• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN PENELITIAN

4) Informan 4: CLMPS

4.3.2 Informan Tambahan

Sumber: Wawancara Mei - Juni 2018 1) Informan Tambahan 1: Juni

Peneliti berkenalan dengan Juni sewaktu sedang mewawancarai SBH dan merupakan salah satu teman terdekat SBH. Mereka bertemu dan berkenalan pertama sekali ketika sama-sama berada di rumah singgah GBKP. Juni juga merupakan ODHA sehingga membuat kedekatan mereka cukup baik dan selalu

menjadi tempat SBH bercerita tentang segala hal termasuk melakukan aktivitas bersama.

“Pertama kenal sejak bulan 11 tahun 2013, dan perkenalan itu terjadi di rumah singgah karena saya juga merupakan salah satu ODHA. SBH memberitahu statusnya karena status kami sama. Sejak saat itu kami langsung dekat karena yang ada di pikiran kami saat itu kami berada dalam satu bendera. Kami sering sama sama curhat yang membuat kami semakin hari semakin dekat. Kesehariannya dia masak di rumah singgah, terkadang kami ke Adam Malik Bersama-sama untuk mengambil obat bahkan jika ada pasien kami sama-sama menjaga pasien.

Juni sudah menganggap SBH sebagai teman bahkan lebih dari saudara terlebih mereka sama-sama terinfeksi dari suami dan sama-sama pernah mendapat stigma dan diskriminasi. Juni juga sangat mengenal SBH karena SBH cukup terbuka kepadanya. Komunikasi juga selalu mereka jaga termasuk ketika SBH kembali bekerja ke Malaysia untuk kedua kalinya.

“Sewaktu dia di Malaysia kami sering telponan, tetapi karena fasilitas handphone saya tidak bisa video call, saya tidak bisa melihat kondisinya.”

Kedekatan SBH pada Juni membuat ia menjadi terbuka dalam segala hal sehingga membuat Juni mengetahui sedikit banyaknya tentang kebiasaan dan kepribadian SBH. Kepercayaan SBH untuk terbuka kepada Juni karena ia merasa nyaman ketika menceritakan apapun yang ada di hatinya termasuk masalah keluarga, anak, dan diskriminasi yang pernah ia alami. Bagi Juni tidak ada hal yang ditutupi oleh SBH begitu sebaliknya bahkan pertemanan mereka terjalin begitu saja, sebagaimana penuturannya:

“Iya karena SBH curhatnya selalu kepada saya. Saya dan SBH sampai sekarang masih sering curhat. Semua masalah diceritakan, mulai dari masalah keluarga, anak, cowok, tidak ada lagi yang disembunyikan, bahkan masalah ketika SBH mendapatkan diskriminasi di daerah Tembung, saat SBH hampir mau dibakar dia juga ceritakan. Saya juga pernah diajak kerumah kakak angkatnya di Binjai yang menurut

pengakuanya menolong dia saat didiskriminasi. SBH berhutang nyawa kepada kakak itu. Kami berteman bahkan lebih dari saudara, apapun kami terbuka.”

Juni yang mengenal SBH cukup baik memudahkan peneliti mendapat informasi yang dibutuhkan untuk keabsahan data. Umur yang berjarak 9 tahun tidak menjadi masalah bagi mereka yang terpenting adalah dapat memahami satu sama lain. Tidak hanya mengenai kepribadian SBH saja tapi juga termasuk kondisi fisik SBH sampai dengan sekarang.

“Pertama bertemu, keadaan SBH masih sangat kurus karena SBH masih dalam tahap pemulihan. Sangat jauh berbeda dengan keadaannya sekarang. Jika dulu saya ada handphone kamera pasti saya tunjukkan kondisinya dulu bagaimana. Terlebih sejak pulang dari Malaysia, keadaannya sudah sangat cantik dan putih.”

Pertemanan mereka yang sudah berlangsung 5 tahun sudah membuat Juni mengetahui banyak hal tentang SBH. Segala sesuatu yang diinformasikan SBH pada peneliti benar adanya. Sebagaimana yang telah dibuktikan Juni sebagai berikut:

“Interaksinya beda antara dulu dan sekarang. Dulunya saya dan SBH sudah terbuka dan sudah masa bodoh apapun yang dikatakan oleh masyarakat sekitar yang tidak mengerti. Tetapi karena keluarga suaminya yang sekarang masih tertutup akan status suaminya, maka SBH juga kembali tertutup dan menjaga demi nama baik keluarga suaminya.”

