• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN PENELITIAN

3) Informan 3: TH

Bertemu dan berkenalan dengan TH pertama sekali pada bulan Juni 2018 sekitar jam 10 pagi. Saat itu TH bersama seorang anak yang sedang bermain game di handphone. Mereka sedang menunggu panggilan di ruang tunggu Pusyansus untuk mengambil obat ARV dan memeriksa kesehatan anaknya yang juga terinfeksi HIV/AIDS. Peneliti duduk disebelah TH dan memperkenalkan diri serta menjelaskan maksud dan tujuan peneliti. TH yang pada saat itu memakai baju dan

jilbab berwarna ungu bersedia diwawancara tetapi meminta wawancara dilakukan setelah ia memeriksakan anaknya ke bagian poli anak terlebih dahulu.

Tepat pukul 12.57 WIB, perempuan berkulit sawo matang ini kembali ke ruang Pusyansus dan bertemu dengan peneliti. Peneliti lalu mengajak TH ke ruang konseling untuk melakukan wawancara. Sebelum melakukan wawancara peneliti juga menyapa anak TH dan berkenalan secara singkat. Hal ini peneliti lakukan untuk membangun komunikasi yang baik di awal wawancara. Peneliti kemudian memulai wawancara dengan menanyakan bagaimana awalnya TH terinfeksi, berikut jawaban TH:

“Sebelum saya menikah, saya pernah berpacaran selama 5 tahun dengan mantan pacar saya. Selama berpacaran, saya pernah melakukan hubungan seksual sebanyak 2 sampai 3 kali. Setelah putus, kami menikah dengan pasangan masing-masing. Awalnya saya demam, batuk, dan diare sampai kondisi badan saya menurun (drop) sehingga di opname. Hasil pemeriksaan darah menyatakan saya HIV positif. Saya terus berfikir dengan siapa saya bisa terinfeksi dan langsung menduga dengan pacar saya yang dulu. Saya mencari dia 2 minggu setelah saya keluar dari rumah sakit. Saya datangin rumahnya di daerah pancing, ternyata dia baru saja meninggal sekitar 2 minggu yang lalu.”

TH yang saat itu berstatus HIV positif diakibatkan dari hubungan seksual juga memeriksakan kedua anak yang hasilnya juga berstatus HIV positif. Menurut pengakuan TH, sang suami menerima status ia dan kedua anaknya tetapi sampai saat ini belum melakukan pemeriksaan darah karena merasa belum siap. Peneliti kembali menanyakan tentang keterbukaan dirinya mengenai status HIV yang melekat pada tubuhnya, berikut penjelasan TH:

“Suami saya sudah tahu duluan. Saya diberitahu setelah keluar dari rumah sakit. Suami tidak langsung memberitahu saya karena takut kondisi saya menurun (drop) dan kepikiran. Selain itu kedua orang tua saya dan kedua adik saya juga saya beritahu. Saya juga mempunyai seorang teman yang menemani saya sewaktu saya sakit dan saya bercerita kepadanya.

Sedangkan dari pihak suami tidak ada yang tahu karena suami tidak

bercerita mengenai penyakit saya kepada mereka. Suami hanya mengatakan bahwa saya sakit komplikasi dan hepatitis.”

Peneliti semakin tertarik ketika mendengar jawaban dari TH yang menutup status diri dari keluarga suami, peneliti kembali menggali lebih dalam lagi mengenai alasan TH dan suami menyembunyikan statusnya.

“Suami saya tidak mengizinkan, padahal sudah saya katakan agar diberitahu saja. Suami saya mengatakan bahwa jika keluarga tahu mereka akan menyuruh kami cerai dan tidak akan menerima saya dan anak-anak.

Suami saya bersikeras tidak ingin keluarganya tahu. Sampai saat ini tidak ada yang tahu. Jika saya datang bersama anak-anak, saya bersikap seperti biasa saja. Jika menginap selama beberapa hari, saya dan anak-anak harus selalu minum obat pagi dan malam. Terkadang mereka bertanya obat apa itu? Saya katakan saja bahwa itu obat batuk atau vitamin. Dan mereka tidak pernah bertanya kembali.”

Alasan suami tersebut membuat TH memilih untuk tidak memberitahu status ia dan anak karena takut mendapat diskriminasi dari keluarga. Peneliti kembali menanyakan bagaimana interaksi TH ketika berada dilingkungan sosial, yaitu tetangga di sekitar rumahnya.

