• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III METODE PENELITIAN

3.6 Metode Analisis Data

Analisis data adalah suatu usaha untuk mengkaji dan mengolah data yang telah dikumpulkan sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang bermanfaat untuk melengkapi tujuan dari penelitian. Analisis data kualitatif dimulai dari data yang

dikumpulkan di lapangan baik melaui wawancara ataupun observasi. Data tersebut kemudian dianalisis lebih mendalam.

Menurut Miles dan Huberman (dalam Usman dan Akbar, 2009:85) analisis data dapat dijelaskan melalui tiga alur kegiatan yaitu:

1. Reduksi Data

Mereduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan atau transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Pada langkah reduksi data ini dipilih data yang relevan dengan penelitian. Data yang tidak relevan dapat dibuang dan jika diperlukan peneliti dapat menambahkan data baru sehingga data yang terkumpul dapat diverifikasi.

2. Penyajian Data

Penyajian data adalah mendeskripsikan sekumpulan informasi tersusun yang memberikan kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif. Penyajian juga dapat berbentuk matriks, bagan, grafik, dan jaringan. Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam bentuk yang mudah dipahami.

3. Penarikan Kesimpulan atau Verifikasi

Penarikan kesimpulan atau verifikasi adalah langkah akhir dalam analisis data kualitatif. Peneliti harus sampai pada kesimpulan dan melakukan verifikasi, baik segi makna maupun kebenaran. Kesimpulan disepakati oleh subjek tempat penelitian itu dilaksanakan. Peneliti harus menyadari dalam mencari makna bukan penafsiran menurut pandangan peneliti.

BAB IV

TEMUAN PENELITIAN

4.1 Proses Penelitian

Penelitian ini dilakukan oleh peneliti di Pusat Layanan Khusus (Pusyansus) Klinik Voluntary Counseling and Testing (VCT) Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan. Penelitian ini membahas tentang model komunikasi antarpribadi antara Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dengan lingkungan sosialnya dalam menghadapi stigma dan diskriminasi. Sebelumnya peneliti telah mempresentasikan proposal penelitian pada seminar kolokium tanggal 23 April 2018. Selanjutnya peneliti melakukan revisi pada beberapa bagian proposal yang perlu diperbaiki atas saran maupun masukan dari komisi penguji dan komisi pembanding, lalu menyusun agenda berikutnya untuk melakukan penelitian di lapangan.

Penelitian ini dilakukan sejak bulan Mei s.d Juli 2018 yang diawali dengan melengkapi persyaratan administrasi penelitian berupa surat izin penelitian yang diterbitkan oleh Universitas Sumatera Utara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Magister Ilmu Komunikasi disertai surat etik penelitian dari Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara, untuk selanjutnya disampaikan kepada instansi tempat penelitian, yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ke bagian Tata Usaha (TU). Pada tanggal 21 Mei 2018 bagian Pendidikan dan Penelitian (Diklit) mengeluarkan surat balasan yang selanjutnya peneliti akan diarahkan ke bagian Instalasi Penelitian dan

kembali untuk diserahkan ke bagian Pusyansus. Disini peneliti juga diberi id card untuk menandakan bahwa peneliti sedang melakukan penelitian. Selanjutnya peneliti datang ke bagian Pusyansus untuk menyerahkan surat tersebut. Disana peneliti bertemu dengan dr. Tambar Kembaren, Sp.PD-KPTI selaku Kepala Pusyansus dan mendapat izin untuk melakukan penelitian.

Penelitian ini dimulai dengan melakukan pengumpulan beberapa literatur yang berkaitan dengan topik penelitian yang diambil dari buku, jurnal, dan berita online. Hasil keseluruhan penelitian diperoleh melalui teknik wawancara secara mendalam dan observasi kepada informan yang ditemui di lapangan.

Pengumpulan data dimulai dari observasi awal, pra penelitian sampai kepada wawancara langsung pada saat di lapangan yang selanjutnya dianalisis dan disajikan.

Penelitian dengan menggunakan pendekatan kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis secara lisan yang didasari oleh perilaku yang diamati. Pendekatannya mengarah pada latar belakang individu yang diamati peneliti sehingga deskriptif yang tertulis pada penelitian ini adalah kesungguhan data yang berlatar belakang dari proses kehidupan informan yaitu Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) ketika bersosialisasi dengan lingkungan sosialnya.