2) Informan Tambahan 2: Mawar

Perkenalan peneliti dengan ibu Mawar terjadi pada hari Kamis tanggal 08 Juli 2017. Ketika itu peneliti sedang mencari narasumber yang bersedia di wawancara. Ibu Mawar merupakan ibu kandung dari AH. Ketika itu beliau sedang menemani AH untuk periksa kondisi kesehatan AH sekaligus mengambil obat

bersedia untuk diwawancara. Selesai mewawancarai AH peneliti menemui ibu Mawar yang sedang menunggu di ruang tunggu dan memperkenalkan diri serta menjelaskan maksud dan tujuan peneliti. Peneliti memulai wawancara dengan ibu Mawar setelah mendapat izin yang bersangkutan. Peneliti memulai wawancara dengan menanyakan beliau tentang bagaimana awalnya AH terinfeksi.

“Awalnya saya sendiri tidak tahu. Dia sakit kerongkongan, amandel, demam, panas tinggi tidak turun-turun, dan makan pun tidak mau, apabila makan selalu muntah sampai akhirnya saya memutuskan membawanya ke salah satu rumah sakit. Setelah opname 5 hari disuruh pulang dan saya tidak tahu hasilnya. Berselang 2 minggu sejak keluar dari opname, Saya bawa lagi anak saya ke rumah sakit, dan diputuskan malamnya AH harus diopname lagi. Setelah hasilnya keluar saya di panggil secara pribadi oleh dokter penyakit dalam dan disampaikan bahwasanya anak saya positif.”

Keramahan dan kelembutan yang ditunjukkan ibu Mawar membuat peneliti mendapat informasi mengenai AH. Dari penuturan ibu Mawar ternyata AH sama sekali belum terbuka mengenai penyebab ia terinfeksi HIV/AIDS. Ibu Mawar juga tidak mau memaksa AH karena takut ia akan syok dan drop sehingga beliau memilih untuk diam saja. Ibu Mawar yang merupakan keluarga terdekat AH mengetahui bagaimana perjalanan AH berjuang melawan sakit. Beliau juga bercerita bahwa AH berulang kali keluar masuk dan berganti-ganti rumah sakit.

Dari sanala AH pernah mendapat diskriminasi disalah satu rumah sakit.

“Kejadiannya saat anak saya kejang-kejang dan saya bawa ke rumah sakit, di rumah sakit anak saya melakukan pemeriksaan darah dan dilakukan penyuntikan untuk menghilangkan kejangnya. Ketika saya tanya bagaimana anak saya, tidak ada jawaban dan seakan-akan mereka menolak kami disana dengan tidak memperbolehkan rawat inap dan menyuruh untuk dibawa ke rumah sakit Adam Malik. Pada saat itu ada satu orang dokter yang menyampaikan tentang penyakit anak saya dan didengar saudara-saudara saya yang ada di sana. Alasan mereka menolak anak saya karena sudah tidak ada tempat lagi, hampir di semua bagian rumah sakit menyampaikan alasan yang sama. Saat itu saya berkecil hati, dalam hati saya berpikir rumah sakit dibuat untuk membantu orang yang sakit, tetapi

kenapa tidak bisa untuk menolong anak saya. Walaupun begitu saya berusaha tetap kuat di depan keluarga-keluarga saya dengan harapan anak saya tidak akan berkecil hati juga.”

Berdasarkan informasi yang diberikan ibu Mawar menunjukkan bahwa AH mengatakan yang sebenarnya. Ibu Mawar sangat menyayangkan anaknya bisa terinfeksi HIV/AIDS. Rasa sedih yang ditunjukkan oleh seorang Ibu terlihat jelas di wajahnya. Sering ia menangis setiap menjawab pertanyaan peneliti. Segala sesuatu yang diinformasikan AH juga dibuktikan oleh ibu Mawar mengenai stigma dan diskriminasi yang didapatnya baik di pelayanan kesehatan maupun di lingkungan keluarga.

“Sejak mereka tahu, saudara tidak ada lagi yang menjenguk. Bahkan saudara-saudara yang sudah tahu dan curiga, mulai menjauh dan jarang datang ke rumah saya. Saya sampaikan kepada mereka, bahwa saya merasa sudah tidak seperti saudara lagi sambil menangis. Setelah anak saya pulang dari rumah sakit pernah sepupu-sepupunya datang pakai masker semuanya.”

