• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL KOMUNIKASI ANTARPRIBADI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DALAM MENGHADAPI STIGMA DAN DISKRIMINASI LINGKUNGAN SOSIAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "MODEL KOMUNIKASI ANTARPRIBADI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DALAM MENGHADAPI STIGMA DAN DISKRIMINASI LINGKUNGAN SOSIAL"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

DISKRIMINASI LINGKUNGAN SOSIAL (Studi Kasus ODHA di RSUP H. Adam Malik Medan)

TESIS

Oleh :

DWIANITA 167045006

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2018

(2)

MODEL KOMUNIKASI ANTARPRIBADI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DALAM MENGHADAPI STIGMA DAN

DISKRIMINASI LINGKUNGAN SOSIAL (Studi Kasus ODHA di RSUP H. Adam Malik Medan)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Ilmu Komunikasi dalam Program Magister Ilmu Komunikasi pada Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

Oleh

DWIANITA 167045006

MAGISTER ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)
(4)

Telah diuji pada

Tanggal: 23 Agustus 2018

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Drs. Syafruddin Pohan, M.Si, Ph.D Anggota : 1. Dr. Nurbani, M.Si

2. Dra. Dewi Kurniawati, M.Si, Ph.D

3. Prof. Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA,Ph.D

(5)
(6)

MODEL KOMUNIKASI ANTARPRIBADI ORANG DENGAN HIV/AIDS (ODHA) DALAM MENGHADAPI STIGMA DAN

DISKRIMINASI LINGKUNGAN SOSIAL

(Studi Kasus ODHA di RSUP H. Adam Malik Medan)

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis komunikasi antarpribadi, hambatan komunikasi, serta menemukan model komunikasi antarpribadi ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial. Teori yang digunakan adalah Komunikasi Antarpribadi, Pengungkapan Diri, Tindakan Beralasan, dan Disonansi Kognitif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan studi kasus. Adapun metode pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam dan observasi. Informan dalam penelitian ini adalah ODHA dengan triangulasi data kepada teman, keluarga, konselor, perawat, dan masyarakat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komunikasi antarpribadi ODHA dalam penyampaian informasi status diri masih memperoleh stigma dan diskriminasi dari lingkungan sosial berupa penolakan, pengusiran, pengucilan, hinaan, dan ekspresi wajah yang kurang menyenangkan. Komunikasi keempat informan di masyarakat pada umumnya sama yaitu masih menyembunyikan status diri sebagai ODHA dengan bersikap secara wajar, menjaga jarak, dan berbohong tentang penyakitnya. Hambatan komunikasi yang dialami yaitu hambatan kognitif disebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai HIV/AIDS dan masih dikaitkan dengan moralitas, serta adanya hambatan psikologi dan fisik diri ODHA. Model komunikasi antarpribadi ODHA di lingkungan sosialnya dilakukan melalui 2 cara, terbuka tentang kondisi status kesehatannya dan tertutup dengan menyembunyikan status dirinya sebagai ODHA agar terhindar dari stigma dan diskriminasi.

Kata Kunci: Model Komunikasi, ODHA, Stigma, Diskriminasi, Rumah Sakit Adam Malik

(7)

INTERPERSONAL COMMUNICATION MODEL OF PEOPLE LIVING WITH HIV/AIDS (PLWHA) IN FACING OF STIGMA

AND SOCIAL ENVIRONMENTAL DISCRIMINATION (A Case Study of PLWHA at H. Adam Malik

General Hospital Medan)

ABSTRACT

The purpose of this research was to analyze the interpersonal communication, communication barriers, and find a model of interpersonal communication of PLWHA in facing of stigma and social environmental discrimination. The theory used Interpersonal Communication, Self Disclosure, Reasoned Action, and Cognitive Dissonance. This study uses qualitative method with case study. The data was collected through in depth interview and observation. Informants in this study were PLWHA and data triangulation with friend, family, counselor, nurse, and society. The results showed that interpersonal communication by PLWHA in delivering their status information still received stigma and discrimination from social environment such as refusal, eviction, exclusion, insult, and unpleasant facial expression. In general, the communication of the four informants in the society was that they still hide their status as PLWHA by acting normally, keeping distance, and lying about their disease. The communication barrier was the cognitive barrier due to people’s lack of knowledge about HIV/AIDS and it is still considered related to morality, and psychological and physical barriers from PLWHA themselves. The research found out two methods of interpersonal communication model performed by ODHA, they were open about the condition of their health status and they were close themselves by hiding their self status as ODHA in order to avoid any stigma and discrimination.

Keywords: Communication Model, PLWHA, Stigma, Discrimination, Adam Malik Hospital

(8)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas berkat dan rahmat yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini tepat pada waktunya.

Hasil karya ilmiah ini penulis persembahkan buat ibunda dan ayahanda tercinta Nuraina Purba dan Reindra Hady yang telah memberikan doa dan dukungan yang sebesar-besarnya untuk melanjutkan pendidikan sampai saat ini.

Penulis juga tidak lupa mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada kakak dan adik tersayang, Delvi Septiani dan Tri Wiratama.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materi dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung, S.H., M.Hum., selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Dr. Muryanto Amin, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Prof. Dra. Lusiana Andriani Lubis, MA, Ph.D, selaku Ketua Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan.

4. Bapak Drs. Syafruddin Pohan, M.Si., Ph.D, selaku Sekretaris Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sekaligus sebagai Ketua Komisi Penguji.

5. Ibu Dr. Nurbani, M.Si., selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.

6. Ibu Dra. Fatma Wardy Lubis, M.A., selaku Anggota Komisi Pembimbing yang juga telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam penyusunan tesis ini.

7. Ibu Dra. Mazdalifah, M.Si., Ph.D, dan ibu Dra. Dewi Kurniawati, M.Si,

(9)

8. Bapak dan Ibu Dosen di Lingkungan Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara yang telah mengajar dan membekali Ilmu Komunikasi kepada penulis.

9. Seluruh staff dan informan di Pusyansus RSUP. H. Adam Malik yang telah bersedia memberikan waktu dan informasi dalam membantu penelitian ini.

10. Kepada seluruh teman-teman Magister Ilmu Komunikasi Angkatan 2016/2017 Mahasiswa Reguler dan Kominfo yang menjadi teman seperjuangan.

11. Staf administrasi Magister Ilmu Komunikasi yang telah membantu segala sesuatu yang dibutuhkan penulis selama mengikuti perkuliahan.

Penulis menyadari tesis ini masih memiliki banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Namun demikian penulis berharap tesis ini bisa bermanfaat bagi banyak orang terutama mahasiswa yang akan melakukan penelitian yang sejenis dengan tesis ini. Semoga Allah senantiasa selalu memberikan keberkahan dan ilmu yang bermanfaat untuk kita semua. Aamiin.

Medan, Agustus 2018 Penulis,

Dwianita

(10)

DAFTAR ISI

Hal

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR SINGKATAN ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Masalah ... 1

1.2 Fokus Masalah ... 10

1.3 Tujuan Penelitian ... 10

1.4 Manfaat Penelitian ... 10

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Penelitian ... 12

2.2 Penelitian Terdahulu ... 13

2.3 Uraian Teori ... 21

2.3.1 Komunikasi Antarpribadi ... 21

1) Efektivitas Komunikasi Antarpribadi ... 24

2) Tujuan Komunikasi Antarpribadi ... 26

2.3.2 Hambatan Komunikasi ... 29

2.3.3 Pengungkapan Diri (Self Disclosure) ... 31

2.3.4 Konsep Diri ... 35

2.3.5 Interaksi Simbolik ... 36

2.3.6 Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action) ... 39

2.3.7 Disonansi Kognitif ... 41

(11)

2.3.9 HIV/AIDS ... 46

2.3.10 Stigma dan Diskriminasi ... 50

2.4 Kerangka Pemikiran ... 55

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 57

3.2 Aspek Penelitian ... 58

3.3 Subjek Penelitian ... 58

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 59

3.5 Keabsahan Data ... 61

3.6 Metode Analisis Data ... 63

BAB IV TEMUAN PENELITIAN 4.1 Proses Penelitian ... 65

4.2 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 67

4.2.1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik ... 67

4.2.2 Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) ... 69

4.3 Temuan Penelitian ... 70

4.3.1 Pemaparan Hasil Wawancara Informan ... 72

1) Informan 1: SBH ... 72

2) Informan 2: AH ... 80

3) Informan 3: TH ... 86

4) Informan 4: CLMPS ... 92

4.3.2 Informan Tambahan ... 97

1) Informan Tambahan 1: Juni ... 97

2) Informan Tambahan 2: Mawar ... 99

3) Informan Tambahan 3: Rahmad ... 102

4) Informan Tambahan 4: Melpinna ... 104

5) Informan Tambahan 5: Shofanut ... 107

4.3.3 Komunikasi Antarpribadi ODHA ... 109

4.3.4 Hambatan Komunikasi ODHA ... 115

4.3.5 Model Komunikasi Antarpribadi ODHA ... 117

(12)

