• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut : 1) Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan dasar ilmu komunikasi tentang teori-teori yang berkaitan dengan komunikasi antarpribadi Orang

Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial.

2) Manfaat Akademis

Secara akademis, peneliti berharap agar penelitian ini dapat menjadi kontribusi bagi peneliti yang akan meninjau lebih jauh masalah topik yang terkait dengan kajian komunikasi antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial.

3) Manfaat Praktis

(1) Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat secara praktis sebagai pedoman atau masukan bagi keluarga dan masyarakat tentang cara berkomunikasi yang baik pada ODHA sehingga ODHA dapat memperoleh kehidupan yang layak dan terhindar dari stigma dan diskriminasi.

(2) Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), pelayanan rumah sakit dan masyarakat untuk dapat bekerjasama dalam menuntaskan permasalahan HIV/AIDS.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Paradigma Penelitian

Wimmer dan Dominick menyatakan paradigma adalah bagaimana peneliti melihat dunia meyakini tentang seperangkat teori, prosedur, dan asumsi.

Paradigma dalam suatu penelitian adalah seperangkat cara pandang yang luas dan menjadi konsep utama dalam suatu penelitian yang akan memandu kegiatan atau proses dari penelitian tersebut (dalam Kriyantono, 2014:48).

Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisme untuk melihat komunikasi antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial. Tindakan objek penelitan ditentukan oleh konstruksi diri sekaligus konstruksi lingkungan luar dari diri. Selain itu konstruktivisme meyakini bahwa pengetahuan bukanlah hasil sekali jadi, melainkan proses panjang sejumlah pengalaman.

Paradigma konstruktivisme merupakan kritik dari paradigma positivisme yang dikembangkan oleh Jesse Deli dan rekan-rekannya. Menurut paradigma konstruktivisme, realitas sosial yang diamati seseorang tidak dapat digeneralisasikan pada setiap orang yang biasa dilakukan kaum positivisme.

Menurut Weber (dalam Ardianto & Q Anees, 2007:158) paradigma konstruktivisme menilai perilaku manusia secara fundamental karena manusia bertindak sebagai agen yang mengkonstruksi realitas sosial mereka, baik itu melalui pemberian makna maupun pemahaman perilaku dikalangan mereka

sendiri. konstruktivisme menekankan bahwa pengetahuan individu adalah hasil konstruksi (bentukan) individu sendiri.

Littlejohn & Foss (2011:179) lebih lanjut menyatakan tentang konstruktivisme bahwa individu melakukan penafsiran dan bertindak menurut berbagai konseptual yang ada dalam pikirannya. Realitas tidak menunjukkan dirinya, tetapi harus disaring terlebih dahulu melalui bagaimana cara seseorang melihat sesuatu dalam realitas tersebut. Selain itu Creswell (2016:10) menyebutkan bahwa asumsi konstruktivisme dimana individu-individu selalu berusaha memahami dunia dimana mereka hidup dan bekerja. Manusia mengembangkan makna-makna subjektif atas pengalaman-pengalamannya.

Makna-makna tersebut akan diarahkan pada objek-objek atau benda-benda di sekelilingnya.

2.2 Penelitian Terdahulu

Adapun penelitian ini membutuhkan penelitian-penelitian terdahulu.

Penelitian terdahulu dibutuhkan sebagai rujukan untuk menambah pemahaman terhadap penelitian yang akan dilakukan dan untuk membantu dalam mengembangkan ide penulisan, oleh karena itu peneliti mengutip beberapa tulisan dari penelitian-penelitian lain. Adapun beberapa penelitian terdahulu yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah tesis yang berjudul Efektifitas Komunikasi Konseling Terhadap Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam Memperpanjang Harapan Hidup (Studi Kasus Konselor di Komite AIDS HKBP Balige oleh Ardi Tambunan (2017).

