-12 minggu (Kuntohartono 1987).

Murwandono et al. (1993) melaporkan berdasarkan hasil penelitiannya pada tanah Alluvial di Bakalan, Pasuruan menunjukkan bahwa dengan menggunakan 6 metode pengolahan tanah untuk tebu diperoleh penutupan gulma yang semakin meningkat (semakin lebat) hingga umur tebu 5 minggu setelah tanam, kemudian turun dan menunjukkan kecenderungan meningkat lagi setelah umur tebu 8 minggu. Penutupan gulma maksimum pada umur tebu 5 minggu tersebut hampir sama untuk semua plot, yakni sebesar 21.6 -33.3%. Setelah umur tebu 5 minggu menunjukkan bahwa dengan metode P2 (bajak-bajak-kair), metode P4 (subsoiler-bajak-kair), dan metode P6 (subsoiler-bajak-bajak-rotavator-kair) diperoleh penutupan gulma yang lebih besar dibanding 3 metode lainnya (P1: bajak-kair, P3: bajak-bajak-rotavator-kair, dan P5: subsoiler-bajak-bajak-kair). Dengan menggunakan metode P2 diperoleh penutupan gulma pada umur tebu 6, 7, dan 8 minggu setelah tanam sebesar 13.3, 13.3, dan 15.0%, sedang dengan

32

metode P4 sebesar 11.6, 11.6, dan 13.3%, dan dengan metode P6 sebesar 8.3, 8.3, dan 10.0%. Hasil ini mengungkapkan bahwa: (1) gulma tumbuh dengan lebat pada umur tebu 4-6 minggu setelah tanam, sebagaimana telah diungkapkan oleh Kuntohartono (1987), dan (2) metode pengolahan tanah intensitas tinggi mampu menekan pertumbuhan gulma yang lebih besar dibanding metode pengolahan tanah dengan intensitas lebih rendah.

Tarmani et al. (1984) meneliti gulma-gulma yang tumbuh di sekitar tanaman tebu baru (plant cane) dan tanaman tebu keprasan (ratoon) di lahan konversi (monoculture cane field) PTP IX Sumatera Utara, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Penutupan gulma di lahan konversi PTP IX (Tarmani et al. 1984) Tebu baru Tebu ratoon

Spesies gulma umur

1 bulan umur 2 bulan umur 1 bulan umur 2 bulan Penutupan gulma (%)

Gulma rumput-rumputan (grasses) :

1 Eleusine indica 8 10 1 15

2 Digitaria adscendens 18 18 0 5

3 Panicum reptans L. 1 10 0 0

4 Sorghum halepense 0 0 0 0

Gulma daun lebar (broad leaves) :

1 Mimosa invisa 10 10 5 5

2 Synedrella nodiflora 15 25 4 8

3 Centrocema pubescens 2 4 0 0

4 Polanisia sp. 2 4 4 8

Gulma teki-tekian (sedges) :

1 Cyperus rotundus 15 8 0 0

Berdasarkan data penutupan gulma pada Tabel 4 di atas nampak bahwa banyak gulma berdaun lebar merambat yang tumbuh di sekitar tanaman tebu baru dan ratoon. Gulma-gulma tersebut dapat tetap hidup dan berkembang lebih banyak hingga pada saat menjelang panen, karena gulma-gulma tersebut melilit tanaman tebu sampai ke atas batang tebu. Gulma-gulma berdaun sempit dan

berdaun lebar yang tumbuh di sekitar tebu ratoon lebih sedikit dibanding di sekitar tanaman tebu baru. Tidak dijumpai adanya gulma teki-tekian di sekitar tebu ratoon (Tarmani et al. 1984).

