• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2) Tujuan Komunikasi Antarpribadi

2.3.10 Stigma dan Diskriminasi

Stigma adalah tanggapan negatif yang melekat pada pribadi seseorang yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Stigma dalam bentuk memvonis seseorang yang memiliki moral atau perilaku yang buruk. Kemenkes RI (2012) menyatakan stigma adalah tindakan memberikan label sosial yang bertujuan untuk memisahkan seseorang atau sekelompok orang dengan pandangan buruk. Lebih

jauh Shaluhiyah, Musthofa, & Widjanarko (2015) menjelaskan stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan eseorang yang terinfeksi HIV dengan nilai-nilai negatif yang diberikan kepada mereka.

Adanya stigma membuat seseorang dilakukan secara berbeda dengan orang lain. Orang-orang yang distigma biasa dianggap buruk untuk alasan tertentu. Ardani & Handayani (2017) juga mengatakan bahwa karena infeksi virus HIV sifatnya yang menular dan belum ditemukan obatnya sering dianggap sebagai penyakit yang mengerikan. Stigma berupa pandangan seperti ini mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap orang yang positif terinfeksi virus HIV.

Penjelasan defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa stigma adalah pikiran, pandangan, dan kepercayaan yang salah tentang suatu hal. Peristiwa yang terjadi ketika individu memperoleh label, cap atau julukan negatif. Stigma akan mengarahkan pada tindakan diskriminasi, yaitu tindakan tidak mengakui sebagai individu atau bagian sekelompok orang yang mengakibatkan mereka dipermalukan, dijauhi, dihindari maupun ditolak. Stigma yang mengakibatkan diskriminasi akan mempengaruhi diri individu termasuk interaksinya di masyarakat.

Kemenkes RI (2012) membedakan stigmatisasi yang terjadi melalui beberapa proses, seperti:

1) Stigma aktual (actual) atau stigma yang dialami (experienced) seperti dibedakan atau disingkirkannya orang lain yang disebabkan tindakan nyata yang dilakukan perorangan atau sekelompok orang secara verbal maupun nonverbal.

2) Stigma potensial atau yang dirasakan (felt) merupakan tindakan stigma belum terjadi tetapi ada tanda atau perasaan tidak nyaman.

Sehingga orang cenderung tidak mau mengakses layanan kesehatan.

3) Stigma internal atau stigmatisasi diri, dimana seseorang menghakimi dirinya sendiri sebagai orang yang tidak berhak dan tidak disukai oleh masyarakat.

Menurut Heatherton, Kleck, Hebl, & Hull (2003) stigma terdiri dari 3 aspek diantaranya sebagai berikut:

1) Perspektif, merupakan pandangan orang dalam menilai orang lain.

Perspektif yang dimaksudkan dalam stigma berhubungan dengan pemberi stigma (perceiver) dan penerima stigma (target). Seseorang yang memberikan stigma pada orang lain termasuk dalam golongan nonstigmatized atau disebut dengan orang normal. Stigma ini melibatkan aktivitas persepsi, ingatan, pengalaman, dan pemberian atribut sehingga dapat memperburuk seseorang yang dikenai stigma.

2) Identitas yang terdiri dari dua hal yakni identitas pribadi dan identitas kelompok. Stigma dapat diberikan pada orang yang memiliki ciri-ciri pribadi. Misalnya perbedaan warna kulit, kondisi fisik, dan hal lain yang menimbulkan kenegatifan. Selanjutnya identitas kelompok ketika seseorang diberi stigma karena berada dalam kelompok yang memiliki ciri khusus dan berbeda dengan kelompok kebanyakan.

3) Reaksi terdiri dari 3 aspek yang prosesnya berjalan bersamaan.

