• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2.4. Status Perlindungan

Sebanyak lima jenis reptilia yang diperdagangkan di pasar tradisional dan toko hewan peliharaan termasuk dari 31 jenis reptilia yang dilindungi oleh PP No. 7 tahun 1999 (Dephut 1999). Kelima jenis ini bisa dikategorikan sebagai reptilia langka yang populasi sangat terancam di alam. Menurut PP No. 7 tahun 1999 menyatakan bahwa satwa yang ada dalam daftar satwa yang dilindungi merupakan satwa yang populasi yang kecil, jumlah individu yang menurun dan daerah penyebaran terbatas (endemik). Perdagangan untuk kelima jenis tersebut

perlu dikurangi atau seharusnya dihilangkan karena memang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, oleh sebab itu perlu diadakan pengawasan yang intensif untuk mencegah perdagangan.

Daftar merah IUCN menyebutkan terdapat enam reptilia yang tergolong kedalam status populasi Critically Endangerd (kritis) yaitu kategori yang diberikan kepada satwa yang mengalami ancaman kepunahan yang tinggi dalam rentang waktu dekat. Keadaan status yang kritis ini, seharusnya tidak ada pemanfaatan dalam hal ini perdagangan karena memang ancaman kepunahan yang tinggi dan populasinya yang terus menurun. Sebanyak lima jenis reptilia diklasifikasi ke status Endangered (genting) yaitu yang tidak tergolong kritis namun ancaman kepunahan tinggi di alam, sedangkan untuk kategori status populasi Vulnerable (rentan) yaitu satwa yang tidak tergolong dalam kedua kategori diatas namun rentan terhadap kepunahan di alam, terdapat sepuluh jenis reptilia.

Sebanyak empat reptilia yang diperdagangkan pada pada pasar tradisional dan toko hewan peliharaan termasuk dalam kategori Apendiks I. Regulasi CITES menjelaskan tidak ada pemanfaatan terhadap satwa tersebut karena memang populasi sudah sangat menurun dan tergolong langka (Waryono 2008) dan satwa yang jumlahnya sangat terbatas dan tidak bisa diperdagangkan dengan komersil (Soehartono & Mardiastuti 2003). Regulasi tersebut hanya berlaku untuk perdagangan antar negara, sedangkan untuk perdagangan lokal diatur oleh PP No 7 Tahun 1999.

Regulasi CITES hanya mengatur perdagangan reptilia antar negara. Jenis Batagur baska merupakan yang berasal dari Indonesia dalam hal ini tidak melanggar ketentuan CITES karena hanya perdagangan lokal saja, namun jika diketahui jenis tersebut tidak berasal dari Indonesia, maka dinyatakan melanggar ketentuan CITES. Tidak demikian pada jenis Geochelone radiata, Geochelone yniphora, dan Pyxis arachnoides merupakan reptilia yang asalnya bukan dari Indonesia. Perdagangan ketiga jenis ini telah melanggar konvensi CITES. Jenis reptilia yang tergolong kategori Apendiks II juga harus diperhatikan dikarenakan jenis tersebut merupakan jenis yang tidak terancam punah namun bisa terjadi kepunahan jika tidak diawasi perdagangannya (Soehartono & Mardiastuti 2003).

Kategori Apendiks III ketentuannya sama dengan ketentuan perdagangan satwa pada Apendiks II. Dua jenis reptilia yang termasuk dalam kategori status perdagangan Apendiks III yaitu Graptemys pseudogeographica di negara Amerika Serikat (Van dijk 2000) dan Mauremys sinensis pada negara China (ATTWG 2010). Regulasi perdagangan untuk keduanya, hanya berlaku pada negara tersebut yang telah menetapkan status perdagangan Apendiks III.

Saat pengamatan juga dijumpai reptilia yang dilindungi, di pasar Kartini pedagang dengan sengaja menyimpan seekor Python molurus bivittatus. Jenis ini dilindungi pemerintah dalam PP No. 7 Tahun 1999, Apendiks II CITES. Hasil wawancara menyatakan bahwa masih ada inspeksi mendadak dari Dinas Kehutanan. Hal sama diutarakan Waryono (2008) bahwa para pedagang di perkotaan memang menjual jenis yang dilindungi secara tersembunyi. Goh dan O’Riordan (2007) mencatat jenis yang dilindungi dan berharga mahal tidak diletakkan pada display untuk menjamin keselamatan penjual.