Faktor Tindakan Budidaya Pertanian

Pertumbuhan awal suatu tanaman hingga pro duksi dipengaruhi oleh hasil pengolahan tanahnya sehingga pengolahan tanah menjadi faktor penting dalam tindakan budidaya pertanian. Disamping itu, pengolahan tanah menjadi perhatian pertama karena merupakan kegiatan awal dalam budidaya pertanian sebelum kegiatan lain dilakukan. Pengolahan tanah adalah manipulasi mekanik terhadap tanah untuk menyediakan lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan tanaman dengan cara memperbaiki struktur tanah sehingga mempermudah perkecambahan, pemunculan tanaman, dan pertumbuhan akar (Kepner et al. 1972, Hartmann et al. 1981, dan Hunt 1995).

Menurut Humbert (1968), Kepner et al. (1972), Donahue et al. (1976), Hartmann et al. (1981), Davies dan Payne (1988), dan Hunt (1995) tujuan pengolahan tanah untuk tanaman lahan kering, termasuk untuk tebu lahan kering, adalah:

1 menyediakan tempat tumbuhnya tanaman, dimana tanah dibuat gembur tapi kuat agar kedalaman penanaman dan pemunculan tanamannya seragam, 2 meratakan lahan,

3 membantu mengontrol gulma, penyakit tanaman, dan serangga

4 memperbaiki kondisi fisik tanah dengan cara menambah aerasi dan infiltrasi air ke dalam tanah,

5 menjaga kelembaban tanah, karena kerak permukaan yang hancur dan tanah yang gembur akan mempermudah masuknya air, pergerakan air, dan penyimpanan air dalam tanah,

6 menambah permeabilitas oleh air di permukaan tanah dan di lapisan tanah bawah (subsoil) agar drainase dan aerasi menjadi lebih baik sehingga dapat mempermudah penetrasi akar,

7 mempersatukan dan menutup sisa-sisa tanaman di permukaan dengan tanah secara lebih efisien,

34

9 menyediakan traksi yang mantap atau stabil bagi pengoperasian mesin-mesin pertanian.

Davies dan Payne (1988) menyebutkan bahwa hasil olahan tanah, berupa tempat tumbuhnya tanaman, dikatakan baik apabila:

1 benih atau bibit dapat ditempatkan pada kedalaman tanah tertentu yang seragam,

2 benih atau bibit dapat kontak dengan tanah agar pengambilan air oleh tanaman menjadi mudah sehingga tanah harus mempunyai aerasi yang baik,

3 tanah di atas benih atau bibit harus tetap remah atau gembur sehingga tunas dapat muncul dengan mudah,

4 ruang pori tanah sekeliling benih atau bibit harus berisikan pori-pori yang cukup besar untuk menjaga agar aerasi tetap baik sehingga memudahkan pertumbuhan akar-akar muda,

5 suplai zat-zat hara yang dekat dengan benih atau bibit harus mudah, dan 6 bebas dari gulma.

Pengolahan tanah dapat dipandang sebagai salah satu cara pengendalian gulma secara mekanis. Pengolahan tanah banyak mempengaruhi beberapa faktor penting bagi pertumbuhan gulma, yakni dapat membenamkan gulma dan menyebabkan kerusakan fisik gulma, karena dapat memotong akar gulma sehingga mati. Pengolahan tanah pada prinsipnya adalah melepaskan ikatan antara gulma dengan media tempat tumbuhnya. Efektivitas pengolahan tanah dalam pengendalian gulma tergantung oleh beberapa faktor, seperti: siklus hidup gulma dan tanamannya, kedalaman dan penyebaran perakaran, lama dan luasnya investasi gulma, macam tanaman yang dibudidayakan, jenis dan topografi tanah, serta iklim (Sukman dan Yakup 2002).

Plaster (1992) menyebutkan bahwa pengolahan tanah untuk mengendalikan gulma dapat dibagi menjadi dua periode waktu, yaitu sebelum tanam dan sesudah tanam. Sebelum tanam, pengolahan tanah dilakukan untuk menyediakan tempat penanaman yang bebas dari gulma, yakni mengendalikan gulma selama masa pertumbuhannya. Pengolahan tanah mengendalikan gulma- gulma muda yang selanjutnya dengan mudah untuk dibakar atau dikeluarkan dari areal pertanaman. Penambahan intensitas pengolahan tanah akan memperlemah

pertumbuhan dan perkembangbiakan gulma-gulma muda tersebut. Sesudah tanam, dilakukan penyiangan untuk melanjutkan pembasmian gulma-gulma muda.