Aspek tersebut yakni aspek kognitif, afektif, dan behavior. Aspek

kognitif prosesnya lebih lambat dikarenakan ada pertimbangan dan tujuan yang jelas. Aspek kognitif ini meliputi pengetahuan mengenai tanda-tanda orang yang dikenai stigma. Misalnya, pada orang dengan HIV/AIDS cenderung dipersepsikan membahayakan, mematikan, sehingga dalam kognisi orang yang memberi stigma penderita HIV/AIDS harus dihindari. Aspek berikutnya adalah aspek afektif yakni spontan, mendasar dan tidak dipelajari. Aspek afektif pada orang yang memberikan stigma ini misalnya adanya perasaan tidak suka, merasa terancam, dan jijik. Sehingga pada prakteknya orang yang terkena stigma akan menunjukan perilaku menghindar.

Hasil akhir dari kedua proses tersebut adalah aspek behavior yang didasarkan oleh kognitif dan afektif. Pada kenyataanya seseorang yang memiliki pikiran buruk dan perasaan terancam akan menunjukan perilaku penghindaran dan tidak bersedia berinteraksi dengan orang yang terkena stigma yang disebut diskriminasi.

Diskriminasi berasal dari bahasa latin yaitu discriminatus yang artinya membagi atau membedakan. Perlakuan membedakan terhadap orang lain berdasarkan kelompok tertentu merupakan diskriminasi yang dijabarkan oleh Barton (dalam Sunarto, 2004:61). Sedangkan Dayakisni & Hudaniah (2003:228) mendefinisikan diskriminasi sebagai perilaku yang diarahkan pada seseorang yang didasarkan semata-mata pada keanggotaan kelompok yang dimilikinya.

Diskriminasi juga jelas dipaparkan dalam UU RI No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM), yang berbunyi:

“Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun

suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, keyakinan politik yang berakhir pengurungan, penyimpangan, atau penghapusan pengakuan, pelaksaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individu maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya”.

Bentuk diskriminasi menurut Newman (dalam Miharso, 2009:88) dapat berupa:

1) Diskriminasi verbal, diskriminasi yang dilakukan dengan cara menghina melalui kata-kata.

2) Penghindaran, diskriminasi yang dilakukan dengan cara menghindari atau menjauhi seseorang atau kelompok masyarakat yang tidak disukai.

3) Pengeluaran, diskriminasi ini dilakukan dengan cara tidak memasukkan seseorang atau kelompok masyarakat tertentu dalam kelompoknya.

4) Diskriminasi fisik, diskriminasi yang dijalankan dengan cara menyakiti dan memukul secara fisik.

5) Diskriminasi lewat pembasmian dengan cara membasmi atau melakukan pembunuhan secara besar-besaran.

Bentuk diskriminasi di masyarakat juga dipaparkan oleh Baroya (2017) yang melakukan penelitian mengenai sikap stigma dan diskriminasi terhadap ODHA di Kabupaten Jember. Dimana masyarakat tidak mau membeli makanan jika mengetahui penjualnya berstatus HIV positif. Demikian juga terhadap anak yang berstatus HIV positif belum bisa diterima sekolah bersama dengan anak HIV negatif serta tidak menerima guru yang berstatus HIV positif masih mengajar di sekolah.

Bentuk diskriminasi di lingkungan sosial juga dijelaskan Indriani dan Fauziah (2017) dimana ODHA mengalami stigma dan diskriminasi dalam keluarga seperti menghindar dan berwudhu setelah berinteraksi dengan ODHA, perilaku berupa pemisahan alat makan dan mencuci pakaian. Selain itu, ODHA juga mengalami perilaku yang tidak menyenangkan saat mengakses ARV di rumah sakit dengan cara dibentak-bentak oleh petugas layanan kesehatan dan adanya pernghindaran interaksi secara langsung yang dilakukan rekan kerja ODHA.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa diskriminasi merupakan perilaku atau tindakan yang membedakan dan merendahkan orang lain atau sekelompok orang karena dianggap berbeda dengan yang lain. Diskriminasi bisa berbentuk tindakan verbal seperti merendahkan dengan berkata-kata kasar dan juga berbentuk nonverbal seperti menunjukkan ekspresi wajah yang kurang menyenangkan bahkan melakukan kontak fisik.