PERILAKU ORANG DENGAN HIV AIDS (ODHA), STIGMA DAN DISKRIMINASI DI RUMAH SINGGAH MODERAMEN GBKP
KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO TAHUN 2014
TESIS
Oleh
DEWI SARTIKA MUNTHE 127032114/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N
PERILAKU ORANG DENGAN HIV AIDS (ODHA), STIGMA DAN DISKRIMINASI DI RUMAH SINGGAH MODERAMEN GBKP
KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO TAHUN 2014
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
DEWI SARTIKA MUNTHE 127032114/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Tesis : PERILAKU ORANG DENGAN HIV AIDS (ODHA), STIGMA DAN DISKRIMINASI DI RUMAH SINGGAH MODERAMEN GBKP KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO TAHUN 2014
Nama Mahasiswa : Dewi Sartika Munthe Nomor Induk Mahasiswa : 127032114
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Ketua
) (Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes Anggota
)
Dekan
(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)
Telah diuji
Pada Tanggal : 27 Agustus 2014
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes
PERNYATAAN
PERILAKU ORANG DENGAN HIV AIDS (ODHA), STIGMA DAN DISKRIMINASI DI RUMAH SINGGAH MODERAMEN GBKP
KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO TAHUN 2014
TESIS
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Medan, Oktober 2014
ABSTRAK
Orang yang positif terinfeksi HIV AIDS disebut dengan Orang dengan HIV AIDS atau ODHA. ODHA mengetahui bahwa penyakit yang mereka alami adalah penyakit yang mematikan dan belum ada obatnya, hal ini meyebabkan rasa sedih, putus asa dan ingin mengakhiri hidup.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), stigma dan diskriminasi di Rumah Singgah Moderamen GBKP Berastagi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitiatif dengan cara wawancara mendalam dan observasi. Informan pada penelitian ini adalah ODHA yang berjumlah 7 orang sebagai informan utama dan 2 orang staf Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP sebagai informan pendukung.
Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan informan utama (ODHA) menyatakan bahwa HIV AIDS adalah penyakit yang mematikan dan dapat ditularkan kepada orang lain. Informan utama mengetahui gejala terinfeksi HIV berdasarkan dari apa yang mereka alami. Terdapat stigma dan diskriminasi yang dialami informan utama (ODHA) seperti ditolak dalam keluarga, dijauhin, dianggap menjijikkan, dan dipecat dalam pekerjaan. Ada beberapa hal yang dilakukan ODHA untuk mendapat kesembuhan yaitu: patuh minum obat ARV, menjaga kesehatan dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang dianggap dapat menaikkan CD4, mencari tempat dan komunitas yang dapat menerima dan mendukung kesembuhan mereka , melakukan aktivitas yang bermakna dan punya harapan akan masa depan.
Disarankan kepada Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan lembaga sosial Masyarakat (LSM) lainnya untuk terus melakukan sosialisasi, edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang pencegahan dan penularan HIV AIDS.
ABSTRACT
People who are positive HIV AIDS are called People Living with HIV AIDS (PLWHA). PLWHA know that their illness is deadly and no medicine can heal it, this condition has made them sad, desperate and willing to comit suicide.
This objective of the research was to find out the behavior of people living with HIV AIDS (PLWHA), stigma and discrimination at Moderamen GBKP Shelter Home Berastagi. The research used Qualitative approach by conducting indepth interviews and observations. The main informant were 7 people of PLWHA and 2 staffs of the HIV AIDS Commission and drug GBKP as supporting informants.
The results of the research showed that all informant stated that HIV AIDS AIDS was a deadly disease and could be transmitted to others. The main informants know the symptoms of HIV infection based on what they experience. There are stigma and discrimination experienced by main informants (PLWHA) as rejected in the family, avoided, considered disgusting, and fired in a job. There are a few things that made main informants (PLWHA) to receive healing, namely: ARV adherence, maintaining health by consuming foods and beverages that are considered to increase CD4, looking for a place and community that can accept and support their healing, meaningful activities and have hope for the future.
It is recommended to the National AIDS Commission (KPA) and others Non Government Organizations (NGOs) to continue the program, education and outreach to the community about prevention and the transmission of HIV AIDS
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat
dan anugrahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Perilaku
Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), Stigma dan Diskriminasi Di Rumah Singgah
Moderamen GBKP Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2014”. Tesis ini
dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2
Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan, dorongan, dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada:
1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan kepada penulis
untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara
2. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara
3. Dr. Drs. R Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku Ketua Pembimbing I yang telah
memberi waktu, dan arahan dalam membimbing penulis selama penyusunan
4. Drs. Alam Bakti Keloko M.Kes, selaku pembimbing II yang telah memberikan
waktu untuk berdiskusi, motivasi dan arahan dalam penyusuna tesis ini
5. Drs. Eddy Syahrial, M.S, selaku penguji I yang telah memberikan waktu dan
kritikan yang berguna untuk kesempurnaan tesis ini
6. Dra. Lina Tarigan, Apt, M.S, selaku penguji II yang telah memberikan waktu
dan kritikan serta masukan yang berguna untuk kesempurnaan tesis ini
7. Para Dosen yang telah membimbing selama bernaung di bawah bendera Ilmu
Kesehatan Masyarakat FKM-USU, para staff TU, perpustakaan, maupun
karyawan atas bantuan selama hampir 2 tahun mengenyam pendidikan di
kampus tercinta.
8. Pt. Tuah B. Barus selaku ketua Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP yang
memberikan ijin penelitian di Rumah Singgah Moderamen GBKP.
9. Pdt Monalisa Ginting selaku sekretaris Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP
dan Drs. Prisma Tarigan (bang Primus) yang menjadi sumber informasi dan
informan pendukung dalam penyusunan tesis ini, terimakasih buat waktu dan
arahan yang diberikan kepada penulis.
10. Dewita Sembiring sebagai sahabat penulis yang setia membantu penulis selama
penyusunan tesis dan seluruh ODHA yang ada di Rumah Singgah Moderamen
GBKP yang telah bersedia menjadi informan dalam penyususan tesis ini.
10. Orang tua penulis P Munthe dan S Sihombing dan seluruh keluarga tercinta
yang selalu memberi semangat, motivasi dan dukungan materil dalam
11. Teman-teman di PKIP’ 12 dan terkhusus buat Mastiur Sihombing, Lidya
Sinuhaji, Eka sihombing, Veronika, Masdelila dan Zuhrina serta teman teman
di Yayasan Pincala yang selalu mendukung dan memberikan motivasi selama
proses penyusunan tesis ini.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyususan tesis
ini, maka penulis mengharap kritik dan saran yang membangun untuk melengkapi
tesis ini.
Medan, Oktober 2014
RIWAYAT HIDUP
Dewi Sartika Munthe lahir pada tanggal 7 Desember 1981 di Sidikalang
Kabupaten Dairi. Anak ke enam dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak P.
Munthe dan Ibu U Sihombing. Dewi Sartika Munthe tinggal di Jalan Kemiri Ujung
No 2 Sukadono Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang.
Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar di SD Negeri 060871 Medan,
selesai tahun 1994, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 10 Medan, selesai
tahun 1997, dan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 3 Medan, selesai tahun
2000. Menempuh pendidikan S1 Kesehatan Masyarakat pemintan Kesehatan
Lingkungan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, selesai
tahun 2004 dan pada tahun 2012 melanjutkan pendidikan pada program studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat minat studi Promosi kesehatan dan Ilmu perilaku (PKIP)
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sampai sekarang.
Pengalama kerja penulis sebagai Medical Representatif di PT Nufarindo tahun
2005 sampai dengan tahun 2006 dan sebagai tenaga pengajar di i-Homeschooling dari
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
3.1 Karakteristik Informan Utama ... 54
3.2 Karakteristik Informan Pendukung ... 54
4.1 Jawaban Informan tentang HIV AIDS ... 71
4.2 Jawaban Informan tentang Gejala Terinfeksi HIV ... 73
4.3 Jawaban Informan tentang Penularan HIV AIDS ... 74
4.4 Jawaban Informan Ketika Dinyatakan Positif HIV ... 76
4.6 Jawaban Informan tentang Minum Obat ARV ... 81
4.7 Jawaban Informan tentang Alasan Informan Tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP ... 82
4.10 Jawaban Informan tentang Upaya Menjaga Kesehatan ... 85
4.11 Jawaban Informan tentang Aktivitas di Rumah Singgah Moderamen GBKP ... 86
4.12 Jawaban Informan tentang Harapan Akan Masa Depan ... 90
4.8 Jawaban Informan tentang Stigma dan Diskriminasi yang Dialami ... 91
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman 2.1. Skema Teori Perilaku S-O-R ... 10
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Pedoman Wawancara ... 133
2. Surat Ijin Penelitian ... 136
3. Surat Balasan Selesai Penelitian ... 137
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... vi
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR LAMPIRAN ... ix
DAFTAR ISI ... x
BAB 1. PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 1
1.2. PerumusanMasalah ... 7
1.3. Tujuan Penelitian ... 7
1.4. Manfaat Penelitian ... 8
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9
2.1. Perilaku ... 9
2.1.1. Pengetahuan ... 11
2.1.2. Sikap ... 15
2.1.3. Tindakan ... 17
2.2. Teori Perubahan Perilaku ... 18
2.3. HIV/AIDS dan ODHA ... 22
2.3.1. Pengertian HIV dan AIDS ... 22
2.3.2. Pengertian ODHA ... 24
2.3.3. Epidemiologi ... 24
2.3.4. Penularan HIV/AIDS ... 25
2.3.5. Aspek Gejala Klinis ... 29
2.3.6. Pencegahan HIV/AIDS ... 32
2.3.7. Pengobatan ... 33
2.4. Stigma dan Diskriminasi ODHA ... 35
2.5. Moderamen GBKP ... 42
2.5.1. Pengertian Moderamen ... 42
2.5.2. GBKP (Gereja Batak Karo Protestan)... 42
2.5.3. Sejarah Terbentuknya Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP 43 2.5.4. Visi Misi Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP ... 46
2.5.5. Program Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP ... 46
2.5.6. Kepengurusan Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP ... 47
2.7. Landasan Teori ... 50
2.8. Kerangka Pikir ... 52
BAB 3. METODE PENELITIAN ... 52
3.1. Jenis Penelitian ... 52
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54
3.3. Informan ... 54
3.4. Metode Pengumpulan Data ... 55
3.5. Metode Analisis Data ... 56
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57
4.1. Gambaran Rumah Singgah Moderamen GBKP ... 57
4.2. Hasil Penelitian ... 59
4.2.1. Profil Informan 1 ... 62
4.2.2. Profil Informan 2 ... 63
4.2.3. Profil Informan 3 ... 65
4.2.4. Profil Informan 4 ... 66
4.2.5. Profil Informan 5 ... 67
4.2.6. Profil Informan 6 ... 69
4.2.7. Profil Informan 7 ... 70
4.3. Pengetahuan Informan ... 71
4.3.1. Pengetahuan Informan tentang HIV AIDS ... 71
4.3.2. Pengetahuan Informan tentang Gejala Terinfeksi HIV ... 73
4.3.3. Pengetahuan Informan tentang Penularan HIV AIDS ... 74
4.4. Sikap Informan Ketika Dinyatakan Positif HIV ... 76
4.5. Kepatuhan Informan Minum Obat ARV ... 81
4.6. Alasan Informan Tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP 82 4.7. Upaya Informan Menjaga Kesehatan ... 85
4.8. Aktivitas Informan di Rumah Singgah Moderamen GBKP ... 86
4.9. Harapan Informan Akan Masa Depan... 90
4.10. Stigma dan Diskriminasi yang Dialami Informan ... 91
4.10.1. Bentuk Stigma dan Diskriminasi yang Dialami Informan 91 4.10.2. Sikap Informan terhadap Stigma dan Diskriminasi ... 93
BAB 5. PEMBAHASAN ... 96
5.1. Pengetahuan Informan tentang HIV AIDS ... 96
5.2. Sikap Informan Ketika Dinyatakan Positif HIV ... 102
5.3. Tindakan Informan (ODHA) Setelah Dinyatakan Positif HIV ... 103
5.3.1. Kepatuhan Informan Minum Obat ARV ... 103
5.3.2. Upaya Informan Menjaga Kesehatan ... 106
5.3.4. Memiliki Aktivitas yang Bermakna dan Harapan
Akan Masa Depan ... 112
5.4. Stigma dan Diskriminasi yang Dialami Informan ... 115
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 123
6.1. Kesimpulan ... 123
6.2. Saran ... 126
ABSTRAK
Orang yang positif terinfeksi HIV AIDS disebut dengan Orang dengan HIV AIDS atau ODHA. ODHA mengetahui bahwa penyakit yang mereka alami adalah penyakit yang mematikan dan belum ada obatnya, hal ini meyebabkan rasa sedih, putus asa dan ingin mengakhiri hidup.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), stigma dan diskriminasi di Rumah Singgah Moderamen GBKP Berastagi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitiatif dengan cara wawancara mendalam dan observasi. Informan pada penelitian ini adalah ODHA yang berjumlah 7 orang sebagai informan utama dan 2 orang staf Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP sebagai informan pendukung.
Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan informan utama (ODHA) menyatakan bahwa HIV AIDS adalah penyakit yang mematikan dan dapat ditularkan kepada orang lain. Informan utama mengetahui gejala terinfeksi HIV berdasarkan dari apa yang mereka alami. Terdapat stigma dan diskriminasi yang dialami informan utama (ODHA) seperti ditolak dalam keluarga, dijauhin, dianggap menjijikkan, dan dipecat dalam pekerjaan. Ada beberapa hal yang dilakukan ODHA untuk mendapat kesembuhan yaitu: patuh minum obat ARV, menjaga kesehatan dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang dianggap dapat menaikkan CD4, mencari tempat dan komunitas yang dapat menerima dan mendukung kesembuhan mereka , melakukan aktivitas yang bermakna dan punya harapan akan masa depan.