Menurut Radosevich et al. (1977) pengolahan tanah dengan intensitas tinggi atau berulang-ulang dapat mengakibatkan: (1) gulma-gulma di lapang habis karena terjadi pengurangan benih atau pengurangan alat perkembangbiakan vegetatif gulma dalam tanah dan pengeluaran cadangan karbohidrat bagi gulma, (2) benih-benih gulma di dalam tanah berkurang karena sebagian benih gulma yang tersimpan dalam tanah, yang akan selalu berkecambah apabila lingkungan tumbuhnya tersedia (cahaya, kelembaban, dan suhu), dapat dihambat akibat pengolahan tanah, (3) cadangan benih -benih gulma yang tersimpan dalam tanah (seed bank) dapat diberantas dengan cara pengolahan tanah seperti itu karena tidak memberi kesempatan kepada benih -benih gulma yang berkecambah tersebut untuk berkembangbiak, (4) gulma-gulma yang hidup lebih dari satu tahun atau dua tahun dapat diberantas karena cadan gan karbohidrat bagi gulma habis, dan (5) mematikan tunas-tunas gulma baru yang muncul dari sistem perakaran atau rhizome gulma.

Sistem-sistem Pengolahan Tanah

Sistem pengolahan tanah dapat dibedakan menjadi 4 macam, yaitu: (1) pengolahan tanah konvensional, (2) pengolahan tanah intensitas rendah, (3) pengolahan tanah minimum, dan (4) pengolahan tanah konservasi.

Pengolahan tanah konvensional (conventional tillage) ditujukan untuk mencacah sisa-sisa tanaman dan mempersatukannya ke dalam tanah. Pengola han tanah seperti ini biasanya membutuhkan energi tinggi untuk pengolahan tanah pertama, dan selanjutnya diikuti dengan pengolahan tanah kedua untuk mengendalikan gulma dan menyiapkan lahan pertanaman. Lahan pertanaman yang ideal berupa suatu lapisan tanah gembur yang bebas dari sisa-sisa tanaman di permukaan. Sisa-sisa tanaman yang terkubur memudahkan pengoperasian mesin tanam dan pembasmian serangga-serangga. Gulma-gulma dikontrol oleh pembajakan tanah dalam dan penyiangan secara mekanis (Hunt 1995).

Pengolahan tanah intensitas rendah (reduced tillage) mengacu kepada suatu sistem yang tidak banyak memanipulasi tanah. Tujuan pengolahan tanah intensitas rendah adalah menghemat bahan bakar dan waktu yang tidak perlu

36

dengan cara meniadakan pengoperasian pengolahan tanah yang tidak produktif. Penghematan energi dan biaya produksi ditempuh dengan cara menggabungkan beberapa kegiatan pengolahan tanah dalam satu operasi dimana kedalaman olah tanahnya produktif. Dalam sistem ini biasanya diaplikasikan bahan-bahan kimia untuk mengendalikan gulma (Hunt 1995).

Pengolahan tanah minimum (minimum tillage) yaitu suatu sistem pengolahan tanah yang menghasilkan suatu lingkungan yang cocok bagi pertumbuhan tanaman dan meninggalkan sisa-sisa tanaman (residu) sebagai penutup atau pelindung tanah di dekat permukaan tanah terolah sepanjang tahun. Residu yang ditinggalkan bisa ditempatkan di atas permukaan tanah, atau dicampur dengan tanah pada kedalaman tertentu oleh alat pengolahan tanah. Di atas permukaan tanah, residu ditinggalkan dalam bentuk mulsa untuk menggurangi erosi tanah oleh angin dan air. Residu yang ditinggalkan di dalam tanah dimaksudkan untuk menjaga agar permukaan tanah tetap terbuka untuk mengurangi pengerakan (crusting) permukaan tanah dan memberi kesempatan kepada air untuk meresap ke dalam tanah (Hayes 1982).

