• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), Stigma dan Diskriminasi Di Rumah Singgah Moderamen GBKP Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perilaku Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), Stigma dan Diskriminasi Di Rumah Singgah Moderamen GBKP Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2014"

Copied!
154
0
0

Teks penuh

(1)

PERILAKU ORANG DENGAN HIV AIDS (ODHA), STIGMA DAN DISKRIMINASI DI RUMAH SINGGAH MODERAMEN GBKP

KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO TAHUN 2014

TESIS

Oleh

DEWI SARTIKA MUNTHE 127032114/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA M E D A N

(2)

PERILAKU ORANG DENGAN HIV AIDS (ODHA), STIGMA DAN DISKRIMINASI DI RUMAH SINGGAH MODERAMEN GBKP

KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO TAHUN 2014

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

DEWI SARTIKA MUNTHE 127032114/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Tesis : PERILAKU ORANG DENGAN HIV AIDS (ODHA), STIGMA DAN DISKRIMINASI DI RUMAH SINGGAH MODERAMEN GBKP KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO TAHUN 2014

Nama Mahasiswa : Dewi Sartika Munthe Nomor Induk Mahasiswa : 127032114

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Ketua

) (Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes Anggota

)

Dekan

(Dr. Drs. Surya Utama, M.S)

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 27 Agustus 2014

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. Drs. Alam Bakti Keloko, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

PERILAKU ORANG DENGAN HIV AIDS (ODHA), STIGMA DAN DISKRIMINASI DI RUMAH SINGGAH MODERAMEN GBKP

KECAMATAN BERASTAGI KABUPATEN KARO TAHUN 2014

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Oktober 2014

(6)

ABSTRAK

Orang yang positif terinfeksi HIV AIDS disebut dengan Orang dengan HIV AIDS atau ODHA. ODHA mengetahui bahwa penyakit yang mereka alami adalah penyakit yang mematikan dan belum ada obatnya, hal ini meyebabkan rasa sedih, putus asa dan ingin mengakhiri hidup.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), stigma dan diskriminasi di Rumah Singgah Moderamen GBKP Berastagi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitiatif dengan cara wawancara mendalam dan observasi. Informan pada penelitian ini adalah ODHA yang berjumlah 7 orang sebagai informan utama dan 2 orang staf Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP sebagai informan pendukung.

Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan informan utama (ODHA) menyatakan bahwa HIV AIDS adalah penyakit yang mematikan dan dapat ditularkan kepada orang lain. Informan utama mengetahui gejala terinfeksi HIV berdasarkan dari apa yang mereka alami. Terdapat stigma dan diskriminasi yang dialami informan utama (ODHA) seperti ditolak dalam keluarga, dijauhin, dianggap menjijikkan, dan dipecat dalam pekerjaan. Ada beberapa hal yang dilakukan ODHA untuk mendapat kesembuhan yaitu: patuh minum obat ARV, menjaga kesehatan dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang dianggap dapat menaikkan CD4, mencari tempat dan komunitas yang dapat menerima dan mendukung kesembuhan mereka , melakukan aktivitas yang bermakna dan punya harapan akan masa depan.

Disarankan kepada Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan lembaga sosial Masyarakat (LSM) lainnya untuk terus melakukan sosialisasi, edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang pencegahan dan penularan HIV AIDS.

(7)

ABSTRACT

People who are positive HIV AIDS are called People Living with HIV AIDS (PLWHA). PLWHA know that their illness is deadly and no medicine can heal it, this condition has made them sad, desperate and willing to comit suicide.

This objective of the research was to find out the behavior of people living with HIV AIDS (PLWHA), stigma and discrimination at Moderamen GBKP Shelter Home Berastagi. The research used Qualitative approach by conducting indepth interviews and observations. The main informant were 7 people of PLWHA and 2 staffs of the HIV AIDS Commission and drug GBKP as supporting informants.

The results of the research showed that all informant stated that HIV AIDS AIDS was a deadly disease and could be transmitted to others. The main informants know the symptoms of HIV infection based on what they experience. There are stigma and discrimination experienced by main informants (PLWHA) as rejected in the family, avoided, considered disgusting, and fired in a job. There are a few things that made main informants (PLWHA) to receive healing, namely: ARV adherence, maintaining health by consuming foods and beverages that are considered to increase CD4, looking for a place and community that can accept and support their healing, meaningful activities and have hope for the future.

It is recommended to the National AIDS Commission (KPA) and others Non Government Organizations (NGOs) to continue the program, education and outreach to the community about prevention and the transmission of HIV AIDS

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan rahmat

dan anugrahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “ Perilaku

Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), Stigma dan Diskriminasi Di Rumah Singgah

Moderamen GBKP Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2014”. Tesis ini

dibuat sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan Program Studi S2

Ilmu Kesehatan Masyarakat minat studi Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Dalam penulisan tesis ini, penulis banyak mendapat bantuan, dorongan, dan

bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, ucapan terima kasih penulis sampaikan

kepada:

1. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara yang telah memberi kesempatan kepada penulis

untuk mengikuti pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara

2. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

3. Dr. Drs. R Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku Ketua Pembimbing I yang telah

memberi waktu, dan arahan dalam membimbing penulis selama penyusunan

(9)

4. Drs. Alam Bakti Keloko M.Kes, selaku pembimbing II yang telah memberikan

waktu untuk berdiskusi, motivasi dan arahan dalam penyusuna tesis ini

5. Drs. Eddy Syahrial, M.S, selaku penguji I yang telah memberikan waktu dan

kritikan yang berguna untuk kesempurnaan tesis ini

6. Dra. Lina Tarigan, Apt, M.S, selaku penguji II yang telah memberikan waktu

dan kritikan serta masukan yang berguna untuk kesempurnaan tesis ini

7. Para Dosen yang telah membimbing selama bernaung di bawah bendera Ilmu

Kesehatan Masyarakat FKM-USU, para staff TU, perpustakaan, maupun

karyawan atas bantuan selama hampir 2 tahun mengenyam pendidikan di

kampus tercinta.

8. Pt. Tuah B. Barus selaku ketua Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP yang

memberikan ijin penelitian di Rumah Singgah Moderamen GBKP.

9. Pdt Monalisa Ginting selaku sekretaris Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP

dan Drs. Prisma Tarigan (bang Primus) yang menjadi sumber informasi dan

informan pendukung dalam penyusunan tesis ini, terimakasih buat waktu dan

arahan yang diberikan kepada penulis.

10. Dewita Sembiring sebagai sahabat penulis yang setia membantu penulis selama

penyusunan tesis dan seluruh ODHA yang ada di Rumah Singgah Moderamen

GBKP yang telah bersedia menjadi informan dalam penyususan tesis ini.

10. Orang tua penulis P Munthe dan S Sihombing dan seluruh keluarga tercinta

yang selalu memberi semangat, motivasi dan dukungan materil dalam

(10)

11. Teman-teman di PKIP’ 12 dan terkhusus buat Mastiur Sihombing, Lidya

Sinuhaji, Eka sihombing, Veronika, Masdelila dan Zuhrina serta teman teman

di Yayasan Pincala yang selalu mendukung dan memberikan motivasi selama

proses penyusunan tesis ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyususan tesis

ini, maka penulis mengharap kritik dan saran yang membangun untuk melengkapi

tesis ini.

Medan, Oktober 2014

(11)

RIWAYAT HIDUP

Dewi Sartika Munthe lahir pada tanggal 7 Desember 1981 di Sidikalang

Kabupaten Dairi. Anak ke enam dari delapan bersaudara dari pasangan Bapak P.