4.4 Triangulasi Sumber Data ... 119

BAB V PEMBAHASAN

5.1 Komunikasi Antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS ... 122 5.2 Hambatan Komunikasi Orang Dengan HIV/AIDS ... 134 5.3 Model Komunikasi Orang Dengan HIV/AIDS ... 138

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan ... 144 6.2 Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 147

LAMPIRAN

(13)

DAFTAR TABEL

Tabel Hal

4.1 Data Informan ... 72

4.2 Data Informan Tambahan ... 97

4.3 Penyampaian Status Diri ODHA di Lingkungan Sosial ... 110

4.4 Bentuk Stigma dan Diskriminasi ODHA ... 113

4.5 Model Komunikasi ODHA Menghadapi Stigma dan Diskriminasi ... 118

(14)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal

2.1 Jendela Johari (Johari Window) ... 33

2.2 Model Interaksional ... 38

2.3 Disonansi Kognitif ... 43

2.4 Model Komunikasi Antarpribadi ... 45

2.5 Kerangka Pemikiran ... 56

5.1 Model Komunikasi Antarpribadi ODHA dalam menghadapi Stigma dan Diskriminasi Lingkungan Sosial ... 140

(15)

DAFTAR SINGKATAN

1. AIDS : Acquired Immuno Deficiency Syndrome 2. ARV : Anti Retroviral

3. ASI : Air Susu Ibu

4. CST : Care, Support & Treatment 5. HAM : Hak Asasi Manusia

6. Diklit : Pendidikan dan Penelitian 7. Ditjen : Direktorat Jenderal 8. Dr : Dokter

9. HIV : Human Immunodeficiency Virus 10. IDU : Injecting Drug User

11. Kemenkes : Kementerian Kesehatan

12. KTS : Konseling dan Tes HIV/AIDS Sukarela 13. L : Laki-Laki

14. Litbang : Penelitian dan Pengembangan 15. LSM : Lembaga Swadaya Masyarakat 16. Menkes : Menteri Kesehatan

17. ODHA : Orang Dengan HIV/AIDS

18. P : Perempuan

19. PDP : Perawatan, Dukungan & Pengobatan 20. Perda : Peraturan Daerah

21. PMTCT : Prevention of Mother To Child Transmission 22. PPIA : Pencegahan Penularan Ibu ke Anak

23. PSK : Pekerja Seks Komersial 24. Pusyansus : Pusat Pelayanan Khusus

25. P2P : Pencegahan dan Pengendalian Penyakit 26. PNS : Pegawai Negeri Sipil

27. RI : Republik Indonesia

28. RSUP HAM : Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik 29. SK : Surat Keputusan

30. Sp.PD-KPTI : Spesialis Penyakit Dalam-Penyakit Tropik Infeksi

(16)

31. TB : Tuberkulosis 32. TU : Tata Usaha

33. TRA : Theory of Reasoned Action 34. TPB : Theory of Planned Behaviour 35. UU : Undang-Undang

36. VCT : Voluntary Conselling and Testing

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Surat Izin Penelitian

2. Surat Etik Penelitian (Ethical Clearance)

3. Lembar Persetujuan Informan (Informed Consent) 4. Transkrip Wawancara

5. Penelitian Terdahulu 6. Dokumentasi Penelitian 7. Biodata Peneliti

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang Masalah

Manusia pada dasarnya adalah makhluk sosial yang membutuhkan komunikasi dengan lingkungannya. Setiap individu membutuhkan orang lain dalam hal memenuhi kebutuhannya melalui interaksi dengan orang lain. Hal ini juga dialami oleh Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) melalui komunikasi antarpribadi dalam berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.

Masalah sosial yang dialami ODHA disebabkan adanya stigma di masyarakat. Stigma yang menganggap bahwa orang yang terinfeksi HIV/AIDS adalah orang yang menyimpang akibat prilaku negatif yang tidak sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat seperti perilaku seksualitas, berganti pasangan, dan menggunakan narkoba. Akibat keterbatasan pengetahuan, masyarakat juga menganggap bahwa HIV/AIDS sebagai sesuatu yang berbahaya dan mematikan.

Stigma tersebut membuat terasingnya mereka dengan munculnya perlakuan diskriminasi terhadap para ODHA. Secara umum perlakuan diskriminasi yang diterima ODHA dengan cara tidak diterimanya mereka seperti diusir, dijauhi, membedakan peralatan makanan, ditolak pada pelayanan kesehatan, dan diskriminasi secara verbal berupa sindiran dan hinaan. Bentuk diskriminasi terhadap ODHA juga dipaparkan oleh (Gaudine, Gien, Thuan, &

Dung, 2010) yang terjadi meliputi penghindaran kontak mata, berdiri jauh ketika sedang diajak berbicara, tidak duduk di tempat yang sama dengan ODHA, tidak

(19)

yang dijual oleh ODHA. Adanya stigma dan diskriminasi menyebabkan ODHA merasa kesulitan untuk membuka status kesehatannya kepada orang lain karena takut tidak diterima oleh lingkungan sosialnya.

Stigma mengenai penyakit HIV/AIDS yang mengarah pada ODHA menjadi hambatan komunikasi dalam melakukan proses-proses sosial. Mereka akan membatasi interaksi dengan lingkungan sosialnya karena khawatir akan reaksi dan penerimaan dirinya. Stigma diperkuat oleh banyak faktor antara lain kurangnya pemahaman masyarakat mengenai HIV/AIDS. Ketidaktahuan masyarakat tentang bagaimana HIV ditularkan termasuk ketakutan yang berkaitan dengan isu bahwa HIV/AIDS akan menular pada orang yang melakukan perbuatan menyimpang. Sehingga pada umumnya masyarakat cenderung menghindari dan menjauhi kontak sosial dengan ODHA.

Komunikasi antarpribadi ODHA dilakukan dengan ketidakterbukaan mengenai status kesehatannya akibat rasa takut akan stigma dan diskriminasi dari lingkungan sosial. Ketidakterbukaan ini juga dipengaruhi oleh jarak atau kedekatannya dengan orang lain. Selama proses komunikasi antarpribadi berlangsung terjadinya interaksi mengenai berbagai informasi dan perasaan dengan orang lain untuk saling membuka diri sangat penting. Dalam hal ini komunikasi antarpribadi belum sepenuhnya terjalin dengan baik dikarenakan ODHA tidak memberikan informasi mengenai status dirinya kecuali kepada orang-orang terdekatnya saja. Penyembunyian status kesehatan mereka merupakan komunikasi yang mereka lakukan dimasyarakat. Kesulitan akan keterbukaan tentang status ODHA itu sendiri kepada lingkungan sosialnya dilakukan untuk melindungi diri dari tanggapan buruk terhadap ODHA.

(20)

Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan Butt, Morin, Numbery, Peyon, & Goo (2010) kepada 28 ODHA, hampir semua responden memilih untuk paling tidak memberitahu kepada satu orang lain tentang status HIV mereka. Baik laki-laki maupun perempuan secara konsisten tidak mau memberitahu para anggota terdekat keluarga mereka. Hanya dua responden yang mengatakan mereka secara sukarela memberitahu keluarga mereka. Alasan terbesar untuk tidak memberitahu status mereka adalah takut akan stigmatisasi.

Hemawati (dalam Suriana & Dewi, 2013) menyatakan bahwa banyaknya masyarakat yang beranggapan negatif terhadap korban HIV/AIDS, sehingga ODHA cenderung menutup diri dari lingkungan masyarakat tanpa memberitahu keadaan yang sebenarnya dan hanya mau berbagi mengenai dirinya dengan orang- orang tertentu. Faktor-faktor yang memberi pengaruh terhadap stigma dan diskriminasi pada ODHA antara lain takut tertular dan menjadi beban bagi orang- orang terdekat mereka seperti keluarga, pasangan dan teman dekat. Mereka merasa lebih nyaman untuk tinggal sendiri atau bersama dengan orang-orang yang menderita penyakit yang sama dengan mereka. Hal itu menunjukkan adanya kecemasan akan diskriminasi yang dihadapi oleh penderita HIV/AIDS. Keadaan ini semakin terlihat pada perilaku menyembunyikan status penyakitnya dari orang-orang disekitarnya demi menjaga hubungan yang wajar dengan mereka.

