• Tidak ada hasil yang ditemukan

Botani Tebu

Tebu adalah sejenis tanaman rumput tropis tegak yang dapat tumbuh bertahun-tahun, atau lebih dari satu tahun (Chapman dan Carter 1976). Tebu disebut juga rumput raksasa yang termasuk dalam famili Gramineae, kelompok (rumpun) Andropogoneae, sub -rumpun Saccharinineae, dan genus Saccharum. Dalam genus Saccharum terdapat enam spesies tebu, yaitu : S. spontaneum L., S. robustum JESWIET et BRANDES, S. officinarum L., S. edule HASSK, S. barberi JESWIET, dan S. sinense ROXBURGH (Bakker 1999). Diantara keenam spesies tebu tersebut, Saccharum officinarum L. merupakan penghasil gula utama. Di dalam penelitian tebu, spesies-spesies selain S. officinarum L. dijadikan sebagai bahan pemuliaan yang baik dalam menghasilkan jenis -jenis tebu baru untuk menunjang perusahaan gula (Setyamidjaja dan Azharni 1992).

Fauconnier (1993) menyebutkan bahwa tanaman tebu dapat tumbuh dengan cara meletakkan secara horisontal batang tebu yang mempunyai mata atau pucuk tunas yang sehat di atas permukaan tanah kemudian ditutup dengan tanah yang lembab. Siklus pertumbuhan tanaman tebu dimulai dari penunasan atau ‘perkecambahan’ (sprouting atau ‘germination’), pembentukan batang (tillering), pertumbuhan tanaman (crop growth), pembungaan (flowering), pemasakan (crop maturity) dan lewat masak, lalu pemanenan dan pertumbuhan kembali (regrowth). Siklus kembali lagi dimulai dengan perkembangan anakan tunas, lalu diikuti dengan pertumbuhan batang tebu, pemasakan dan panen. Tanamam tebu yang tumbuh setelah dipanen tersebut disebut tanaman keprasan (ratoon). Suatu sistem perakaran baru terbentuk pada setiap tanaman ratoon.

Tunas baru atau tunas primer (primary shoot) akan tumbuh yang berasal dari mata tunas ketika potongan batang atau stek tebu (sett) ditanam ke dalam tanah (Humbert 1968). Akar-akar dari stek asal (sett roots) di ruas batang tebu akan muncul, kemudian akan diikuti oleh munculnya akar-akar tunas (shoot roots) di ruas batang tersebut (Van Dillewijn 1952). Tunas-tunas sekunder (secondary shoots) akan muncul dan tumbuh mengikuti tunas primer. Tunas-tunas tersebut dapat tumbuh menjadi batang-batang tebu sepanjang 2-4 meter dan berdiameter

25-50 mm, tergantung oleh varietas tebu dan kondisi pertumbuhannya (Reid 1990). Dalam Gambar 1 dapat dilihat akar -akar dan tunas -tunas tebu yang berasal dari batang (stek) asal yang ditanam ke dalam tanah.

Gambar 1 Akar baru berkembang ketika batang tebu ditanam (Humbert 1968)

Akar-akar tunas tebu berkembang karena tersedianya lengas (moisture) dan nutrisi yang tersimpan di dalam stek asal, dan didukung oleh adanya akar-akar stek asal. Akar-akar tunas tersebut berukuran tebal, berwarna putih, dan berair banyak. Akar-akar tersebut mulai muncul ketika akar-akar stek asal mencapai separuh pertumbuhannya, atau sekitar 5-7 hari setelah tanam (Bakker 1999).

