• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN PENELITIAN

2) Informan 2: AH

AH adalah informan kedua yang peneliti wawancarai. AH adalah informan termuda dari keempat informan peneliti dengan kelahiran tahun 1990. Bertemu dengan AH pertama sekali pada bulan Juni 2018. Pada saat itu pria berkulit sawo matang dan bertubuh kurus ini duduk di kursi roda yang didorong ibunya. Ia datang ke Pusyansus untuk memeriksakan kondisi kesehatan dan bermaksud mengambil obat ARV. Sembari menunggu namanya dipanggil, peneliti mendekati

AH dan mengobrol secara singkat. Melalui perkenalan singkat, AH ternyata memiliki pendidikan yang tinggi hingga jenjang S2 dengan gelar Magister Manajemen di salah satu universitas swasta di kota Medan. Peneliti juga menjelaskan maksud dan tujuan peneliti serta meminta izin AH untuk di wawancara. Setelah mendengar penjelasan peneliti, pria berkacamata ini bersedia dan antusias untuk diwawancara. Peneliti kemudian melakukan wawancara pada pukul 10.18 WIB di ruang konseling Pusyansus. Kondisinya yang baik membuat AH dapat berdiri dari kursi roda sambil berjalan secara perlahan ke ruang konseling. Peneliti memulai wawancara dengan menanyakan bagaimana awalnya AH terinfeksi, berikut jawaban AH:

“I am gay, saya tidak tahu awal mulanya sejak kapan terinfeksi, yang saya tau, tiba-tiba kondisi saya sudah sangat menurun (drop). Sebelumnya tahun 2016 saya sudah pernah masuk rumah sakit tetapi saat itu belum positif terinfeksi, barulah pada tahun 2017 secara pasti saya tahu bahwa saya terinfeksi. Saya tahu bahwa saya gay sejak kuliah di D3. Awalnya saya hanya sekedar gabung-gabung dan tidak tahu sama sekali tentang dunia gay sampai akhirnya keterusan. Saya tidak tahu dengan siapa saya terinfeksi karena yang saya lihat para gay yang pernah melakukan hubungan seksual dengan saya sehat-sehat saja, hanya saya yang kondisi kesehatannya menurun (drop).”

Saat ini AH sudah terkena TB (Tuberkulosis) paru dan mengalami toksoplasma yaitu infeksi di bagian otak. Akibat virus HIV tersebut menimbulkan efek kaburnya pandangan mata sebelah kanan dan mengharuskan AH menggunakan masker kemanapun dia pergi. Saat diwawancara AH memakai masker khusus sebanyak 2 lapis berwarna putih guna menjaga dan menghindari agar tidak tertular dengan orang lain. Sesekali terdengar tarikan nafasnya yang berat akibat TB paru yang dideritanya. Peneliti kemudian melanjutkan wawancara

dengan menanyakan siapa saja yang mengetahui status dirinya sebagai ODHA, demikian jawaban AH:

“Dari awal yang tahu bagaimana statusku adalah ibu. Disamping ibu ada juga 3 teman dekat saya yang tahu juga tentang status saya. Salah satunya merupakan duta HIV, penyiar terkenal di Medan, presenter juga. Dia sampai hati untuk memberitahunya karena tidak mau menambah beban pikirannya. Kakak dan adik saya sudah berumah tangga dan mereka sudah tau tentang keadaan saya, sejak kondisi kesehatan saya menurun (drop), dan reaksi mereka menerima keadaan saya. Mereka mendukung saya untuk terus sehat dan membantu mencarikan LSM yang membantu orang-orang seperti saya.”

AH juga bercerita tidak hanya keluarga dan teman terdekat yang mengetahui status dirinya melainkan sepupu dan tetangga yang ikut membantu mengantarkannya ke rumah sakit. Keterbukaan status dirinya disebabkan dari dokter di salah satu rumah sakit, dimana disinilah awal AH mendapat stigma dan diskriminasi, sebagaimana disampaikan:

Sepupu-sepupu saya juga mengetahui tentang status saya. Mereka tahu dari dokter IGD di sebuah rumah sakit. Saat itu dokter tersebut menyampaikan bahwa saya tidak bisa disatukan dengan pasien lain karena alasan pasien lain nantinya bisa terinfeksi juga karena gigitan nyamuk.

