• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II: KAJIAN TEORI

2.1.1 Status sosial

Status sosial adalah pengelompokan masyarakat berdasarkan pekerjaan dan posisi mereka dalam masyarakat. Oleh karena itu, Eitzen dan Zinn (1991: 231) menyatakan bahwa status sosial adalah konsep yang rumit yang berpusat pada ekonomi. Ini berarti bahwa status sosial didasarkan pada berapa banyak uang yang dimiliki seseorang.

Status sosial memiliki peran tertentu dalam menentukan posisi seseorang dalam masyarakat. Kekuatan dalam masyarakat dipegang oleh kelas atas dan kelas

10

menengah yang memiliki banyak uang sehingga mereka bisa mendapatkan hak istimewa. Marx dan Engels (1846) menyatakan bahwa secara sosiologis status sosial merupakan satu bentuk pengelompokan orang-orang ke dalam lapisan-lapisan masyarakat berdasarkan dimensi tersebut. Dengan demikian, status sosial memiliki peran dalam hubungan seseorang dan mempengaruhi kehidupan pribadi seperti dalam pernikahan mereka. Perkembangan status sosial sangat penting untuk mengisi kesenjangan sosial antara kelas atas-kelas menengah dan kelas bawah. Mereka membenarkan bahwa dalam masyarakat yang menganut sistem kelas sosial mempunyai kekayaan dan mempunyai uang maka mereka akan memiliki hubungan antara perkembangan private property—kekayaan pribadi— dengan penindasan terhadap kaum perempuan.

Orang-orang dari semua kelas sosial, tentunya ingin mencapai posisi yang lebih tinggi dalam masyarakat untuk mendapatkan kekuasaan dan kekayaan, sehingga untuk mencapai posisi tersebut mereka menggunakan semua upaya untuk mencapai ambisi mereka dan mencapai posisi yang lebih tinggi dalam masyarakat. Orang yang memiliki status sosial tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang berstatus sosialnya rendah.

2.1.2 Properti

Properti sangat dibutuhkan dalam sebuah pernikahan, karena akan menentukan tingkat kebahagiaan seseorang. Properti dalam hukum Borjuis menentukan aturan tentang warisan. Aturan waris dalam hukum Borjuis akan

jatuh ke tangan anak laki-laki pertama. Sekaya apapun seorang perempuan, ketika dia sudah menikah maka semua kekayaannya akan jatuh ketangan laki-laki. Engels (1846: 18) menyebutkan bahwa "pernikahan didasarkan pada supremasi laki-laki, dengan tujuan yang menghasilkan anak-anak dari ayah tak terbantahkan, karena anak-anak ini yang akan mewarisi kekayaan ayah mereka sebagai pewaris alami.” Berdasarkan pernyataan Marx di atas, laki-laki memegang kekuasaan tertinggi dalam keluarga, sehingga apabila dalam satu keluarga terdapat satu anak laki-laki, semua warisan akan jatuh kepada dia.

Oleh sebab itu, kedudukan kaum laki-laki sebagai pewaris dianggap lebih tinggi daripada kaum perempuan karena kesetaraan pada perempuan dan laki-laki tidak akan pernah ada, sehingga perempuan berkedudukan lebih rendah daripada laki-laki dan berakibat dia mengalami eksploitasi oleh kaum laki-laki. Engels (1846) menyatakan bahwa kesenjangan kekuasaan antara laki-laki dan perempuan tidak didasarkan pada sifat yang melekat pada mereka, tetapi merupakan hasil dari kondisi sosial yaitu sebuah kondisi yang mengakibatkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, pada abad ke-18, perempuan dapat menjadi kaya ketika dia telah mewarisi kekayaan ayahnya jika dia tidak memiliki saudara laki-laki.

Menurut Engels dalam Murray (1995: 1350), seorang perempuan hanya mengurus rumah, keluarga, dan melahirkan. Ketika ikatan suami-istri baru dijalin antara kelompok-kelompok sosial, laki-laki akan pindah dari keluarga asal mereka ke dalam lingkaran keluarga pasangan mereka. Dengan demikian ketika laki-laki menikah, mereka lebih mengutamakan istri mereka daripada keluarganya.