Penerapan model komunikasi antarpribadi dalam menghadapi stigma dan diskriminasi, terkadang ODHA sebagai komunikator tidak dapat menyampaikan pesan dengan baik karena lingkungan sosialnya sulit memahami dan menerima apa yang disampaikan oleh ODHA. Hal ini disebabkan adanya berbagai kendala yang terjadi dalam komunikasi. Kendala tersebut dapat dihilangkan atau

(21)

setidaknya diminimalisir jika komunikator dapat menganalisis reaksi yang akan ditimbulkan oleh komunikan.

ODHA harus dapat mengenali lawan bicara mereka pada saat berkomunikasi dengan mengetahui apakah lingkungan sosial dapat atau tidak dapat menerima keberadaan mereka sebagai ODHA. ODHA harus mampu menjalin keakraban dan membangun kepercayaan kepada lingkungan sosialnya.

Kepercayaan diri ODHA memiliki peran yang penting dalam proses komunikasi.

ODHA harus memiliki kepercayaan diri untuk memulai komunikasi dan interaksi dengan orang lain. ODHA tidak akan memberikan informasi mengenai apa yang mereka rasakan kepada orang lain apabila orang tersebut tidak dapat memahami apa yang mereka rasakan.

ODHA akan memandang dan memberi tanggapan terhadap segala sesuatu yang ada disekitarnya. Pada umumnya ODHA akan merubah persepsi negatif dengan memandang buruk tentang dirinya sehingga tidak dapat menerima status dirinya sebagai ODHA. Hal ini akan berpengaruh terhadap komunikasi antarpribadi yang dilakukan ODHA dengan orang lain dalam hal interaksi di lingkungan sosialnya. Stigma dan diskriminasi akan mempengaruhi cara pandang ODHA terhadap dirinya termasuk konsep dirinya. Konsep diri merupakan faktor dalam komunikasi antarpribadi karena setiap orang bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya. Konsep diri yang positif akan mendukung komunikasi antarpribadi, sebaliknya konsep diri yang negatif akan menghambat proses komunikasi yang terjadi. ODHA yang mengalami stigma dan diskriminasi akan memiliki konsep diri yang negatif dengan tidak melakukan berbagai upaya agar membuat mereka dapat diterima oleh lingkungan sosialnya.

(22)

Penderita HIV/AIDS sebagian mampu menerima status dirinya. Mereka akan berusaha sembuh dan berusaha untuk mencegah agar tidak menularkan kepada orang lain. Tetapi pada sebagian penderita lain, mereka merasa ditolak oleh masyarakat dan tidak mampu menerima status dirinya. Hal ini juga diungkapkan Ahwan (2014) bahwa stigma dan diskriminasi yang dihubungkan dengan penyakit menimbulkan efek psikologi yang berat tentang bagaimana ODHA melihat diri mereka sendiri. Hal ini bisa mendorong mereka ke dalam beberapa kasus, seperti terjadinya depresi, kurangnya penghargaan diri, dan keputusasaan.

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia dengan epidemi HIV/AIDS yang berkembang cepat. Data dari Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan RI menyatakan situasi kasus HIV/AIDS terjadi peningkatan setiap tahunnya, untuk kasus HIV sampai dengan tahun 2010 dilaporkan sebanyak 21.591, tahun 2011 sebanyak 21.031, di tahun 2012 sebanyak 21.511, tahun 2013 tercatat 29.037, pada tahun 2014 sebanyak 32.711, meningkat di tahun 2015 sebanyak 30.935, dan terus meningkat sampai tahun 2016 yang dilaporkan sebanyak 41.250. Sedangkan data untuk kasus AIDS sampai dengan tahun 2010 dilaporkan sebanyak 7.470, tahun 2011 sebanyak 8.279, pada tahun 2012 menjadi 10.862, tahun 2013 meningkat menjadi 11.741, terjadi penurunan tahun 2014 sebanyak 7.963, turun kembali tahun 2015 sebanyak 7.185, dan kembali meningkat di tahun 2016 yang dilaporkan sebanyak 7.491 (Kemenkes RI, 2017).

Kementerian Kesehatan RI (2017) menyatakan bahwa Provinsi Sumatera Utara menempati posisi ketujuh setelah Provinsi Jakarta, Jawa Timur, Papua,

(23)

Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Bali dengan jumlah infeksi HIV yang dilaporkan dari tahun 2009 sampai dengan Maret 2017 sebesar 13.454 kasus dan AIDS yaitu sebesar 3.879 kasus. Hal ini menunjukkan bahwa kasus HIV/AIDS di Provinsi Sumatera Utara masih cukup tinggi.

Pemerintah dalam hal ini telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi penyebaran HIV/AIDS. Khusus Provinsi Sumatera Utara tercantum pada Peraturan Daerah (Perda) Kota Medan No. 01 Tahun 2012 Pasal 1 (22) tentang Pencegahan dan Penanggulangan HIV dan AIDS. Upaya-upaya tersebut dilakukan dengan cara menyediakan layanan yang mendukung penanggulangan epidemi HIV/AIDS seperti pendidikan sebaya, pelayanan kesehatan dasar, perawatan dan pengobatan HIV dan AIDS, penjangkauan, konseling, dan Voluntary Conselling and Testing (VCT) yang ditujukan untuk mencegah dan mengurangi resiko penularan HIV serta mengurangi dampak sosial ekonomi akibat HIV/AIDS pada individu, keluarga, dan masyarakat.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No 782/Menkes/SK/IV/2011 tentang rumah sakit rujukan sebagai akses pelayanan bagi para ODHA, dimana salah satunya bisa di dapatkan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP HAM) Medan. Berdasarkan hasil observasi awal yang dilakukan di Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) RSUP H. Adam Malik, jumlah kasus pasien HIV yang pernah masuk perawatan juga terjadi peningkatan dari tahun ke tahun. Peningkatan di mulai dari tahun 2005 sampai dengan tahun 2015 dilaporkan sebanyak 4.931 kasus, sampai tahun 2016 sebanyak 5.083 kasus, tahun 2017 sebanyak 5.362 kasus dan hingga sampai Mei 2018 dilaporkan sebanyak 5.518 kasus. RSUP H. Adam Malik sudah menangani pasien HIV/AIDS

(24)

dengan memberikan akses pelayanan sebagai mediator antara masyarakat yang negatif HIV/AIDS dan yang menyandang status sebagai ODHA.

Akses pelayanan tersebut dapat mempermudah ODHA untuk memperoleh pengobatan. Meskipun akses pelayanan sangat terbuka, tetapi reaksi ODHA ketika pertama kali didiagnosa positif adalah kebingungan, terkejut, kecemasan, dan penyangkalan mengenai diagnosa tersebut. Reaksi berikutnya terjadi isolasi atau menarik diri dari lingkungannya. Hal ini terkait masalah adanya kecemasan ODHA akan mendapat stigma dan diskriminasi dari masyarakat (Arriza, Dewi, & Kaloeti, 2011).

Pernyataan tersebut juga didukung dari hasil wawancara peneliti dengan Pak Rahmad selaku konselor di Pusyansus RSUP. H. Adam Malik yang menyatakan bahwa:

“ODHA yang belum menerima status dirinya pasti lebih tertutup.

Bagaimana orang lain mau menerima jika dia sendiri belum bisa menerima. Mereka tahu bahwa HIV terkait dengan perilakunya sehingga timbul rasa malu. Secara umum mereka tidak siap menerima dengan berbagai respon seperti reaksi kaget, stres, berteriak histeris, dan sampai tingkat ingin bunuh diri. Kasus ODHA yang mencoba untuk bunuh diri tentu lebih banyak daripada yang sudah bunuh diri.”

ODHA yang menerima diskriminasi dari masyarakat dan lingkungan sosial hingga saat ini masih cukup banyak. Mengutip dari artikel Liputan6 pada Desember 2016, seorang ODHA bernama Hana yang memiliki profesi sebagai pekerja seks sekaligus waria yang ikut menjalani tes HIV. Setelah keluarga mengetahui Hana positif HIV, diskriminasi langsung ia dapat dari dalam rumahnya. Segala perlengkapan makan dan mandi dipisahkan tersendiri. Begitu juga dengan kasus Liana yang juga seorang pekerja seks dan mengalami diskriminasi serupa. Sikap kedua orang tuanya berubah drastis dan berfikir HIV

(25)

merupakan aib keluarga serta penyakit yang memalukan (http://health.liputan6.com/read/2667535/kisah-2-odha-yang-menyentuh-hati)

Diskriminasi tidak hanya berasal dari keluarga tetapi datang dari masyarakat sekitar tempat tinggal mereka. Banyak perlakuan buruk yang diterima oleh ODHA baik secara verbal maupun non verbal. Roey (2003:10) menyatakan bahwa diskriminasi bisa terjadi dalam berbagai bentuk, dari yang hampir tak terlihat sampai yang terlihat seperti kekerasan fisik. Begitupun ketakutan ODHA dapat muncul dari persepsi yang tidak selalu benar mengenai HIV/AIDS sampai kepada diskriminasi dalam bentuk penolakan dan kekerasan yang bersifat objektif.