Setiap individu pasti akan melakukan komunikasi begitu juga yang dilakukan para ODHA di lingkungan sosialnya. Hanya saja komunikasi mengenai keterbukaan diri mengenai status mereka berbeda-beda. Pada umumnya ODHA akan menyembunyikan status mereka dan hanya kepada orang-orang yang mereka anggap nyaman untuk mau terbuka begitupun dengan yang dilakukan AH dari penuturan ibunya sebagai berikut:

“Interaksinya biasa saja, tapi untuk sekarang ini tidak saya kasih keluar karena kondisinya belum sehat kali. Teman-temannya tetap datang juga kerumah. Anak saya terhadap teman-temannya ada yang terbuka ada juga yang biasa saja. Anak saya juga selalu menjaga, setiap teman-temannya datang, selalu menggunakan masker dan selalu berkata “Maaf ya saya tutup, saya menjaga untuk kalian”. Selanjutnya, kalau dikantor anak saya masih menyembunyikan statusnya dan belum ada yang tau. Teman-teman kantornya hanya tahu bahwa anak saya terkena sakit asam lambung dan

sudah nggak kerja lagi, sudah 4 tahun sakit ginjal jadi sudah cuci darah terus. Kami tidak mau kasih tahu karena takut nanti dia syok.”

3) Informan Tambahan 3: Rahmad

Perkenalan peneliti dengan Pak Rahmad terjadi pada hari Jumat tanggal 25 Mei 2018. Pak Rahmad merupakan salah satu konselor di pusyansus. Pada saat itu peneliti berkenalan dan berdiskusi mengenai penelitian yang sedang peneliti lakukan di pusyansus. Peneliti disambung hangat oleh Pak Rahmad dan sangat antusias mengenai penelitian peneliti. Pada tanggal 21 Juni 2018 barulah peneliti melakukan wawancara dengan Pak Rahmad. Menurutnya stigma dan diskriminasi masih banyak terjadi sampai saat ini.

“Stigma bisa dilakukan oleh dirinya sendiri dan orang lain yaitu internal dan eksternal tapi yang lebih banyak eksternal. Saya lebih cenderung untuk keluarga dan masyarakat yang masih melakukan stigma dan diskriminasi karena belum paham mengenai HIV/AIDS yang sebenarnya.”

Keperduliannya kepada ODHA dimana masih banyak ODHA yang dikucilkan dan tidak berani pulang ke kampung halaman karena takut didiskriminasi, Pak Rahmad pernah mendirikan rumah singgah. Tapi seiring berjalannya waktu, rumah singgah tersebut sudah ditutup dikarenakan beliau tidak mempunyai modal lagi. Berbicara mengenai penyebab masyarakat masih melakukan stigma dan diskriminasi, Pak Rahmad mengatakan karena faktor kurangnya pengetahuan mengenai HIV/AIDS tersebut dan juga berkaitan dengan perilaku yang berkaitan dengan moralitas, berikut penuturan Pak Rahmad:

“Penyebabnya banyak, selain kurangnya pengetahuan, secara emosional mereka tidak bisa menerima keadaan si ODHA itu karena dianggap faktor perilaku bahwa orang yang HIV ini berkaitan dengan moralitas seperti melakukan seks, banyak pasangan, narkoba terutama suntik. Mereka belum bisa menerima penyebab akibat perilakunya, jadi tidak hanya sebatas pengetahuan.”

Pernyataan yang disampaikan Pak Rahmad membenarkan informasi yang disampaikan oleh keempat informan yaitu SBH, AH, TH, dan CLMPS, dimana mereka mendapat stigma dan diskriminasi dari lingkungan sosial dikarenakan masih kurangnya pengetahuan mengenai HIV/AIDS tersebut. Ketakutan masyarakatlah yang membuat stigma dan diskriminasi itu muncul secara sadar maupun tidak sadar. Begitupun dari petugas kesehatan yang pernah dialami AH dan TH, Pak Rahmad mengatakan tidak semua petugas layanan kesehatan mendapatkan pendidikan melalui seminar ataupun pelatihan mengenai HIV/AIDS.