“Interaksi saya biasa-biasa saja. Saya dengan tetangga jarang berkomunikasi. Jarak rumah saya dengan tetangga-tetangga sekitar agak berjauhan. Saya malas untuk bergabung dengan lingkungan sekitar dan saya tidak mau banyak bicara. Mereka juga biasa saja dengan saya. Lain halnya jika bergabung dengan sesama ODHA, mau bicara apa saja bebas.

Pernah ada tetangga yang bertanya kepada saya ngapain pergi ke Adam Malik? Saya katakan ingin mengambil vitamin. Terkadang saya ditanya kembali vitamin untuk apa? Saya katakan kepada mereka sambil bercanda, jika tidak makan vitamin itu bisa mengakibatkan kematian. Mereka hanya tertawa saja. Sewaktu saya di opname, tetangga-tetangga datang menjenguk dan mereka bertanya saya sakit apa? Tidak mungkin saya katakan bahwa saya sakit HIV. Saya katakan saja sakit komplikasi dan hepatitis. Sampai sekarang belum pernah terdengar di telinga saya cerita-cerita yang aneh dari mereka tentang penyakit saya. Berinteraksi ke orang lain juga tetap saya sembunyikan status saya di masyarakat kecuali kepada orang-orang yang sudah mengetahui status saya saja.”

Faktor kedekatan menjadi sumber utama TH untuk mau bercerita tentang dirinya. Menjaga jarak, berbohong tentang penyakitnya, dan bersikap wajar

dengan tetangga ia lakukan demi menutupi statusnya sebagai ODHA.

Kenyamanan untuk mau terbuka ia rasakan ketika berkomunikasi dengan keluarga dan sesama para ODHA. Menurutnya tidak ada yang perlu ditutup-tutupi dan bebas mau berkomunikasi tentang hal apa saja tanpa memikirkan status yang disandangnya. Kepada pelayanan kesehatan juga tidak merasa canggung karena memang harus terbuka demi merawat kondisi kesehatannya. Peneliti kembali menanyakan hambatan TH saat berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya, demikian petikan wawancara:

“Hambatan tidak ada, komunikasi saya seperti biasa saja. Hanya kepada masyarakat saya tidak open status. Masyarakat kalau dikampung banyak pengetahuannya kurang mengenai penyakit ini, bukannya saya juga merasa pintar. Masyarakat kalau tahu penyakit HIV mengira bahwa saya perempuan bandal dan perempuan nakal. Jadi saya tidak mau berfikir kesitu, lebih baik saya sembunyikan saja status saya. Saat ini saya juga tinggal dengan orang tua. Bagaimana saya nanti jadi beban buat mereka.

Masyarakat pasti menilai keluarga saya jelek.”

Menurutnya stigma yang ia dapat berupa cap buruk bahwa ia adalah perempuan yang tidak baik. Stigma tersebut disebabkan karena pengetahuan masyarakat yang kurang mengenai HIV/AIDS. Penyembunyian status dirinya di lingkungan sekitar rumah membuat ia belum mendapat stigma dan diskriminasi.

Berbeda halnya dengan pelayanan kesehatan, walaupun pelayanan kesehatan mengharuskan dirinya untuk membuka status diri tetapi stigma dan diskriminasi pernah ia dapatkan berupa verbal maupun nonverbal berupa jibiran hingga tatapan muka yang tidak menyenangkan, seperti penuturan TH:

“Pernah dari petugas kesehatan, tidak disini (pusyansus) tapi di bagian lain. Tidak semua tapi ada satu atau dua asisten-asisten dokter dan perawat yang saya lihat tatapannya tidak menyenangkan ketika melihat status kami. Pasti kita tahu kalau tatapannya beda, bisa dari lirikannya yang melihat dari atas sampai ke bawah atau tatapan yang terlihat sinis. Seperti salah satu perawat yang mengatakan “Dari pusyansus itu, tempatnya kan

(pusyansus) karena nggak ada ruangan”. Sama halnya pada saat di puskesmas, perawat menanyakan apa pekerjaan saya dan saya menjawab ibu rumah tangga. Tatapan mereka langsung berubah melihat saya dan kembali bertanya kenapa saya bisa terinfeksi padahal suami saya negatif.