Diskriminasi ODHA sangat berpengaruh dalam upaya penerimaan dirinya di masyarakat termasuk bagaimana tanggapan masyarakat mengenai keberadaan mereka dalam kehidupan sosial. Sebagaimana Wood (2013:158) menyatakan dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial, kita akan membutuhkan konfirmasi dari orang lain, yaitu pengakuan berupa tanggapan dari orang lain. Tanggapan itu bisa berupa verbal maupun nonverbal. Ada juga diskonfirmasi yang merupakan lawan dari konfirmasi, yaitu penolakan berupa tanggapan yang menunjukkan tidak mengakui keberadaan orang lain. Pengakuan tersebut tidak hanya berupa keberadaan orang lain tetapi pengakuan mengenai apa yang orang lain rasakan, pikirkan atau katakan, serta pengesahan yaitu melibatkan penerimaan perasaan atau pikiran orang lain.

ODHA mendapat diskonfirmasi dari orang lain dengan tidak diakuinya mereka di tengah masyarakat akibat adanya stigma negatif sampai diskriminasi yang mereka terima. Sampai saat ini sebagian besar ODHA belum berani melakukan pendekatan secara antarpribadi melalui komunikasi dengan

(26)

masyarakat dan berusaha untuk menutupi status diri sebagai ODHA di lingkungan sosialnya. Mengutip pernyataan Suzana (dalam Spiritia, 2016:19) :

“Saya sangat ingin orang melihat dan berkomunikasi kepada orang terinfeksi HIV dengan cara yang sama yang mereka lakukan kepada orang dengan sakit flu. Maksud saya tanpa ada rasa takut, diskriminasi atau menghakimi.”

ODHA yang mengalami stigma dan diskriminasi juga akan berdampak pada keluarga dengan ikut merasa tertekan. Anak yang didiagnosis HIV juga akan menyebabkan terjadinya trauma emosi yang mendalam bagi keluarganya. Orang tua harus menghadapi masalah berat dalam perawatan anak, pemberian kasih sayang, dan sebagainya sehingga dapat mempengaruhi pertumbuhan mental anak.

Orang tua memerlukan waktu untuk mengatasi masalah emosi, syok, kesedihan, penolakan, perasaan berdosa, cemas, marah, dan berbagai perasaan lain (Nursalam

& Kurniawati, 2009:162).

Penelitian ini dianggap penting untuk diteliti karena berkaitan dengan beberapa aspek. Pertama, stigma dan diskriminasi masih menjadi faktor penghambat dalam pengungkapan diri ODHA. Kedua, Dinamika komunikasi antarpribadi diharapkan dapat mengurangi stigma dan diskriminasi berkaitan dalam upaya penerimaan dirinya di masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti Model Komunikasi Antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Menghadapi Stigma dan Diskriminasi Lingkungan Sosial (Studi Kasus ODHA di RSUP H.

Adam Malik Medan). Adapun pemilihan lokasi penelitian ini dipilih karena, pertama, RSUP H. Adam malik adalah salah satu rumah sakit yang memiliki

(27)

klinik VCT pertama di kota Medan. Kedua, RSUP H. Adam Malik berdasarkan SK Menkes RI No. HK.02.02/MENKES/390/2014 ditetapkan sebagai Rumah Sakit Rujukan Nasional dan merupakan Rumah Sakit Umum Kelas A.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan latarbelakang yang telah diuraikan di atas, maka fokus masalah dalam penelitian ini adalah:

1) Bagaimana komunikasi antarpribadi ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial?

2) Apa saja hambatan komunikasi yang dialami ODHA?

3) Bagaimana model komunikasi antarpribadi ODHA?

1.3 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk:

1) Menganalisis komunikasi antarpribadi ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial.

2) Menganalisis hambatan komunikasi yang dialami ODHA.

3) Menemukan model komunikasi antarpribadi ODHA

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan dasar ilmu komunikasi tentang teori-teori yang berkaitan dengan komunikasi antarpribadi Orang

(28)

Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial.

2) Manfaat Akademis

Secara akademis, peneliti berharap agar penelitian ini dapat menjadi kontribusi bagi peneliti yang akan meninjau lebih jauh masalah topik yang terkait dengan kajian komunikasi antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial.

3) Manfaat Praktis

(1) Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis sebagai pedoman atau masukan bagi keluarga dan masyarakat tentang cara berkomunikasi yang baik pada ODHA sehingga ODHA dapat memperoleh kehidupan yang layak dan terhindar dari stigma dan diskriminasi.

(2) Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pelayanan rumah sakit dan masyarakat untuk dapat bekerjasama dalam menuntaskan permasalahan HIV/AIDS.

(29)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Penelitian

Wimmer dan Dominick menyatakan paradigma adalah bagaimana peneliti melihat dunia meyakini tentang seperangkat teori, prosedur, dan asumsi.

Paradigma dalam suatu penelitian adalah seperangkat cara pandang yang luas dan menjadi konsep utama dalam suatu penelitian yang akan memandu kegiatan atau proses dari penelitian tersebut (dalam Kriyantono, 2014:48).

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme untuk melihat komunikasi antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial. Tindakan objek penelitan ditentukan oleh konstruksi diri sekaligus konstruksi lingkungan luar dari diri. Selain itu konstruktivisme meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman.

Paradigma konstruktivisme merupakan kritik dari paradigma positivisme yang dikembangkan oleh Jesse Deli dan rekan-rekannya. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada setiap orang yang biasa dilakukan kaum positivisme.

Menurut Weber (dalam Ardianto & Q Anees, 2007:158) paradigma konstruktivisme menilai perilaku manusia secara fundamental karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku dikalangan mereka

(30)

sendiri. konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan individu adalah hasil konstruksi (bentukan) individu sendiri.

Littlejohn & Foss (2011:179) lebih lanjut menyatakan tentang konstruktivisme bahwa individu melakukan penafsiran dan bertindak menurut berbagai konseptual yang ada dalam pikirannya. Realitas tidak menunjukkan dirinya, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu dalam realitas tersebut. Selain itu Creswell (2016:10) menyebutkan bahwa asumsi konstruktivisme dimana individu-individu selalu berusaha memahami dunia dimana mereka hidup dan bekerja. Manusia mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalamannya.

Makna-makna tersebut akan diarahkan pada objek-objek atau benda-benda di sekelilingnya.

2.2 Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian ini membutuhkan penelitian-penelitian terdahulu.

Penelitian terdahulu dibutuhkan sebagai rujukan untuk menambah pemahaman terhadap penelitian yang akan dilakukan dan untuk membantu dalam mengembangkan ide penulisan, oleh karena itu peneliti mengutip beberapa tulisan dari penelitian-penelitian lain. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah tesis yang berjudul Efektifitas Komunikasi Konseling Terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Memperpanjang Harapan Hidup (Studi Kasus Konselor di Komite AIDS HKBP Balige oleh Ardi Tambunan (2017).

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan

(31)

partisipatif dan wawancara mendalam yang dilakukan selama tiga bulan. Informan dalam penelitian ini adalah konselor, ODHA, dan tokoh masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis proses komunikasi, hambatan komunikasi serta komunikasi efektif pada konseling HIV/AIDS di Komite AIDS HKBP.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses komunikasi konseling HIV/AIDS adalah proses penyampaian informasi HIV/AIDS oleh konselor kepada klien ODHA yang tujuannya untuk memberikan dukungan serta penguatan. Hambatan yang ditemukan antara lain tingkat pendidikan ODHA dimana apabila tingkat pendidikan rendah akan sulit memahami penjelasan dari konselor dan beban psikologis ODHA, semakin banyak beban psikologis ODHA semakin sulit menerima penjelasan konselor. Komunikasi antara konselor dengan ODHA berjalan efektif, hal ini dikarenakan ODHA dampingan di Komite AIDS HKBP rajin melakukan terapi, sehat, dan juga bisa hidup dengan orang tanpa HIV tanpa mengalami diskriminasi.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti teliti terletak pada penggunaan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Sedangkan Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti teliti adalah fokus penelitian ini hanya pada implementasi komunikasi antarpribadi dalam praktik konseling saja. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan berfokus kepada komunikasi antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial.