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan

partisipatif dan wawancara mendalam yang dilakukan selama tiga bulan. Informan dalam penelitian ini adalah konselor, ODHA, dan tokoh masyarakat. Tujuan penelitian ini untuk menganalisis proses komunikasi, hambatan komunikasi serta komunikasi efektif pada konseling HIV/AIDS di Komite AIDS HKBP.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa proses komunikasi konseling HIV/AIDS adalah proses penyampaian informasi HIV/AIDS oleh konselor kepada klien ODHA yang tujuannya untuk memberikan dukungan serta penguatan. Hambatan yang ditemukan antara lain tingkat pendidikan ODHA dimana apabila tingkat pendidikan rendah akan sulit memahami penjelasan dari konselor dan beban psikologis ODHA, semakin banyak beban psikologis ODHA semakin sulit menerima penjelasan konselor. Komunikasi antara konselor dengan ODHA berjalan efektif, hal ini dikarenakan ODHA dampingan di Komite AIDS HKBP rajin melakukan terapi, sehat, dan juga bisa hidup dengan orang tanpa HIV tanpa mengalami diskriminasi.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti teliti terletak pada penggunaan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode penelitian studi kasus. Sedangkan Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti teliti adalah fokus penelitian ini hanya pada implementasi komunikasi antarpribadi dalam praktik konseling saja. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan berfokus kepada komunikasi antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial.

Peneliti juga mengutip dari jurnal yang berjudul Stigma Masyarakat Terhadap ODHA di Kota Kupang Provinsi NTT oleh Konstantinus Hati, Zahroh Shaluhiyah, dan Antono Suryoputro (2017). Tujuan penelitian ini untuk

mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap stigma yang diberikan masyarakat terhadap ODHA. Pendekatan penelitian ini menggunakan kuantitatif dengan metode deskriptif survei analitik rancangan cross sectional. Melakukan wawancara menggunakan kuisioner terhadap 382 kepala keluarga. Hasil menunjukkan terdapat 56,0% stigma rendah dan 44,0% stigma tinggi terhadap ODHA. Variabel yang berpengaruh terhadap stigma masyarakat terhadap ODHA yaitu pengetahuan, persepsi tentang HIV/AIDS, sikap kepala keluarga, sikap keluarga besar, sikap tetangga, sikap tenaga kesehatan dan sikap masyarakat terhadap ODHA dengan tingkat probabilitas memberikan stigma terhadap ODHA sebesar 81,72%. Orang berstigma terhadap ODHA disebabkan karena kurangnya pengetahuan tentang HIV/AIDS, adanya persepsi negatif tentang HIV/AIDS yang memandang atau menilai ODHA adalah orang yang melanggar norma sosial.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti teliti sama-sama meneliti mengenai stigma yang dialami ODHA. Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan, penelitian ini menggunakan metode kuantitatif sedangkan penelitian yang peneliti lakukan dengan menggunakan metode kualitatif.

Penelitian yang kemudian dilakukan oleh Charisma Asri Fitrananda (2015) dari jurnal komunikasi yang berjudul Implementasi Program League of Change dalam Perubahan Perilaku ODHA Menghadapi Stigma HIV/AIDS.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui latarbelakang dilaksanakannya program League of Change, pola komunikasi pada program League of Change, dan dampak yang dirasakan ODHA setelah mengikuti program League of Change. Program League of Change merupakan salah satu program “Kampanye

Indonesia Tanpa Stigma” yang dijalankan oleh lembaga swadaya masyarakat Rumah Cemara di kota Bandung.

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan paradigma konstruktivisme dan jenis penelitian studi kasus. Pengumpulan data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi dan studi pustaka. Orang-orang yang mempunyai peran dalam program League of Change merupakan subjek pada penelitian ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latar belakang dilaksanakannya program League of Change berasal dari tiga faktor kepentingan yaitu ODHA, organisasi, dan masyarakat. Program League of Change memberikan apresiasi kepada ODHA untuk melakukan kegiatan yang positif, meningkatkan kualitas hidup ODHA. Pola komunikasi terjadi melalui dua proses komunikasi yaitu dari komunitas kepada ODHA dan dari komunitas kepada masyarakat. Dampak yang dirasakan oleh ODHA setelah mengikuti program League of Change adalah dapat mengatur pola hidup yang lebih sehat, meningkatkan kepercayaan diri dan mendapatkan pembuktian bahwa ODHA bisa mendapatkan prestasi dan dapat mengurangi stigma ODHA dari lingkungan keluarga dan masyarakat serta mendapat kepercayaan untuk ikut ambil peran di masyarakat.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti teliti sama-sama menggunakan paradigma konstruktivisme. Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada objek kajian dimana tidak berfokus pada suatu program bagi ODHA dalam perubahan perilaku ODHA menghadapi stigma HIV/AIDS tetapi bagaimana cara ODHA berkomunikasi dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial. Selain itu lokasi

penelitian yang juga berbeda yang dilakukan di kota Bandung, sedangkan penelitian yang peneliti lakukan berlokasi di kota Medan.