Disarankan kepada Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan lembaga sosial Masyarakat (LSM) lainnya untuk terus melakukan sosialisasi, edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang pencegahan dan penularan HIV AIDS.
ABSTRACT
People who are positive HIV AIDS are called People Living with HIV AIDS (PLWHA). PLWHA know that their illness is deadly and no medicine can heal it, this condition has made them sad, desperate and willing to comit suicide.
This objective of the research was to find out the behavior of people living with HIV AIDS (PLWHA), stigma and discrimination at Moderamen GBKP Shelter Home Berastagi. The research used Qualitative approach by conducting indepth interviews and observations. The main informant were 7 people of PLWHA and 2 staffs of the HIV AIDS Commission and drug GBKP as supporting informants.
The results of the research showed that all informant stated that HIV AIDS AIDS was a deadly disease and could be transmitted to others. The main informants know the symptoms of HIV infection based on what they experience. There are stigma and discrimination experienced by main informants (PLWHA) as rejected in the family, avoided, considered disgusting, and fired in a job. There are a few things that made main informants (PLWHA) to receive healing, namely: ARV adherence, maintaining health by consuming foods and beverages that are considered to increase CD4, looking for a place and community that can accept and support their healing, meaningful activities and have hope for the future.
It is recommended to the National AIDS Commission (KPA) and others Non Government Organizations (NGOs) to continue the program, education and outreach to the community about prevention and the transmission of HIV AIDS
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981, Acquired Immune
Deficiency Syndrom (AIDS) menjadi agenda penting baik dikalangan kedokteran
maupun dikalangan politisi pengambil keputusan, pemimpin agama dan masyarakat
dunia pada umumnya (Djoerban, 2000). Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah
menjadi salah satu penyebab utama pandemik yang mengkuatirkan dan menjadi
sebuah isu yang besar dalam sejarah. Selain menjadi masalah kesehatan yang besar,
HIV tekah mengancam tatanan ekonomi dan sosial dibanyak komunitas (SDKI,
2012).
Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) atau sindrom kehilangan
kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia
sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV (Djoerban, 2000).
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan penyakit
terutama dengan merusak sisitem kekebalan tubuh. Virus ini dapat menginfeksi sel
sel manusia dengan target utamanya adalah limfosit CD4 dimana limfosit CD4 ini
bertanggungjawab untuk mengendalikan atau mencegah infeksi oleh banyak virus
yang lain, bakteri, jamur dan parasit dan juga beberapa jenis kanker (Gallant, 2010).
Menurut data UNAIDS sampai dengan tahun 2012 terdapat 35.300.000 orang
tahun berjumlah 5.400.000 orang. Diperkirakan remaja dan orang muda yang baru
terinfeksi sampai dengan tahun 2012 bekisar 780.000 orang (UNAIDS, 2013). Di
Indonesia semakin banyak ditemukan kasus HIV AIDS. Hasil laporan Ditjen PPM &
PL Kemenkes RI menyatakan jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai
dengan Maret 2014 sebanyak 134.053 kasus. Persentase HIV tertinggi dilaporkan
pada kelompok umur 25-49 tahun (72,3%) diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15%)
dan kelompok ≥ 50 tahun (5,8%) dimana rasio HIV antara laki-laki dan perempuan
adalah 1:1. Persentase faktor resiko HIV tertinggi adalah hubungan sex beresiko pada
heteroseksual (55,6%), pengguna jarum suntik tidak steril pada penasun (7%) dan
lelaki sex lelaki LSL (14,7%). Jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai
dengan Maret 2014 sebanyak 54.231 orang (KPA, 2014).
Kasus HIV/AIDS menyebar di 368 (72%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh
Provinsi di Indonesia. Kasus HIV tertinggi terdapat di DKI Jakarta,diikuti oleh Jawa
Timur, Papua, Jawa Barat dan Bali, sedangkan kasus AIDS tertinggi terdapat di
Papua, diikuti oleh Jawa Timur, Jawa Barat dan Bali (KPA, 2014).
Menurut Kadis Kesehatan Sumut, pertambahan kasus baru di Sumut cukup
tinggi. Setiap bulan, setidaknya ada 100-120 kasus baru yang ditemukan. Banyaknya
temuan ini karena sudah banyak klinik Voluntary Conseling and Testing (VCT) yang
dapat melayani masyarakat untuk konseling dan memeriksakan diri (Harian analisa,
2014). Data di Profil Sumut pada tahun 2012 menunjukkan Kota Medan sebagai kota
tertinggi pertama penderita baru HIV AIDS yaitu 506 orang dan tertinggi kedua
di Sumatera Utara sampai dengan Maret 2014 mencapai 8316 orang dan AIDS 1468
orang (KPA, 2014).
Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) adalah sebutan bagi mereka yang secara
positif didiagnosa terinfeksi HIV. Belum adanya obat untuk menyembuhkan mereka
menjadi suatu ketakutan akan ancaman kematian. Reed dalam Taylor (1999) dalam
Tuapattinaja (2004) menyatakan bahwa menghadapi kemungkinan meninggal
merupakan stressor utama bagi ODHA yang menimbulkan depresi dan reaksi
mengisolasi diri dari orang lain. Obat ARV (Anti Retro Viral) yang tersedia hanya
untuk menghambat reproduksi virus HIV. Selain ketiadaan obat yang dapat
menyembuhkan mereka, stigma dan diskriminasi di lingkungan masyarakat juga
memperberat keadaan mereka. Masih banyak ODHA yang mengalami stigma dari
lingkungannya sehingga merahasiakan status HIV mereka dari keluarga dan
lingkungannya (Haroen dkk, 2009). Perlakuan negatif dan pembatasan-pembatasan
kesempatan mulai dari pergaulan sosial, kesempatan memperoleh pendidikan dan
pekerjaan, pelayanan kesehatan, bepergian dan lain-lain dapat mempengaruhi seluruh
aspek kehidupan ODHA.
Tingginya stigma masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS menyebabkan
banyak perlakuan diskriminatif baik dalam hal pekerjaan, perawatan, pengobatan,
pendidikan maupun dalam hal lainnya (Djoerban, 2000). Hal ini sejalan dengan
penelitian Siregar (2012) di Desa Buntu Bedimbar Kecamatan Tanjung Morawa
Kabupaten Deli Serdang dimana terdapat pengaruh stigma kesopanan (tindakan)
masih ada yang beranggapan bahwa ODHA adalah orang yang harus mendapatkan
hukuman sosial sehingga harus dikeluarkan atau diusir dalam kehidupan masyarakat.
Stigma yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan diskriminasi.
Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau
lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada
prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi
para staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan
kepada ODHA, atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau
prasangka akan status HIV mereka, atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka
yang hidup dengan HIV/AIDS. Bentuk lain dari stigma berkembang melalui
internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma
dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi
yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa
mendorong terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan.
Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang
takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak, atau bisa pula
menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktek seksual yang tidak
aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka (Yusnita,
2012).