Sebanyak tiga jenis kura-kura yang dilindungi pemerintah dalam PP No. 7 Tahun 1999 Batagur baska, Elseya novaguineae dan Carettochelys insculpta. Jumlah yang sama dijumpai pada penelitian Sinaga (2008) yaitu jenis Batagur baska, Ortilia borneensis dan Carettochelys insculpta, sedangkan pada penelitian Sheperd dan Nijman (2007) ditemukan enam jenis reptilia yang dilindungi. Jenis Batagur baska, Geochelone platynota dan Geochelone radiata merupakan tiga dari 25 kura-kura di dunia yang tergolong dalam Extremely high risk of extinction (Rhodin et al. 2011).

Tingginya perdagangan terhadap reptilia yang sudah dilindungi PP No. 7 Tahun 1999, IUCN dan CITES menjadi sangat mengkhawatirkan. Tidak menutup kemungkinan jenis-jenis yang dilindungi akan terancam punah. Kecenderungan untuk memelihara jenis yang dilindungi oleh para pecinta reptilia (Sinaga 2008), menjadi faktor tambahan yang menyebabkan perdagangan jenis-jenis yang dilindungi akan semakin tinggi. Nijman dan Sheperd (2007) juga mencatat hal yang serupa, yakni jenis yang dilindungi akan semakin tinggi peminatnya dan harga akan melambung tinggi. Diperlukan upaya pencegahan yang efektif terhadap perdagangan reptilia. Keberadaannya di dunia perdagangan reptilia harus

mendapat perhatian lebih, dikarenakan populasi yang sangat menurun dan ancaman kepunahan yang sangat tinggi.

5.2.5 Cyber market

Perdagangan reptilia sebagai binatang peliharaan semakin berkembang, perkembangannya hingga ke dunia maya. Perdagangan tersebut dipicu oleh kemajuan teknologi yang sangat signifikan (Mikrimah 2009). Dari tiga website yang dijadikan bahan penelitian ditemukan 41 jenis reptilia sebagai binatang peliharaan, hanya dalam kurun waktu satu minggu. Informasi yang disediakan pada situs-situs cukup lengkap, hal yang dicantumkan berupa nama jenis, foto, harga, ukuran, jenis kelamin dan kondisi terakhir. Hal tersebut merupakan keunggulan dari transaksi di cyber market.

Penelitian Mikrimah (2009) mencatat 12 situs yang menyediakan amfibi, baik perdagangan lokal dan perdagangan ekspor dan impor. Jenis yang diperkiraka menarik diletakkan pada halaman awal website dengan tujuan menarik minat para calon pembeli. Perdagangan di cyber market menjadi sangat rawan pelanggaran. Tidak diketahui dengan jelas identitas penjual dan asal dari reptilia menjadi hal yang menambah permasalahan di perdagangan satwa. Kemudahan bertransaksi juga menjadi daya tarik dari cyber market. Faktor lain juga dicatat oleh Sinaga (2008) perdagangan yang tertutup dan rahasia menyebabkan tingkat pengawasan menjadi semakin sulit.

5.2.6. Hasil kuisioner

Jenis ular masih mendominasi sebagian besar reptilia yang menjadi peliharaan. Dari total 24 jenis reptilia yang dipelihara, 33,33% merupakan kelompok ular. Dalam hal reptilia favorit, 50% responden masih memilih kelompok ular sebagai reptilia favorit mereka. Salah satu forum reptilia terbesar juga mencatat kelompok ular sebagai favorit peliharaan (www.reptilx.com).

Jenis Ball python (Python regius) mempunyai frekuensi pemeliharaan tertinggi dari keseluruhan jenis reptilia hal ini dikarenakan corak, kemudahan dalam perawatan dan mudah mendapatkannya. Jenis Python regius bisa didapatkan pada pasar tradisional (Pasar Kartini dan Pasar Barito) dan pada

toko-toko hewan peliharaan (3torto, World of reptile, Savera reptile dan Exo reptil). Jenis ini tidak berbisa dan panjang maksimumnya hanya 170 cm (Aubret 2005).

Para pecinta reptilia umumnya mengetahui status perlindungan pada reptilia, namun hal tersebut malah memacu keinginan untuk memelihara jenis yang dilindungi (Morelia viridis, Python molurus, Tiliqua gigas dan jenis lainnya). Pengetahuan akan status perlindungan reptilia umunya tidak mengurangi minat untuk memilikinya (Sinaga 2008). Jenis reptilia lokal masih mendominasi jenis pemliharaan para responden dengan 16 jenis (66,67%). Hal ini sesuai dengan ketersediaan stok reptilia di pasar tradisional terdapat 29 reptilia lokal dari 52 jenis yang diperdagangkan (55,77%), namun bertolak belakang dengan ketersediaan stok reptilia di toko hewan peliharaan yaitu lima jenis lokal dari 46 jenis reptilia yang tersedia (10,86%).

BAB VI

Dokumen terkait