Sebuah ucapan yang menurut saya sangat pedas dan tidak cocok diucapkan oleh seorang dokter. Padahal secara medis gigitan nyamuk tidak akan dapat menyebabkan orang lain tertular dan ikut terinfeksi. Sejak mendengar ucapan dokter IGD tersebut sepupu-sepupu saya sikapnya berubah drastis melihat saya. Sampai sekarang walaupun sakit, saya tidak mau lagi dibawa ke rumah sakit tempat dokter tersebut, ada sedikit trauma yang saya rasakan. Selain mereka, tetangga depan rumah juga tahu karena mereka yang bawa saya kerumah sakit tetapi walaupun tahu mereka tidak pernah menjauhi saya. Saya sering duduk bersebelahan sambil bercerita dengan mereka dan tidak ada sama sekali bentuk diskriminasi dari mereka.

saya rasa mereka sudah tahu dan mengerti tentang HIV/AIDS.”

Berdasarkan penuturan AH, stigma dan diskriminasi yang diterimanya dari pelayanan rumah sakit yang membuatnya trauma dan enggan untuk kembali

memeriksakan kesehatannya. Peneliti semakin tertarik untuk terus menggali lebih dalam lagi terkait stigma dan diskriminasi yang dialaminya. Stigma dan diskriminasi tersebut tidak hanya ia dapatkan di pelayanan kesehatan melainkan dari saudaranya sendiri. Peneliti kembali menanyakan bagaimana bentuk diskriminasi yang ia terima dari sepupu dan saudaranya.

“Perubahannya yang saya lihat, dulunya sering datang ke rumah sekarang sudah berkurang dan bahkan jarang. Terakhir kalinya mereka datang menjenguk saya dengan memakai masker. Ipar ibu juga begitu jika datang seakan-akan takut tertular dan selalu memakai masker. Mereka menjenguk saya juga dengan keadaan terpaksa karena ibu saya sudah marah karena mereka tidak pernah lagi datang sejak mereka sudah tahu status saya.

“Saya seperti tidak punya saudara”, itu yang selalu ibu saya sampaikan kepada mereka. Saat saya tidak bisa apa-apa dan hanya bisa duduk di kursi roda, mereka juga datang menjenguk dan berkunjung tetapi perlakuannya membuat ibu saya agak tersinggung karena mereka menjauh dan tidak mau dekat dengan saya. Tetapi sekarang ibu saya sudah tidak perduli dengan mereka.”

Diskriminasi yang ia terima berupa perubahan perilaku dari saudara yang mulai menjauh dan tidak pernah datang ke rumah yang juga dirasakan oleh ibunya sebagai orang yang HIV negatif. AH bercerita ia tidak lagi bersinggungan dengan dunia gay setelah mengetahui bahwa dirinya terinfeksi dan ingin kembali ke jalan yang lurus. Ia ungkapkan dengan tidak lagi berkomunikasi melalui media sosial untuk para gay. Keluar dimalam hari juga tidak pernah lagi ia lakukan terlebih dengan kondisinya yang sedang menurun. Peneliti kemudian bertanya kembali bagaimana konsep diri berkaitan dengan perasaan AH ketika mengetahui bahwa ia terinfeksi serta mengalami stigma dan diskriminasi.

“Mau bagaimana lagi, yang bisa saya lakukan hanya pasrah. Ini cobaan dari Tuhan yang harus saya hadapi dengan lapang dada. Tekad saya harus tetap berusaha sehat dengan terus melakukan pengobatan. Pasrah tetapi harus tetap berjuang. Rasanya sangat sedih, bagaimana nggak, saudara

mendukung, tetapi kenyataannya terbalik. Saya dikucilkan, tetapi walau bagaimanapun ini takdir yang harus saya terima dari Allah SWT. Saya sudah sadar, saya tidak mau terjatuh lagi, saat ini saya harus kuat dan harus selalu semangat.”

Terlihat jelas diraut wajahnya tampak sedih dan berkaca-kaca ketika ia bercerita mengenai stigma dan diskriminasi yang ia alami. Sesekali ia mengusap air mata yang jatuh sampai ke maskernya sehingga tampak jelas cincin emas yang menempel dikedua tangannya. Merasa dikucilkan oleh saudara sendiri tidak membuat AH patah semangat. Pasrah juga bukan berarti harus menyerah. AH mengatakan pasrah dalam arti harus tetap berjuang melawan penyakit HIV yang dideritanya. Motivasi yang ia dapatkan dari ibu serta teman terdekat membuat AH semakin semangat untuk tetap menjalani hidup. Peneliti kembali menanyakan bagaimana upaya yang ia lakukan agar terhindar dari stigma dan diskriminasi, berikut penuturan TH:

“Saat ini saya sudah tidak terlalu perduli, saya sekarang memilih menghindari mereka. Jika mereka datang saya tidak keluar dan memilih bertahan di kamar dan tidak mau berkomunikasi. Itu sudah saya tanamkan dalam diri saya karena selama ini saya sudah sangat sakit hati dengan perlakuan mereka. Sekarang saya juga sudah membatasi diri untuk tidak keluar malam-malam lagi. Setidaknya sekarang saya berkomunikasi melalui media sosial saja dan seandainya ada yang bertanya kabar, saya jawab sekaligus meminta doa untuk kesehatan saya.”

