• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Stigma dan Diskriminasi ODHA

Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut Castro dan Farmer (2005) dalam kajian literatur Tri Paryati dkk, stigma ini dapat mendorong seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia layanan kesehatan, teman sekerja, para teman dan keluarga. Stigma membuat pembatasan pada pendidikan, pekerjaan, perumahan dan perawatan kesehatan.Stigma dapat dialami sebagai rasa malu atau bersalah, atau secara luas dapat dinyatakan sebagai diskriminasi. Hal ini dapat menyebabkan penurunan percaya diri, kehilangan motivasi, penarikan diri dari kehidupan sosial, menghindari pekerjaan, interaksi dalam kesehatan dan kehilangan perencanaan masa depan (UNAIDS, 2013). Salah satu pesan hari AIDS sedunia pada

1 Desember 2013 adalah melawan stigma. Stigma terhadap ODHA akan membuat mereka merasa tidak nyaman dan akibatnya mereka akan menjauh dari layanan kesehatan dan jika mereka menjauh dari layanan dan menjadi komunitas tertutup maka akan sulit menerapkan program pencegahan penularan HIV kepada masyarakat luas (Bangbuday, 2011).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diskriminasi adalah pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dsb). Menurut UNAIDS (2013), diskriminasi terhadap penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan perlakuan yang tidak adil terhadap individu karena status HIV mereka, baik itu status sebenarnya maupun hanya persepsi saja. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menekankan agar masyarakat Internasional agar bekerja lebih keras mengakhiri stigma dan diskriminasi untuk menghentikan infeksi HIV baru dikalangan anak-anak, dan untuk menjamin akses keperawatan dan pengobatan bagi semua orang yang membutuhkan. Badan PBB dalam UNAIDS dengan tegas mengatakan bahwa menghapus stigma dan diskriminasi mutlak diperlukan untuk mengakhiri epidemi HIV (Redaksi editorial satuharapan, 2013).

1.

Menurut Herek and Capitanio (1999) dalam Siregar N (2012) stigma ODHA lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:

Stigma Instrumental ODHA yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal yang berhubungan dengan penyakit mematikan dan menular.

2.

3.

Stigma Simbolis ODHA yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap berhubungan dengan penyakit tersebut.

Stigma Kesopanan ODHA yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan dengan issu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.

1.

Menurut Leslie Butt (2010) yang dikutip oleh Siregar N (2012) dari hasil penelitian mereka di pegunungan Papua dengan 28 responden dari latar belakang yang beragam, para responden mengungkapkan mereka mengalami stigma dari berbagai sumber diantaranya:

2.

Pengungkapan status mereka tanpa sepengetahuan mereka oleh orang-orang lain

3.

Pengungkapan status mereka secara sukarela oleh orang-orang lain

4.

Pengungkapan status mereka oleh seseorang yang berpengaruh seperti pemimpin gereja atau petugas kesehatan

5.

Pengungkapan status mereka oleh orang tua

6.

Kesalahan dalam penyediaan layanan kesehatan

7.

Kurangnya akses ke obat-obatan ARV atau akses yang diketahui orang lain

8.

Kurangnya pengetahuan tentang HIV, transmisi dan ARV

9.

Diskriminasi oleh kerabat jauh dan masyarakat

Pemahaman-pemahaman budaya dan praktek-praktek seputar penyakit keras 10. Nilai-nilai budaya yang berkenaan dengan kematian dan menjelang

a. b.

Nilai-nilai budaya tentang pengasingan

c.

Kondisi-kondisi politik yang menyebabkan rasisme

d.

Tak adanya atau kurangnya layanan kesehatan

e.

Penundaan dalam penyediaan berbagai layanan dasar Stigmatisasi diri

1.

Berikut beberapa issu mengenai stigma ODHA menurut kesehatan reproduksi dalam Siregar (2012):

Dukungan Bagi ODHA dan Keluarga

2.

ODHA mengalami proses berduka dalam kehidupannya, sebuah proses yang seharusnya mendorong pada penerimaan terhadap kondisi mereka. Namun, masyarakat dan lembaga terkadang memberikan opini negatif serta memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai warga masyarakat kelas dua. Hal ini menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA.

Tempat Layanan Kesehatan

Sering terjadi, lembaga yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan, pada kenyataannya merupakan tempat pertama orang mengalami stigma dan diskriminasi. Misalnya, memberikan mutu perawatan medis yang kurang baik, menolak memberikan pengobatan, seringkali sebagai akibat rasa takut tertular yang salah kaprah. Contoh dari stigma dan diskriminasi yang dihadapi ini adalah: alasan dan penjelasan kenapa seseorang tidak diterima di rumah sakit (tanpa didaftar berarti secara langsung telah ditolak), isolasi, pemberian label nama atau metode lain yang mengidentifikasikan seseorang sebagai HIV positif, pelanggaran

kerahasiaan, perlakuan yang negatif dari staf, penggunaan kata-kata dan bahasa tubuh yang negatif oleh pekerja kesehatan, juga akses yang terbatas untuk fasilitas- fasilitas rumah sakit.

3.

4.

Akses untuk Perawatan ODHA seringkali tidak menerima akses yang sama seperti masyarakat umum dan kebanyakan dari mereka juga tidak mempunyai akses untuk pengobatan ARV mengingat tingginya harga obat-obatan dan kurangnya infrastruktur medis di banyak negara berkembang untuk memberikan perawatan medis yang berkualitas.Bahkan ketika pengobatan ARV tersedia, beberapa kelompok mungkin tidak bisa mengaksesnya, misalnya karena persyaratan tentang kemampuan mereka untuk mengkonsumsi sebuah zat obat, yang mungkin terjadi pada kelompok pengguna narkoba suntikan.