12

Berdasarkan kondisi tersebut, Engels berspekulasi bahwa pria diciptakan patriarki, suatu sistem warisan yang akan diwarisi melalui jalur ayah. Dia menjamin bahwa mereka dan keturunan laki-laki mereka akan mempertahankan private property-kepemilikan kekayaan- yang dimilikinya. Bahkan disebabkan oleh kedudukannya yang dianggap lebih tinggi, perempuan menjadi milik dari laki-laki—women as property.

2.1.3 Women as property

Perempuan selalu tunduk dan patuh kepada laki-laki, sehingga perempuan hanya diam di rumah, mengurus suami, tidak melakukan apa-apa, dan melahirkan. Hal ini membuat perempuan hanya dianggap sebagai properti, atau dikenal dengan istilah women as property. Hak milik perempuan pada abad ke-18 sebagian besar tergantung pada status perkawinan mereka. Begitu perempuan menikah, hak milik mereka diatur oleh hukum umum Inggris, yang mengharuskan bahwa kekayaan perempuan dalam sebuah pernikahan, secara hukum dimiliki oleh suami mereka. Teori yang akan digunakan adalah teori Marxisme. Seperti dalam kutipan berikut ini:

As well -- traditionally, women lost all rights to own property or exercise contract rights after marriage. Before marriage, such rights usually belonged not to the woman, but to her father. (Engels, 1846: 23)

Perempuan akan kehilangan semua haknya untuk memiliki harta setelah dia menikah. Sebelum menikah, hak-hak tersebut biasanya tidak dimiliki perempuan, tapi milik ayahnya. Begitu pun setelah menikah, semua harta akan

tetap menjadi milik laki-laki dan perempuan tidak memperoleh bagian meski hanya sedikit.

Dalam hal ini, perempuan kembali lagi kepada statusnya yaitu sebagai seorang anak dan istri, sehingga kadang-kadang dipaksa untuk memiliki anak. Pada abad ke-18 terdapat sebuah undang-undang bernama coverture law (1701) yang menyebutkan bahwa suami berhak atas semua harta pribadi istri. Di samping itu, pernikahan dan properti dalam undang-undang ini menetapkan bahwa perempuan yang sudah menikah tidak memiliki kekuatan hukum yang terpisah dari suaminya, sehingga perempuan hanya dapat menuruti perkataan suaminya.

Dalam hal pernikahan, perempuan sangat bergantung kepada laki-laki. Ketergantungannya ini menyebabkan perempuan mengalami ketertindasan sehingga salah satu akibatnya adalah mereka tidak memiliki hak untuk mendapatkan warisan. Dengan demikian, jalan satu-satunya untuk mereka keluar dari kemiskinan adalah dengan menikahi laki-laki kaya, sebab pada abad ini semua properti diwarisi oleh keturunan laki-laki. Meski pun demikian, perempuan tidak dapat memiliki kekayaan yang diberikan suaminya dan hanya dapat menikmatinya selama dia berstatus sebagai istri laki-laki tersebut. Dengan kata lain, sebuah pernikahan hanya dianggap sebagai pertukaran komersil yang membuat masing-masing pasangan hanya dimanfaatkan untuk mengorbankan cintanya demi sebuah properti.

Peran istri sebagai perempuan bersuami, menekankan subordinasi kepada suaminya, dan menempatkan dia dalam perlindungan dan pengaruh suaminya. Setelah menikah, suami dan istri menjadi satu orang di bawah hukum, seorang

14

perempuan harus menyerah kepada laki-laki. Properti yang dimiliki oleh perempuan selama pernikahan, sepenuhnya akan menjadi milik laki-laki. Perempuan sering terbatas dalam memiliki properti, sedangkan pria lebih mungkin untuk menerima properti seperti sebidang tanah. Anak laki-laki sulung secara hukum akan mewarisi kekayaan ayahnya, dan perempuan akan mewarisi kekayaan ayahnya apabila tidak ada anak laki-laki dalam keluarganya. Oleh karena itu, status sosial dan properti mempengaruhi kebahagiaan perempuan dan mempengaruhi pernikahan mereka. Hal ini yang menyebabkan perempuan hanya dianggap sebagai properti, sehingga dalam hal ini, uang sangat diperlukan untuk kebahagiaan pernikahan mereka.