Sebelum melakukan wawancara, peneliti diharuskan membuat prosedur penjelasan yang disertai informed consent (persetujuan mengikuti penelitian) dari RSUP. H. Adam Malik yang nantinya untuk menjelaskan kepada informan maksud dan tujuan peneliti mengadakan penelitian dengan diikuti adanya persetujuan dan kesediaan informan untuk terlibat dalam penelitian. Pada saat

wawancara berlangsung, peneliti menggunakan alat pencatat berupa catatan lapangan dan alat perekam yang bisa memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data untuk mencegah adanya data yang terlewat dari peneliti.

Tahap analisis yang dilakukan peneliti adalah membuat daftar pertanyaan untuk proses wawancara, pengumpulan data dan analisis data yang dilakukan sendiri oleh peneliti untuk dapat mengetahui kedalaman informasi yang diberikan oleh informan.

4.2 Deskripsi Lokasi Penelitian

4.2.1 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik (RSUP. H. Adam Malik).

1) Profil

RSUP. H. Adam malik terletak di Jalan Bunga Lau No. 17, Kelurahan Kemenangan, Kecamatan Medan Tuntungan, Kota Medan, Sumatera Utara. RSUP. H. Adam Malik berdiri tanggal 21 Juli 1993 dan merupakan jenis rumah sakit Pendidikan dengan kelas rumah sakit umum kelas A. RSUP H. Adam Malik juga merupakan rumah sakit rujukan yang meliputi Provinsi Sumatera Utara, Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Barat, dan Riau. Memegang teguh keyakinan berdasarkan “Kesejahteraan Terwujud Dengan Memberikan Pelayanan Bermutu”. Untuk memudahkan akses dan informasi pada pelayanan, RSUP H. Adam Malik juga membuka pelayanan secara online yang dapat di akses di www.rsham.co.id.

(1) 2010: SK Kemenkes RI No. YM.01.10/III/3696/10 tanggal 20 Juli 2010 RSUPH. Adam Malik kembali terakreditasi untuk 16 Pelayanan Periode Juli 2010 s/d Juli 2013.

(2) 2014: SK Menkes RI No. HK.02.02/MENKES/390/2014 tanggal 17 Oktober 2014 Tentang Pendoman Penetapan Rumah Sakit Rujukan Nasional.

(3) 2015: Keputusan Menkes RI No. HK.02.03/I/0913/2015 tanggal 27 Maret 2015 Tentang Izin Operasional RSUP H. Adam Malik Medan sebagai Rumah Sakit Umum Kelas A.

(4) 2015: SK Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) No. KARS-SERT/138/IX/2015 RSUP H. Adam Malik telah Memenuhi Standar Akreditasi Rumah Sakit dan dinyatakan Lulus Tingkat Paripurna.

3) Visi dan Misi

Visi RSUP H Adam Malik Medan adalah Menjadi Rumah Sakit Pendidikan dan Pusat Rujukan Nasional yang Terbaik dan Bermutu di Indonesia pada Tahun 2019. Visi tersebut diwujudkan melalui Misi RSUP H Adam Malik Medan yaitu:

(1) Melaksanakan Pelayanan Pendidikan, Penelitian, dan Pelatihan dibidang Kesehatan yang Paripurna, Bermutu dan Terjangkau.

(2) Melaksanakan Pengembangan Kompetensi SDM secara Berkesinambungan.

(3) Mengampu RS Jejaring dan RS di Wilayah Sumatera.

4) Motto

Motto RSUP H. Adam malik yaitu Mengutamakan Keselamatan Pasien dengan Pelayanan PATEN :

Pelayanan Cepat Akurat

Terjangkau Efisien Nyaman 5) Nilai-Nilai

(1) Pasien merupakan anggota masyarakat yang memerlukaan pelayanan kesehatan maka pelayanan medis harus diberikan dengan cara benar dan tanpa membedakan golongan, agama, suku, dan kemampuan sesuai dengan azas keadilan sosial.

(2) Memegang teguh dan menjunjung tinggi nilai-nilai etika profesi dan norma-norma religius.

(3) Seluruh keputusan dan tindakan akan diambil sesuai dengan peraturan dan ketentuan yang berlaku melalui suatu musyawarah serta dapat dipertanggungjawabkan.