Kepner et al. (1972) menyebutkan bahwa sistem pengolahan tanah minimum merupakan suatu cara untuk mengurangi biaya produksi tanaman dan memperbaiki kondisi tanah. Tujuan utama pengolahan tanah minimum adalah: (1) mengurangi kebutuhan energi mekanik dan tenaga kerja, (2) menghemat kelembaban tanah dan mengurangi erosi tanah, (3) hanya melakukan operasi pengolahan tanah untuk mengoptimalkan kondisi tanah setiap tipe areal lahan, dan (4) meminimumkan jumlah lintasan mesin di lahan.

Pengolahan tanah konservasi (conservation tillage) didefinisikan sebagai suatu sistem yang menempatkan suatu cara untuk mengurangi kehilangan tanah akibat pengolahan tanah. Pada tanah-tanah yang mempunyai nilai erodibilitas tinggi membutuhkan prosedur pengolahan tanah konservasi. Tujuan tersebut termasuk akibat erosi oleh air dan angin. Salah satu cara ialah dengan menempatkan sisa-sisa tanaman sebagai penutup tanah atau menghasilkan gumpalan-gumpalan tanah padat di permukaan tanah. Gulma dikontrol dengan cara mengaplikasikan herbisida (Hunt 1995).

Operasi Pengolahan Tanah

Operasi pengolahan tanah dapat diklasifikasikan menjadi pengolahan tanah pertama (primary tillage) dan pengolahan tanah kedua (secondary tillage). Operasi pengolahan tanah pertama merupakan kegiatan pengolahan tanah awal dan biasanya dirancang untuk mengurangi kekuatan tanah, menutup material tanaman, dan mengatur kembali agregat -agregat tanah. Operasi pengolahan tanah kedua cenderung dilakukan untuk memperhalus kondisi tanah hasil pengolahan tanah pertama (Kepner et al. 1972). Kedalaman pengolahan tanah pertama adalah 6-36 inchi (15 -91 cm), sedangkan kedalaman pengolahan tanah kedua adalah kurang dari 6 inchi (15 cm). Segala jenis bajak (plow) dimasukkan ke dalam alat pengolah tanah pertama, sedangkan segala jenis garu (harrow) biasanya dimasukkan ke dalam alat pengolah tanah kedua (Smith 1955).

Pengolahan tanah untuk tebu lahan kering bisa dimulai dari membongkar tunggul-tunggul tebu lama dan memperbaiki sifat-sifat fisik tanah yang buruk yang terjadi selama pertumbuhan tebu sebelumnya, seperti pemadatan tanah atau kehilangan struktur tanah terutama akibat hujan dan lintasan mesin -mesin. Oleh sebab itu pengolahan tanah untuk tebu ditujukan untuk mengatasi kekurangan - kekurangan, seperti penembusan akar yang kurang dalam, aerasi dan porositas tanah yang buruk, dan adanya lapisan tapak bajak (Fauconnier 1993).

Metode baku pengolahan tanah untuk tebu lahan kering meliputi kegiatan - kegiatan: (1) pengolahan tanah dalam (subsoiling) dengan kedalaman olah 45-50 cm, (2) pembajakan tanah (plowing), (3) penggaruan tanah (harrowing) dengan kedalaman olah 20-30 cm, dan (4) pembuatan alur tanam (furrowing), baik dengan bentuk alur V, U, atau datar, untuk menempatkan potongan-potongan bibit batang tebu dengan spasi antar alur sebesar 1-1.65 meter, umumnya sebesar 1.5 meter. Urut-urutan kegiatan pengolahan tanah tersebut didasarkan atas banyaknya musim tiap tahunnya dan waktu tersedia yang ditentukan oleh pemilihan siklus penanaman dan banyaknya pekerjaan terhadap tanah, serta banyaknya alat dan mesin pengolah tanahnya (Fauconnier 1993).