Munthe dan Ibu U Sihombing. Dewi Sartika Munthe tinggal di Jalan Kemiri Ujung

No 2 Sukadono Tanjung Gusta Kabupaten Deli Serdang.

Pendidikan penulis dimulai dari Sekolah Dasar di SD Negeri 060871 Medan,

selesai tahun 1994, Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 10 Medan, selesai

tahun 1997, dan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri 3 Medan, selesai tahun

2000. Menempuh pendidikan S1 Kesehatan Masyarakat pemintan Kesehatan

Lingkungan di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, selesai

tahun 2004 dan pada tahun 2012 melanjutkan pendidikan pada program studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat minat studi Promosi kesehatan dan Ilmu perilaku (PKIP)

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara sampai sekarang.

Pengalama kerja penulis sebagai Medical Representatif di PT Nufarindo tahun

2005 sampai dengan tahun 2006 dan sebagai tenaga pengajar di i-Homeschooling dari

(12)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1 Karakteristik Informan Utama ... 54

3.2 Karakteristik Informan Pendukung ... 54

4.1 Jawaban Informan tentang HIV AIDS ... 71

4.2 Jawaban Informan tentang Gejala Terinfeksi HIV ... 73

4.3 Jawaban Informan tentang Penularan HIV AIDS ... 74

4.4 Jawaban Informan Ketika Dinyatakan Positif HIV ... 76

4.6 Jawaban Informan tentang Minum Obat ARV ... 81

4.7 Jawaban Informan tentang Alasan Informan Tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP ... 82

4.10 Jawaban Informan tentang Upaya Menjaga Kesehatan ... 85

4.11 Jawaban Informan tentang Aktivitas di Rumah Singgah Moderamen GBKP ... 86

4.12 Jawaban Informan tentang Harapan Akan Masa Depan ... 90

4.8 Jawaban Informan tentang Stigma dan Diskriminasi yang Dialami ... 91

(13)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman 2.1. Skema Teori Perilaku S-O-R ... 10

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Pedoman Wawancara ... 133

2. Surat Ijin Penelitian ... 136

3. Surat Balasan Selesai Penelitian ... 137

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

DAFTAR ISI ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. PerumusanMasalah ... 7

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 8

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Perilaku ... 9

2.1.1. Pengetahuan ... 11

2.1.2. Sikap ... 15

2.1.3. Tindakan ... 17

2.2. Teori Perubahan Perilaku ... 18

2.3. HIV/AIDS dan ODHA ... 22

2.3.1. Pengertian HIV dan AIDS ... 22

2.3.2. Pengertian ODHA ... 24

2.3.3. Epidemiologi ... 24

2.3.4. Penularan HIV/AIDS ... 25

2.3.5. Aspek Gejala Klinis ... 29

2.3.6. Pencegahan HIV/AIDS ... 32

2.3.7. Pengobatan ... 33

2.4. Stigma dan Diskriminasi ODHA ... 35

2.5. Moderamen GBKP ... 42

2.5.1. Pengertian Moderamen ... 42

2.5.2. GBKP (Gereja Batak Karo Protestan)... 42

2.5.3. Sejarah Terbentuknya Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP 43 2.5.4. Visi Misi Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP ... 46

2.5.5. Program Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP ... 46

2.5.6. Kepengurusan Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP ... 47

(16)

2.7. Landasan Teori ... 50

2.8. Kerangka Pikir ... 52

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 52

3.1. Jenis Penelitian ... 52

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54

3.3. Informan ... 54

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 55

3.5. Metode Analisis Data ... 56

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 57

4.1. Gambaran Rumah Singgah Moderamen GBKP ... 57

4.2. Hasil Penelitian ... 59

4.2.1. Profil Informan 1 ... 62

4.2.2. Profil Informan 2 ... 63

4.2.3. Profil Informan 3 ... 65

4.2.4. Profil Informan 4 ... 66

4.2.5. Profil Informan 5 ... 67

4.2.6. Profil Informan 6 ... 69

4.2.7. Profil Informan 7 ... 70

4.3. Pengetahuan Informan ... 71

4.3.1. Pengetahuan Informan tentang HIV AIDS ... 71

4.3.2. Pengetahuan Informan tentang Gejala Terinfeksi HIV ... 73

4.3.3. Pengetahuan Informan tentang Penularan HIV AIDS ... 74

4.4. Sikap Informan Ketika Dinyatakan Positif HIV ... 76

4.5. Kepatuhan Informan Minum Obat ARV ... 81

4.6. Alasan Informan Tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP 82 4.7. Upaya Informan Menjaga Kesehatan ... 85

4.8. Aktivitas Informan di Rumah Singgah Moderamen GBKP ... 86

4.9. Harapan Informan Akan Masa Depan... 90

4.10. Stigma dan Diskriminasi yang Dialami Informan ... 91

4.10.1. Bentuk Stigma dan Diskriminasi yang Dialami Informan 91 4.10.2. Sikap Informan terhadap Stigma dan Diskriminasi ... 93

BAB 5. PEMBAHASAN ... 96

5.1. Pengetahuan Informan tentang HIV AIDS ... 96

5.2. Sikap Informan Ketika Dinyatakan Positif HIV ... 102

5.3. Tindakan Informan (ODHA) Setelah Dinyatakan Positif HIV ... 103

5.3.1. Kepatuhan Informan Minum Obat ARV ... 103

5.3.2. Upaya Informan Menjaga Kesehatan ... 106

(17)

5.3.4. Memiliki Aktivitas yang Bermakna dan Harapan

Akan Masa Depan ... 112

5.4. Stigma dan Diskriminasi yang Dialami Informan ... 115

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 123

6.1. Kesimpulan ... 123

6.2. Saran ... 126

(18)

ABSTRAK

Orang yang positif terinfeksi HIV AIDS disebut dengan Orang dengan HIV AIDS atau ODHA. ODHA mengetahui bahwa penyakit yang mereka alami adalah penyakit yang mematikan dan belum ada obatnya, hal ini meyebabkan rasa sedih, putus asa dan ingin mengakhiri hidup.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), stigma dan diskriminasi di Rumah Singgah Moderamen GBKP Berastagi. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitiatif dengan cara wawancara mendalam dan observasi. Informan pada penelitian ini adalah ODHA yang berjumlah 7 orang sebagai informan utama dan 2 orang staf Komisi HIV AIDS dan Napza GBKP sebagai informan pendukung.

Berdasarkan hasil penelitian, secara keseluruhan informan utama (ODHA) menyatakan bahwa HIV AIDS adalah penyakit yang mematikan dan dapat ditularkan kepada orang lain. Informan utama mengetahui gejala terinfeksi HIV berdasarkan dari apa yang mereka alami. Terdapat stigma dan diskriminasi yang dialami informan utama (ODHA) seperti ditolak dalam keluarga, dijauhin, dianggap menjijikkan, dan dipecat dalam pekerjaan. Ada beberapa hal yang dilakukan ODHA untuk mendapat kesembuhan yaitu: patuh minum obat ARV, menjaga kesehatan dengan mengkonsumsi makanan dan minuman yang dianggap dapat menaikkan CD4, mencari tempat dan komunitas yang dapat menerima dan mendukung kesembuhan mereka , melakukan aktivitas yang bermakna dan punya harapan akan masa depan.

Disarankan kepada Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) dan lembaga sosial Masyarakat (LSM) lainnya untuk terus melakukan sosialisasi, edukasi dan penyuluhan kepada masyarakat tentang pencegahan dan penularan HIV AIDS.

(19)

ABSTRACT

People who are positive HIV AIDS are called People Living with HIV AIDS (PLWHA). PLWHA know that their illness is deadly and no medicine can heal it, this condition has made them sad, desperate and willing to comit suicide.