(4) Pelayanan yang diberikan secara utuh, terpadu dan paripurna.

4.2.2 Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus)

Setiap fasilitas pelayanan kesehatan pada dasarnya dilarang menolak pengobatan dan perawatan ODHA. Dalam hal ini fasilitas pelayanan kesehatan yang tidak mampu memberikan pengobatan dan perawatan, wajib merujuk ODHA ke fasilitas pelayanan kesehatan lain atau ke rumah sakit rujukan ARV (Anti

Retroviral). Rumah Sakit Adam Malik memiliki fasilitas berupa pelayanan khusus untuk ODHA yang dinamakan Pusyansus.

Pusyansus adalah Pusat Pelayanan Khusus di RSUP H. Adam Malik untuk orang yang terinfeksi HIV dan AIDS. Tugas dan fungsi Pusyansus adalah untuk melakukan konseling dan tes HIV. Ada tiga komponen inti dalam program Pusyansus yaitu Pencegahan, Perawatan, dan Pengobatan.

Pelayanan dalam Pusyansus diantaranya adalah KTS/VCT (Konseling dan Tes HIV/AIDS Sukarela/Voluntary Counselling and Testing), PDP/CST (Perawatan, Dukungan & Pengobatan/Care, Support & Treatment), Laboratorium, PPIA/PMTCT (Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak/Prevention of Mother To Child Transmission), dan Pelayanan Gizi. Dalam pelayanannya Pusyansus didukung dan bekerjasama dengan beberapa LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) pendamping. Khusus pelayanan perawatan dan pengobatan yang memerlukan tindak lanjut maka akan dirujuk ke bagian poli sesuai penyakit yang di derita ODHA tersebut.

4.3 Temuan Penelitian

Temuan penelitian berupa data-data dari lapangan yang diperoleh dari penelitian kualitatif. Hal ini diperlukan sebagai hasil pertimbangan antara hasil temuan penelitian di lapangan dengan teori yang terkait dengan pembahasan penelitian. Dalam penelitian kualitatif analisis data merupakan tahap yang bermanfaat untuk menelaah data yang telah diperoleh dari beberapa informan yang telah dipilih selama penelitian berlangsung. Selain itu berguna untuk menjelaskan dan memastikan kebenaran temuan penelitian. Analisis data ini telah

dilakukan sejak awal dan bersamaan dengan proses pengumpulan data di lapangan.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, peneliti mendapat beberapa temuan yang dapat menggambarkan model komunikasi antarpribadi ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi yang terlihat dari hasil wawancara dan observasi. Hasil temuan data penelitian yang akan dipaparkan merupakan hasil reduksi data, dimana data yang ditampilkan adalah data yang dianggap peneliti dapat menjawab fokus masalah dan tujuan penelitian ini sebagaimana disebutkan dalam BAB I. Untuk memudahkan dalam memahami hasil temuan maka peneliti akan memaparkan sesuaikan dengan aspek kajian pada BAB III dari masing-masing informan.

Peneliti tidak dapat menjabarkan secara detail mengenai identitas dari setiap informan karena setiap informan meminta segala sesuatu yang berkaitan dengan kepribadian mereka disamarkan dan diinisialkan sehingga peneliti tetap menjaga kerahasiaan informasi tersebut. Masalah etika penelitian juga menjadi perhatian utama peneliti untuk tidak mencantumkan nama lengkap dari informan penelitian.

Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) yang menjadi informan peneliti ditentukan berdasarkan karakteristik yang telah peneliti jabarkan pada BAB III sebelumnya tentang subjek penelitian. Sesuai dengan karakteristik yang telah peneliti tentukan, maka jumlah ODHA yang memungkinkan dijadikan informan utama penelitian adalah sejumlah empat orang. Selanjutnya keempat informan telah peneliti dalami informasinya secara berulang sampai mencapai data jenuh untuk dijadikan data penelitian. Pada bagian ini peneliti akan memaparkan hasil

wawancara dari masing-masing informan yang telah peneliti amati dan wawancarai yang merupakan temuan-temuan di lapangan yang selanjutnya akan dianalisis pada pembahasan selanjutnya.