Peneliti juga mengutip penelitian yang dilakukan oleh Riri Maharani (2014) dari jurnal yang berjudul Stigma dan Diskriminasi Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) pada Pelayanan Kesehatan di Kota Pekanbaru. Pendekatan penelitian ini menggunakan kualitatif dengan metode penelitian fenomenologi.

Informan dalam penelitian ini terdiri dari 3 ODHA dan 5 petugas kesehatan.

Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam dan dokumen. Hasil penelitian ini diperoleh bahwa stigma dan diskriminasi terhadap ODHA pada pelayanan kesehatan masih sering terjadi dimana isu stigma penyakit HIV/AIDS yang didengar oleh ODHA pada pelayanan kesehatan adalah jenazah pasien HIV/AIDS dibungkus dengan plastik dan dimasukkan ke dalam peti. Kasur dan semua peralatan bekas pasien HIV/AIDS dibuang dan dibakar serta penggunakan alat pelindung diri yang berlebihan. Diskriminasi terhadap ODHA meliputi dilecehkan secara lisan, pemberian kode pada status pasien, pelayanan kesehatan yang tidak memadai dan terkesan dibedakan.

Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang peneliti teliti terletak pada pendekatan kualitatif. Sedangkan perbedaannya adalah penelitian ini menggunakan metode fenomenologi dan hanya berfokus masalah stigma dan diskriminasi pada layanan kesehatan sedangkan penelitian yang peneliti lakukan menggunakan metode studi kasus dengan objek kajian tidak hanya berfokus pada stigma dan diskriminasi layanan kesehatan tetapi mencakup secara global di lingkungan sosial ODHA.

Penelitian berikutnya dikutip dari jurnal yang berjudul Konsep Diri Orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) yang Menerima Label Negatif dan Diskriminasi dari Lingkungan Sosial oleh Hasna Sarikusuma, Ika Herani, & Nur Hasanah (2012). Penelitian ini melihat gambaran pemaknaan subjektif konsep diri ODHA yang menerima label negatif dan diskriminasi dari lingkungan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode penelitian fenomenologi.

Subjek penelitian berjumlah 2 orang ODHA melalui pengumpulan data dengan wawancara, observasi dan dokumen arsip.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep diri ODHA sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosialnya. ODHA mengalami pelabelan negatif oleh lingkungannya dan mengalami diskriminasi. Label negatif dan berbagai bentuk diskriminasi yang diterima ODHA dijadikan sebagai informasi untuk menilai dirinya sendiri sehingga mempengaruhi cara pandang atau konsep diri ODHA.

Konsekuensi dari pemberian label negatif dan diskriminasi, ODHA memandang, berpikiran, dan merasa negatif terhadap diri (putus asa, depresi, tidak berguna, tidak berdaya, menarik diri dari lingkungan, dan berkeinginan bunuh diri).

Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian ini menggunakan metode fenomenologi dengan pengumpulan data menggunakan wawancara. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan menggunakan metode studi kasus dengan wawancara mendalam untuk pengumpulan data.

Peneliti juga mengutip jurnal selanjutnya mengenai Konsep Diri dan Masalah yang Dialami Orang Terinfeksi HIV/AIDS oleh Surahma Wahyu, Taufik,