Saya marah kepada mereka dan mengatakan bahwa itu adalah urusan saya.

Menurut saya semua pandangan orang-orang melihat saya sebagai ODHA seperti perempuan yang tidak benar.”

Menurutnya pandangan orang lain buruk mengenai dirinya yang berstatus ODHA. Itula menjadi salah satu alasan mengapa ia masih menyembunyikan status dirinya tersebut. Selain itu pandangan TH terhadap dirinya sudah tidak perduli dan cuek. Pernyataan itu ia lontarkan sambil tertawa sebagai berikut:

“Saya sudah biasa saja. Saya sebenarnya tidak takut terbuka karena masih banyak lagi yang lebih parah dari saya. Saya tidak perduli dan masa bodoh, saya hanya menerima diri saya. Tetapi yang saya bayangkan adalah bagaimana nasib anak saya di masa depan. Bagaimana hidup mereka nanti, hanya itu yang saya pikirkan sampai saat ini. Saya juga pernah putus asa, tapi saya kembali berfikir jika saya putus asa bagaimana kehidupan anak saya. Merekalah semangat saya untuk tetap sehat.”

Terlihat sedih diraut wajahnya ketika TH menceritakan bagaimana nasib kedua anaknya dimasa depan. Saat ini anak pertama berusia 10 tahun dan yang kedua berumur 6 tahun. Umur yang masih terbilang kecil dan harus terus menjalani pengobatan selama seumur hidup. TH pun melihat anak pertamanya tersebut dengan mata berkaca-kaca. Ia menahan diri untuk tidak menangis di depan anaknya. Ia hanya memikirkan anak adalah semangat bagi dirinya.

Perasaan sedih muncul ketika ia mendapat stigma dan diskriminasi tetapi ia terus berusaha kuat demi anak-anak dan berfikir positif, hal itu ia ungkapkan sebagai berikut:

“Saya sedih juga, saya mengambil obat untuk anak-anak disana. Kalau bukan karena alasan itu saya juga tidak mau. Tapi ya sudahlah biarin saja yang penting bagaimana saya bisa ambil obat. Mereka akan bosan dengan sendirinya. Sekarang sudah tidak lagi, hanya sewaktu pertama saja dan itu berlangsung selama setahun.”

Peneliti kembali menanyakan bagaimana upaya yang ia lakukan sehingga tidak mendapat stigma dan diskriminasi dari petugas kesehatan, berikut penuturan TH:

“Saya kembali berfikir sebulan sekali harus berhubungan dengan mereka.

Saya juga harus ramah dengan mereka, saya senyumin, saya menyapa duluan. Jika saya juga sinis saya juga yang tidak enak karena saya yang butuh mereka. Saya harus sehat, anak saya juga sehat, dan bagaimana mereka bisa sehat. Mereka harus terus berobat sebulan sekali, demi anak lah yang saya perjuangkan.”

Peneliti juga menanyakan apa harapan TH mengenai ODHA yang mengalami stigma dan diskriminasi, berikut penuturannya:

“Harapan saya janganlah melihat kami sebagai ODHA mempunyai penyakit yang menjijikkan. Kedepannya saya berharap bagaimana supaya kami bisa berguna untuk orang lain dan masyarakat tanpa di pandang sebelah mata.”

Selama berlangsungnya wawancara, anak TH sempat tertidur dipangkuan ibunya. Ia menjawab pertanyaan peneliti sambil berulang kali mengelus rambutnya yang sudah tertidur pulas. Ekspresi yang ia tunjukkan begitu terlihat jelas bagaimana kasih sayang seorang ibu terhadap anaknya, terlebih dengan status dan kondisi mereka yang merupakan ODHA. Memiliki 2 orang anak yang terinfeksi HIV/AIDS membuat TH beberapa sekali datang ke Pusyansus. Pada saat yang sama ketika TH ingin pergi ke bagian poli anak, peneliti meminta untuk ikut menemaninya. Peneliti amati bahwa perawat di bagian poli anak sudah mengetahui kondisi kesehatan mereka. Sikap ramah yang TH tunjukkan kepada perawat terlihat jelas dengan cara ia menyapa dan sering tersenyum kepada perawat. Bahkan perawat juga mengatakan untuk terus sehat dan tidak lupa