4.3.1 Pemaparan Hasil Wawancara Informan

Tabel 4.1

Sumber: Wawancara Mei - Juni 2018

Berikut ini adalah temuan penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan observasi dengan para informan:

1) Informan 1: SBH

Ibu SBH adalah informan pertama yang peneliti wawancarai. Peneliti bertemu dan berkenalan dengan SBH ketika sedang mengambil obat ARV di Pusyansus pada bulan Mei 2018. Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud serta tujuan mengadakan penelitian. Senyum manis dan sambutan hangat

langsung peneliti terima ketika itu. Perempuan Kelahiran 1977 ini memiliki ciri-ciri rambut pendek sebahu dan berkulit putih terawat. Badannya yang sehat sama sekali tidak terlihat bahwa ia terinfeksi virus HIV/AIDS. Pada saat itu SBH juga langsung bersedia diwawancara tetapi meminta wawancara dilakukan pada siang hari. Pada pukul 12.42 WIB peneliti bertemu kembali dengan SBH di salah satu rumah makan di depan RSUP. H. Adam Malik. Pada saat itu SBH meminta maaf bertemu di rumah makan mengingat peneliti sedang berpuasa. Disana SBH bersama 2 orang teman yang juga merupakan ODHA. Sama sekali tidak ada rasa canggung yang ia tunjukkan kepada peneliti. SBH merupakan orang yang ramah dan terbuka, ia dengan senang hati menjawab setiap pertanyaan yang peneliti ajukan. Hal ini juga peneliti amati ketika ia memesan minuman dengan kata-kata candaan kepada petugas rumah makan. Tidak ada sedikit pun ketakutan yang ia tunjukkan bahwa ia adalah ODHA. Peneliti memulai sesi wawancara dengan menanyakan bagaimana awalnya SBH terinfeksi HIV/AIDS, SBH pun menjawab:

“Awal terinfeksi pastinya saya tidak tahu, tetapi yang saya tahu dari suami saya. Saat itu suami saya sering sakit-sakitan, sudah berobat kemana-mana tidak pernah sembuh, terus mencret, dan batuk. Saya tidak apa-apa, saya tidak sakit. Awal mula saya ketahuan sakit ketika suami saya berobat ke sebuah rumah sakit di Lubuk Pakam. Saat berobat dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya tidak diberitahukan kepada saya. Tetapi pihak rumah sakit di Lubuk Pakam menyarankan suami saya untuk dibawa ke Rumah Sakit Adam Malik. Berbekal surat rujukan dari rumah sakit di Lubuk Pakam, kami berobat ke Adam Malik tepatnya pada tahun 2007. Pada saat pemeriksaan di Adam Malik disampaikan bahwa suami saya terinfeksi HIV positif. Kemudian disarankan agar saya dan anak juga harus melakukan pemeriksaan darah. Dari hasil pemeriksaan, ternyata saya positif sedangkan anak saya negatif.”

Suami SBH meninggal pada tahun 2008 dan semakin bertambah beban hidup yang dialami perempuan asal Kalimantan ini. Akibat faktor ekonomi ia

pekerjaan. Bersama orang yang ia sebut “Mamak” yang sudah dianggap sebagai keluarga, ia memilih untuk tinggal di daerah Tembung. Peneliti kembali bertanya tentang pengungkapan mengenai status kesehatan dirinya, berikut jawaban SBH:

“Pada awalnya mamak yang di Tembung sudah tahu karena pernah bantu-bantu di rumah saya sebelum suami meninggal. Selain itu kakak angkat saya yang di Binjai juga saya beritahu bahwa penyakit yang saya derita sama dengan suami saya. Selanjutnya, pada awalnya keluarga mamak yang di Tembung tidak tahu tentang penyakit saya, namun lama kelamaan saudara-saudaranya akhirnya tahu bahwa suami saya meninggal karena terinfeksi HIV. Saat itu saya takut mereka tahu sehingga saya tidak pernah memberitahu mereka yang sebenarnya kalau saya juga terinfeksi HIV.”