Pada tahun 2006 Kepengurusan Pusat GBKP (Gereja Batak Karo Protestan)
yang disebut Moderamen yang ada di Kabupaten Karo membentuk komisi HIV/AIDS
ada di Tanah Karo. Kegiatan yang dilakukan masih sebatas sosialisasi HIV/AIDS.
Pada tahun 2009 kegiatan komisi ini semakin bertambah yaitu adanya kegiatan
pendampingan ODHA dan kerjasama dengan RS Pusat Haji Adam Malik Medan.
Adapun yang menjadi prioritas pelayanan dalam program Komisi HIV/AIDS
dan NAPZA GBKP yaitu kegiatan pencegahan meliputi sosialisasi, edukasi dan
advokasi, kegiatan membantu/meringankan beban para ODHA/OHIDA dengan
mendirikan rumah singgah bagi ODHA. Kegiatan di Rumah Singgah Moderamen
GBKP meliputi Pastoral Counseling kepada ODHA dan OHIDA, pendampingan
dan kunjungan dokter setiap hari sabtu serta kegiatan rutin memberikan kebutuhan
beras, susu, vitamin dan obat-obatan tambahan diluar ARV. Sampai dengan akhir Juli
2013, ada 18 orang yang tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP terdiri dari
11 orang laki-laki, 5 orang perempuan dan 2 orang anak kecil (Barus, 2013).
Pada bulan November 2011, Komisi HIV/AIDS dan NAPZA GBKP memberanikan
diri mengontrak satu rumah di belakang Rumah Sakit Adam Malik untuk dijadikan
sebagai rumah singgah. Adapun tujuan awal dari rumah singgah ini adalah untuk
membantu ODHA dan keluarganya agar tidak perlu khawatir akan tempat tinggal
sementara setelah opname di rumah sakit. Pada umumnya mereka yang baru
menerima ARV akan banyak mengalami efek samping, oleh karena itu, mereka harus
tetap tinggal di sekitar Rumah Sakit Adam Malik untuk dapat berkonsultasi dengan
dokter kapan saja (Moderamen GBKP, 2014).
Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan, diketahui Rumah singgah
terus bertambah membuat Rumah Singgah Moderamen GBKP yang ada di Jalan
Petunia Raya Perumahan BS No 36 Medan tidak memadai lagi dalam menampung
ODHA sehingga berpindah ke rumah yang lebih besar yang ada di Jalan Bunga Law
Gang Bunga Law No 1 Medan. Alasan kedua perpindahan Rumah Singgah dari Jalan
Bunga Law ke Berastagi adalah penduduk sekitar Rumah Singgah Moderamen
GBKP tersebut menolak keberadaan ODHA di daerah mereka, hal ini terkait dengan
stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Padahal Rumah Singgah tersebut sangat
membantu mereka dalam akses ke Rumah Sakit Pusat Haji Adam Malik , informasi
seputar HIV AIDS, pendampingan saat berobat ke Rumah Sakit Pusat Haji Adam
Malik dan layanan konseling spiritual yang dapat memotivasi mereka untuk tetap
semangat dalam menjalani pengobatan. Mereka merasa nyaman dan mendapat
dukungan materil maupun spiritual disana. Ada kehidupan saling menguatkan dan
saling mendukung sesama ODHA, mereka saling mengingatkan dalam kedisiplinan
minum obat dan hidup sehat.
Perpindahan rumah singgah ini membuat ODHA yang ada di rumah singgah
ini mengalami masalah baru, tempat yang jauh membuat mereka kesulitan mengakses
RSP H. Adam Malik, hingga beberapa ODHA memutuskan untuk tidak ikut pindah
ke Berastagi dan kembali kerumah masing- masing. Dari cerita seorang ODHA yang
awalnya tinggal dirumah singgah tersebut menyatakan kekecewaannya ketika rumah
singgah yang ada di Jalan Bunga Law ditutup dan memutuskan kembali ke
kampungnya, ia sekarang mengalami kesulitan mengakses obat, dan merasa
mendukung kesehatannya. Dari seorang kerabat yang mengenalnya, peneliti
mendapat kabar kalau kondisinya semakin menurun setelah keluar dari rumah
singgah tersebut. Meskipun demikian, ada 10 orang yang memutuskan untuk tetap
memilih pindah ke Rumah Singgah Moderamen GBKP yang ada di Berastagi.
Mereka menyatakan kalau Rumah Singgah tersebut adalah tempat yang bisa
menerima keberadaan mereka ketika mereka ditolak oleh keluarga dan sangat
terbantu dalam pemenuhan kebutuhan makanan, nutrisi dan obat obatan. ODHA yang
ada di Rumah Singgah Moderamen GBKP ini telah kehilangan pekerjaan, sehingga
mereka sangat membutuhkan Rumah Singgah Moderamen GBKP tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Bagaimana perilaku Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), stigma dan
diskriminasi di Rumah Singgah Moderamen GBKP Kecamatan Berastagi Kabupaten
Karo?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku Orang Dengan HIV/AIDS
(ODHA), stigma dan diskriminasi di Rumah Singgah Moderamen GBKP Kecamatan
Berastagi Kabupaten Karo.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi Dinas Kesehatan, sebagai bahan masukan dalam pengembangan program
sementara selama perawatan ketika ODHA ditolak oleh keluarga, lingkungan
ataupun masyarakat dan terus melakukan sosialisasi dan edukasi terhadap
masyarakat dalam upaya penghapusan stigma dan diskriminasi ODHA.
2. Bagi LSM atau organisasi diluar pemerintah untuk mengetahui pentingnya
pendirian rumah singgah bagi ODHA sebagai sumber informasi dan tempat yang
nyaman bagi mereka selama perawatan.
3. Bagi Masyarakat, agar mengetahui pentingnya rumah singgah bagi ODHA
sehingga ketika masyarakat mengetahui ada rumah singgah untuk ODHA
disekitarnya, agar tidak melakukan pengusiran ataupun penolakan terhadap
keberadaan rumah singgah tersebut.
4. Bagi Peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh
pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan
bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus
terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner
ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon yang dapat
Gambar 2.1. Skema Teori Perilaku S_O_R
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :
1. Perilaku tertutup (convert behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap
stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan
sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat
diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut
sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat
diamati atau dilihat oleh orang lain.
Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat
luas. Menurut Benjamin Bloom dalam Notoatmodjo ( 2007), ranah perilaku terbagi
dalam 3 domain, yaitu : Stimulus
Organisme
• Perhatian
• Pengertian
• Penerimaan
Reaksi (Perubahan Sikap)
2.1.1. Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indra, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau
kognitif merupakan faktor dominan yang sangat penting dalam terbentuknya tindakan
seseorang, sebab dari hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan dapat dibedakan
menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Awareness Knowledge (Pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan
keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis akan memotivasi individu untuk
belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada
ini inovasi diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti
tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka masyarakat
tidak merasa memerlukan inovasi tadi. Rogers menyatakan bahwa untuk
menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media
massa seperti radio, televisi, koran atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih
cepat mengetahui keberadaan suatu inovasi.
b. How-to-Knowlegde (Pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang
pengetahuan jenis ini penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih
meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki
pengetahuan ini dengan cukup tentang penggunaan inovasi ini.
c. Principles-Knowledge (Prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip
keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat
bekerja.