Sehingga tidak jarang masih ada petugas layanan kesehatan yang melakukan stigma dan diskriminasi. Menurutnya masyarakat harus mendapat edukasi yang cukup tidak hanya sekali ataupun dua kali. Dalam hal ini RSUP. H. Adam Malik sudah melakukan upaya untuk mengurangi stigma dan diskriminasi, seperti petikan wawancara berikut:

“Pertama, kita buat klinik ini tujuannya untuk melayani ODHA. Artinya kita siap mengobati dan siap menerima tidak melakukan stigma. Kedua, kita selalu berjuang dan berupaya yang terbaik supaya martabat ODHA lebih baik lagi. Bisa diterima oleh pasien disekitarnya dan diterima oleh petugas kesehatan yang lain. Setiap bulan kita adakan sosialisasi dari rumah sakit ini ke masyarakat yang berkunjung ke rumah sakit dan pasien-pasien lainnya. ODHA yang rawat inap sebagian bercampur dengan pasien-pasien lain dan sebagian pasien bisa menerima walaupun tidak secara langsung tetapi melalui sosialisasi yang kita jalankan tadi.”

Peneliti kembali menanyakan bagaimana interaksi ODHA secara umum di lingkungan sosial termasuk interaksi keempat informan, berikut jawaban Pak Rahmad:

“Secara umum yang sudah kita terapi berjalan dengan baik. Banyak di rumah singgah dimana ODHA tidak pulang ke kampung karena masyarakat kampung belum bisa menerima baik dari keluarga yang dekat maupun yang jauh. Kita jembatani dengan advokasi ke kampungnya.

sehat dengan tampilan gemuk dan bersih. Berbeda dengan ODHA yang belum menerima dirinya pasti lebih tertutup. Bagaimana orang lain mau menerima jika dia sendiri belum bisa menerima dirinya sendiri. Tapi ada ODHA yang belum menerima misalnya karena dia terinfeksi dari suami atau dari transfusi darah tapi keluarganya menerima dengan memberikan motivasi atau dorongan supaya dia semangat hidup. Tapi ada juga karena dia tau betul bahwa itu terkait dengan perilakunya sehingga dia tidak siap menerimanya timbul rasa malu.”

Interaksi yang dilakukan ODHA tidak terlepas dari bagaimana pandangan orang lain kepada dirinya maupun pandangan ia terhadap dirinya termasuk bagaimana penerimaan diri dengan statusnya sebagai ODHA. Banyaknya ketakutan akan stigma dan diskriminasi cenderung membuat ODHA merasa nyaman untuk menyembunyikan statusnya karena malu maupun takut dikucilkan termasuk juga dengan keempat informan penelitian. Terakhir peneliti menanyakan apa harapan beliau mengenai HIV/AIDS serta stigma dan diskriminasi.

“Harapan saya, pemerintah, stakeholder, dan pemangku kebijakan membuat program secara menyeluruh dan efektif mulai dari bagaimana pencegahan, pengobatan, dan sosialisasi di masyarakat jangan per parsial harus sekaligus. Libatkan juga para ahli seperti dokter dan konselor yang bersentuhan langsung dengan ODHA. ODHA juga harus diberdayakan dalam semua aspek kehidupan. Mereka harus dianggap seperti manusia yang lain termasuk haknya. Disamping itu, mereka juga harus diberikan edukasi dan pendidikan supaya mereka sadar. Bagi masyarakat, harapan saya harus menyadari supaya mulai menerima status orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Pisahkan antara perilaku dengan penyakitnya. Misalnya ponakan saya homoseks dan penderita HIV. Saya harus bisa menerima dia sebagai penderita dan didukung supaya sehat. Tapi saya tidak bisa menerima perilaku dia sebagai homoseks.”

4) Informan Tambahan 4: Melpinna

Ibu Melpinna adalah informan tambahan keempat dari penelitian ini. Ia merupakan salah satu perawat di Pusyansus. Sifatnya yang ramah dan apa adanya membuat komunikasi antara peneliti dengan Ibu Melpinna berjalan dengan lancar.

Ibu Melpinna begitu kooperatif dalam menjawab setiap pertanyaan peneliti.

Menurutnya penyakit HIV/AIDS adalah penyakit yang menakutkan bagi masyarakat karena kurangnya pemahaman masyarakat mengenai penyakit tersebut.