Demi menutupi status dirinya yang takut diketahui orang lain, SBH pergi dan bekerja di Malaysia dengan alasan faktor ekonomi untuk membiayai anaknya sekolah. Pada tahun 2013 ia memutuskan untuk kembali pulang ke Indonesia akibat virus HIV yang terus menggerogoti tubuhnya. Disinilah awal SBH mengalami stigma dan diskriminasi, sebagaimana penuturannya:

“Ketika saya pulang dari Malaysia, kondisi kesehatan saya menurun drastis (drop) hingga melakukan transfusi sampai 5 kantong darah. Tiga hari kesehatan saya menurun, saya diungsikan keluarga. Alasannya karena suami saya yang dulunya HIV pasti sudah menularkannya kepada saya. Bahkan masyarakat mengatakan bahwa saya sudah tidak bisa lagi tinggal disana. Saat itu yang mereka katakan “Itu kereta api, campakkan aja dia ke kereta api! Ini gak diterima masyarakat!” Bahkan pada saat itu saya dan anak saya hampir saja mau dibakar oleh mereka dengan alasan agar tidak menularkan virus penyakit yang saya derita.”

Berdasarkan jawaban yang disampaikan SBH, ia mendapat stigma dan diskriminasi dari keluarga dan masyarakat yang tidak mau menerima dirinya dengan cara diusir. Peneliti semakin tertarik untuk mengetahui apa saja yang dialaminya ketika mendapat stigma dan diskriminasi. Peneliti mencoba menggali

lebih dalam lagi terkait bagaimana perasaan SBH ketika mendapat stigma dan diskriminasi, berikut jawaban SBH:

“Saya tidak menyangka sampai begitu pikiran dan perlakuan mereka kepada saya. Bahkan pernah saya ajak mereka ke Rumah Sakit Adam Malik tetapi mereka tidak mau sampai akhirnya untuk sekedar dekat dengan saya mereka sudah tidak mau. Pada saat itu yang ada dipikiran saya adalah mati dan membawa serta anak saya dengan meminum racun.

Saya kasihan dengan anak saya karena didalam pikiran saya, anak saya sudah terlantar karena perilaku bapaknya yang hanya meninggalkan aib untuk kami.”

Stigma dan diskriminasi yang ia terima membuatnya ingin mengakhiri hidup dengan anak semata wayangnya terlebih penyakit HIV/AIDS yang ditularkan dari mendiang suami membuatnya semakin depresi dan putus asa. Atas bantuan dari kakak angkat yang tinggal di Binjai dan temannya seorang tukang becak, ia pun di bawa ke rumah sakit Adam Malik dan di opname selama 2 minggu. Ekspresi marah dan kesal juga di tunjukkan SBH mengingat penyakit HIV yang ia diterima melalui mendiang suami yang berakibat ia mengalami perlakuan buruk. Sesekali ia mendongakkan kepala dan menggerakkan tangan seolah-olah seperti menunjuk seseorang.

“Penyakitnya dia buat sendiri dan ditularkan kepada saya. Padahal sebelum nikah, saya tidak pernah keluyuran dan keluar malam. Suami saya yang sering main perempuan tetapi saya kena imbasnya, begitulah fikiran saya saat itu.”

SBH menunjukkan rasa sedih setiap menceritakan pengalaman ketika ia mendapat stigma dan diskriminasi. Sesekali ia menangis dan mengusap air mata yang menetes di kedua matanya dengan menggunakan tisu yang sejak awal ia pegang. Bercerita tentang anak juga membuatnya kembali menangis.

“Saya tidak tahu keberadaan anak saya saat itu. Anak tidak pernah diberitahu selama saya dirawat dan diopname di Adam Malik. Pada saat itu anak saya masih di Tembung. Akibat tidak ada kabar dari saya, mereka hanya bilang kepada anak saya bahwa saya sudah meninggal.

Saat itu hati saya sangat sedih. Tapi sekarang saya sudah tahu. Sejak tahun 2013 semenjak saya di opname sampai sekarang, anak saya diantar bapak yang di Tembung ke Mandala ikut keluarga mendiang suami.”

Pertemuan peneliti dengan SBH tidak hanya sekali saja. Menjadi kordinator sekaligus pendamping ODHA di rumah singgah GBKP membuat peneliti berjumpa kembali dengan SBH ketika ia datang ke Pusyansus untuk membantu dan menemani para ODHA mengambil obat ARV. Selama berada di Pusyansus, peneliti amati SBH selalu menunjukkan sikap yang ramah dengan para ODHA dan petugas layanan kesehatan. Peneliti kembali melanjutkan wawancara lebih mendalam lagi terkait interaksinya di lingkungan sosial setelah mengalami stigma dan diskriminasi.