This objective of the research was to find out the behavior of people living with HIV AIDS (PLWHA), stigma and discrimination at Moderamen GBKP Shelter Home Berastagi. The research used Qualitative approach by conducting indepth interviews and observations. The main informant were 7 people of PLWHA and 2 staffs of the HIV AIDS Commission and drug GBKP as supporting informants.

The results of the research showed that all informant stated that HIV AIDS AIDS was a deadly disease and could be transmitted to others. The main informants know the symptoms of HIV infection based on what they experience. There are stigma and discrimination experienced by main informants (PLWHA) as rejected in the family, avoided, considered disgusting, and fired in a job. There are a few things that made main informants (PLWHA) to receive healing, namely: ARV adherence, maintaining health by consuming foods and beverages that are considered to increase CD4, looking for a place and community that can accept and support their healing, meaningful activities and have hope for the future.

It is recommended to the National AIDS Commission (KPA) and others Non Government Organizations (NGOs) to continue the program, education and outreach to the community about prevention and the transmission of HIV AIDS

(20)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Sejak kasus pertama dilaporkan pada tahun 1981, Acquired Immune

Deficiency Syndrom (AIDS) menjadi agenda penting baik dikalangan kedokteran

maupun dikalangan politisi pengambil keputusan, pemimpin agama dan masyarakat

dunia pada umumnya (Djoerban, 2000). Human Immunodeficiency Virus (HIV) telah

menjadi salah satu penyebab utama pandemik yang mengkuatirkan dan menjadi

sebuah isu yang besar dalam sejarah. Selain menjadi masalah kesehatan yang besar,

HIV tekah mengancam tatanan ekonomi dan sosial dibanyak komunitas (SDKI,

2012).

Acquired Immune Deficiency Syndrom (AIDS) atau sindrom kehilangan

kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia

sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV (Djoerban, 2000).

Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyebabkan penyakit

terutama dengan merusak sisitem kekebalan tubuh. Virus ini dapat menginfeksi sel

sel manusia dengan target utamanya adalah limfosit CD4 dimana limfosit CD4 ini

bertanggungjawab untuk mengendalikan atau mencegah infeksi oleh banyak virus

yang lain, bakteri, jamur dan parasit dan juga beberapa jenis kanker (Gallant, 2010).

Menurut data UNAIDS sampai dengan tahun 2012 terdapat 35.300.000 orang

(21)

tahun berjumlah 5.400.000 orang. Diperkirakan remaja dan orang muda yang baru

terinfeksi sampai dengan tahun 2012 bekisar 780.000 orang (UNAIDS, 2013). Di

Indonesia semakin banyak ditemukan kasus HIV AIDS. Hasil laporan Ditjen PPM &

PL Kemenkes RI menyatakan jumlah kumulatif infeksi HIV yang dilaporkan sampai

dengan Maret 2014 sebanyak 134.053 kasus. Persentase HIV tertinggi dilaporkan

pada kelompok umur 25-49 tahun (72,3%) diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15%)

dan kelompok ≥ 50 tahun (5,8%) dimana rasio HIV antara laki-laki dan perempuan

adalah 1:1. Persentase faktor resiko HIV tertinggi adalah hubungan sex beresiko pada

heteroseksual (55,6%), pengguna jarum suntik tidak steril pada penasun (7%) dan

lelaki sex lelaki LSL (14,7%). Jumlah kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai

dengan Maret 2014 sebanyak 54.231 orang (KPA, 2014).

Kasus HIV/AIDS menyebar di 368 (72%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh

Provinsi di Indonesia. Kasus HIV tertinggi terdapat di DKI Jakarta,diikuti oleh Jawa

Timur, Papua, Jawa Barat dan Bali, sedangkan kasus AIDS tertinggi terdapat di

Papua, diikuti oleh Jawa Timur, Jawa Barat dan Bali (KPA, 2014).

Menurut Kadis Kesehatan Sumut, pertambahan kasus baru di Sumut cukup

tinggi. Setiap bulan, setidaknya ada 100-120 kasus baru yang ditemukan. Banyaknya

temuan ini karena sudah banyak klinik Voluntary Conseling and Testing (VCT) yang

dapat melayani masyarakat untuk konseling dan memeriksakan diri (Harian analisa,

2014). Data di Profil Sumut pada tahun 2012 menunjukkan Kota Medan sebagai kota

tertinggi pertama penderita baru HIV AIDS yaitu 506 orang dan tertinggi kedua

(22)

di Sumatera Utara sampai dengan Maret 2014 mencapai 8316 orang dan AIDS 1468

orang (KPA, 2014).

Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) adalah sebutan bagi mereka yang secara

positif didiagnosa terinfeksi HIV. Belum adanya obat untuk menyembuhkan mereka

menjadi suatu ketakutan akan ancaman kematian. Reed dalam Taylor (1999) dalam

Tuapattinaja (2004) menyatakan bahwa menghadapi kemungkinan meninggal

merupakan stressor utama bagi ODHA yang menimbulkan depresi dan reaksi

mengisolasi diri dari orang lain. Obat ARV (Anti Retro Viral) yang tersedia hanya

untuk menghambat reproduksi virus HIV. Selain ketiadaan obat yang dapat

menyembuhkan mereka, stigma dan diskriminasi di lingkungan masyarakat juga

memperberat keadaan mereka. Masih banyak ODHA yang mengalami stigma dari

lingkungannya sehingga merahasiakan status HIV mereka dari keluarga dan

lingkungannya (Haroen dkk, 2009). Perlakuan negatif dan pembatasan-pembatasan

kesempatan mulai dari pergaulan sosial, kesempatan memperoleh pendidikan dan

pekerjaan, pelayanan kesehatan, bepergian dan lain-lain dapat mempengaruhi seluruh

aspek kehidupan ODHA.

Tingginya stigma masyarakat terhadap penderita HIV/AIDS menyebabkan

banyak perlakuan diskriminatif baik dalam hal pekerjaan, perawatan, pengobatan,

pendidikan maupun dalam hal lainnya (Djoerban, 2000). Hal ini sejalan dengan

penelitian Siregar (2012) di Desa Buntu Bedimbar Kecamatan Tanjung Morawa

Kabupaten Deli Serdang dimana terdapat pengaruh stigma kesopanan (tindakan)

(23)

masih ada yang beranggapan bahwa ODHA adalah orang yang harus mendapatkan

hukuman sosial sehingga harus dikeluarkan atau diusir dalam kehidupan masyarakat.

Stigma yang ada dalam masyarakat dapat menimbulkan diskriminasi.

Diskriminasi terjadi ketika pandangan-pandangan negatif mendorong orang atau

lembaga untuk memperlakukan seseorang secara tidak adil yang didasarkan pada

prasangka mereka akan status HIV seseorang. Contoh-contoh diskriminasi meliputi

para staf rumah sakit atau penjara yang menolak memberikan pelayanan kesehatan

kepada ODHA, atasan yang memberhentikan pegawainya berdasarkan status atau

prasangka akan status HIV mereka, atau keluarga/masyarakat yang menolak mereka

yang hidup dengan HIV/AIDS. Bentuk lain dari stigma berkembang melalui

internalisasi oleh ODHA dengan persepsi negatif tentang diri mereka sendiri. Stigma

dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi

yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa

mendorong terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan.

Stigma dan diskriminasi juga menghambat upaya pencegahan dengan membuat orang

takut untuk mengetahui apakah mereka terinfeksi atau tidak, atau bisa pula

menyebabkan mereka yang telah terinfeksi meneruskan praktek seksual yang tidak

aman karena takut orang-orang akan curiga terhadap status HIV mereka (Yusnita,

2012).