Tanaman tebu dewasa memperlihatkan tiga tipe akar, yaitu: (1) superficial roots, (2) buttress roots, dan (3) rope systems. Superficial roots adalah akar-akar dangkal yang menyebar ke arah horisontal di bawah permuk aan tanah. Pada kondisi tanah lembab akar ini mensuplai air dan mineral-mineral ke batang dalam

8

jumlah besar. Buttress roots adalah akar-akar agak dalam di bawah permukaan tanah, berwarna putih, berair banyak, dan menyebar ke arah vertikal ke bawah dengan sudut 45-60 derajat. Rope systems adalah sistem perakaran dalam di bawah permukaan tanah yang menyebar ke arah vertikal ke bawah jauh ke dalam tanah dan berikatan satu sama lain seperti tali yang terdiri atas 15-20 akar. Akar ini menjadi sangat penting peranannya dalam menyerap air dan nutrisi terutama pada saat kekeringan (Van Dillewijn 1952). Dalam Gambar 2 diperlihatkan ketiga tipe akar tersebut dalam sistem perakaran tebu.

Gambar 2 Sistem perakaran tebu: s = superficial roots, b = buttress roots, dan r = rope systems (Van Dillewijn 1952)

Tebu yang diregenerasikan dari tanaman tebu pertama dinamakan ratoon pertama (R I), tebu yang diregenerasikan dari tanaman tebu kedua (ratoon pertama) dinamakan ratoon kedua (R II), dan seterusnya (Bakker 1999). Karena tanaman tebu baru berasal dari pangkal ruas batang tebu di atas tanaman tebu sebelumnya, maka tunas baru tanaman ratoon berkembang pada posisi yang lebih tinggi dibanding tanaman tebu sebelumnya (Van Dillewijn 1952), sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 3.

Gambar 3 Ilustrasi posisi tunas -tunas tebu ratoon pertama (R I) dan ratoon kedua (R II) yang lebih tinggi dibanding tunas tebu sebelumnya (P) yang berasal dari stek asal (C) (Van Dillewijn 1952)

Batang tebu merupakan bagian terpenting dalam produksi gula, karena bagian dalamnya terdapat jaringan parenkim berdinding tebal yang mengandung nira (Setyamidjaja dan Azharni 1992). Pada saat dipanen, kandungan sukrosa pada batang tebu sebesar 10 -18% dan serat 10-15% (Fauconnier 1993).

Ruas-ruas batang (internodes) dibatasi oleh buku-buku (nodes) yang merupakan tempat duduk daun tebu (leaf scar). Ukuran ruas batang tebu bervariasi, yakni pendek di bagian bawah (pangkal) dan makin ke atas (ujung) makin panjang, kemudian menuju ke puncak (pucuk) memendek lagi. Ruas -ruas batang tebu berukuran panjang di bagian tengah. Diameter buku tebu bervariasi di sepanjang panjang batang. Diameter buku tebu maksimum berada sedikit di bawah permukaan tanah (Bakker 1999). Di atas tempat duduk mata tunas terdapat suatu lingkaran bakal akar (root band). Dari lingkaran bakal akar tersebut akan keluar akar jika lingkaran tersebut berada dalam keadaan tertentu, misalnya tertutup di bawah permukaan tanah sehingga tunas dari mata tunas tumbuh

R II

R I

P

10

(Setyamid jaja dan Azharni 1992). Potongan batang tebu (stalk), berikut nama bagian -bagian batang, ditunjukkan dalam Gambar 4.

Gambar 4 Bagian -bagian batang tebu (Humbert 1968)

Pada kondisi normal maka dalam satu periode pertumbuhan tebu akan terdapat panjan g batang tebu maksimum (Van Dillewijn 1952). Sebagai contoh adalah karakteristik pertumbuhan tebu varietas POJ 2878 di Jawa Barat, seperti ditunjukkan dalam Gambar 5.