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat
(Notoatmodjo, 2010), yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
yang termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
ransangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara
benar.Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi ril (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan aplikasi atau pengunaan hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisa (Analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi
tersebut, dan masih dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesa (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu materi atau objek. Dengan kata
lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang
ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
suatu kriteria yang di tentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
responden kedalam pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat disesuaikan
dengan tingkat tersebut di atas.
Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan adalah :
1. Pendidikan
Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi
kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga
yang dapat meningkatkan kualitas hidup, sebagaimana umumnya semakin tinggi
pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi dan semakin
pengetahuan yang dimiliki sehingga penggunaan komunikasi dapat secara efektif
akan dapat melakukannya (Notoatmojo, 2007).
2. Sumber Informasi
Informasi adalah penerangan, pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu
keseluruhan makna yang menunjang pesan atau amanat. Pengetahuan diperoleh
melalui informasi yaitu kenyataan (fakta) dengan melihat dan mendengar sendiri.
Informasi kesehatan biasanya berasal dari petugas kesehatan atau instansi
pemerintah atau media massa. Pada umumnya petugas kesehatan melakukan
pendekatan dengan ceramah atau penyuluhan kesehatan, sedangkan melalui
media massa dapat berupa elektronik seperti televisi, radio, dan lain-lain. Adapun
media cetak seperti majalah, koran, buku, dan lain-lain. Sumber informasi
kesehatan yang tepat mempunyai peran besar dalam meningkatkan pengetahuan
3. Sosial Ekonomi
Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang.
Sedangkan ekonomi dikaitkan dengan pendidikan ekonomi baik tingkat
pendidikan akan tinggi, sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi juga.
4. Budaya
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena
informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan budaya yang ada
dan agama yang dianut (Notoatmodjo, 2007).
2.1.2. Sikap
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek,
baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat
langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari sikap yang
tertutup tersebut. Notoatmodjo (2007) sikap merupakan reaksi atau respon seseorang
yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Allport dalam Notoatmodjo
(2010) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau menerima stimulus yang
2. Menanggapi (Responding)
Menanggapi diartikan sebagai memberikan jawaban atau tanggapan terhadap
pertanyaan atau objek yang dihadapi.
3. Menghargai (Valuing)
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif
terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasanya dengan orang lain,
bahkan mengajak atau memengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia
harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau
adanya risiko lain. Bertanggungjawab merupakan sikap yang paling tinggi
tingkatannya (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Azwar (2005) ada beberapa faktor yang memengaruhi sikap terhadap
obyek sikap antara lain :
1. Pengalaman pribadi, untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman
pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat karena itu, sikap akan lebih
mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang
melibatkan faktor emosional.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya individu cenderung
untuk memiliki sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggap penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk menghargai
3. Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis yang
mengarahkan sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai
sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak
pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.
4. Media masa dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media
komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif
cenderung dipengaruhui oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap
sikap konsumenya.
5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama, konsep moral dan ajaran dari lembaga
pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan, tidak
mengherankan jika pada giliranya konsep tersebut mempengaruhui sikap.
2.1.3. Tindakan
Suatu sikap belum terwujud dalam bentuk tindakan. Untuk mewujudkan sikap
menjadi sebuah perbuatan diperlukan menanamkan pengertian terlebih dahulu,
membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik serta
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain
fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak (Notoatmodjo, 2007).
Adapun tingkatan dari tindakan adalah :
1. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
2. Respon Terpimpin (Guide Response)
Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh-contoh
adalah indikator tingkat kedua.
3. Mekanisme (Mechanisme)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis
atau sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan maka ia sudah mencapai tingkat ketiga.
4. Adaptasi (Adaptation)
Tindakan yang sudah berkembang dengan baik (Notoatmodjo, 2007).
2.2. Teori Perubahan Perilaku
Beberapa teori determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan antara lain:
1.
Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat
kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok,
yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour
causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor : Teori Lawrence Green
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam
pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pendukung (Enabling factors), yang terwujud dalam
c. Faktro-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan
perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.
2. Teori Snehandu B. Kar (1983)
Kar mengidentifikasi adanya 5 faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu:
a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behavior itention).
b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support). Didalam
kehidupan sesorang di masyarakat, perilaku orang tersebut cenderung
memerlukan legitimasi dari masyarakat sekitarnya.
c. Terjangkaunya informasi (accessibility of information) adalah tersedianya
informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh
seseorang.
d. Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan
atau keputusan (personal autonomy).
e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).
Beberapa teori perubahan perilaku yaitu:
1. Teori Stimulus Organisme (S – O – R)
Didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku
tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan
organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi, misalnya kredibilitas,
seseorang, kelompok atau masyarakat. Hosland, et al ( 1953) dalam Notoatmojo
(2007) mengatakan bahwa perubahan perilaku pada hakikatnya adalah sama dengan
proses belajar. Teori ini mengatakan bahwa perilaku berubah hanya apabila stimulus
(rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari rangsang semula. Rangsang
yang dapat melabihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat
meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini faktor reinforcement
memegang peranan penting.
2. Teori Festinger ( Dissonance Theory ) ( 1957 )
Teori ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance (tidak seimbang). Hal ini
berarti bahwa keadaan cognitive dissonance merupakan ketidak seimbangan
psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai
keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan dalam diri individu, maka
berarti terjadi ketegangan diri lagi, dan keadaan ini disebut consonance
(keseimbangan). Ketidakseimbangan terjadi karena dalam diri individu terdapat dua
elemen kognisi yang saling bertentangan, yang dimaksud elemen kognisi adalah
pengetahuan, pendapat dan keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus
atau objek, dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang
berbeda/bertentangan di dalam diri individu itu sendiri maka terjadilah dissonance.
Keberhasilan yang ditunjukkan dengan tercapainya keseimbangan menunjukkan
3. Teori Fungsi
Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu
tergantung kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat
mengakibatkan perubahan perilaku seseorang adalah stimulus yang dapat dimengerti
dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz ( 1960 ) dalam Notoatmojo
(2007) perilaku dilatarbelakagi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan :
1) Perilaku memiliki fungsi instrumental. Artinya dapat berfungsi dan
memberikan pelayanan terhadap kebutuhan.
2) Perilaku berfungsi sebagai pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya
3) Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan pemberi arti
4) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab
suatu situasi
Teori fungsi ini berkeyakinan bahwa perilaku mempunyai fungsi untuk
menghadapi dunia luar individu, dan senantiasa menyesuaikan diri dengan
lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu di dalam kehidupan manusia
perilaku itu tampak terus – menerus dan berubah secara relative
4. Teori Kurt Lewin
Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan
yang seimbang antara kekuatan – kekuatan pendorong dan kekuatan – kekuatan
penahan. Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua
kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya
a. Kekuatan – kekuatan pendorong meningkat.
b. Kekuatan – kekuatan penahan menurun
c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun.