Pada saat dilakukan pengolahan tanah untuk tebu maka tanah harus diolah pada kedalaman yang diinginkan, dimana lapisan tanah keras (hardpan) dan lapisan kedap dekat permukaan dihancurkan pada saat subsoiling. Alat bajak subsoiler dioperasikan pada kisaran kadar air tanah yang sesuai supaya struktur

38

tanahnya bagus dan kedalaman olahnya bisa lebih dalam sehingga pergerakan lengas dan udara optimum. Kondisi ini akan mempercepat berkembangnya sistem perakaran tebu. Selanjutnya, tanah di permukaan harus dibajak dan digaru hingga diperoleh hasil olahan tanah yang halus pada zona dimana bibit tebu ditanam. Tanah yang halus dan lembab di sekeliling bibit tebu akan mempercepat perkecambahan. Hasil olahan tanah yang terlalu halus akibat intensitas pengolahan tanah berlebihan tidak diinginkan oleh tebu karena seluruh agregat besarnya dipecah menjadi partikel-partikel lebih kecil sehingga kondisi tanah menjadi tidak berstruktur (Humbert 1968).

Fauconnier (1993) menyebutkan bahwa untuk menyiapkan lahan pertanaman tebu diperlukan alat-alat pengolahan tanah untuk pembajakan tanah dalam hingga untuk pengkairan atau pembuatan alur tanam bibit tebu. Adapun alat-alat pengolah tanah tersebut adalah: (1) bajak subsoiler (subsoiler plow), (2) bajak piring (disk plow), (3) bajak singkal (moldboard plow), (4) garu piring (disk harrow), dan (5) kair (furrower).

Alat-alat Pengolahan Tanah untuk Te bu

Bajak subsoiler biasanya dioperasikan untuk memecah lapisan tanah kedap yang berada di bawah kedalaman olah normal guna memperbaiki infiltrasi air, drainase, dan penetrasi akar tanaman. Bajak subsoiler bekerja dengan baik pada tanah teguh dimana lapisan kerasnya menghalangi penetrasi akar dan lengas yang mengisi ruang pori-pori tanah (Buckingham 1984). Menurut Plaster (1992) bajak subsoiler digunakan untuk memecah atau menghancurkan lapisan subsoil yang padat akibat kultivasi berulang-ulang pada kedalaman yang sama.

Bajak singkal sudah lama digunakan sebagai alat pengolah tanah pertama. Kerja bajak singkal yang memotong, mengangkat, dan membalik tanah bertujuan untuk: (1) mengubur seresah dan sisa-sisa tanaman, (2) memperbesar aerasi tanah, (3) mengontrol gulma, serangga dan penyakit tanaman, (4) mencampur pupuk ke dalam tanah, dan (5) menyediakan tempat pertanaman yang bagus untuk perkecambahan yang lebih baik (Buckingham 1984).

Bajak piring dapat bekerja membajak tanah yang lebih baik dibanding bajak singkal pada tanah basah atau kering. Piring-piring yang terpasang pada bajak piring berfungsi untuk memotong tanah, memutar dan membalik potongan

tanah tersebut (Plaster 1992). Disamping itu, bajak piring merupakan salah satu tipe bajak yang umumnya digunakan untuk kondisi tanah sangat keras dan kasar, untuk tanah-tanah yang tidak bisa diolah oleh bajak singkal, dan untuk tanah - tanah berbatu serta banyak akar-akar pohon (Shippen et al. 1980).

Garu piring bisa dioperasikan untuk hampir setiap jenis dan kondisi tanah. Garu tugas -berat (heavy-duty harrow) bisa digunakan sebagai alat pengolah tanah pertama karena mampu menghancurkan tanah yang belum diolah, memotong dan mencampur sisa-sisa tanaman, dan meratakan jerami atau tunggul. Penggaruan menggunakan garu piring sebelum pembajakan tanah akan meremahkan

Dokumen terkait