Pada tahun 2006 Kepengurusan Pusat GBKP (Gereja Batak Karo Protestan)

yang disebut Moderamen yang ada di Kabupaten Karo membentuk komisi HIV/AIDS

(24)

ada di Tanah Karo. Kegiatan yang dilakukan masih sebatas sosialisasi HIV/AIDS.

Pada tahun 2009 kegiatan komisi ini semakin bertambah yaitu adanya kegiatan

pendampingan ODHA dan kerjasama dengan RS Pusat Haji Adam Malik Medan.

Adapun yang menjadi prioritas pelayanan dalam program Komisi HIV/AIDS

dan NAPZA GBKP yaitu kegiatan pencegahan meliputi sosialisasi, edukasi dan

advokasi, kegiatan membantu/meringankan beban para ODHA/OHIDA dengan

mendirikan rumah singgah bagi ODHA. Kegiatan di Rumah Singgah Moderamen

GBKP meliputi Pastoral Counseling kepada ODHA dan OHIDA, pendampingan

dan kunjungan dokter setiap hari sabtu serta kegiatan rutin memberikan kebutuhan

beras, susu, vitamin dan obat-obatan tambahan diluar ARV. Sampai dengan akhir Juli

2013, ada 18 orang yang tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP terdiri dari

11 orang laki-laki, 5 orang perempuan dan 2 orang anak kecil (Barus, 2013).

Pada bulan November 2011, Komisi HIV/AIDS dan NAPZA GBKP memberanikan

diri mengontrak satu rumah di belakang Rumah Sakit Adam Malik untuk dijadikan

sebagai rumah singgah. Adapun tujuan awal dari rumah singgah ini adalah untuk

membantu ODHA dan keluarganya agar tidak perlu khawatir akan tempat tinggal

sementara setelah opname di rumah sakit. Pada umumnya mereka yang baru

menerima ARV akan banyak mengalami efek samping, oleh karena itu, mereka harus

tetap tinggal di sekitar Rumah Sakit Adam Malik untuk dapat berkonsultasi dengan

dokter kapan saja (Moderamen GBKP, 2014).

Berdasarkan survey pendahuluan yang dilakukan, diketahui Rumah singgah

(25)

terus bertambah membuat Rumah Singgah Moderamen GBKP yang ada di Jalan

Petunia Raya Perumahan BS No 36 Medan tidak memadai lagi dalam menampung

ODHA sehingga berpindah ke rumah yang lebih besar yang ada di Jalan Bunga Law

Gang Bunga Law No 1 Medan. Alasan kedua perpindahan Rumah Singgah dari Jalan

Bunga Law ke Berastagi adalah penduduk sekitar Rumah Singgah Moderamen

GBKP tersebut menolak keberadaan ODHA di daerah mereka, hal ini terkait dengan

stigma dan diskriminasi terhadap ODHA. Padahal Rumah Singgah tersebut sangat

membantu mereka dalam akses ke Rumah Sakit Pusat Haji Adam Malik , informasi

seputar HIV AIDS, pendampingan saat berobat ke Rumah Sakit Pusat Haji Adam

Malik dan layanan konseling spiritual yang dapat memotivasi mereka untuk tetap

semangat dalam menjalani pengobatan. Mereka merasa nyaman dan mendapat

dukungan materil maupun spiritual disana. Ada kehidupan saling menguatkan dan

saling mendukung sesama ODHA, mereka saling mengingatkan dalam kedisiplinan

minum obat dan hidup sehat.

Perpindahan rumah singgah ini membuat ODHA yang ada di rumah singgah

ini mengalami masalah baru, tempat yang jauh membuat mereka kesulitan mengakses

RSP H. Adam Malik, hingga beberapa ODHA memutuskan untuk tidak ikut pindah

ke Berastagi dan kembali kerumah masing- masing. Dari cerita seorang ODHA yang

awalnya tinggal dirumah singgah tersebut menyatakan kekecewaannya ketika rumah

singgah yang ada di Jalan Bunga Law ditutup dan memutuskan kembali ke

kampungnya, ia sekarang mengalami kesulitan mengakses obat, dan merasa

(26)

mendukung kesehatannya. Dari seorang kerabat yang mengenalnya, peneliti

mendapat kabar kalau kondisinya semakin menurun setelah keluar dari rumah

singgah tersebut. Meskipun demikian, ada 10 orang yang memutuskan untuk tetap

memilih pindah ke Rumah Singgah Moderamen GBKP yang ada di Berastagi.

Mereka menyatakan kalau Rumah Singgah tersebut adalah tempat yang bisa

menerima keberadaan mereka ketika mereka ditolak oleh keluarga dan sangat

terbantu dalam pemenuhan kebutuhan makanan, nutrisi dan obat obatan. ODHA yang

ada di Rumah Singgah Moderamen GBKP ini telah kehilangan pekerjaan, sehingga

mereka sangat membutuhkan Rumah Singgah Moderamen GBKP tersebut.

1.2. Perumusan Masalah

Bagaimana perilaku Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA), stigma dan

diskriminasi di Rumah Singgah Moderamen GBKP Kecamatan Berastagi Kabupaten

Karo?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perilaku Orang Dengan HIV/AIDS

(ODHA), stigma dan diskriminasi di Rumah Singgah Moderamen GBKP Kecamatan

Berastagi Kabupaten Karo.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi Dinas Kesehatan, sebagai bahan masukan dalam pengembangan program

(27)

sementara selama perawatan ketika ODHA ditolak oleh keluarga, lingkungan

ataupun masyarakat dan terus melakukan sosialisasi dan edukasi terhadap

masyarakat dalam upaya penghapusan stigma dan diskriminasi ODHA.

2. Bagi LSM atau organisasi diluar pemerintah untuk mengetahui pentingnya

pendirian rumah singgah bagi ODHA sebagai sumber informasi dan tempat yang

nyaman bagi mereka selama perawatan.

3. Bagi Masyarakat, agar mengetahui pentingnya rumah singgah bagi ODHA

sehingga ketika masyarakat mengetahui ada rumah singgah untuk ODHA

disekitarnya, agar tidak melakukan pengusiran ataupun penolakan terhadap

keberadaan rumah singgah tersebut.

4. Bagi Peneliti selanjutnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan

dan untuk melaksanakan penelitian lebih lanjut yang berhubungan dengan

(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis,

tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau

aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh

pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan

bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus

terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner

ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon yang dapat

(29)
[image:29.612.133.450.112.292.2]

Gambar 2.1. Skema Teori Perilaku S_O_R

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :

1. Perilaku tertutup (convert behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus

dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap

stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan

sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat

diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus

dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut

sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat

diamati atau dilihat oleh orang lain.

Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat

luas. Menurut Benjamin Bloom dalam Notoatmodjo ( 2007), ranah perilaku terbagi

dalam 3 domain, yaitu : Stimulus

Organisme

• Perhatian

• Pengertian

• Penerimaan

Reaksi (Perubahan Sikap)

(30)

2.1.1. Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah

melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indra, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau

kognitif merupakan faktor dominan yang sangat penting dalam terbentuknya tindakan

seseorang, sebab dari hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan dapat dibedakan

menjadi 3 jenis, yaitu :

a. Awareness Knowledge (Pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan

keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis akan memotivasi individu untuk

belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada

ini inovasi diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti

tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka masyarakat

tidak merasa memerlukan inovasi tadi. Rogers menyatakan bahwa untuk

menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media

massa seperti radio, televisi, koran atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih

cepat mengetahui keberadaan suatu inovasi.

b. How-to-Knowlegde (Pengetahuan pemahaman), yaitu pengetahuan tentang

(31)

pengetahuan jenis ini penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih

meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki

pengetahuan ini dengan cukup tentang penggunaan inovasi ini.

c. Principles-Knowledge (Prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip

keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat

bekerja.