& Asmidir Ilyas (2012). Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan

kuantitatif dengan jumlah sampel sebanyak 39 orang. Sampel penelitian diambil dengan mengunakan metode total sampling dan pengumpulan data menggunakan angket. Fokus penelitian ini tentang masalah konsep diri ODHA di Sumatera Barat. Hasil penelitian menunjukkan konsep diri ODHA secara keseluruhan menyangkut aspek fisik, etika, dan moral diri pribadi (personal self), diri keluarga (family self) dan sosial berada pada kategori kurang dan kurang sekali dengan taraf pencapaian 46,14% dari skor ideal. Masalah-masalah yang dialami ODHA bervariasi, masalah paling banyak yang dialami ODHA yaitu 79,48% mengalami masalah mudah lupa, 66,66% mengalami masalah badan terlalu kurus atau terlalu gemuk, 53,48% mengalami warna kulit kurang memuaskan. Selanjutnya 51,28%

sukar mengendalikan dorongan seksual, 48,71% belum mengetahui bakat diri sendiri untuk jabatan dan pekerjaan apa, 41,02% belum mampu merencanakan masa depan dan khawatir menghadapi sesuatu yang baru, serta 38,46%

mengalami keadaan ekonomi/keuangan yang semakin sulit.

Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan adalah penelitian ini menggunakan metode kuantitatif sedangkan penelitian yang peneliti lakukan dengan menggunakan metode kualitatif. Fokus penelitian ini juga hanya berfokus tentang masalah konsep diri ODHA dan masalah yang dialami ODHA. Sedangkan penelitian yang peneliti lakukan berfokus kepada komunikasi antarpribadi ODHA, hambatan komunikasi ODHA, dan model komunikasi ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi.

Penelitian selanjutnya dikutip dari jurnal yang berjudul Telling Children They Have HIV: Lessons from Findings of a Qualitative Study in Sub-Saharan Africa oleh Lara M. E. Vaz., Eugenia Eng, Suzanne Maman, Tomi Tsikandu, dan

Frieda Behets (2010). Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif dengan pengumpulan data wawancara mendalam. Sebanyak delapan pengasuh bayi di Kinshasa, Kongo Afrika menjadi narasumber dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa orangtua/wali menghadapi kesulitan kapan dan bagaimana memberi tahu anak mereka mengenai status HIV. Penelitian lebih menekankan pada komunikasi anak-anak dengan pengasuh mereka sekaligus sebagai penyedia layanan kesehatan tentang penyakit mereka. Komunikasi antara orangtua dan anak terjalin dengan adanya penyedia layanan kesehatan dengan cara psikososial yang diberikan bersamaan dengan program pengobatan.

Perbedaan dari penelitian ini dengan penelitian yang peneliti lakukan terletak pada subjek penelitian, dimana subjek penelitian ini merupakan pengasuh bayi atau anak-anak sebagai ODHA. Sedangkan subjek penelitian yang peneliti teliti adalah ODHA yang merupakan informan utama.

Dari uraian-uraian penelitian sejenis terdahulu di atas, yang menjadi perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya adalah lebih memfokuskan pada penekanan bagaimana komunikasi antarpribadi ODHA, hambatan-hambatan yang di alami ODHA, serta menemukan model komunikasi antarpribadi ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial. Untuk memperjelas hasil uraian penelitian sejenis terdahulu secara lebih rinci dapat dilihat pada bagian lampiran.

2.3 Uraian Teori

2.3.1 Komunikasi Antarpribadi

Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih, baik secara terorganisasi maupun kerumunan orang.

Penyampaian pesan dari satu orang dan penerima pesan orang lain atau sekelompok kecil orang dengan diberikan peluang umpan balik dengan segera.

Mulyana (2006:73) menyatakan komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antara orang-orang secara tatap muka yang memberikan kemungkinan setiap pesertanya merespon reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal. Bungin (2013:32) memperjelas bahwa komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antar individu yang bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (tanpa perantara) maupun tidak langsung (melalui perantara) seperti kegiatan percakapan secara tatap muka atau melalui media telepon maupun surat. Fokus pengamatannya adalah bentuk-bentuk dan sifat hubungan (relationship), percakapan (discourse), interaksi dan karakteristik komunikator.

Komunikasi antarpribadi mencakup semua bidang komunikasi seperti mendengarkan, membujuk, komunikasi nonverbal, dan masih banyak lagi.

Konsep utama komunikasi antarpribadi terlihat pada tindakan komunikatif ketika terdapat individu yang terlibat dalam komunikasi seperti interaksi kelompok, tindakan komunikatif yang di dalamnya melibatkan beberapa individu (Murtiadi, Danarjati, & Ekawati, 2015:39). Komunikasi antapribadi umumnya berlangsung secara tatap muka (face to face). Dengan saling bertatap muka maka terjadilah

kontak pribadi dan menghasilkan umpan balik yang berlangsung seketika.