Mengenai stigma dan diskriminasi yang dilakukan masyarakat, Ibu 3 anak ini berpendapat bahwa sampai saat ini masih terjadi tetapi tidak separah seperti dahulu. Banyaknya sosialisasi dan pelatihan-pelatihan mengenai HIV/AIDS sudah mulai mengurangi akan stigma dan diskriminasi tersebut. Bahkan beberapa puskesmas sudah banyak yang melayani pasien HIV/AIDS. Peneliti kembali menanyakan bagaimana tanggapan Ibu Melpinna mengenai keempat informan yang mengalami stigma dan diskriminasi, demikian jawabannya:

“Kita tidak bisa paksakan orang untuk tidak menstigma atau mendiskriminasi, kenapa? Alasannya karena mereka kurang paham.

Mereka beranggapan bahwa HIV menular melalui tempat duduk, berdekatan, tinggal serumah, dan memakai peralatan makan yang sama.

Jika pengetahuan mereka masih sebatas itu, kita tidak bisa memarahi mereka yang bisa kita lakukan adalah mengedukasi. Kita tidak bisa paksakan semua orang paham tentang HIV, harus butuh proses.

Seharusnya tugas pelayanan kesehatan dan pemerintah mensosialisasikan apa itu HIV. Rumah Sakit Adam Malik pada program pendidikan juga sudah dimasukkan mengenai HIV/AIDS. Edukasi dan sosialisasi tetap kita lakukan, tetapi masyarakat yang mau dijangkau banyak termasuk petugas kesehatan dan semua butuh proses nggak bisa secepat itu dan nggak semua orang mau langsung menerima.”

Informasi yang disampaikan Ibu Melpinna tidak jauh berbeda dengan Pak Rahmad. Kurangnya pemahaman masyarakat masih menjadi faktor utama masyarakat melakukan stigma dan diskriminasi kepada ODHA termasuk dari petugas layanan kesehatan yang pernah dialami AH dan TH. Ibu Melpinna juga memaparkan adanya upaya RSUP. H. Adam Malik untuk mengurangi hal tersebut, diantara dengan melakukan kerjasama dengan pendamping-pendamping ODHA dari berbagai LSM. Para pendamping ini juga yang akan

mensosialisasikan HIV ke keluarga ataupun kelompok-kelompok beresiko.

Mengenai interaksi yang dilakukan keempat informan di lingkungan sosial, pada umumnya masih banyak ODHA yang menyembunyikan mengenai status dirinya, sebagaimana jawaban dari Ibu Melpinna:

“Masih banyak yang menyembunyikan status dirinya, tapi kami tetap anjurkan harus membuka diri ke keluarga supaya mendapat support dari keluarga. Lain halnya kepada masyarakat, bagi masyarakat yang belum menerima jangan terlalu open status dulu karena dikhawatirkan ODHA akan depresi terutama jika mereka mendapat diskriminasi. Jadi harus menunggu proses kalau memang mereka belum siap untuk membuka status dirinya. Tapi tetap kita anjurkan tidak apa-apa untuk open karena sudah mulai banyak rumah sakit dan puskesmas yang paham mengenai HIV. Kebanyakan dari mereka tidak mau karena takut dikucilkan dan itu tergantung dari mereka yang mengambil keputusan. Apakah hasilnya negatif atau positif setelah mereka membuka status tetap mereka yang menanggung resiko. Kalau lah sempat dibakar rumahnya seperti yang hampir pernah dialami SBH, diusir dan dikucilkan seperti CLMPS dan AH mau bagaimana? Keputusan akhirnya ada sama pasien.”

Jawaban dari Ibu Melpinna semakin membenarnya pernyataan yang disampaikan keempat informan, penyembunyian status menjadi faktor keamanan tersediri untuk para ODHA yang masih merasa takut didiskriminasi oleh masyarakat. Ibu Melpinna juga bercerita bahwa masih banyak ODHA yang kurang mendapat support dari keluarga seperti SBH dan ODHA yang tidak berani mengambil rujukan ke Puskesmas seperti yang dilakukan CLMPS. Pernyataan ini semakin membenarkan informasi yang disampaikan CLMPS terkait pengambilan obat yang ia lakukan hanya di Adam Malik tidak di Sibolga. Terakhir peneliti menanyakan harapan beliau mengenai stigma dan diskriminasi yang diterima para ODHA, berikut penuturannya:

“Kita berharap jangan ada stigma dan diskriminasi lagi. Dengan adanya stigma dan diskriminasi orang akan menutup diri bahkan penularan juga semakin cepat. Misalnya seperti Pekerja Seks Komersial (PSK), jika mereka tidak berani membuka diri otomatis mereka akan melayani tamu tanpa menggunakan pengaman (condom) sehingga penularan semakin

besar. Resiko lain jika mereka mengaku berstatus HIV positif pasti pelanggannya tidak ada yang mau. Jika berhenti mata pencahariannya siapa yang bertanggungjawab. Kepada masyarakat, jika ada orang yang sudah terkena HIV sebaiknya mereka di rangkul dan mencegah supaya jangan terkena HIV.”