Peneliti juga mengutip dari jurnal yang berjudul Stigma Masyarakat Terhadap ODHA di Kota Kupang Provinsi NTT oleh Konstantinus Hati, Zahroh Shaluhiyah, dan Antono Suryoputro (2017). Tujuan penelitian ini untuk

(32)

mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap stigma yang diberikan masyarakat terhadap ODHA. Pendekatan penelitian ini menggunakan kuantitatif dengan metode deskriptif survei analitik rancangan cross sectional. Melakukan wawancara menggunakan kuisioner terhadap 382 kepala keluarga. Hasil menunjukkan terdapat 56,0% stigma rendah dan 44,0% stigma tinggi terhadap ODHA. Variabel yang berpengaruh terhadap stigma masyarakat terhadap ODHA yaitu pengetahuan, persepsi tentang HIV/AIDS, sikap kepala keluarga, sikap keluarga besar, sikap tetangga, sikap tenaga kesehatan dan sikap masyarakat terhadap ODHA dengan tingkat probabilitas memberikan stigma terhadap ODHA sebesar 81,72%. Orang berstigma terhadap ODHA disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS, adanya persepsi negatif tentang HIV/AIDS yang memandang atau menilai ODHA adalah orang yang melanggar norma sosial.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti teliti sama-sama meneliti mengenai stigma yang dialami ODHA. Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan, penelitian ini menggunakan metode kuantitatif sedangkan penelitian yang peneliti lakukan dengan menggunakan metode kualitatif.

Penelitian yang kemudian dilakukan oleh Charisma Asri Fitrananda (2015) dari jurnal komunikasi yang berjudul Implementasi Program League of Change dalam Perubahan Perilaku ODHA Menghadapi Stigma HIV/AIDS.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui latarbelakang dilaksanakannya program League of Change, pola komunikasi pada program League of Change, dan dampak yang dirasakan ODHA setelah mengikuti program League of Change. Program League of Change merupakan salah satu program “Kampanye

(33)

Indonesia Tanpa Stigma” yang dijalankan oleh lembaga swadaya masyarakat Rumah Cemara di kota Bandung.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivisme dan jenis penelitian studi kasus. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi dan studi pustaka. Orang- orang yang mempunyai peran dalam program League of Change merupakan subjek pada penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latar belakang dilaksanakannya program League of Change berasal dari tiga faktor kepentingan yaitu ODHA, organisasi, dan masyarakat. Program League of Change memberikan apresiasi kepada ODHA untuk melakukan kegiatan yang positif, meningkatkan kualitas hidup ODHA. Pola komunikasi terjadi melalui dua proses komunikasi yaitu dari komunitas kepada ODHA dan dari komunitas kepada masyarakat. Dampak yang dirasakan oleh ODHA setelah mengikuti program League of Change adalah dapat mengatur pola hidup yang lebih sehat, meningkatkan kepercayaan diri dan mendapatkan pembuktian bahwa ODHA bisa mendapatkan prestasi dan dapat mengurangi stigma ODHA dari lingkungan keluarga dan masyarakat serta mendapat kepercayaan untuk ikut ambil peran di masyarakat.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti teliti sama-sama menggunakan paradigma konstruktivisme. Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada objek kajian dimana tidak berfokus pada suatu program bagi ODHA dalam perubahan perilaku ODHA menghadapi stigma HIV/AIDS tetapi bagaimana cara ODHA berkomunikasi dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial. Selain itu lokasi

(34)

penelitian yang juga berbeda yang dilakukan di kota Bandung, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan berlokasi di kota Medan.

Peneliti juga mengutip penelitian yang dilakukan oleh Riri Maharani (2014) dari jurnal yang berjudul Stigma dan Diskriminasi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada Pelayanan Kesehatan di Kota Pekanbaru. Pendekatan penelitian ini menggunakan kualitatif dengan metode penelitian fenomenologi.

Informan dalam penelitian ini terdiri dari 3 ODHA dan 5 petugas kesehatan.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan dokumen. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa stigma dan diskriminasi terhadap ODHA pada pelayanan kesehatan masih sering terjadi dimana isu stigma penyakit HIV/AIDS yang didengar oleh ODHA pada pelayanan kesehatan adalah jenazah pasien HIV/AIDS dibungkus dengan plastik dan dimasukkan ke dalam peti. Kasur dan semua peralatan bekas pasien HIV/AIDS dibuang dan dibakar serta penggunakan alat pelindung diri yang berlebihan. Diskriminasi terhadap ODHA meliputi dilecehkan secara lisan, pemberian kode pada status pasien, pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan terkesan dibedakan.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti teliti terletak pada pendekatan kualitatif. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini menggunakan metode fenomenologi dan hanya berfokus masalah stigma dan diskriminasi pada layanan kesehatan sedangkan penelitian yang peneliti lakukan menggunakan metode studi kasus dengan objek kajian tidak hanya berfokus pada stigma dan diskriminasi layanan kesehatan tetapi mencakup secara global di lingkungan sosial ODHA.

(35)

Penelitian berikutnya dikutip dari jurnal yang berjudul Konsep Diri Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang Menerima Label Negatif dan Diskriminasi dari Lingkungan Sosial oleh Hasna Sarikusuma, Ika Herani, & Nur Hasanah (2012). Penelitian ini melihat gambaran pemaknaan subjektif konsep diri ODHA yang menerima label negatif dan diskriminasi dari lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian fenomenologi.

Subjek penelitian berjumlah 2 orang ODHA melalui pengumpulan data dengan wawancara, observasi dan dokumen arsip.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep diri ODHA sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. ODHA mengalami pelabelan negatif oleh lingkungannya dan mengalami diskriminasi. Label negatif dan berbagai bentuk diskriminasi yang diterima ODHA dijadikan sebagai informasi untuk menilai dirinya sendiri sehingga mempengaruhi cara pandang atau konsep diri ODHA.

Konsekuensi dari pemberian label negatif dan diskriminasi, ODHA memandang, berpikiran, dan merasa negatif terhadap diri (putus asa, depresi, tidak berguna, tidak berdaya, menarik diri dari lingkungan, dan berkeinginan bunuh diri).

Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian ini menggunakan metode fenomenologi dengan pengumpulan data menggunakan wawancara. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan menggunakan metode studi kasus dengan wawancara mendalam untuk pengumpulan data.

Peneliti juga mengutip jurnal selanjutnya mengenai Konsep Diri dan Masalah yang Dialami Orang Terinfeksi HIV/AIDS oleh Surahma Wahyu, Taufik,

& Asmidir Ilyas (2012). Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan

(36)

kuantitatif dengan jumlah sampel sebanyak 39 orang. Sampel penelitian diambil dengan mengunakan metode total sampling dan pengumpulan data menggunakan angket. Fokus penelitian ini tentang masalah konsep diri ODHA di Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukkan konsep diri ODHA secara keseluruhan menyangkut aspek fisik, etika, dan moral diri pribadi (personal self), diri keluarga (family self) dan sosial berada pada kategori kurang dan kurang sekali dengan taraf pencapaian 46,14% dari skor ideal. Masalah-masalah yang dialami ODHA bervariasi, masalah paling banyak yang dialami ODHA yaitu 79,48% mengalami masalah mudah lupa, 66,66% mengalami masalah badan terlalu kurus atau terlalu gemuk, 53,48% mengalami warna kulit kurang memuaskan. Selanjutnya 51,28%

sukar mengendalikan dorongan seksual, 48,71% belum mengetahui bakat diri sendiri untuk jabatan dan pekerjaan apa, 41,02% belum mampu merencanakan masa depan dan khawatir menghadapi sesuatu yang baru, serta 38,46%

mengalami keadaan ekonomi/keuangan yang semakin sulit.

Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian ini menggunakan metode kuantitatif sedangkan penelitian yang peneliti lakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Fokus penelitian ini juga hanya berfokus tentang masalah konsep diri ODHA dan masalah yang dialami ODHA. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan berfokus kepada komunikasi antarpribadi ODHA, hambatan komunikasi ODHA, dan model komunikasi ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi.