Dalam Gambar 5 tersebut diperlihatkan panjang batang total maksimum karena panjang batang tebu direproduksi terus hingga mencapai maksimum, yang ditunjukkan dalam bentuk kurva sigmoid (kurva A), dan pertambahan panjang tebu bulanan, yang ditunjukkan dalam bentuk kurva simetrik (kurva B). Kurva A menunjukkan laju pertumbuhan tebu yang tid ak seragam. Perkecambahan tunas tebu berjalan sangat lambat dan pertambahannya berangsur-angsur naik hingga mencapai maksimum yang selanjutnya diikuti pengurangan secara berangsur- angsur dalam satu periode pertumbuhannya (kurva B). Periode pertumbuhan tersebut sering disebut sebagai periode pertumbuhan total (grand period of growth) (Van Dillewijn 1952).

Gambar 5 Periode pertumbuhan total tebu varietas POJ 2878 (Van Dillewijn 1952)

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan dan Produksi Tebu

Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tebu meliputi faktor tanah, iklim, tanaman, dan tindakan budidaya pertanian. Rozaq (1999) menyatakan bahwa dalam melakukan budidaya pertanian perlu memperhatikan keberadaan fungsional profil tanah -tanaman, yang merupakan hasil interaksi faktor tanah-iklim-tanaman dan kegiatan budidaya, sebagai faktor utama yang menentukan pertumbuhan dan produksi tanaman. Faktor tindakan budidaya berupa tindakan pengolahan tanah berfungsi untuk menghasilkan struktur tanah sesaat yang sesuai dengan persyaratan awal tumbuh tanaman dan sekaligus sesuai untuk menjalankan proses interaksi dengan lingkungan (iklim) menuju kondisi struktur tanah yang menguntungkan untuk proses pertumbuhan tanaman sampai dengan pro ses produksi.

Banyak faktor yang terlibat dan interaksi kompleks yang mempengaruhi pertumbuhan tebu. Faktor-faktor yang mengontrol pertumbuhan tebu harus diintegrasikan ke dalam lingkungan optimum. Potensi maksimum tebu dapat tercapai apabila hubungan tanah – tanaman mencapai optimum. Perkecambahan

B u l a n P a n j a n g b a t a n g

12

tebu tergantung oleh kondisi lingkungan tempat bibit tebu ditanam ke dalam tanah. Pertumbuhan tunas mencapai maksimum apabila faktor-faktor internal dan eksternalnya mencapai optimum. Faktor tanah turut mempengaruhi pemunculan tunas tebu. Tanah harus disiapkan dengan sebaik mungkin agar terpenuhi keseimbangan yang sesuai antara tanah – air – udara (Humbert 1968).

Faktor Tanah

Tanah, sebagai sumber alam dasar bagi produksi tanaman, berfungsi sebagai media hidup bagi tanaman dengan dua cara, yaitu: (1) mensuplai lengas dan mineral-mineral esensial, dan (2) menyediakan tempat bagi perkembangan akar tanaman (Chapman dan Carter 1976).

Tanah-tanah lahan kering di Indonesia umumnya terdiri atas tanah Ultisol dan mungkin Oksisol (Hardjowigeno 1995). Ultisol di Indonesia merupakan bagian terluas dari lahan kering yang tersebar luas di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Irian Jaya (Papua), serta sebagian kecil (sekitar 1.7 juta hektar, atau 5%) di Pulau Jawa, terutama di wilayah Jawa Barat (Munir 1996).

Tanah Ultisol berasal dari kata ultimus (akhir) dan solum (tanah), artinya perkembangan tanah pada tingkat akhir. Secara umum, tanah ini merupakan tanah yang mengalami penimbunan liat di horison bawah (horison B), bersifat masam, dan kejenuhan basa pada kedalaman 180 cm dari permukaan tanah kurang dari 35%. Tanah ini dulu disebut Podsolik Merah Kuning (Hardjowigeno 1995).