2.3. HIV/AIDS dan ODHA 2.3.1. Pengertian HIV dan AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang merusak sistem
kekebalan tubuh yang menyebabkan AIDS. Virus ini dapat menginfeksi sel sel
manusia dengan target utamanya adalah limfosit CD4 dimana limfosit CD4 ini
bertanggungjawab untuk mengendalikan atau mencegah infeksi oleh banyak virus
yang lain, bakteri, jamur dan parasit dan juga beberapa jenis kanker (Gallant, 2010).
CD 4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel
darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.CD 4 pada orang dengan sistem
kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang
yang terinfeksi HIV) nilai CD 4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol). Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya
berfungsi untuk melawan berbagai macam infeksi. Disekitar kita banyak sekali
Namun kita tidak setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih bisa berfungsi dengan
baik untuk melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang, mikroorganisme yang patogen
di sekitar kita tadi akan dengan mudah masuk ke tubuh kita dan menimbulkan
penyakit pada tubuh manusia (Runggu, 2014).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim
reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan
menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu
HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan
masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua
grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh
dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) atau sindrom kehilangan
kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia
sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV (Djoerban, 2000).
Virus HIV membutuhkan sel-sel kekebalan kita untuk berkembang biak. Secara
alamiah sel kekebalan kita akan dimanfaatkan, bisa diibaratkan seperti mesin
fotocopy. Namun virus ini akan merusak mesin fotocopynya setelah mendapatkan
hasil copy virus baru dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga lama kelamaan sel
2.3.2. Pengertian ODHA
sebagai pengganti istilah untuk seseorang yang dinyatakan positif terinveksi
lain yang dinilai kurang manusiawi. Penggunaan kata
Antom M. Moeliono, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Dekdibdud, kepada aktivis YPI Al. Husein Habsy dan Alm Suzana Murni. Sekarang,
istilah
(Kompasiana, 2013). Istilah ODHA untuk di dunia digunakan PLWHA yaitu
singkatan dari People Living With HIV AIDS.
2.3.3. Epidemiologi
Menurut data UNAIDS sampai dengan tahun 2012 terdapat 35.300.000 orang
yang hidup dengan HIV di dunia, dimana remaja dan orang muda yang berusia 10-24
tahun berjumlah 5.400.000 orang. Diperkirakan remaja dan orang muda yang baru
terinfeksi sampai dengan tahun 2012 bekisar 780.000 orang (UNAIDS, 2013) Hasil
laporan Ditjen PPM & PL Kemenkes RI menyatakan Jumlah kumulatif infeksi HIV
yang dilaporkan dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2014 sebanyak 134.053 orang.
persentase HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (72,3%)
diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15%) dan kelompok ≥ 50 tahun (5,8%) dimana
rasio HIV antara laki-laki dan permpuan adalah 1:1. Persentase faktor resiko HIV
tertinggi adalah hubungan sex beresiko pada heteroseksual (55,6%), pengguna jarum
kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dangan Maret 2014 dilaporkan sebanyak
54.231 orang, dimana persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok
umur 20-29 tahun (33,1%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (28,2%),
40-49 tahun (10,5%), 15-19 (3,1%), dan 50-59 tahun (3,2%). umur 30-39 tahun
(22,3%) dan kelompok umur 40-49 tahun (22,1%). Faktor risiko penularan terbanyak
melalui heteroseksual (60,8%), penasun (15,5%), diikuti penularan melalui perinatal
(2,7%), dan homoseksual (2,4%) (KPA, 2014).
Kasus HIV AIDS menyebar di 348 (70%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh
provinsi di Indonesia. Jumlah infeksi HIV tertinggi di Indonesia adalah DKI Jakarta
(27.207 ), diikuti oleh Jawa Timur (15.233), papua (12.767) dan Bali (7.922) dan
jumlah AIDS terbanyak dilaporkan dari Papua (7.795), diikuti oleh DKI Jakarta
(6299), Jawa Barat (4.131) dan Bali (3.798) (KPA, 2014).
2.3.4. Penularan HIV AIDS
Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (2013) ada beberapa cara penularan
HIV yaitu :
1. Melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom sehingga memungkinkan
cairan mani atau cairan vagina yang mengandung virus HIV masuk ke dalam
tubuh pasangannya
2. Dari seorang ibu hamil yang HIV positif kepada bayinya selama masa kehamilan,
waktu persalinan dan/atau waktu menyusui.
3. Melalui transfusi darah/produk darah yang sudah tercemar HIV. Lewat
disterilkan, terutama terjadi pada pemakaian bersama alat suntik di kalangan
pengguna narkoba suntik (penasun).
Menurut penelitian Jacqueline Boles dan Kirk W Elifson (1994) untuk
melihat identitas seksual dan HIV melakukan penelitian terhadap 224 laki-laki
pekerja sex jalanan dimana 17,9% dari sampel mengidentifikasikan dirinya sebagai
homoseksual, 46 % heteroseksual dan 35% biseksual. Berdasarkan identitas seksual,
status HIV pada kelompok homoseksual sebesar 50%, kelompok biseksual sebesar
36,5% kelompok heteroseksual sebesar 18,5%. Perbedaan tingkat infeksi HIV pada
laki-laki dari setiap kategori identitas seksual secara signifikan berkaitan dengan
hubungan seks anal reseptif yang dilaporkan, jumlah pasangan seksual yang tidak
dibayar/membayar, pengguanaan kokain, penggunaan napza suntik, pengalaman
terinfeksi sipilis dan hepatitis.
Dari studi yang dilakukan oleh Endang Basuki, Ivan dkk, yang
dipublikasikan oleh tentang berbagai alasan bagi wanita pekerja seks di Indonesia
untuk tidak menggunakan kondom, mengungkapkan bahwa sekitar 53% hubungan
seksual dengan kondom dilakukan oleh para pekerja seks, dan 12% dari dari jumlah
ini, para wanita pekerja sekst tersebut harus berdebat terlebih dahulu dengan
pelanggan untuk bisa menggunakan kondom. Hanya 5,8% dari wanita pekerja seks
yang secara konsisten menggunakan kondom selama dua minggu observasi dan
jumlah ini menurun menjadi 1,4% selama empat minggu observasi. Berbagai alasan
untuk tidak menggunakan kondom dari sisi klien, menurut pengakuan wanita pekerja
bahwa pelanggan yang sudah kenal dengan wanita pekerja seks tidak perlu
menggunakan kondom untuk menghindari penyakit menular seksual atau AIDS.
Pandangan ini tentu saja akan merugikan PSK tersebut, karna akan sangat beresiko
terhadap penularan HIV AIDS.