15

Pada bab ini, penulis memaparkan objek penelitian, metode penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, serta teknik menganalisis data yang digunakan dalam penelitian.

3.1 Objek Penelitian

Novel berjudul Sense and Sensibility karya Jane Austen merupakan sumber yang digunakan dalam penelitian ini. Objek pada penelitian ini adalah peranan uang dalam pernikahan yang dialami Elinor dan Marianne pada Novel Sense and Sensibility karya Jane Austen. Penulis memilih novel tersebut sebagai sumber data karena penulis menemukan beberapa faktor yang menyebabkan uang berperan penting dalam pernikahan Elinor dan Marianne. Novel ini akan dianalisis dengan menggunakan teori Marxisme tentang status sosial, property, dan women as property.

Novel ini menceritakan tentang kakak beradik Dashwood yaitu Elinor dan Marianne. Masalah yang diangkat dalam novel ini berfokus pada perbedaan status sosial dan kepemilikan properti terhadap kebahagian kehidupan perempuan.

3.2 Sinopsis

Henry Dashwood mewarisi Norland Park dari seorang sepupunya yang tidak memiliki ahli waris. Henry Dashwood memiliki dua orang istri. Dari

16

almarhumah istri pertamanya, Henry memiliki satu orang anak laki-laki yang bernama John Dashwood, sedangkan dari istri keduanya, Henry memiliki tiga orang anak perempuan, yaitu Elinor, Marianne, dan Margareth.

Istri pertama Henry adalah orang kaya, maka John mewarisi kekayaan ibunya, sedangkan istri kedua Henry tidak memiliki apa-apa, sehingga sepeninggal ayahnya Norland Park pun jatuh ke tangan John. Bagi ketiga putri Dashwood, karena ibu mereka tidak memiliki apa-apa, serta hukum umum inggris yang mengatur untuk tidak memberikan hak waris terhadap anak perempuan membuat Mrs Dashwood dan ketiga putrinya terusir dari Norland Park.

Sebelum meninggal Henry telah berpesan kepada John agar berbaik hati membagi sedikit dari kekayaannya kepada ibu tiri dan ketiga saudara tirinya. Namun, karena keserakahan istri John yang bernama Fanny, John tidak memberikan sedikit harta pun untuk mereka.

Atas kebaikan seorang sepupu jauh bernama Sir John Middleton, Mrs Dashwood dan ketiga putrinya tinggal di sebuah pondok kecil di Barton. Dari pondok inilah cerita dimulai, ketika mereka menghadapi kehidupannya sebagai orang miskin dan tanpa uang. Tradisi inggris saat itu mewajibkan perempuan memberikan mas kawin kepada laki-laki. Jadi sudah dapat dibayangkan bagaimana nasib ketiga putri Mrs. Dashwood. Mereka tidak bisa menikah dengan laki-laki yang mereka cintai.

Elinor gadis yang lembut, tetapi tegas. Dia diam-diam menyukai Edward Ferrars, Kakak Fanny, istri John. Elinor sudah tahu bahwa hubungan mereka tidak mungkin terjadi. Edward sangat tampan, selain itu Mrs. Ferrars yang merupakan

ibunya Edward sangat selektif dalam memilihkan pasangan untuk anak-anaknya. Dia menginginkan Edward menikah dengan perempuan yang kaya dan mempunyai status sosial.

Berbeda dengan Elinor, Marianne adalah gadis lincah, ceria, dan menarik. Kolonel Brandon adalah seorang pemuda berusia 35 tahun. Brandon sangat kaya raya dan dia sangat mencintai Marianne. Namun, Marianne justru lebih mencintai Willoughby. Willoughby adalah seorang pemuda miskin yang suka menyakiti hati perempuan. Willoughby meninggalkan Marianne untuk menikahi seorang perempuan kaya bernama Miss Grey. Marianne sangat sedih ditinggalkan oleh Willoughby. Daya tarik Willoughby membuat Marianne dibutakan terhadap kenyataan bahwa Kolonel Brandon begitu baik dan selalu setia menunggu balasan cinta dari Marianne.