Menurut Mohr et al. (1972) beberapa sifat fisik dan kimia tanah Ultisol: 1 Kedalaman solum s edang atau moderat (1-2 meter)

2 Warna merah sampai kuning

3 Tekstur halus pada horison Bt, karena pada horison ini kandungan liatnya maksimum

4 Struktur berbentuk blocky pada horison Bt 5 Konsistensi teguh

6 Permeabilitas lambat sampai baik 7 Erodibilitas tinggi

8 Kemasaman (pH) kurang dari 5.5

9 Kandungan bahan organik rendah sampai sedang 10 Kandungan unsur hara rendah.

Tanah Ultisol identik dengan tanah tidak subur. Pengolahan tanah ini sebaiknya seminimal mungkin (minimum tillage) agar lapisan tanah subur sedalam tidak lebih dari 14 cm tidah hanyut, atau terbalik, atau hilang. Bila diolah lebih dari 14 cm maka subsoil yang tidak subur dan padat akan muncul ke permukaan (Munir 1996). Pengapuran hingga pH 5.5 dianggap sudah baik, sebab yang terpenting adalah untuk meniadakan pengaruh meracun dari Al, untuk penyediaan hara kalsium bagi pertumbuhan tanaman, dan untuk meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah Ultisol (Hakim et al. 1986, dan Munir 1996). Faktor-faktor tanah yang mempengaruhi pertumbuhan akar dan produksi tanaman dapat diklasifikasikan sebagai kimia tanah (terutama hara tanah), biologi tanah, seperti serangan patogen-patogen akar, dan fisik tanah, termasuk suhu, aerasi, dan ketahanan tanah terhadap penetrasi akar-akar tanaman (Forbes dan Watson 1992). Sifat-sifat kimia, biologi, dan fisik tanah tersebut dominan dalam mempengaruhi lingkungan akar tebu (Humbert 1968).

Sifat-sifat kimia tanah harus dipertimbangkan dalam menentukan potensi tanah pertanian, sebagai contoh adalah kapasitas tukar kation (KTK) dan derajat keasaman tanah (pH). KTK merupakan kapasitas tanah untuk menukar kation- kation seperti H+, Ca++, dan NH4+. KTK digunakan sebagai indikator kasar

potensi kesuburan tanah dan tingkat kemampuan pupuk dan kapur bereaksi dengan tanah. Sifat kimia tanah yang mencirikan derajat keasaman dan kebasaan tanah dinyatakan dengan istilah pH, yang merupakan kebalikan logaritmik konsentrasi ion hidrogen (Chapman dan Carter 1976). Batas pH untuk tanah adalah berkisar dari sangat asam (pH 3.5) hingga sangat basa (pH 10.5). Tanah - tanah pertanian umumnya mempunyai nilai pH 5.0 hingga 8.0 (Plaster 1992).

Biologi tanah dapat berubah karena munculnya hama dan penyakit pada tanaman. Patogen-patogen pada tanaman tertentu dapat muncul sehingga menimbulkan penyakit, terutama pada kondisi tanah tergenang (Chapman dan Carter 1976). Hama tanaman berupa serangga dapat hidup di dalam tanah maupun di atas tanah. Jenis -jenis serangga seperti semut, cacing dan lain-lainnya akan bertambah dengan cepat ketika tanah tidak diolah. Sisa-sisa tanaman yang tetap berada di permukaan tanah yang lembab akibat tanah diolah akan membuat kondisi yang baik bagi kehidupan dan perkembangbiakan sejenis siput, tikus, kumbang penggerek, dan hama-hama lainnya (Miller dan Donahue 1990).

14

Produksi tanaman merupakan hasil dari semua faktor yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman dalam satu musim tanam. Salah satu faktor tersebut adalah kondisi fisik tanah yang sering mempengaruhi tanaman karena kondisi fisik tanah mengontrol lingkungan tempat akar berkembang (Davies et al. 1993).