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat

(Notoatmodjo, 2010), yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,

yang termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau

ransangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara

benar.Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

(32)

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi ril (sebenarnya). Aplikasi disini dapat

diartikan aplikasi atau pengunaan hukum, rumus, metode, prinsip, dan

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisa (Analysis)

Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi

tersebut, dan masih dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat

menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya.

5. Sintesa (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu materi atau objek. Dengan kata

lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang

ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan

suatu kriteria yang di tentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

(33)

responden kedalam pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat disesuaikan

dengan tingkat tersebut di atas.

Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan adalah :

1. Pendidikan

Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi

kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga

yang dapat meningkatkan kualitas hidup, sebagaimana umumnya semakin tinggi

pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi dan semakin

pengetahuan yang dimiliki sehingga penggunaan komunikasi dapat secara efektif

akan dapat melakukannya (Notoatmojo, 2007).

2. Sumber Informasi

Informasi adalah penerangan, pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu

keseluruhan makna yang menunjang pesan atau amanat. Pengetahuan diperoleh

melalui informasi yaitu kenyataan (fakta) dengan melihat dan mendengar sendiri.

Informasi kesehatan biasanya berasal dari petugas kesehatan atau instansi

pemerintah atau media massa. Pada umumnya petugas kesehatan melakukan

pendekatan dengan ceramah atau penyuluhan kesehatan, sedangkan melalui

media massa dapat berupa elektronik seperti televisi, radio, dan lain-lain. Adapun

media cetak seperti majalah, koran, buku, dan lain-lain. Sumber informasi

kesehatan yang tepat mempunyai peran besar dalam meningkatkan pengetahuan

(34)

3. Sosial Ekonomi

Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang.

Sedangkan ekonomi dikaitkan dengan pendidikan ekonomi baik tingkat

pendidikan akan tinggi, sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi juga.

4. Budaya

Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena

informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan budaya yang ada

dan agama yang dianut (Notoatmodjo, 2007).

2.1.2. Sikap

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek,

baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat

langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari sikap yang

tertutup tersebut. Notoatmodjo (2007) sikap merupakan reaksi atau respon seseorang

yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Allport dalam Notoatmodjo

(2010) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok:

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave).

Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau menerima stimulus yang

(35)

2. Menanggapi (Responding)

Menanggapi diartikan sebagai memberikan jawaban atau tanggapan terhadap

pertanyaan atau objek yang dihadapi.

3. Menghargai (Valuing)

Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif

terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasanya dengan orang lain,

bahkan mengajak atau memengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia

harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau

adanya risiko lain. Bertanggungjawab merupakan sikap yang paling tinggi

tingkatannya (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Azwar (2005) ada beberapa faktor yang memengaruhi sikap terhadap

obyek sikap antara lain :

1. Pengalaman pribadi, untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman

pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat karena itu, sikap akan lebih

mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang

melibatkan faktor emosional.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya individu cenderung

untuk memiliki sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggap penting.

Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk menghargai

(36)

3. Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis yang

mengarahkan sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai

sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak

pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

4. Media masa dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media

komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif

cenderung dipengaruhui oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap

sikap konsumenya.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama, konsep moral dan ajaran dari lembaga

pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan, tidak

mengherankan jika pada giliranya konsep tersebut mempengaruhui sikap.

2.1.3. Tindakan

Suatu sikap belum terwujud dalam bentuk tindakan. Untuk mewujudkan sikap

menjadi sebuah perbuatan diperlukan menanamkan pengertian terlebih dahulu,

membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik serta

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain

fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak (Notoatmodjo, 2007).

Adapun tingkatan dari tindakan adalah :

1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan

(37)

2. Respon Terpimpin (Guide Response)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh-contoh

adalah indikator tingkat kedua.

3. Mekanisme (Mechanisme)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis

atau sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan maka ia sudah mencapai tingkat ketiga.

4. Adaptasi (Adaptation)

Tindakan yang sudah berkembang dengan baik (Notoatmodjo, 2007).

2.2. Teori Perubahan Perilaku

Beberapa teori determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku kesehatan antara lain:

1.

Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat

kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok,

yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour

causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor : Teori Lawrence Green

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam

pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pendukung (Enabling factors), yang terwujud dalam

(38)

c. Faktro-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan

perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku masyarakat.

2. Teori Snehandu B. Kar (1983)

Kar mengidentifikasi adanya 5 faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu:

a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan

kesehatannya (behavior itention).

b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support). Didalam

kehidupan sesorang di masyarakat, perilaku orang tersebut cenderung

memerlukan legitimasi dari masyarakat sekitarnya.

c. Terjangkaunya informasi (accessibility of information) adalah tersedianya

informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh

seseorang.

d. Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan

atau keputusan (personal autonomy).

e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).

Beberapa teori perubahan perilaku yaitu:

1. Teori Stimulus Organisme (S – O – R)

Didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku

tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan

organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi, misalnya kredibilitas,

(39)

seseorang, kelompok atau masyarakat. Hosland, et al ( 1953) dalam Notoatmojo

(2007) mengatakan bahwa perubahan perilaku pada hakikatnya adalah sama dengan

proses belajar. Teori ini mengatakan bahwa perilaku berubah hanya apabila stimulus

(rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari rangsang semula. Rangsang

yang dapat melabihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat

meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini faktor reinforcement

memegang peranan penting.

2. Teori Festinger ( Dissonance Theory ) ( 1957 )

Teori ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance (tidak seimbang). Hal ini

berarti bahwa keadaan cognitive dissonance merupakan ketidak seimbangan

psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai

keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan dalam diri individu, maka

berarti terjadi ketegangan diri lagi, dan keadaan ini disebut consonance

(keseimbangan). Ketidakseimbangan terjadi karena dalam diri individu terdapat dua

elemen kognisi yang saling bertentangan, yang dimaksud elemen kognisi adalah

pengetahuan, pendapat dan keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus

atau objek, dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang

berbeda/bertentangan di dalam diri individu itu sendiri maka terjadilah dissonance.

Keberhasilan yang ditunjukkan dengan tercapainya keseimbangan menunjukkan

(40)

3. Teori Fungsi

Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu

tergantung kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat

mengakibatkan perubahan perilaku seseorang adalah stimulus yang dapat dimengerti

dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz ( 1960 ) dalam Notoatmojo

(2007) perilaku dilatarbelakagi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan :

1) Perilaku memiliki fungsi instrumental. Artinya dapat berfungsi dan

memberikan pelayanan terhadap kebutuhan.

2) Perilaku berfungsi sebagai pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya

3) Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan pemberi arti

4) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab

suatu situasi

Teori fungsi ini berkeyakinan bahwa perilaku mempunyai fungsi untuk

menghadapi dunia luar individu, dan senantiasa menyesuaikan diri dengan

lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu di dalam kehidupan manusia

perilaku itu tampak terus – menerus dan berubah secara relative

4. Teori Kurt Lewin

Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan

yang seimbang antara kekuatan – kekuatan pendorong dan kekuatan – kekuatan

penahan. Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua

kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya

(41)

a. Kekuatan – kekuatan pendorong meningkat.

b. Kekuatan – kekuatan penahan menurun

c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun.