Penelitian selanjutnya dikutip dari jurnal yang berjudul Telling Children They Have HIV: Lessons from Findings of a Qualitative Study in Sub-Saharan Africa oleh Lara M. E. Vaz., Eugenia Eng, Suzanne Maman, Tomi Tsikandu, dan

(37)

Frieda Behets (2010). Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pengumpulan data wawancara mendalam. Sebanyak delapan pengasuh bayi di Kinshasa, Kongo Afrika menjadi narasumber dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua/wali menghadapi kesulitan kapan dan bagaimana memberi tahu anak mereka mengenai status HIV. Penelitian lebih menekankan pada komunikasi anak-anak dengan pengasuh mereka sekaligus sebagai penyedia layanan kesehatan tentang penyakit mereka. Komunikasi antara orangtua dan anak terjalin dengan adanya penyedia layanan kesehatan dengan cara psikososial yang diberikan bersamaan dengan program pengobatan.

Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada subjek penelitian, dimana subjek penelitian ini merupakan pengasuh bayi atau anak-anak sebagai ODHA. Sedangkan subjek penelitian yang peneliti teliti adalah ODHA yang merupakan informan utama.

Dari uraian-uraian penelitian sejenis terdahulu di atas, yang menjadi perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya adalah lebih memfokuskan pada penekanan bagaimana komunikasi antarpribadi ODHA, hambatan-hambatan yang di alami ODHA, serta menemukan model komunikasi antarpribadi ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial. Untuk memperjelas hasil uraian penelitian sejenis terdahulu secara lebih rinci dapat dilihat pada bagian lampiran.

(38)

2.3 Uraian Teori

2.3.1 Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun kerumunan orang.

Penyampaian pesan dari satu orang dan penerima pesan orang lain atau sekelompok kecil orang dengan diberikan peluang umpan balik dengan segera.

Mulyana (2006:73) menyatakan komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka yang memberikan kemungkinan setiap pesertanya merespon reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal. Bungin (2013:32) memperjelas bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antar individu yang bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (tanpa perantara) maupun tidak langsung (melalui perantara) seperti kegiatan percakapan secara tatap muka atau melalui media telepon maupun surat. Fokus pengamatannya adalah bentuk-bentuk dan sifat hubungan (relationship), percakapan (discourse), interaksi dan karakteristik komunikator.

Komunikasi antarpribadi mencakup semua bidang komunikasi seperti mendengarkan, membujuk, komunikasi nonverbal, dan masih banyak lagi.

Konsep utama komunikasi antarpribadi terlihat pada tindakan komunikatif ketika terdapat individu yang terlibat dalam komunikasi seperti interaksi kelompok, tindakan komunikatif yang di dalamnya melibatkan beberapa individu (Murtiadi, Danarjati, & Ekawati, 2015:39). Komunikasi antapribadi umumnya berlangsung secara tatap muka (face to face). Dengan saling bertatap muka maka terjadilah

(39)

kontak pribadi dan menghasilkan umpan balik yang berlangsung seketika.

Komunikasi antapribadi inilah komunikasi yang dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya berupa percakapan yang arus baliknya secara langsung. Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau tidak.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarpribadi merupakan proses penyampaian dan penerimaan pesan baik informasi, pikiran, sikap secara verbal dan nonverbal antara dua orang tau lebih.

Selama komunikasi berlangsung terjadi pergantian pesan antara komunikator dan komunikan secara bergantian. Komunikasi ini bertujuan dengan harapan untuk merubah perilaku atau pun pendapat seseorang.

Komunikasi tidak bisa terlepas dari proses. Oleh karena itu suatu komunikasi antarpribadi dapat berlangsung dengan baik atau tidak tergantung dari proses yang berlangsung tersebut. Dalam proses komunikasi terdapat unsur-unsur agar berlangsung terjadinya proses komunikasi. Menurut Cangara (2009:24), komponen atau unsur-unsur tersebut adalah:

1. Komunikator

Komunikator adalah pihak yang mengirim pesan kepada khalayak atau komunikan. Pengirim, sumber, source, encoder juga bisa disebut sebagai komunikator. Sebagai pelaku utama dalam proses komunikasi, komunikator memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam mengendalikan jalannya proses komunikasi. Oleh karena itu, seorang

(40)

komunikator harus terampil dalam berkomunikasi, dan juga memiliki ide-ide serta penuh kreativitas.

2. Pesan

Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan komunikator kepada komunikan. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi. Isinya bisa berupa ilmu pengetahuan, hiburan, atau informasi. Pesan pada dasarnya bersifat abstrak, untuk membuatnya konkret agar dapat dikirim dan diterima oleh komunikan, manusia dengan pikirannya menciptakan sejumlah lambang komunikasi berupa suara, bahasa, maupun gerakan nonverbal.

3. Media

Media merupakan sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Media yang biasanya digunakan dalam berkomunikasi adalah pancaindera manusia seperti mata dan telinga. Pesan-pesan yang diterima selanjutnya oleh pancaindera selanjutnya diproses oleh pikiran manusia untuk menentukan sikapnya terhadap sesuatu, sebelum dinyatakan dalam tindakan atau bahasa. Selain itu menurut Vardiansyah (2004:24) media komunikasi adalah komunikator melakukan pemilihan dan penggunaan alat perantara yang mengacu kepada penggunaan teknologi media komunikasi.

4. Komunikan

Komunikan atau penerima pesan adalah pihak yang menganalisis dan menginterpretasikan isi pesan yang diterimanya dari komunikator.

(41)

5. Efek

Efek komunikasi diartikan sebagai pengaruh yang ditimbulkan pesan komunikator dalam diri komunikannya. Efek komunikasi yang terdiri dari tiga hal dalam diri komunikan, yaitu kognitif dimana seseorang menjadi tahu tentang sesuatu, afektif yaitu sikap seseorang terbentuk seperti adanya persetujuan atau tidak terhadap sesuatu, dan konatif yaitu tingkah laku yang membuat seseorang bertindak melakukan sesuatu.

1) Efektivitas Komunikasi Antarpribadi

Proses komunikasi antarpribadi akan dapat berlangsung dengan baik dan efektif apabila masing-masing individu yang terlibat didalam proses komunikasi antarpribadi tersebut saling memiliki keterbukaan satu sama lain. Keterbukaan dalam pengertian informasi, perasaan, maupun pikiran. Sebaliknya, komunikasi antarpribadi tidak akan berjalan dengan baik bila masing-masing orang yang terlibat komunikasi saling menutup diri.

Devito (2011:285) lebih lanjut menjelaskan proses komunikasi antarpribadi diukur dengan menggunakan skala komunikasi antarpribadi yang disusun berdasarkan efektivitas komunikasi antarpribadi adalah: keterbukaan (openess), empati (empathy), dukungan (supportiveness), rasa positif (positiveness), dan kesetaraan (equality).

1. Keterbukaan (Openness)

Komunikasi antarpribadi akan efektif apabila terdapat kemauan untuk membuka diri kepada lawan bicara kita. Keinginan untuk bereaksi dengan jujur pada pesan yang disampaikan oleh lawan bicara kita, keinginan untuk menghargai bahwa perasaan dan pemikiran yang

(42)

disampaikan selama proses komunikasi berlangsung adalah kepunyaan kita sendiri (owning of feels and thought). Pada situasi seperti ini antara pelaku komunikasi akan tercipta keterbukaan perasaan dan pemikiran dan akan bertanggungjawab atas apa yang disampaikannya masing- masing.

2. Empati (Empathy)

Ikut merasakan apa yang orang lain rasakan tanpa kehilangan identitas diri sendiri. Melalui empati kita bisa memahami baik secara emosi maupun secara intelektual apa yang pernah dialami oleh orang lain.

Empati harus diekspresikan sehingga lawan bicara kita mengetahui bahwa kita berempati padanya sehingga bisa meningkatkan efektivitas komunikasi.

3. Dukungan (Supportiveness)

Dukungan akan menciptakan suasana komunikasi antarpribadi yang efektif. Dukungan akan tercipta apabila proses komunikasi bersifat lebih fleksibel, tidak kaku serta tidak memberikan penilaian dengan menunjukkan bahwa masing-masing pelaku komunikasi bersedia mendengarkan pendapat lawan bicara bahkan mengubah pendapat kalau memang diperlukan.

4. Sikap Positif (Positiveness)

Komunikasi antarpribadi akan efektif jika para pelaku komunikasi menunjukkan sikap yang positif dan menghargai adanya keberadaan orang lain sebagai lawan bicaranya.