3.3 Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif. Metode kualitatif adalah:

“a qualitative research is defined as an inquiry process of understanding a social or human problem, based on building a complex, holistic picture, formed with words, reporting detailed views of informants, and conducted in a natural setting (Cresswell;2002:5)

Metode ini digunakan dalam menganalisa data yang telah terkumpul, karena metode ini dapat menggambarkan kehidupan sosial yang sesuai dengan topik yang diangkat.

18

3.3.1 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah teknik kepustakaan. Teknik kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data yang diperoleh dari sumber berupa buku, artikel, internet, maupun catatan selama perkuliahan yang berkaitan dengan topik yang dibahas dalam penelitian.

Dalam penelitian ini, penulis memiliki beberapa langkah untuk mengumpulkan data, diantaranya:

1. Membaca Novel

Novel yang dipilih adalah novel karya Jane Austen yang berjudul Sense and Sensibility. Novel tersebut dibaca berulang-ulang dan dipahami secara mendalam, agar dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan dua karakter utama perempuan tidak bisa menikah

2. Mencari Data

Setelah membaca berulang-ulang dan memahami isi novel tersebut, maka dilakukan pencarian data-data yang berhubungan dengan rumusan masalah dan topik yang diangkat.

3. Menglasifikasi Data

Dalam tahap ini, data-data yang telah terkumpul kemudian dipilih berdasarkan klasifikasinya.

4. Menganalisis Data

Tahap akhir dalam proses ini adalah menganalisis semua data-data yang telah diklasifikasikan sebelumnya, serta menerapkan teori-teori yang digunakan dalam menganalisis data-data tersebut.

3.3.2 Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, diantaranya status sosial, properti, dan women as property. Data-data yang telah terkumpul dianalisis secara terpisah menggunakan teori-teori Marxisme yaitu status sosial, properti, dan women as properti. Data klasifikasi pertama yang menunjukkan status sosial dua karakter utama perempuan. data klasifikasi kedua menunjukan tentang properti atau kekayaan yang dimiliki oleh dua karakter utama. Data klasifikasi ketiga menunjukan perempuan yang tidak mempunyai uang hanya dianggap sebagai poperti.

20 BAB IV PEMBAHASAN

Pada bab ini akan dibahas faktor-faktor yang menyebabkan uang berperan penting dalam pernikahan Elinor dan Marianne dan telah mempengaruhi pernikahan keduanya. Faktor-faktor ini akan diklasifikasikan ke dalam dua kategori, yaitu status sosial dan properti yang akan menyebabkan women as property. Status sosial dan properti mempengaruhi kehidupan perempuan, sehingga perempuan hanya dianggap sebagai properti yang hanya diam di rumah, tidak bekerja dan mematuhi perkataan suaminya.

4.1 Status Sosial

Dalam proses hubungan sosial secara umum status sosial merupakan sesuatu yang sangat penting tergantung pada dimensi budaya, ekonomi, dan politik yang diatur oleh masyarakat untuk menentukan ukuran status sosialnya. Secara sosiologis, status sosial merupakan satu bentuk pengelompokan orang-orang ke dalam lapisan-lapisan berdasarkan dimensi tersebut. Dengan demikian, status sosial memiliki peran dalam hubungan seseorang dan mempengaruhi kehidupan pribadi seperti dalam pernikahan.