2.3. HIV/AIDS dan ODHA 2.3.1. Pengertian HIV dan AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang merusak sistem

kekebalan tubuh yang menyebabkan AIDS. Virus ini dapat menginfeksi sel sel

manusia dengan target utamanya adalah limfosit CD4 dimana limfosit CD4 ini

bertanggungjawab untuk mengendalikan atau mencegah infeksi oleh banyak virus

yang lain, bakteri, jamur dan parasit dan juga beberapa jenis kanker (Gallant, 2010).

CD 4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel

darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.CD 4 pada orang dengan sistem

kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4

dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit

yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.

Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.

Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang

yang terinfeksi HIV) nilai CD 4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada

beberapa kasus bisa sampai nol). Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya

berfungsi untuk melawan berbagai macam infeksi. Disekitar kita banyak sekali

(42)

Namun kita tidak setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih bisa berfungsi dengan

baik untuk melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang, mikroorganisme yang patogen

di sekitar kita tadi akan dengan mudah masuk ke tubuh kita dan menimbulkan

penyakit pada tubuh manusia (Runggu, 2014).

Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.

Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim

reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan

menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu

HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan

masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua

grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh

dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) atau sindrom kehilangan

kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia

sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV (Djoerban, 2000).

Virus HIV membutuhkan sel-sel kekebalan kita untuk berkembang biak. Secara

alamiah sel kekebalan kita akan dimanfaatkan, bisa diibaratkan seperti mesin

fotocopy. Namun virus ini akan merusak mesin fotocopynya setelah mendapatkan

hasil copy virus baru dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga lama kelamaan sel

(43)

2.3.2. Pengertian ODHA

sebagai pengganti istilah untuk seseorang yang dinyatakan positif terinveksi

lain yang dinilai kurang manusiawi. Penggunaan kata

Antom M. Moeliono, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Dekdibdud, kepada aktivis YPI Al. Husein Habsy dan Alm Suzana Murni. Sekarang,

istilah

(Kompasiana, 2013). Istilah ODHA untuk di dunia digunakan PLWHA yaitu

singkatan dari People Living With HIV AIDS.

2.3.3. Epidemiologi

Menurut data UNAIDS sampai dengan tahun 2012 terdapat 35.300.000 orang

yang hidup dengan HIV di dunia, dimana remaja dan orang muda yang berusia 10-24

tahun berjumlah 5.400.000 orang. Diperkirakan remaja dan orang muda yang baru

terinfeksi sampai dengan tahun 2012 bekisar 780.000 orang (UNAIDS, 2013) Hasil

laporan Ditjen PPM & PL Kemenkes RI menyatakan Jumlah kumulatif infeksi HIV

yang dilaporkan dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2014 sebanyak 134.053 orang.

persentase HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (72,3%)

diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15%) dan kelompok ≥ 50 tahun (5,8%) dimana

rasio HIV antara laki-laki dan permpuan adalah 1:1. Persentase faktor resiko HIV

tertinggi adalah hubungan sex beresiko pada heteroseksual (55,6%), pengguna jarum

(44)

kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dangan Maret 2014 dilaporkan sebanyak

54.231 orang, dimana persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok

umur 20-29 tahun (33,1%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (28,2%),

40-49 tahun (10,5%), 15-19 (3,1%), dan 50-59 tahun (3,2%). umur 30-39 tahun

(22,3%) dan kelompok umur 40-49 tahun (22,1%). Faktor risiko penularan terbanyak

melalui heteroseksual (60,8%), penasun (15,5%), diikuti penularan melalui perinatal

(2,7%), dan homoseksual (2,4%) (KPA, 2014).

Kasus HIV AIDS menyebar di 348 (70%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh

provinsi di Indonesia. Jumlah infeksi HIV tertinggi di Indonesia adalah DKI Jakarta

(27.207 ), diikuti oleh Jawa Timur (15.233), papua (12.767) dan Bali (7.922) dan

jumlah AIDS terbanyak dilaporkan dari Papua (7.795), diikuti oleh DKI Jakarta

(6299), Jawa Barat (4.131) dan Bali (3.798) (KPA, 2014).

2.3.4. Penularan HIV AIDS

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (2013) ada beberapa cara penularan

HIV yaitu :

1. Melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom sehingga memungkinkan

cairan mani atau cairan vagina yang mengandung virus HIV masuk ke dalam

tubuh pasangannya

2. Dari seorang ibu hamil yang HIV positif kepada bayinya selama masa kehamilan,

waktu persalinan dan/atau waktu menyusui.

3. Melalui transfusi darah/produk darah yang sudah tercemar HIV. Lewat

(45)

disterilkan, terutama terjadi pada pemakaian bersama alat suntik di kalangan

pengguna narkoba suntik (penasun).

Menurut penelitian Jacqueline Boles dan Kirk W Elifson (1994) untuk

melihat identitas seksual dan HIV melakukan penelitian terhadap 224 laki-laki

pekerja sex jalanan dimana 17,9% dari sampel mengidentifikasikan dirinya sebagai

homoseksual, 46 % heteroseksual dan 35% biseksual. Berdasarkan identitas seksual,

status HIV pada kelompok homoseksual sebesar 50%, kelompok biseksual sebesar

36,5% kelompok heteroseksual sebesar 18,5%. Perbedaan tingkat infeksi HIV pada

laki-laki dari setiap kategori identitas seksual secara signifikan berkaitan dengan

hubungan seks anal reseptif yang dilaporkan, jumlah pasangan seksual yang tidak

dibayar/membayar, pengguanaan kokain, penggunaan napza suntik, pengalaman

terinfeksi sipilis dan hepatitis.

Dari studi yang dilakukan oleh Endang Basuki, Ivan dkk, yang

dipublikasikan oleh tentang berbagai alasan bagi wanita pekerja seks di Indonesia

untuk tidak menggunakan kondom, mengungkapkan bahwa sekitar 53% hubungan

seksual dengan kondom dilakukan oleh para pekerja seks, dan 12% dari dari jumlah

ini, para wanita pekerja sekst tersebut harus berdebat terlebih dahulu dengan

pelanggan untuk bisa menggunakan kondom. Hanya 5,8% dari wanita pekerja seks

yang secara konsisten menggunakan kondom selama dua minggu observasi dan

jumlah ini menurun menjadi 1,4% selama empat minggu observasi. Berbagai alasan

untuk tidak menggunakan kondom dari sisi klien, menurut pengakuan wanita pekerja

(46)

bahwa pelanggan yang sudah kenal dengan wanita pekerja seks tidak perlu

menggunakan kondom untuk menghindari penyakit menular seksual atau AIDS.

Pandangan ini tentu saja akan merugikan PSK tersebut, karna akan sangat beresiko

terhadap penularan HIV AIDS.