Penggunaan jarum suntik secara bergantian juga sangat beresiko terhadap
penularan HIV AIDS, akan tetapi penggunaannya masih sangat tinggi. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth Pisani, Dadun dkk (2003),
studi yang dilakukan untuk melihat prevalensi paktek-praktek penyuntikan yang
berisiko terhadap penularan HIV pada kelompok pengguna napza suntik (penasun) di
Indonesia dan mengkaji risiko-risiko penularan HIV secara seksual dari penasun
kepada pasangan seksualnya.Data dikumpulkan melalui survai surveilans perilaku
pada kelompok penasun laki-laki di tiga kota. Sebanyak 650 penasun laki-laki
direkrut melalui beberapa gelombang dari berbagai lokasi yang secara sistematis
dipilih dengan mempertimbangkan variasi dari populasi ini. Pewawancara yang
terlatih, kebanyakan mantan penasun, melakukan wawacanra yang berfokus pada
praktek-praktek penyuntikan, perilaku seksual dan pengetahuan yang terkaitan
dengan HIV.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa hampir semua penasun tahu bahwa HIV
ditularkan melalui penggunaan jarum secara bergantian, tetapi 85% dari penasun
melaporkan bahwa mereka menggunakan jarum secara bergantian pada minggu
sebelumnya. Lebih dari dua pertiga penasun aktif secara seksual, 48% memiliki
bulan terakhir. Penggunaan kondom secara konsisten berkisar 10%. Potensi bagi
penyebaran HIV secara seksual dari penasun ke pasangan seksualnya sesungguhnya
sangat tinggi.Intervensi yang ada diharapkan sesegera mungkin bisa mengurangi
tingginya tingkat berbagi jarum suntik. Fokus pada pembersihan jarum dan
peningkatan penggunaan kondom juga merupakan hal yang sangat mendasar harus
dilakukan.
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi (Maryunani A, 2009):
1. Selama kehamilan, ketika janin masih dalam kandungan ibu dengan resiko
kejadian 5-10%.
2. Selama persalinan, dengan resiko kejadian 10-20%, sebagian besar penularan
HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan ini. Hal ini disebabkan karena
pada saat proses persalinan, tekanan pada plasenta yang mengalami peradangan
atau terinfeksi meningkat menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara
darah ibu dengan darah bayi. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat pula terjadi
pada saat bayi terpapar oleh darah dan lendir ibu di jala lahir.
3. Selama menyusui, bayi tertular melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI) yang
mengidap HIV dengan resiko kejadian 10-15%.
Berbeda dengan penyakit demam berdarah ataupun malaria, AIDS tidak
ditularkan melalui gigitan nyamuk. Cara penularan AIDS juga berbeda dari penularan
influenza dan tuberculosis. AIDS tidak ditularkan melalui bersin ataupun batuk.
memakai telepon umum, nonton bioskop, tempat bekerja, saekolah, ataupun tinggal
serumah dengan penderita AIDS (Djoerban, 2000).
2.3.5. Aspek Gejala Klinis
Dalam tubuh penderita AIDS, partikel virus bergabung dengan DNA sel
penderita, sehingga satu kali seseorang terifeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Untuk diketahui sel manusia yang terutama diserang oleh HIV adalah
limfosit subjenis T helper atau disebut juga sebagai limfosit CD4. Fungsi limfosit
CD4 dala system kekebalan tubuh amat penting, ia mengatur dan bekerjasama dengan
komponen system kekebalan yang lain. Bila jumlah limfosit CD4 berkurang, maka
system kekebalan tubuh orang yang bersangkutan akan rusak, sehingga mudah
dimasuki dan diserang oleh berbagai kuman penyakit.
Global Programme on AIDS dari badan Kesehatan Dunia (WHO) membagi
tingkat klinik infeksi HIV sebagai berikut:
Tingkat klinik 1 (Asimptomatik):
1. Tanpa gejala sama sekali
2. Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP) yakni pembesaran kelenjar getah
bening di beberapa tempat yang menetap.
Pada tingkatan ini pasien belum mempunyai keluhan dan dapat melakukan
Tingkat klinik 2 (Dini):
1. Penurunan berat badan kurang dari 10%
2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroika, prurigo,
infeksi jamur pada kuku, ulkus pada mulut berulang dan cheilitis angularis
3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir.
4. Infeksi saluran napas bagian ats berulang, misalnya sinusitis.
Pada tingkatan ini pasien sudah menunjukkan gejalatetapi aktivitas tetap
normal.
Tingkat klinik 3 (menengah):
1. Penurunan berat badan >10% berat badan.
2. Diare kronik>1 bulan, penyebab tidak diketahui.
3. Panas yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang timbul
maupun terus menerus.
4. Kandidiasis mulut.
5. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukopklakia).
6. Tuberkulosis paru setahun terakhir.
7. Infeksi bakteri yang berat misalnya pneumonia.
Pada tingkat klinik ini, penderita biasanyaberbaring di tempat tidur lebih dari
12 jam sehari, selama sebulan terakhir.
1. Badan menjadi kurus (HIV wasting syndrome), yaitu berat badan turun lebih dari
10% dan diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari satu bulan atau
keleamhan kronik dan panas tanpa diketahui sebabnya selama lebih ari satu bulan.
2. Pneumonia Pneumositis Karini
3. Toksoplasmosis otak
4. Kristopridiosis dengan diare. 1 bulan.
5. Kriptokokosis di luar paru.
6. Penyakit virus sitomegalo pada organ tubuh, kecuali di limpa, hati atau kelenjar
getah bening
7. Infeksi virus herpes simpleksdi mukokutan lebih dari satu bulan atau di alat dalam
(visceral) lamanya tidak dibatasi.
8. Leukoensefalopati multifocal progresif.
9. Mikosis (infeksi jamur) apa saja (misalnya histoplasmosis, kokkidioidomikosis)
yang endemic, yang menyerang banyak organ tubuh (disseminata).
10.Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, atau paru.
11.Mikobakteriosis atipik (mirip bakteri TBC), disseminate.
12.Septicemia salmonella non tifoid.
13.Tuberculosis di luar paru.
14.Limfoma
15.Sarkoma Kaposi
16.Ensefalopati HIV , sesuai criteria CDC yaitu: gangguan kognitif atau disfungsi
minggu atau beberapa bulan, tanpa dapat ditemukan penyebabnya selain HIV
(Djoerban, 2000)
Walaupun AIDS yang sudah parah itu seringkali dapat didiagnosis secara
klinis, namun perlu dianjurkan menjalani tes serologik (Cock, 1996).
2.3.6. Pencegahan HIV AIDS
Ada beberapa cara mencegah penularan HIV AIDS yaitu:
1. Hindari Kontak dengan Darah yang terinfeksi HIV Cara yang paling umum untuk
menularkan HIV adalah melalui kontak dengan darah dari orang yang terinfeksi
HIV. Transfusi, atau kontak dengan luka, dapat menyebabkan virus menyebar
dari satu orang ke orang lain. Transmisi dengan darah dapat dengan mudah
dihindari melalui tes darah dan menghindari kontak dengan luka jika seseorang
positif terinfeksi HIV, jika Anda harus berurusan dengan luka dari pengidap HIV/
AIDS, pastikan untuk memakai pakaian pelindung seperti sarung tangan karet.