Komunikasi antapribadi inilah komunikasi yang dianggap paling efektif dalam upaya mengubah sikap, pendapat atau perilaku seseorang, karena sifatnya berupa percakapan yang arus baliknya secara langsung. Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga. Komunikator mengetahui secara pasti apakah komunikasinya positif atau tidak.

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarpribadi merupakan proses penyampaian dan penerimaan pesan baik informasi, pikiran, sikap secara verbal dan nonverbal antara dua orang tau lebih.

Selama komunikasi berlangsung terjadi pergantian pesan antara komunikator dan komunikan secara bergantian. Komunikasi ini bertujuan dengan harapan untuk merubah perilaku atau pun pendapat seseorang.

Komunikasi tidak bisa terlepas dari proses. Oleh karena itu suatu komunikasi antarpribadi dapat berlangsung dengan baik atau tidak tergantung dari proses yang berlangsung tersebut. Dalam proses komunikasi terdapat unsur-unsur agar berlangsung terjadinya proses komunikasi. Menurut Cangara (2009:24), komponen atau unsur-unsur tersebut adalah:

1. Komunikator

Komunikator adalah pihak yang mengirim pesan kepada khalayak atau komunikan. Pengirim, sumber, source, encoder juga bisa disebut sebagai komunikator. Sebagai pelaku utama dalam proses komunikasi, komunikator memegang peranan yang sangat penting, terutama dalam mengendalikan jalannya proses komunikasi. Oleh karena itu, seorang

komunikator harus terampil dalam berkomunikasi, dan juga memiliki ide-ide serta penuh kreativitas.

2. Pesan

Pesan yang dimaksud dalam proses komunikasi adalah sesuatu yang disampaikan komunikator kepada komunikan. Pesan dapat disampaikan dengan cara tatap muka atau melalui media komunikasi. Isinya bisa berupa ilmu pengetahuan, hiburan, atau informasi. Pesan pada dasarnya bersifat abstrak, untuk membuatnya konkret agar dapat dikirim dan diterima oleh komunikan, manusia dengan pikirannya menciptakan sejumlah lambang komunikasi berupa suara, bahasa, maupun gerakan nonverbal.

3. Media

Media merupakan sarana yang digunakan untuk menyampaikan pesan dari komunikator kepada khalayak. Media yang biasanya digunakan dalam berkomunikasi adalah pancaindera manusia seperti mata dan telinga. Pesan-pesan yang diterima selanjutnya oleh pancaindera selanjutnya diproses oleh pikiran manusia untuk menentukan sikapnya terhadap sesuatu, sebelum dinyatakan dalam tindakan atau bahasa. Selain itu menurut Vardiansyah (2004:24) media komunikasi adalah komunikator melakukan pemilihan dan penggunaan alat perantara yang mengacu kepada penggunaan teknologi media komunikasi.

4. Komunikan

Komunikan atau penerima pesan adalah pihak yang menganalisis dan menginterpretasikan isi pesan yang diterimanya dari komunikator.

5. Efek

Efek komunikasi diartikan sebagai pengaruh yang ditimbulkan pesan komunikator dalam diri komunikannya. Efek komunikasi yang terdiri dari tiga hal dalam diri komunikan, yaitu kognitif dimana seseorang menjadi tahu tentang sesuatu, afektif yaitu sikap seseorang terbentuk seperti adanya persetujuan atau tidak terhadap sesuatu, dan konatif yaitu tingkah laku yang membuat seseorang bertindak melakukan sesuatu.

1) Efektivitas Komunikasi Antarpribadi

Proses komunikasi antarpribadi akan dapat berlangsung dengan baik dan efektif apabila masing-masing individu yang terlibat didalam proses komunikasi antarpribadi tersebut saling memiliki keterbukaan satu sama lain. Keterbukaan dalam pengertian informasi, perasaan, maupun pikiran. Sebaliknya, komunikasi antarpribadi tidak akan berjalan dengan baik bila masing-masing orang yang terlibat komunikasi saling menutup diri.

Devito (2011:285) lebih lanjut menjelaskan proses komunikasi antarpribadi diukur dengan menggunakan skala komunikasi antarpribadi yang disusun berdasarkan efektivitas komunikasi antarpribadi adalah: keterbukaan (openess), empati (empathy), dukungan (supportiveness), rasa positif (positiveness), dan kesetaraan (equality).