Tekstur dan Struktur Tanah

Komposisi atau perbandingan relatif partikel-partikel pasir, debu, dan liat menentukan tekstur tanah (Chapman dan Carter 1976). Tekstur tanah merupakan sifat tanah yang paling mendasar oleh karena mempengaruhi sifat-sifat tanah lainnya (Plaster 1992). Tekstur tanah berperan dalam mengontrol drainase, ketersediaan air, sifat tanah, dan kesesuaian (kecocokan) tanaman untuk tumbuh. Selain itu, tekstur tanah turut pula berperanan penting dalam menentukan struktur tanah, terutama dalam membentuk agregat tanah (Davies et al. 1993).

Tekstur dan struktur tanah mempengaruhi kemudahan tanah untuk diolah, mempengaruhi banyaknya ruang pori dalam tanah, menentukan ketersediaan air dalam tanah akibat presipitasi atau irigasi, dan menentukan infiltrasi air ke dalam tanah (Chapman dan Carter 1976). Selain itu, struktur tanah juga berfungsi untuk mengontrol pergerakan air dan pertumbuhan akar sehingga menentukan kesuburan fisik tanah (Davies et al. 1993). Dengan demikian, tanaman akan memperoleh keuntungan dengan terbentuknya struktur tanah yang baik karena: (1) pergerakan air dan udara menjadi lebih mudah, (2) pertumbuhan akar menjadi lebih mudah, dan (3) kapasitas memegang airnya tinggi (Plaster 1992).

Menurut Sopher dan Baird (1982) struktur tanah di lapisan tanah atas (topsoil) menjadi sangat penting karena dapat menambah permeabilitas sehingga dapat menahan limpasan (runoff) dan mengurangi erosi. Tanah berstruktur baik akan lebih permeabel dibanding tanah berstruktur buruk. Struktur tanah dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman karena dengan bertambahnya permeabilitas tanah akan dapat menambah kapasitas penahanan air efektif bagi pertumbuhan akar tanaman.

Densitas Tanah

Densitas tanah (soil bulk density) adalah rasio massa kering padatan tanah dengan volume tanah yang dinyatakan dalam satuan g/cm3, atau g/cc, dan

merupakan ukuran berat volume suatu tanah kering oven (Baver et al. 1972, Blake dan Hartge 1986, dan Plaster 1992). Volume tanah tersebut termasuk volume padatan dan ruang pori tanah. Massa kering padatan tanah ditentukan setelah dikeringkan hingga bobotnya konstan pada suhu 105ºC, dan volume tanah tersebut berasal dari sampel yang diambil di lapang (Blake dan Hartge 1986).

Densitas tanah menunjukkan perbandingan antara bobot tanah kering dengan volume tanah termasuk volume pori-pori tanah, dan merupakan petunjuk kepadatan tanah. Makin padat tanah makin tinggi densitas tanahnya, berarti makin sulit meneruskan air atau ditembus akar tanaman (Hardjowigeno 1995). Densitas tanah diukur dengan menggunakan suatu ring sampel. Tanah dari dalam ring sampel yang telah diketahui volumenya secara hati-hati dipindahkan dari lapang. Tanah tersebut selanjutnya dikeringkan di dalam oven pada suhu 105°C hingga mencapai suatu bobot yang konstan, yang sering disebut sebagai tanah kering oven (Plaster 1992). Densitas tanah dihitung menggunakan persamaan (1).

DST = BTK / VLT ………. (1) dimana DST = densitas tanah (dry bulk density), g/cc

BTK = bobot tanah kering oven, g VLT = volume tanah, cc (cm3)

Densitas tanah pada kebanyakan tanah permukaan berkisar 1.0 -1.6 g/cc, tergantung kondisinya. Pengolahan tanah dapat mengub ah densitas tanah secara agak cepat. Suatu alat bajak dapat dengan seketika mengubah densitas tanah dari 1.5 g/cc menjadi 0.8 g/cc. Empat hingga lima lintasan alat pengolah tanah sekunder di atas permukaan tanah yang terbajak dapat menyebabkan terjadinya pemadatan kembali hingga 1.4 g/cc. Biasanya penanaman terbaik pada kisaran densitas tanah 1.1-1.4 g/cc. Pada densitas tanah sebesar 1.6 g/cc maka pergerakan air dan perkembangan akar menjadi sangat terbatas. Tanah subsoil yang sangat padat bisa mempunyai densitas tanah 2.0 g/cc atau bahkan lebih, dan menyebabkan tidak ada akar yang tumbuh (Donahue et al. 1976).