Penggunaan jarum suntik secara bergantian juga sangat beresiko terhadap

penularan HIV AIDS, akan tetapi penggunaannya masih sangat tinggi. Hal ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth Pisani, Dadun dkk (2003),

studi yang dilakukan untuk melihat prevalensi paktek-praktek penyuntikan yang

berisiko terhadap penularan HIV pada kelompok pengguna napza suntik (penasun) di

Indonesia dan mengkaji risiko-risiko penularan HIV secara seksual dari penasun

kepada pasangan seksualnya.Data dikumpulkan melalui survai surveilans perilaku

pada kelompok penasun laki-laki di tiga kota. Sebanyak 650 penasun laki-laki

direkrut melalui beberapa gelombang dari berbagai lokasi yang secara sistematis

dipilih dengan mempertimbangkan variasi dari populasi ini. Pewawancara yang

terlatih, kebanyakan mantan penasun, melakukan wawacanra yang berfokus pada

praktek-praktek penyuntikan, perilaku seksual dan pengetahuan yang terkaitan

dengan HIV.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa hampir semua penasun tahu bahwa HIV

ditularkan melalui penggunaan jarum secara bergantian, tetapi 85% dari penasun

melaporkan bahwa mereka menggunakan jarum secara bergantian pada minggu

sebelumnya. Lebih dari dua pertiga penasun aktif secara seksual, 48% memiliki

(47)

bulan terakhir. Penggunaan kondom secara konsisten berkisar 10%. Potensi bagi

penyebaran HIV secara seksual dari penasun ke pasangan seksualnya sesungguhnya

sangat tinggi.Intervensi yang ada diharapkan sesegera mungkin bisa mengurangi

tingginya tingkat berbagi jarum suntik. Fokus pada pembersihan jarum dan

peningkatan penggunaan kondom juga merupakan hal yang sangat mendasar harus

dilakukan.

Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi (Maryunani A, 2009):

1. Selama kehamilan, ketika janin masih dalam kandungan ibu dengan resiko

kejadian 5-10%.

2. Selama persalinan, dengan resiko kejadian 10-20%, sebagian besar penularan

HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan ini. Hal ini disebabkan karena

pada saat proses persalinan, tekanan pada plasenta yang mengalami peradangan

atau terinfeksi meningkat menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara

darah ibu dengan darah bayi. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat pula terjadi

pada saat bayi terpapar oleh darah dan lendir ibu di jala lahir.

3. Selama menyusui, bayi tertular melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI) yang

mengidap HIV dengan resiko kejadian 10-15%.

Berbeda dengan penyakit demam berdarah ataupun malaria, AIDS tidak

ditularkan melalui gigitan nyamuk. Cara penularan AIDS juga berbeda dari penularan

influenza dan tuberculosis. AIDS tidak ditularkan melalui bersin ataupun batuk.

(48)

memakai telepon umum, nonton bioskop, tempat bekerja, saekolah, ataupun tinggal

serumah dengan penderita AIDS (Djoerban, 2000).

2.3.5. Aspek Gejala Klinis

Dalam tubuh penderita AIDS, partikel virus bergabung dengan DNA sel

penderita, sehingga satu kali seseorang terifeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap

terinfeksi. Untuk diketahui sel manusia yang terutama diserang oleh HIV adalah

limfosit subjenis T helper atau disebut juga sebagai limfosit CD4. Fungsi limfosit

CD4 dala system kekebalan tubuh amat penting, ia mengatur dan bekerjasama dengan

komponen system kekebalan yang lain. Bila jumlah limfosit CD4 berkurang, maka

system kekebalan tubuh orang yang bersangkutan akan rusak, sehingga mudah

dimasuki dan diserang oleh berbagai kuman penyakit.

Global Programme on AIDS dari badan Kesehatan Dunia (WHO) membagi

tingkat klinik infeksi HIV sebagai berikut:

Tingkat klinik 1 (Asimptomatik):

1. Tanpa gejala sama sekali

2. Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP) yakni pembesaran kelenjar getah

bening di beberapa tempat yang menetap.

Pada tingkatan ini pasien belum mempunyai keluhan dan dapat melakukan

(49)

Tingkat klinik 2 (Dini):

1. Penurunan berat badan kurang dari 10%

2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroika, prurigo,

infeksi jamur pada kuku, ulkus pada mulut berulang dan cheilitis angularis

3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir.

4. Infeksi saluran napas bagian ats berulang, misalnya sinusitis.

Pada tingkatan ini pasien sudah menunjukkan gejalatetapi aktivitas tetap

normal.

Tingkat klinik 3 (menengah):

1. Penurunan berat badan >10% berat badan.

2. Diare kronik>1 bulan, penyebab tidak diketahui.

3. Panas yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang timbul

maupun terus menerus.

4. Kandidiasis mulut.

5. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukopklakia).

6. Tuberkulosis paru setahun terakhir.

7. Infeksi bakteri yang berat misalnya pneumonia.

Pada tingkat klinik ini, penderita biasanyaberbaring di tempat tidur lebih dari

12 jam sehari, selama sebulan terakhir.

(50)

1. Badan menjadi kurus (HIV wasting syndrome), yaitu berat badan turun lebih dari

10% dan diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari satu bulan atau

keleamhan kronik dan panas tanpa diketahui sebabnya selama lebih ari satu bulan.

2. Pneumonia Pneumositis Karini

3. Toksoplasmosis otak

4. Kristopridiosis dengan diare. 1 bulan.

5. Kriptokokosis di luar paru.

6. Penyakit virus sitomegalo pada organ tubuh, kecuali di limpa, hati atau kelenjar

getah bening

7. Infeksi virus herpes simpleksdi mukokutan lebih dari satu bulan atau di alat dalam

(visceral) lamanya tidak dibatasi.

8. Leukoensefalopati multifocal progresif.

9. Mikosis (infeksi jamur) apa saja (misalnya histoplasmosis, kokkidioidomikosis)

yang endemic, yang menyerang banyak organ tubuh (disseminata).

10.Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, atau paru.

11.Mikobakteriosis atipik (mirip bakteri TBC), disseminate.

12.Septicemia salmonella non tifoid.

13.Tuberculosis di luar paru.

14.Limfoma

15.Sarkoma Kaposi

16.Ensefalopati HIV , sesuai criteria CDC yaitu: gangguan kognitif atau disfungsi

(51)

minggu atau beberapa bulan, tanpa dapat ditemukan penyebabnya selain HIV

(Djoerban, 2000)

Walaupun AIDS yang sudah parah itu seringkali dapat didiagnosis secara

klinis, namun perlu dianjurkan menjalani tes serologik (Cock, 1996).

2.3.6. Pencegahan HIV AIDS

Ada beberapa cara mencegah penularan HIV AIDS yaitu:

1. Hindari Kontak dengan Darah yang terinfeksi HIV Cara yang paling umum untuk

menularkan HIV adalah melalui kontak dengan darah dari orang yang terinfeksi

HIV. Transfusi, atau kontak dengan luka, dapat menyebabkan virus menyebar

dari satu orang ke orang lain. Transmisi dengan darah dapat dengan mudah

dihindari melalui tes darah dan menghindari kontak dengan luka jika seseorang

positif terinfeksi HIV, jika Anda harus berurusan dengan luka dari pengidap HIV/

AIDS, pastikan untuk memakai pakaian pelindung seperti sarung tangan karet.

2. Hati-hati dengan jarum suntik dan peralatan bedah obat infus, jarum suntik dan

peralatan tato dapat menjadi sumber infeksi HIV. Jarum tato, senjata, dan pisau

cukur adalah alat yang berpaparan langsung dengan darah orang yang terinfeksi.

Berikut adalah beberapa hal yang harus Anda perhatikan ketika menggunakan

jarum dan peralatan bedah:

a. Jangan menggunakan kembali alat suntik sekali pakai.

b. Bersihkan dan cuci peralatan bedah sebelum menggunakannya.

c. Jika Anda ingin tato, pastikan itu dilakukan oleh sebuah toko tato bersih dan

(52)

d. Hindari penggunaan obat-obat terlarang dan zat yang dikendalikan intravena.