(43)

5. Kesetaraan (Equality)

Adanya penerimaan dan persetujuan terhadap orang lain yang menjadi lawan bicara. Menyadari bahwa semua orang bernilai dan memiliki sesuatu yang penting yang bisa diberikan kepada orang lain. Kesetaraan dalam komunikasi antarpribadi harus ditunjukkan dalam proses pergantian peran sebagai pembicara dan pendengar.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarpribadi bisa berlangsung efektif dan bisa juga tidak efektif. Pada saat berkomunikasi dengan orang lain juga bisa menjadi lebih buruk maupun lebih baik. Adanya unsur-unsur dari keterbukaan, empati, dukungan, sikap positif, dan kesetaraan antara komunikator dan komunikan, akan membuat komunikasi antarpribadi menjadi efektif. Jika salah satu individu tidak memiliki unsur-unsur tersebut maka komunikasi tidak akan tercapai dengan baik. Untuk itu seseorang perlu memiliki sifat dan kemampuan dalam menempatkan diri dengan orang lain selama berlangsungnya komunikasi antarpribadi.

2) Tujuan Komunikasi Antarpribadi

Suranto (2011:19) mengatakan komunikasi antarpribadi merupakan suatu action oriented, yaitu suatu tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu.

Tujuan komunikasi antarpribadi itu bermacam-macam diantaranya adalah:

1. Mengungkapkan perhatian kepada orang lain

Mengungkapkan perhatian kepada orang lain merupakan salah satu tujuan komunikasi antarpribadi. Dalam hal ini seseorang berkomunikasi dengan cara menyapa, tersenyum, melambaikan tangan dan menanyakan

(44)

kabar lawan komunikasinya.

2. Menemukan diri sendiri

Komunikasi antarpribadi dilakukan seseorang karena ingin mengetahui dan mengenali diri pribadi melalui informasi dari orang lain. Bila seseorang terlibat komunikasi antarpribadi dengan orang lain, maka terjadi proses mengetahui tentang diri maupun orang lain. Dengan saling membicarakan keadaan diri, keinginan, dan harapan maka seseorang memperoleh informasi berharga untuk mengenal pribadi dirinya atau menemukan diri sendiri.

3. Menemukan dunia luar

Melalui komunikasi antarpribadi akan mendapatkan berbagai informasi dari orang lain, termasuk informasi penting dan aktual termasuk.

memperoleh informasi tentang keadaan dunia luar yang sebelumnya tidak diketahui. Jadi komunikasi merupakan “jendela dunia” untuk mengetahui berbagai kejadian di dunia luar.

4. Membangun dan memelihara hubungan yang harmonis

Salah satu kebutuhan setiap orang sebagai makhluk sosial yang paling penting adalah membentuk dan memelihara hubungan baik dengan orang lain. Manusia tidak dapat hidup sendiri, perlu bantuan dengan orang lain.

Oleh karena itu setiap orang menggunakan komunikasi untuk membina hubungan yang harmonis.

5. Mempengaruhi sikap dan tingkah laku.

Komunikasi antarpribadi adalah proses penyampaian pesan dari seseorang kepada orang lain untuk memberi informasi, mengubah sikap,

(45)

pendapat atau perilaku baik secara langsung maupun tidak langsung.

Termasuk kemungkinan terjadinya perubahan perilaku dalam memberikan makna tertentu.

6. Mencari kesenangan atau sekedar menghabiskan waktu

Komunikasi antarpribadi yang dilakukan seseorang adakalanya hanya sekedar mencari kesenangan atau hiburan. Berbicara dengan teman mengenai acara perayaan, berdiskusi, berbagi cerita untuk mengisi dan menghabiskan waktu.

7. Menghilangkan kerugian akibat salah komunikasi

Kerugian akibat salah komunikasi (mis communication) yang terjadi antara sumber dan penerima pesan dapat dihilangkan melalui komunikasi antarpribadi. Dengan komunikasi antarpribadi dapat dilakukan pendekatan secara langsung menjelaskan pesan yang dapat menimbulkan kesalahan penafsiran.

8. Memberi bantuan

Para ahli kejiwaan seperti psikolog dan terapi menggunakan komunikasi antarpribadi dalam kegiatan mereka untuk mengarahkan kliennya.

Contoh komunikasi antarpribadi dapat dipakai sebagai pemberi bantuan yaitu kegiatan konseling bagi orang yang memerlukan.

Komunikasi antarpribadi dapat dipergunakan untuk berbagai tujuan.

Dimana tujuan-tujuan itu sebagai faktor mengapa kita melakukan komunikasi antarpribadi. Dengan adanya komunikasi antarpribadi kita dapat memberi bantuan kepada orang lain untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang. Selain itu tujuan tersebut juga memberikan efek akibat adanya komunikasi antarpribadi, seperti

(46)

dapat mengenal diri sendiri, membangun hubungan menjadi lebih baik, dan mengetahui informasi mengenai dunia luar.

2.3.2 Hambatan Komunikasi

Pada saat berkomunikasi selalu ada hambatan yang dapat mengganggu kelancaran jalannya proses komunikasi. Gangguan tersebut mengakibatkan informasi yang disampaikan tidak dapat diterima dan dimengerti dengan jelas oleh penerima pesan. Sangat penting ketika berkomunikasi harus bisa memahami siapa lawan bicara kita. Jika komunikasi tidak mengetahui siapa lawan bicaranya, maka komunikasi akan mendapat gangguan. Hambatan tersebut bisa dengan melihat bagaimana respon lawan bicara kita, apakah sudah memahami apa yang kita sampaikan atau belum.

Menurut Cangara (2009:153) hambatan atau gangguan komunikasi pada dasarnya dapat dibedakan atas tujuh macam, diantaranya adalah :

1. Hambatan Teknis

Hambatan teknis terjadi jika salah satu saluran yang digunakan dalam berkomunikasi mengalami gangguan, sehingga informasi yang disampaikan melalui mengalami kerusakan (channel noise). Misalnya gangguan pada stasiun radio atau TV, gangguan jaringan telepon sehingga terjadi suara yang tidak jelas dan semacamnya.

2. Hambatan Sematik dan Psikologis

Hambatan sematik adalah hambatan komunikasi yang disebabkan akibat adanya kesalahan pada bahasa yang digunakan. Gangguan sematik sering terjadi karena:

(47)

(1) Kata-kata yang digunakan terlalu banyak memakai bahasa asing sehingga sulit dipahami oleh komunikan.

(2) Pembicara dan penerima mengunakan bahasa yang berbeda satu sama lain.

(3) Menggunakan struktur bahasa yang tidak sebagaimana mestinya, sehingga dapat membingungkan penerima.

(4) Salah persepsi terhadap simbol-simbol bahasa yang digunakan yang disebabkan latar belakang budaya yang berbeda.

Selain hambatan sematik juga terdapat hambatan psikologis. Hambatan psikologis terjadi disebabkan adanya gangguan karena persoalan- persoalan yang terjadi dalam diri individu. Misalnya rasa curiga komunikan kepada komunikator, situasi berduka atau karena kondisi batin sehingga dalam penerimaan dan pemberian informasi tidak sempurna.

3. Hambatan Fisik

Kondisi geografis seperti jarak yang jauh sehingga sulit dicapai termasuk dalam hambatan fisik. Dalam komunikasi antarpribadi hambatan fisik juga diartikan karena adanya gangguan yang menyebabkan tidak berfungsinya salah satu panca indera.

4. Hambatan Status

Hambatan status disebabkan adanya jarak sosial diantara pelaku komunikasi, seperti perbedaan status senior dan junior atau atasan dengan bawahan. Perbedaan ini biasanya menuntut perilaku komunikasi yang mempertimbangkan kondisi dan etika yang sudah membudaya di

(48)

masyarakat yakni bawahan cenderung hormat pada atasannya.

5. Hambatan Kerangka Berfikir

Hambatan kerangka berfikir atau kognitif dikarenakan adanya perbedaan persepsi dan cara pandang antara komunikator dan komunikan terhadap pesan yang disampaikan dalam berkomunikasi, disebabkan karena latarbelakang pengalaman dan pendidikan yang berbeda.

6. Hambatan Budaya

Hambatan budaya yang terjadi karena adanya perbedaan norma, kebiasaan, dan nilai-nilai yang dianut oleh para pelaku yang terlibat dalam komunikasi. Di negara-negara sedang berkembang, masyarakat cenderung menerima informasi dari sumber yang banyak memiliki kesamaan dengan dirinya, seperti bahasa, agama, dan kebiasaan- kebiasaan lainnya.

Hambatan-hambatan komunikasi tersebut akan berpengaruh dalam penerimaan dan pemaknaan pesan yang disampaikan. Hambatan tersebut dapat mengakibatkan komunikasi antarpribadi tidak berjalan dengan lancar. Dalam komunikasi khususnya komunikasi antarpribadi harus menghindari atau mengantisipasi hambatan-hambatan tersebut agar komunikasi antara komunikator dengan komunikan dapat berjalan lancar dan tujuan yang ingin dicapai dapat terwujud.