Pendidikan

5.

Hak untuk mendapat pendidikan bagi ODHA dan kelompok lain yang rentan terkadang diremehkan melalui penolakan untuk memasukkan murid ke sekolah dan universitas, penolakan untuk mengakses fasilitas sekolah, perlakuan yang negatif dari teman sebaya dan lainnya di lingkungan sekolah, pengucilan di kelas, dan tidak adanya keinginan untuk mengajak siswa mengikuti pemeriksaan kesehatan, dll. Lebih jauh lagi, cara mengajar tanpa diskriminasi HIV/AIDS seringkali tidak masuk dalam kurikulum.

Sistem Peradilan

Perilaku negatif atau prasangka terhadap ODHA dapat direfleksikan dengan penolakan atau akses yang lebih sedikit untuk sistem peradilan dan penilaian

menyangkut issu-issu seperti kerahasiaan status HIV dan perlindungan dalam kasus perkosaan/penganiayaan. Sistem peradilan juga dapat meningkatkan stigmatisasi, misalnya ketika kelompok yang rentan, misalnya pekerja seks dan pengguna narkoba, dianggap bersalah ketimbang diberi dukungan untuk mencegah penularan HIV.

6.Politik

7.

Kalangan eksekutif yang tidak berbuat apa-apa di bidang HIV/AIDS dapat melegitimasi stigma dan diskriminasi, khususnya ketika sikap diskriminasi ditujukan kepada ODHA dan orang-orang di sekitarnya, ODHA atau kelompok marjinal lainnya diabaikan dalam proses penegakan hukum, dan mereka yang melakukan diskriminasi dibiarkan saja.

Organisasi Kepercayan

8.

Pada beberapa kejadian, organisasi kepercayaan turut memberikan prasangka buruk terhadap ODHA dan keluarganya. Ini secara khusus terlihat lewat perlakuan terhadap issu seksualitas, seks dan penggunaan narkoba, penggunaan alat kontrasepsi, pasangan seksual lebih dari satu, dan adanya kepercayaan bahwa HIV/AIDS adalah merupakan kutukan dari Tuhan.

Media

Beberapa jurnalis tidak mempunyai pengetahuan yang cukup atau informasi dasar ketika memberitakan situasi yang menyangkut kelompok rentan dan ODHA. Kesalahan informasi bisa mendorong adanya komentar yang tidak pantas, penggunaan istilah yang negatif, sensasionalisasi pelanggaran kerahasiaan dan

terus berlangsungnya perlakuan negatif terhadap ODHA dan mereka yang terkena dampaknya, seperti juga terhadap kelompok yang rentan.

9.Tempat Kerja

Semakin banyak masyarakat yang sadar dan peduli akan HIV dan AIDS maka AIDS akan bisa dihentikan melalui penghapusan stigma dan menghentikan diskriminasi dengan memulainya dari diri kita sendiri. Beberapa tindakan keluarga dan masyarakat yang diharapkan dalam membantu dan mendukung ODHA misalnya:

Kemampuan untuk membiayai hidup dan untuk dipekerjakan adalah merupakan hak dasar manusia. Issu-issu yang berhubungan dengan HIV/AIDS menyangkut pengangkatan dan pemecatan, keamanan karyawan, pemecatan yang tidak adil, asuransi kesehatan, absen dari kerja untuk tujuan kesehatan, alokasi kerja, lingkungan yang aman, gaji dan tunjangan, perlakuan atasan dan rekan kerja, skining HIV untuk semua karyawan, promosi dan pelatihan. Seringkali pemikiran di balik isu-isu terkait ini adalah adanya kepercayaan bahwa tidak ada gunanya menginvestasi uang pada seseorang yang akhirnya toh akan meninggal. Tidak adanya kebijakan perekrutan adalah kondisi rumit yang seringkali terabaikan.

1. Family Concept, artinya lingkungan rumah atau suasana rumah diciptakan agar pengidap HIV seperti merasa benar-benar berada di rumah, misalnya mendapat kasih sayang, dan rasa bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

2. Role Model, adalah menggunakan orang yang pernah mengalami kejadian yang serupa dengan pengidap HIV untuk menceritakan apa yang harus dikerjakan di masa datang.

3. Positive Peer Pressure, adalah saling bertukar pikiran dalam satu kelompok agar saling menilai dan memotivasi diri, contohnya tidak kembali kepada ketergantungan terhadap narkotika.

4. Theurapeutic Session, yaitu konsultasi, penyuluhan dan terapi .

5. Moral and Religius Session, yaitu mensyukuri anugerah Tuhan yang masih menyayangi dengan memberikan ujian yang berat, agar lebih bisa mendekatkan diri dengan-Nya.

Dengan memberikan perhatian terhadap ODHA, jangan pernah mengucilkan ODHA dan ikut menyertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, dengan begitu akan menambah semangat mereka untuk hidup dengan lebih baik. Contoh- contoh kegiatan yang dapat dilakukan yaitu penyuluhan-penyuluhan kesehatan (dalam kesempatan tersebut, ODHA diharapkan dapat menceritakan kisah mereka di masa lalu dan mengingatkan bahaya AIDS supaya masyarakat tidak mengikuti jejak yang telah mereka tempuh) (Mariani, 2013).

2.5. Moderamen GBKP

Dokumen terkait