“Awalnya untuk sekedar keluar dan bertemu dengan orang-orang pun saya tidak berani karena kondisi saya masih sangat parah. Kondisi fisik saya saat itu sangat kurus, kering, dan hitam. Berat badan saya hanya 36 kg. Saat itu saya bertahan di dalam yayasan rumah singgah terus dan takut untuk keluar.”

Stigma dan diskriminasi yang ia terima membuatnya tidak mau berkomunikasi bahkan berjumpa dengan orang lain terlebih dengan kondisi fisik yang lemah juga semakin membuatnya menarik diri dari lingkungan. Peneliti kembali bertanya bagaimana upaya yang ia lakukan setelah mendapatkan stigma dan diskriminasi dari keluarga, berikut penuturan SBH:

“Bapak Rahmat selaku konseling selalu memberikan motivasi dan sering mengajak saya untuk mengikuti acara-acara bertema pemberdayaan untuk para ODHA. Dari kegiatan-kegiatan dan acara tersebut kemudian saya mencoba memberanikan diri. Ternyata banyak ODHA lain yang sama seperti saya. Saat itu saya mengubah penampilan menjadi lebih percaya diri, saya mencat rambut, melakukan perawatan agar tidak terlihat hitam dan berusaha menggemukkan badan. Saat ini, keluarga dan masyarakat di Tembung sudah biasa dengan saya. Bahkan saya pernah

berkunjung ke Tembung dan banyak yang terkejut melihat penampilan dan kondisi saya yang telah banyak berubah.”

Pengalaman pahit yang ia rasakan menjadi pelajaran baginya bahwa harus selalu yakin dan percaya diri untuk mau menerima dirinya sendiri sebagai ODHA. Meskipun keterbukaan sudah ia lakukan di keluarga, tidak membuat ia juga langsung terbuka dengan masyarakat lain, seperti penuturan SBH:

”Jika ada yang bertanya apa yang saya lakukan di rumah singgah, itu rumah singgah apa, untuk penyakit apa, saya akan jawab dengan balik bertanya dulu mereka taunya itu rumah singgah untuk apa tanpa menyebutkan 3 huruf HIV. Terkadang saya melihat tipe orang nya juga karena banyak yang bertanya kenapa saya mau bekerja di rumah singgah padahal sudah tahu disana HIV. Untuk yang bertanya seperti itu saya tidak langsung jawab tetapi berusaha menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya HIV itu, karena perlu dijaga apabila langsung sebutkan tentang HIV, ketakutan saya masyarakat sekitar bahkan penjual makanan pun tidak akan mau melayani. Kalau sudah begitu, bagaimana saya memenuhi kebutuhan di rumah singgah.”

Berdasarkan penuturan SBH, penyembunyian status dirinya masih ia lakukan di lingkungan masyarakat terutama dilingkungan rumah singgah. Ia beranggapan bahwa penyembunyian tersebut dilakukan demi menjaga dirinya dan teman-teman sesama ODHA, terlebih segala kebutuhan untuk rumah singgah harus berhubungan langsung dengan masyarakat sekitar. Ketidakterbukaan mengenai status HIV juga ia lakukan kepada keluarga mendiang suami agar bisa berkomunikasi dengan anaknya. Keluarga dari pihak suami menunjukkan rasa ketidakpedulian terhadapnya terlebih SBH tidak pernah merasa dekat semenjak mendiang suami masih hidup.

“Respon mereka kepada saya sudah jelas tidak mau menerima, bahkan anak saya sampai 5 kali di cek oleh keluarga dan hasilnya selalu negatif.

Jadi jika berkomunikasi dengan anak melalui telepon, saya selalu mengaku tante, karena takut respon keluarga tidak terima. Jangankan sekarang, bahkan dari dulu saya tidak pernah mendapatkan motivasi dan

SBH bercerita bahwa ia tidak memiliki seorang keluarga pun di Medan dikarenakan menikah hanya begitu saja dibawa oleh sang suami pada kala itu.

Terpisah dari keluarganya di Kalimantan hingga sekarang dan tidak pernah

Terpisah dari keluarganya di Kalimantan hingga sekarang dan tidak pernah