2.3.3 Pengungkapan Diri (Self Disclosure)

Pengungkapan diri adalah memberikan informasi tentang diri sendiri.

Devito (2011:64) menyebutkan pengungkapan diri adalah komunikasi dimana

(49)

oleh kita. Pengungkapan diri juga didefenisikan oleh Bungin (2013:267) sebagai proses pengungkapan informasi diri pribadi seseorang kepada orang lain.

Pengungkapan diri merupakan kebutuhan seseorang sebagai jalan keluar atas tekanan-tekanan yang terjadi pada dirinya. Pengungkapan diri haruslah didasari dengan kejujuran dan keterbukaan dalam memberikan informasi dan bukan sekedar kebohongan.

Informasi yang diutarakan tersebut harus juga yang biasanya disimpan atau dirahasiakan oleh diri sendiri. Jourard (1971) memberikan tanda sehat atau tidaknya suatu komunikasi antarpribadi bisa dilihat melalui self disclosure yang terjadi dalam komunikasi tersebut. Meskipun pengungkapan diri mendorong adanya keterbukaan, tetapi keterbukaan seseorang itu memiliki batas yang didasarkan pada pertimbangan dan pikiran seseorang.

Artinya seseorang membuat keputusan mengenai bagaimana dan kapan akan memberi tahu informasi dirinya dengan orang lain. Seseorang akan memberikan pertimbangkan dan memikirkan kembali efek yang timbul setelah menceritakan sesuatu tentang dirinya kepada orang lain apakah menghasilkan efek yang positif diantara keduanya atau justru sebaliknya. Dimana komunikasi yang baik juga harus bisa memahami diri sendiri maupun orang lain.

Pengungkapan diri memiliki nilai-nilai yang penting, seperti berbagi perasaan, pikiran, dan pengalaman seseorang yang dapat mempererat kedekatan suatu hubungan. Saat orang lain memahami diri pribadi kita, mereka dapat merespon kita dengan baik termasuk hubungan yang lebih dalam. Membuka diri juga cenderung menbuat orang lain untuk membuka diri juga, sehingga kita bisa mengetahui mengenai diri mereka. Apa yang kita ketahui mengenai diri sendiri

(50)

dan bagaimana kita merasa mengenal siapa diri kita dapat dipengaruhi oleh keterbukaan diri. Contohnya jika seseorang membuka suatu kelemahan pada dirinya atau suatu kejadian yang membuat malu, dan orang lain menerima keterbukaan tersebut tanpa menilai negatif, maka dapat lebih mudah menerima diri sendiri (Wood, 2013:155).

Pengungkapan diri atau self disclosure merupakan pengungkapkan informasi maupun perasaan mengenai diri pribadi yang sebenarnya kepada orang lain secara jujur untuk mencapai sebuah keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Mengungkapkan informasi yang sebenarnya mengenai siapa diri kita kepada orang lain yang juga bersedia mengungkapkan yang sebenarnya tentang dirinya, dipandang sebagai ukuran dari hubungan yang efektif. Salah satu model untuk memahami tingkat-tingkat kesadaran dan pengungkapan diri dalam komunikasi adalah Jendela Johari (Johari Window).

Diketahui diri Tidak diketahui sendiri diri sendiri

Diketahui orang lain

Terbuka 1

Gelap 2

Tidak diketahui orang lain

Tersembunyi 3

Tidak Diketahui 4

Gambar 2.1 Jendela Johari (Sumber: Mulyana, 2005:15)

(51)

Luft & Ingham (dalam Mulyana, 2005:15) memberi penjelasan bahwa jendela johari mengibaratkan diri manusia sebagai sebuah ruangan yang terdiri dari empat bingkai, yaitu:

1. Terbuka, menunjukkan individu yang terbuka terhadap orang lain.

Keterbukaan tersebut disebabkan karena kedua belah pihak sama-sama mengetahui informasi, perilaku, perasaan, keinginan, motivasi, dan segala informasi dari pihak berlawanan.

2. Gelap, dimana masing-masing pihak yang melakukan interaksi tidak mengetahui banyak hal mengenai dirinya sendiri dan orang lain maupun sebaliknya.

3. Tersembunyi, yang menunjukkan keadaan dimana seseorang mengetahui berbagai hal yang ada dalam dirinya, namun orang lain tidak mengetahui hal tersebut.

4. Tidak diketahui, keadaan individu yang saling tidak mengetahui informasi tentang diri sendiri maupun lawan komunikasi mereka dan sebaliknya.

Jendela johari menjelaskan bagaimana setiap individu mengungkapkan dan memahami diri sendiri dalam kaitannya dengan orang lain. Model ini menekankan bahwa setiap orang bisa mengetahui dan tidak mengetahui tentang dirinya maupun orang lain. Proses komunikasi antarpribadi akan dapat berlangsung dengan baik bila pihak yang terlibat saling memiliki keterbukaan.

Keterbukaan merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam berkomunikasi.

(52)

2.3.4 Konsep Diri

Konsep diri berkembang melalui interaksi dengan orang lain. Konsep ini berjalan seperti saat kita memandang cermin, kita melihat apa yang cermin perlihatkan kepada kita. Penilaian tentang diri kita, bagaimana kita membayangkan kita tampak pada orang lain, bagaimana orang menilai penampilan kita dan bagaimana kita mengalami perasaan senang atau kecewa.

Konsep diri sering juga disebut konstruksi, identitas diri atau perspektif diri yaitu kumpulan keyakinan tentang diri sendiri yang mencakup unsur-unsur prestasi, peran, dan identitas diri. Konsep diri berkaitan dengan bagaimana seseorang mengenal dirinya secara sesuai dengan identitas yang diberikan kepadanya.

Menurut Rakhmat (2005:99) dengan mengamati diri sendiri sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita yang disebut sebagai konsep diri.

Faktor yang sangat penting dalam komunikasi antarpribadi ditentukan oleh konsep diri karena setiap orang bertingkah laku sebaik mungkin sesuai dengan konsep diri yang ada pada dirinya. Keberhasilan komunikasi antarpribadi banyak bergantung pada kualitas konsep diri, apakah konsep dirinya negatif atau positif.

Fitt (dalam Agustiani, 2006:138) menyatakan konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam ia berinteraksi dengan lingkungannya.

Penilaian dan interaksi dengan orang lain sangat mempengaruhi pembentukan penilaian diri. Seorang individu tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki diri yang baik, tanpa disertai adanya reaksi dari orang lain yang menunjukkan bahwa secara fisik ia memang baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep

Gambar

Gambar 2.1 Jendela Johari (Sumber: Mulyana, 2005:15)
Gambar 2.2 Model Interaksional (Sumber: Fajar, 2009:107)
Gambar 2.3 Disonansi Kognitif (Sumber: Hutagalung, 2015:128)
Gambar 2.4 Model Komunikasi Antarpribadi (Sumber: Devito, 2017:5)
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis korelasi dari pearson product moment diperoleh hasil bahwa terdapat hubungan antara persepsi ODHA terhadap stigma HIV/AIDS masyarakat dengan

Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) adalah sebutan bagi mereka yang secara.. positif didiagnosa

Faktor Pendukung Kepatuhan Orang Dengan HIV AIDS (Odha) Dalam Minum Obat Antiretroviral Di Kota Bandung dan Cima juli 2014. 100 Pertanyaan Seputar HIV/AIDS yang Perlu Anda

BERBAGAI FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP STIGMA NEGATIF PADA ORANG DENGAN HIV/AIDS.. (ODHA) DI MASYARAKAT (studi kasus di

“A Brief Intervention Untuk Menurunkan Stigma Diskriminasi Perawat Puskesmas Terhadap Orang Dengan Hiv / Aids a Brief Intervention To Reduce Stigma Discrimination Among

ODHA juga “dituntut” oleh sesama ODHA untuk bisa bijak dalam membuka diri kepada lingkungannya, karena bisa saja pihak yang diberi informasi mengenai keadaan si

Oleh sebab itu, survei tentang stigma dan diskriminasi oleh tenaga kesehatan terhadap ODHA di Puskesmas dan Rumah Sakit di Kabupaten Batang sangat perlu dilakukan

Terkait dengan keberfungsian sosial dari Orang dengan HIV/AIDS ODHA sendiri, ketika menjumpai berbagai persoalan yang terjadi pada Orang dengan HIV/AIDS ODHA seperti harus rutin