3. Gunakan kondom cara lain untuk penularan HIV adalah melalui kontak seksual

tidak terlindungi. Kondom adalah baris pertama pertahanan Anda untuk

menghindari terinfeksi HIV. Hal ini sangat penting untuk menggunakan kondom

saat berhubungan seks, tidak hanya akan mengurangi kemungkinan terinfeksi

HIV, tetapi juga dapat melindungi diri dari infeksi menular seksual lainnya.

Kondom lateks adalah yang terbaik, tetapi Anda juga dapat menggunakan

kondom polyurethane. Jangan menggunakannya kembali dan pastikan bahwa

tidak ada yang rusak di hambatan saat menggunakannya.

4. Hindari Seks Bebas HIV dan AIDS yang lebih lazim untuk orang dengan banyak

pasangan seksual. Jika Anda hanya memiliki satu pasangan seksual, anda secara

dramatis dapat meminimalkan kemungkinan tertular HIV atau mendapatkan

AIDS. Namun itu tidak berarti bahwa Anda dapat berhenti menggunakan

kondom, Anda masih harus melakukan seks dilindungi bahkan jika Anda setia

pada pasangan seksual Anda (Dayong, 2014).

Menurut KPA (2013) ada 4 hal sederhana mencegah penularan HIV AIDS

yaitu program ABCD :

1. Abstinence – Tidak berhubungan seks (selibat)

2. Be Faithful – Selalu setia pada pasangan

3. Condom – Gunakan kondom di setiap hubungan seks berisiko

(53)

2.3.7. Pengobatan

Hasil laporan Ditjen PPM & PL Kemenkes RI (2013) menyatakan jumlah

ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan sepetember

2013 sebanyak 36.483 orang. Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan

kondisi kesehatan para penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit

oportunistik lain yang berat dapat disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus

menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi

pertumbuhan. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse

transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide

reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan

dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah

berkembang (Djoerban,2000).

ODHA menyambut gembira obat antiretroviral jenis Efavirenz yang

diproduksi oleh PT. Kimia Farma. Kehadiran obat ini diharapkan bisa memutus Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi

untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan

pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi

pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel

yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit

karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan

tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer

(54)

ketergantungan obat ARV yang selama ini diimpor.

Obat Efavirenz tersebut juga sudah mulai didistribusikan ke Rumah Sakit. Obat

Efavirenz ini adalah obat ARV jenis keempat yang bisa diproduksi oleh Kimia

Farma. Dua lainnya adalah jenis lamivudine, zidovudine dan nevirapine. Untuk jenis

lainnya dan juga obat ARV golongan lini 2 masih import.

Selama ini, mayoritas obat ARV yang dibutuhkan ODHA di Indonesia adalah obat

import dari India. Kerap kali dalam proses pembelian obat import ini mengalami

keterlambatan yang menyebabkan obat terlambat didistribusikan di rumah sakit

(Kompas, 2014).

2.4. Stigma dan Diskriminasi ODHA

Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena

pengaruh lingkungannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut Castro dan

Farmer (2005) dalam kajian literatur Tri Paryati dkk, stigma ini dapat mendorong

seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh

pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia layanan kesehatan, teman

sekerja, para teman dan keluarga. Stigma membuat pembatasan pada pendidikan,

pekerjaan, perumahan dan perawatan kesehatan.Stigma dapat dialami sebagai rasa

malu atau bersalah, atau secara luas dapat dinyatakan sebagai diskriminasi. Hal ini

dapat menyebabkan penurunan percaya diri, kehilangan motivasi, penarikan diri dari

kehidupan sosial, menghindari pekerjaan, interaksi dalam kesehatan dan kehilangan

(55)

1 Desember 2013 adalah melawan stigma. Stigma terhadap ODHA akan membuat

mereka merasa tidak nyaman dan akibatnya mereka akan menjauh dari layanan

kesehatan dan jika mereka menjauh dari layanan dan menjadi komunitas tertutup

maka akan sulit menerapkan program pencegahan penularan HIV kepada masyarakat

luas (Bangbuday, 2011).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diskriminasi adalah

pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit,

golongan, suku, ekonomi, agama, dsb). Menurut UNAIDS (2013), diskriminasi

terhadap penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan

perlakuan yang tidak adil terhadap individu karena status HIV mereka, baik itu status

sebenarnya maupun hanya persepsi saja. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

menekankan agar masyarakat Internasional agar bekerja lebih keras mengakhiri

stigma dan diskriminasi untuk menghentikan infeksi HIV baru dikalangan anak-anak,

dan untuk menjamin akses keperawatan dan pengobatan bagi semua orang yang

membutuhkan. Badan PBB dalam UNAIDS dengan tegas mengatakan bahwa

menghapus stigma dan diskriminasi mutlak diperlukan untuk mengakhiri epidemi

HIV (Redaksi editorial satuharapan, 2013).

1.

Menurut Herek and Capitanio (1999) dalam Siregar N (2012) stigma ODHA

lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:

Stigma Instrumental ODHA yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal

(56)

2.

3.

Stigma Simbolis ODHA yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan

sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap

berhubungan dengan penyakit tersebut.

Stigma Kesopanan ODHA yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan

dengan issu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.

1.

Menurut Leslie Butt (2010) yang dikutip oleh Siregar N (2012) dari hasil

penelitian mereka di pegunungan Papua dengan 28 responden dari latar belakang

yang beragam, para responden mengungkapkan mereka mengalami stigma dari

berbagai sumber diantaranya:

2.

Pengungkapan status mereka tanpa sepengetahuan mereka oleh orang-orang lain

3.

Pengungkapan status mereka secara sukarela oleh orang-orang lain

4.

Pengungkapan status mereka oleh seseorang yang berpengaruh seperti pemimpin

gereja atau petugas kesehatan

5.

Pengungkapan status mereka oleh orang tua

6.

Kesalahan dalam penyediaan layanan kesehatan

7.

Kurangnya akses ke obat-obatan ARV atau akses yang diketahui orang lain

8.

Kurangnya pengetahuan tentang HIV, transmisi dan ARV

9.

Diskriminasi oleh kerabat jauh dan masyarakat

Pemahaman-pemahaman budaya dan praktek-praktek seputar penyakit keras

10. Nilai-nilai budaya yang berkenaan dengan kematian dan menjelang

(57)

a.

b.

Nilai-nilai

Gambar

Gambar 2.1.  Skema Teori Perilaku S_O_R
Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 3.2. Karakteristik Informan Pendukung

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukan bahwa makna pengidap HIV/AIDS bagi ODHA adalah manusia biasa yang terdapat virus di dalam tubuhnya yang dikarenakan perilaku beresiko

terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasanya dengan orang lain,.. bahkan mengajak atau memengaruhi atau menganjurkan orang

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti Model Komunikasi Antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Menghadapi Stigma dan Diskriminasi Lingkungan

Judul : Pengaruh Dukungan Keluarga Terhadap Keberfungsian Sosial Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di Rumah Singgah Caritas PSE Medan.. Medan,

Konsep Diri Orang Dengan HIV Dan AIDS (ODHA) Yang Menerima Label Negatif Dan Diskriminasi Lingkungan Sosial.

Orang Dengan Hiv/ Aids (Odha) Menjadi Aktivis Hiv/ Aids (Studi kualitatif tentang makna stigma... ADLN Perpustakaan

Oleh sebab itu, survei tentang stigma dan diskriminasi oleh tenaga kesehatan terhadap ODHA di Puskesmas dan Rumah Sakit di Kabupaten Batang sangat perlu dilakukan

Simpulan: Orang dengan HIV/AIDS ODHA di kota Medan masih memiliki koping yang positif dalam menghadapi stigma dan diskriminasi sehingga ODHA tetap melanjutkan pengobatan di pelayanan