Pemadatan tanah adalah bertambahnya densitas tanah akibat beban atau tekanan diaplikasikan terhadap tanah. Penyebab pemadatan tanah yaitu: (1) pengeringan, (2) pengerutan, dan (3) gaya mekanik (Baver et al. 1972). Beberapa sifat massa tanah berubah akibat pemadatan, yang ditandai dengan bertambahnya densitas tanah dan berkurangnya porositas tanah. Perubahan tersebut akan

16

mempengaruhi konsistensi tanah dan kapasitas menahan air, udara, dan panas, dan membatasi penetrasi akar ke dalam tanah. Pertumbuhan akar tanaman terhambat pada densitas tanah lebih dari 1.4 g/cc pada tanah-tanah bertekstur halus, atau lebih dari 1.7 g/cc pada tanah-tanah bertekstur lebih kasar (Hill 1979).

Densitas tanah yang bertambah besar merupakan fungsi dari usaha pemadatan dan kadar air. Gaya yang diperlukan untuk memadatkan tanah hingga densitas tanah tertentu akan berkurang dengan bertambahnya kadar air. Densitas tanah pada kadar air yang diinginkan akan bertambah secara eksponensial dengan bertambahnya gaya yang diaplikasikan. Densitas tanah pada gaya pemadatan yang konstan akan bertambah dengan bertambahnya kadar air hingga mencapai maksimum, dan dengan terus bertambahnya kadar air menyebabkan densitas tanah turun. Kadar air tanah yang menyebabkan densitas tanah maksimum disebut kadar air tanah optimum untuk pemadatan (Baver et al. 1972).

Penggunaan mesin -mesin pertanian dan kendaraan angkut dalam penyiapan lahan, pemeliharaan tanaman, dan panen disertai dengan penekanan terhadap tanah. Distribusi tekanan-tekanan tersebut dalam hubungannya dengan pemadatan tanah adalah penting dalam analisis dampak mesin dan kendaraan - kendaraan terhadap sifat-sifat tanah, baik terhadap pertumbuhan tanaman maupun desain mesin untuk meminimumkan efek tersebut (Baver et al. 1972).

Söhne (1958) menyebutkan bahwa distribusi tekanan dalam tanah di bawah ban tergantung oleh: (1) besar gaya (beban), yang menentukan total tekanan yang digunakan, (2) ukuran luas kontak antara ban dan tanah, yang menentukan besar gaya tekan per satuan luas, (3) distribusi tekanan dengan luas kontak, dan (4) kadar air tanah dan densitas tanah.

Reaves dan Cooper (1960) mempelajari distribusi tegangan di bawah track dengan ukuran lebar 12 in dan ban dengan ukuran lebar 13 in dan diameter 18 in, yang diberi beban 3600 lb dan dioperasikan pada gaya penarikan 1500 lb. Besr tekanan terhadap tanah (ground pressure) untuk track dan ban adalah sebesar 12.3 psi dan 25.4 psi. Perbedaan besar tekanan tersebut akibat panjang kontak track yang lebih besar dibanding panjang kontak ban. Panjang kontak track adalah 5 ft, sedangkan panjang kontak ban hanya 2 ft. Tegangan maksimum terjadi di bawah pusat pembebanan kira-kira 3 in dan selanjutnya berkurang secara lateral (ke samping) dan vertikal (ke bawah) seperti ditunjukkan dalam Gambar 6.

Dokumen terkait