2. Hati-hati dengan jarum suntik dan peralatan bedah obat infus, jarum suntik dan
peralatan tato dapat menjadi sumber infeksi HIV. Jarum tato, senjata, dan pisau
cukur adalah alat yang berpaparan langsung dengan darah orang yang terinfeksi.
Berikut adalah beberapa hal yang harus Anda perhatikan ketika menggunakan
jarum dan peralatan bedah:
a. Jangan menggunakan kembali alat suntik sekali pakai.
b. Bersihkan dan cuci peralatan bedah sebelum menggunakannya.
c. Jika Anda ingin tato, pastikan itu dilakukan oleh sebuah toko tato bersih dan
d. Hindari penggunaan obat-obat terlarang dan zat yang dikendalikan intravena.
3. Gunakan kondom cara lain untuk penularan HIV adalah melalui kontak seksual
tidak terlindungi. Kondom adalah baris pertama pertahanan Anda untuk
menghindari terinfeksi HIV. Hal ini sangat penting untuk menggunakan kondom
saat berhubungan seks, tidak hanya akan mengurangi kemungkinan terinfeksi
HIV, tetapi juga dapat melindungi diri dari infeksi menular seksual lainnya.
Kondom lateks adalah yang terbaik, tetapi Anda juga dapat menggunakan
kondom polyurethane. Jangan menggunakannya kembali dan pastikan bahwa
tidak ada yang rusak di hambatan saat menggunakannya.
4. Hindari Seks Bebas HIV dan AIDS yang lebih lazim untuk orang dengan banyak
pasangan seksual. Jika Anda hanya memiliki satu pasangan seksual, anda secara
dramatis dapat meminimalkan kemungkinan tertular HIV atau mendapatkan
AIDS. Namun itu tidak berarti bahwa Anda dapat berhenti menggunakan
kondom, Anda masih harus melakukan seks dilindungi bahkan jika Anda setia
pada pasangan seksual Anda (Dayong, 2014).
Menurut KPA (2013) ada 4 hal sederhana mencegah penularan HIV AIDS
yaitu program ABCD :
1. Abstinence – Tidak berhubungan seks (selibat)
2. Be Faithful – Selalu setia pada pasangan
3. Condom – Gunakan kondom di setiap hubungan seks berisiko
2.3.7. Pengobatan
Hasil laporan Ditjen PPM & PL Kemenkes RI (2013) menyatakan jumlah
ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan sepetember
2013 sebanyak 36.483 orang. Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan
kondisi kesehatan para penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit
oportunistik lain yang berat dapat disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus
menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi
pertumbuhan. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse
transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide
reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan
dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah
berkembang (Djoerban,2000).
ODHA menyambut gembira obat antiretroviral jenis Efavirenz yang
diproduksi oleh PT. Kimia Farma. Kehadiran obat ini diharapkan bisa memutus Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan
pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi
pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel
yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit
karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan
tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer
ketergantungan obat ARV yang selama ini diimpor.
Obat Efavirenz tersebut juga sudah mulai didistribusikan ke Rumah Sakit. Obat
Efavirenz ini adalah obat ARV jenis keempat yang bisa diproduksi oleh Kimia
Farma. Dua lainnya adalah jenis lamivudine, zidovudine dan nevirapine. Untuk jenis
lainnya dan juga obat ARV golongan lini 2 masih import.
Selama ini, mayoritas obat ARV yang dibutuhkan ODHA di Indonesia adalah obat
import dari India. Kerap kali dalam proses pembelian obat import ini mengalami
keterlambatan yang menyebabkan obat terlambat didistribusikan di rumah sakit
(Kompas, 2014).
2.4. Stigma dan Diskriminasi ODHA
Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena
pengaruh lingkungannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut Castro dan
Farmer (2005) dalam kajian literatur Tri Paryati dkk, stigma ini dapat mendorong
seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh
pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia layanan kesehatan, teman
sekerja, para teman dan keluarga. Stigma membuat pembatasan pada pendidikan,
pekerjaan, perumahan dan perawatan kesehatan.Stigma dapat dialami sebagai rasa
malu atau bersalah, atau secara luas dapat dinyatakan sebagai diskriminasi. Hal ini
dapat menyebabkan penurunan percaya diri, kehilangan motivasi, penarikan diri dari
kehidupan sosial, menghindari pekerjaan, interaksi dalam kesehatan dan kehilangan
1 Desember 2013 adalah melawan stigma. Stigma terhadap ODHA akan membuat
mereka merasa tidak nyaman dan akibatnya mereka akan menjauh dari layanan
kesehatan dan jika mereka menjauh dari layanan dan menjadi komunitas tertutup
maka akan sulit menerapkan program pencegahan penularan HIV kepada masyarakat
luas (Bangbuday, 2011).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diskriminasi adalah
pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit,
golongan, suku, ekonomi, agama, dsb). Menurut UNAIDS (2013), diskriminasi
terhadap penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan
perlakuan yang tidak adil terhadap individu karena status HIV mereka, baik itu status
sebenarnya maupun hanya persepsi saja. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menekankan agar masyarakat Internasional agar bekerja lebih keras mengakhiri
stigma dan diskriminasi untuk menghentikan infeksi HIV baru dikalangan anak-anak,
dan untuk menjamin akses keperawatan dan pengobatan bagi semua orang yang
membutuhkan. Badan PBB dalam UNAIDS dengan tegas mengatakan bahwa
menghapus stigma dan diskriminasi mutlak diperlukan untuk mengakhiri epidemi
HIV (Redaksi editorial satuharapan, 2013).
1.
Menurut Herek and Capitanio (1999) dalam Siregar N (2012) stigma ODHA
lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:
Stigma Instrumental ODHA yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal
2.
3.
Stigma Simbolis ODHA yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan
sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap
berhubungan dengan penyakit tersebut.
Stigma Kesopanan ODHA yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan
dengan issu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.
1.
Menurut Leslie Butt (2010) yang dikutip oleh Siregar N (2012) dari hasil
penelitian mereka di pegunungan Papua dengan 28 responden dari latar belakang
yang beragam, para responden mengungkapkan mereka mengalami stigma dari
berbagai sumber diantaranya:
2.
Pengungkapan status mereka tanpa sepengetahuan mereka oleh orang-orang lain
3.
Pengungkapan status mereka secara sukarela oleh orang-orang lain
4.
Pengungkapan status mereka oleh seseorang yang berpengaruh seperti pemimpin
gereja atau petugas kesehatan
5.
Pengungkapan status mereka oleh orang tua
6.
Kesalahan dalam penyediaan layanan kesehatan
7.
Kurangnya akses ke obat-obatan ARV atau akses yang diketahui orang lain
8.
Kurangnya pengetahuan tentang HIV, transmisi dan ARV
9.
Diskriminasi oleh kerabat jauh dan masyarakat
Pemahaman-pemahaman budaya dan praktek-praktek seputar penyakit keras
10. Nilai-nilai budaya yang berkenaan dengan kematian dan menjelang
a.
b.
Nilai-nilai