5) Informan Tambahan 5: Shofanut

Ibu Shofanut adalah informan tambahan terakhir dalam penelitian ini. Ia adalah masyarakat yang tinggal disekitar RSUP H. Adam Malik dan merupakan pemilik warung makan yang berjualan di sekitar rumah sakit. Peneliti memulai wawancara dengan menanyakan beliau mengenai HIV/AIDS dan cara penularannya, berikut petikan wawancaranya:

“HIV/AIDS adalah penyakit yang memalukan dan menurut saya juga termasuk penyakit yang menjijikkan. Sampai sekarang masih menjadi menakutkan karena belum ditemukan obat untuk bisa sembuh secara total.

Penularannya melalui hubungan seks dengan orang-orang yang suka berganti pasangan. Selain itu akibat penggunaan jarum suntik narkoba.

Penyebabnya itu sangat dilarang secara agama.”

Stigma masyarakat masih jelas terlihat sebagaimana penuturan dari ibu Shofanut yang masih beranggapan buruk mengenai penyakit HIV/AIDS. Terlebih stigma yang ia jelaskan bahwa HIV/AIDS akibat perbuatan yang tidak sesuai dengan ajaran agama yang berkaitan dengan moralitas. Peneliti kembali menanyakan apakah beliau mengetahui adanya pasien penderita HIV/AIDS di rumah sakit Adam Malik, berikut petikan wawancaranya:

“Rumah Sakit Adam Malik termasuk rumah sakit besar dan merupakan rumah sakit rujukan dari berbagai daerah. Saya juga tahu pasti ada pasien yang berobat atau rawat inap di sana. Tapi sampai sekarang saya belum

Jawaban ibu Shofanut memberikan pembenaran kepada keempat informan dimana ODHA masih menyembunyikan status mereka di lingkungan masyarakat. Terlebih beliau mengatakan belum pernah bertemu secara langsung dengan ODHA. Pernyataan tersebut juga sekaligus membenarkan pernyataan dari SBH dimana ia menyembunyikan status dimasyarakat sekitar dikarenakan takut mendapat diskriminasi jika membeli makanan untuk di rumah singgah.

Peneliti juga menanyakan kepada beliau bagaimana respon beliau jika ada ODHA yang membeli makanan di warungnya. Ia menjelaskan masih ada kekhawatiran takut tertular dan akan mengantisipasi dengan menyarankan tidak makan di tempat melainkan dibungkus saja. Selain itu beliau juga tidak ingin pelanggannya yang lain tidak akan datang membeli jika tahu ada ODHA yang makan di warungnya. Sehingga jelas terlihat bahwa diskriminasi masih terjadi pada ODHA. Ketidaknyamanan juga beliau katakan ketika peneliti menanyakan apa yang ia rasakan jika berdekatan dengan penderita HIV/AIDS sebagaimana yang dipaparkan sebagai berikut:

“Sebenarnya saya juga takut bersosialisasi dengan mereka karena mungkin bisa saja kita ikut terinfeksi. Jadi sangat diusahakan untuk menjauh dari mereka. Kalau bisa saya menjauh pelan-pelan supaya dia tidak tersinggung. Tapi sebagai manusia saya memiliki rasa prihatin umurnya juga tidak bisa bertahan lama disebabkan daya tahan tubuhnya yang menurun dan rentan terhadap penyakit. Kalau untuk sekilas sepertinya tidak apa-apa tapi kalau untuk bercerita lama sepertinya tidak.

“Sebenarnya saya juga takut bersosialisasi dengan mereka karena mungkin bisa saja kita ikut terinfeksi. Jadi sangat diusahakan untuk menjauh dari mereka. Kalau bisa saya menjauh pelan-pelan supaya dia tidak tersinggung. Tapi sebagai manusia saya memiliki rasa prihatin umurnya juga tidak bisa bertahan lama disebabkan daya tahan tubuhnya yang menurun dan rentan terhadap penyakit. Kalau untuk sekilas sepertinya tidak apa-apa tapi kalau untuk bercerita lama sepertinya tidak.