Fenomena yang terjadi dan terkait dengan masalah di atas dialami oleh Elinor dan Marianne. Mereka menyadari posisinya sebagai orang miskin, sehingga memiliki keterbatasan untuk mendapatkan laki-laki yang dicintainya. Sebagai perempuan, jalan satu-satunya agar mereka terbebas dari kemiskinan

adalah menikahi laki-laki kaya untuk mendapatkan status sosial dan kebahagiaan. Status sosial merupakan salah satu faktor yang berperan penting kehidupan Elinor dan Marianne. Seperti yang tergambar pada novel Sense and Sensibility. Dalam novel ini, Elinor dan Marianne tidak mempunyai uang untuk menikah, sehingga mereka diharuskan menikahi laki-laki kaya supaya mereka dapat keluar dari kemiskinan.

Elinor dan Marianne adalah kakak beradik Dashwood yang tinggal di Southwest Inggris, tepatnya di Sussex. Mereka tinggal dikawasan elit, tepatnya di Norland Park. Masyarakat di sekitar Norland Park sangat menghormati keluarga Dashwood karena keluarga Dashwood merupakan tuan tanah yang kaya raya. Berikut adalah kondisi Norland Park yang digambarkan pada saat itu:

“The family of Dashwood had long been settled in Sussex. Their estate was large, and their residence was at Norland Park, in the centre of their property, where, for many generations, they had lived in so respectable a manner as to engage the general good opinion of their surrounding acquaintance.”(Austen, 1992: 1)

Kutipan di atas menunjukkan bahwa Sussex adalah latar yang digunakan dalam novel Sense and Sensibility. Berdasarkan kutipan itu, keluarga Dashwood tinggal di kawasan elit, di Norland Park karena Henry Dashwood, ayah Elinor dan Marianne mempunyai perkebunan yang sangat luas. Kekayaan dan nama yang dimiliki ayah Elinor dan Marianne membuat mereka tergolong ke dalam kelas atas. Henry Dashwood memiliki sepupu laki-laki yang tidak mempunyai ahli waris untuk mewariskan seluruh kekayaannya, sehingga dia mewariskan Norland Park kepada Henry Dashwood(Austen, 1992: 1).

22

Henry Dashwood memiliki dua orang istri. Dari almarhum istri pertamanya, Henry memiliki satu orang putra yaitu John Dashwood. Sementara itu dari istri keduanya Henry memiliki tiga orang anak, yaitu Elinor, Marianne, dan Margareth. Istri pertama Henry adalah seorang perempuan kaya, sehingga John sebagai anak tunggal mewarisi kekayaan ibunya dan kekayaan ayahnya. Hal ini menyebabkan Norland Park dan semua harta warisan menjadi milik John. Bagi ketiga saudara tirinya, karena ibu mereka tidak memiliki apa-apa serta hukum umum Inggris yang mengatur untuk tidak memberikan hak waris terhadap anak perempuan, membuat Elinor, Marianne, Margareth, serta ibunya meninggalkan Norland Park.

Kejatuhan Elinor dan Marriane dimulai sejak itu, sehingga mereka harus tinggal di sebuah pondok kecil yang sangat jauh dari Norland Park. Mereka menghadapi kehidupannyatanpa uang. Kemiskinan yang terjadi secara tiba-tiba menyebabkan status sosial mereka seketika berubah menjadi kelas bawah. Hal ini pula yang menyebabkanElinor dan Marriane tidak bisa menikah dengan laki-laki yang mereka cintai. Elinor diam-diam menyukai Edward, adik ipar dari John Dashwood. Dia seorang pribadi yang sederhana, cerdas tapi pendiam. Edward juga menyadari bahwa mereka tidak mungkin bersama karena status sosial yang berbeda.

Ketika tinggal di Norland Park, ketiga saudara Dashwood dan ibunya mendapatkan kehidupan yang layak dan mencukupi. Tetapi, sepeninggal Henry Dashwood, keadaan itu berbalik menjadi tidak layak. Terlebih lagi dengan kedatangan istri John yang bernama Fanny yang sangat serakah dan angkuh.

Setelah Norland Park jatuh ketangan John, Edward pun ikut tinggal bersama kakaknya, Fanny, di Norland Park. Pada awalnya Edward dan Elinor tinggal bersama-sama di sana, dan membuat mereka saling jatuh cinta. Mrs Ferrars, yang tidak lain adalah ibu dari Fanny dan Edward, tidak menyetujui hubungan mereka karena status sosial Elinor dan Edward berbeda. Mengetahui perbedaan status tersebut, Elinor, Marianne, Margaret, dan Mrs. Dashwood meninggalkan Norland Park dan tinggal di sebuah pondok kecil.