1. Keterbukaan (Openness)

Komunikasi antarpribadi akan efektif apabila terdapat kemauan untuk membuka diri kepada lawan bicara kita. Keinginan untuk bereaksi dengan jujur pada pesan yang disampaikan oleh lawan bicara kita, keinginan untuk menghargai bahwa perasaan dan pemikiran yang

disampaikan selama proses komunikasi berlangsung adalah kepunyaan kita sendiri (owning of feels and thought). Pada situasi seperti ini antara pelaku komunikasi akan tercipta keterbukaan perasaan dan pemikiran dan akan bertanggungjawab atas apa yang disampaikannya masing-masing.

2. Empati (Empathy)

Ikut merasakan apa yang orang lain rasakan tanpa kehilangan identitas diri sendiri. Melalui empati kita bisa memahami baik secara emosi maupun secara intelektual apa yang pernah dialami oleh orang lain.

Empati harus diekspresikan sehingga lawan bicara kita mengetahui bahwa kita berempati padanya sehingga bisa meningkatkan efektivitas komunikasi.

3. Dukungan (Supportiveness)

Dukungan akan menciptakan suasana komunikasi antarpribadi yang efektif. Dukungan akan tercipta apabila proses komunikasi bersifat lebih fleksibel, tidak kaku serta tidak memberikan penilaian dengan menunjukkan bahwa masing-masing pelaku komunikasi bersedia mendengarkan pendapat lawan bicara bahkan mengubah pendapat kalau memang diperlukan.

4. Sikap Positif (Positiveness)

Komunikasi antarpribadi akan efektif jika para pelaku komunikasi menunjukkan sikap yang positif dan menghargai adanya keberadaan orang lain sebagai lawan bicaranya.

5. Kesetaraan (Equality)

Adanya penerimaan dan persetujuan terhadap orang lain yang menjadi lawan bicara. Menyadari bahwa semua orang bernilai dan memiliki sesuatu yang penting yang bisa diberikan kepada orang lain. Kesetaraan dalam komunikasi antarpribadi harus ditunjukkan dalam proses pergantian peran sebagai pembicara dan pendengar.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa komunikasi antarpribadi bisa berlangsung efektif dan bisa juga tidak efektif. Pada saat berkomunikasi dengan orang lain juga bisa menjadi lebih buruk maupun lebih baik. Adanya unsur-unsur dari keterbukaan, empati, dukungan, sikap positif, dan kesetaraan antara komunikator dan komunikan, akan membuat komunikasi antarpribadi menjadi efektif. Jika salah satu individu tidak memiliki unsur-unsur tersebut maka komunikasi tidak akan tercapai dengan baik. Untuk itu seseorang perlu memiliki sifat dan kemampuan dalam menempatkan diri dengan orang lain selama berlangsungnya komunikasi antarpribadi.

2) Tujuan Komunikasi Antarpribadi

Suranto (2011:19) mengatakan komunikasi antarpribadi merupakan suatu action oriented, yaitu suatu tindakan yang berorientasi pada tujuan tertentu.

Tujuan komunikasi antarpribadi itu bermacam-macam diantaranya adalah:

1. Mengungkapkan perhatian kepada orang lain

Mengungkapkan perhatian kepada orang lain merupakan salah satu tujuan komunikasi antarpribadi. Dalam hal ini seseorang berkomunikasi dengan cara menyapa, tersenyum, melambaikan tangan dan menanyakan

kabar lawan komunikasinya.

2. Menemukan diri sendiri

Komunikasi antarpribadi dilakukan seseorang karena ingin mengetahui dan mengenali diri pribadi melalui informasi dari orang lain. Bila seseorang terlibat komunikasi antarpribadi dengan orang lain, maka terjadi proses mengetahui tentang diri maupun orang lain. Dengan saling

Komunikasi antarpribadi dilakukan seseorang karena ingin mengetahui dan mengenali diri pribadi melalui informasi dari orang lain. Bila seseorang terlibat komunikasi antarpribadi dengan orang lain, maka terjadi proses mengetahui tentang diri maupun orang lain. Dengan saling