"It is but a cottage," she continued, "but I hopeto see many of my friends in it. A room or two caneasily be added; and if my friends find no difficultyin travelling so far to see me, I am sure I will findnone in accommodating them." (Austen, 1992: 18)

Meskipun mereka tinggal di sebuah pondok kecil, tapi mereka berharap teman-temannya masih bisa mengunjungi mereka di Barton. Mereka juga masih berharap kalau teman-temannya tidak berubah terhadap mereka. Elinor dan Marianne masih menginginkan kondisi dan situasi yang sama ketika di Norland Park. Mereka juga berharap bisa menambahkan dua ruangan lagi untuk teman-temannya ketika mengunjungi mereka di Barton, sehingga teman-teman-temannya bisa dengan leluasa menginap di sana. Mereka dulu dapat bebas bermain dengan teman-temannya ataupun sekedar mengadakan pesta. Akan tetapi hal itu menjadi mustahil untuk dilakukan sebab status sosial mereka telah berubah.

Terjadinya perubahan status sosial bagi mereka, membuat mereka tidak bisa menikah dengan laki-laki yang mereka cintai. Mrs. Ferrars menginginkan agar kedua anaknya mendapat penghidupan yang baik, oleh karena itu dia berusaha keras dalam memilihkan jodoh bagi Edward putra tertuanya tersebut. Dia menginginkan anak-anaknya menikah dengan orang yang status sosialnya

24

tinggi dan sebagai akibatnya dia sangat selektif dalam memilihkan pasangan untuk anak-anaknya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi hubungan Elinor dan Edward.

“As a house, Barton Cottage, though small, was comfortable and compact; but as a cottage it was defective, for the building was regular, the roof was tiled, the window shutters were not painted green, nor were the walls covered with honeysuckles. A narrow passage led directly through the house into the garden behind. On each side of the entrance was a sitting room, about sixteen feet square; and beyond them were the offices and the stairs. Four bed-rooms and two garrets formed the rest of the house. It had not been built many years and was in good repair. In comparison of Norland, it was poor and small indeed!”(Austen, 1992: 20)

Data di atas, menunjukkan perbedaan yang terjadi antara Norland Park dan Barton. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Elinor, Marianne, Margaret, serta ibunya meninggalkan Norland Park dan tinggal disebuah pondok kecil. Pondok itu memiliki sebuah lorong yang sempit yang dipergunakan untuk jalan ke kebun belakang. Meski bangunan ini telah dibangun bertahun-tahun lamanya, tetapi pondok ini masih terlihat lebih baik dan nyaman daripada Elinor dan Marianne harus tinggal di jalanan. Tentunya, kondisi yang mereka jalani sekarang ini berbeda dengan keadaan mereka di Norland Park.Perubahan status sosial yang dialami oleh Elinor dan Marianne berdampak pada kehidupan mereka. Mereka harus hidup serba kekurangan. Mereka pun benar-benar telah kehilangan semua yang pernah mereka miliki termasuk kehilangan uang dan status sosial.

Hal ini menjadi penentu dalam kebahagiaan kehidupan Elinor dan Marianne. Mereka benar-benar sudah tidak mempunyai apa-apa, bahkan mereka pun telah kehilangan cinta. Elinor yang harus kehilangan Edward merupakan pengaruh dari ketidaksetujuan Mrs. ferrars. Oleh karena itu, terjadi penolakan oleh

Mrs. Ferrars terhadap Elinor. Keluarga Mrs. Ferrars benar-benar tidak menyetujui hubungan Elinor dan Marianne. Ketidaksetujuan keluarga Ferrars, terlihat jelas pada kutipan dibawah ini:

“He is very far from being independent. What his mother really is we cannot know; but, from Fanny's occasional mention of her conduct and opinions, we have never been disposed to think her amiable; and

Dokumen terkait