Ada rasa kekesalan AH pada saat menjawab pertanyaan peneliti dengan menunjukkan penekanan kata-kata ketika ia dijauhi oleh saudaranya. Kadang ia menggelengkan kepala seakan mempertegas bahwa ia tidak mau lagi berkomunikasi. Komunikasi yang ia lakukan di lingkungan sosialnya berbeda-beda baik dikeluarga, teman terdekat maupun orang lain. Penyembunyian status ia lakukan kepada orang lain termasuk di lingkungan tempat ia bekerja. Hal ini diungkapkan AH sebagai berikut:

“Untuk yang tahu bagaimana status saya, saya biasa saja dan terbuka.

Tetapi untuk orang-orang yang tidak tau statusku, aku tidak menunjukkan diri kalau saya ODHA. Bahkan di tempat kerja saya, alhamdulillah mereka tidak tahu dan sampai sekarang saya tetap menyembunyikannya termasuk kepada teman-teman dekat saya di kantor. Kalau ada yang bertanya saya sakit apa, saya hanya jawab maag akut. Saya selalu sampaikan tidak bias makan, makan apa saja selalu keluar. Apalagi sekarang saya sudah terkena TB yang mewajibkan saya selalu pakai masker. Intinya saya menyembunyikan status saya karena masih ada ketakutan terkena diskriminasi bahkan ada juga ketakutan dipecat dari pekerjaan seandainya orang kantor sudah mengetahui status saya. Jadi lebih bagus disembunyikan saja.”

Ketakutan AH untuk tetap menyembunyikan status dirinya dengan cara berbohong karena takut akan didiskriminasi dan dipecat dari pekerjaannya. Hanya kepada orang-orang terdekat AH mau berbagi cerita mengenai penyakitnya.

Peneliti kembali menanyakan adakah hambatan yang ia alami ketika berkomunikasi dengan orang lain. Berikut petikan hasil wawancara:

“Ada, terlebih sejak saya sudah terkena TB, yang mewajibkan saya selalu memakai masker kalau mau berkomunikasi dengan orang lain. Seandainya saat berkomunikasi, masker saya terjatuh saya berkomunikasi harus selalu menunduk. Bahkan ketika makan dengan ibu, saya selalu menunduk, ketika sudah selesai baru memaki masker kembali kalau mau berkomunikasi. Jika dengan teman-teman biasa saja karena mereka juga tahu tentang dunia seperti ini (HIV/AIDS), disamping itu pendidikan mereka juga sudah lumayan tinggi jadi sudah mengerti. Intinya, mereka selalu dukung. Tetapi bagi sebagian orang yang belum mengerti terkadang saya belum berani mengungkapkan tentang status saya termasuk dengan teman dikantor, karena saya yakin mereka belum mengerti.”

Kondisi fisik akibat TB yang dideritanya menjadi hambatan ketika ia berkomunikasi termasuk juga tidak semua orang mengetahui dan memahami tentang penyakit HIV/AIDS sehingga menyembunyikan status menjadi alasan utama baginya. Peneliti kemudian menutup wawancara dengan menanyakan apa harapan AH terhadap stigma dan diskriminasi yang di alami para ODHA, berikut jawaban AH:

“Tidak setuju, kenapa harus didiskriminasi, kasihanlah. Harusnya selalu didukung bukan didiskriminasi, dibantu dalam proses pengobatan dan kesembuhannya. Bagi para ODHA, sehat itu bisa juga didapat dari tekanan perasaan. Kalau perasaannya bagus dan mendapat dukungan luar dalam pasti cepat sehat. Walaupun sebenarnya tidak bisa juga sepenuhnya menyalahkan masyarakat yang mendiskriminasi ODHA, karena harus dipahami juga memang, masyarakat seperti itu karena berbagai faktor diantaranya, pendidikannya dan pengetahuan yang rendah, serta pemahaman yang juga berbeda sehingga bagaimanapun penjelasan yang diberikan mereka tidak akan pernah mengerti.”

AH selalu datang ke Pusyansus selama seminggu sekali sehingga pertemuan peneliti dengan AH juga tidah hanya sekali. Menjalin komunikasi tidak hanya peneliti lakukan pada saat berjumpa di Pusyansus. Peneliti juga menjalin komunikasi melalui media sosial whatsapp dengan sering menanyakan kabar AH dan memberikan dukungan untuk terus selalu sehat. Peneliti amati AH sering membuat status video lagu dengan latar belakang seperti berada di kamar. Hal ini peneliti simpulkan bahwa AH lebih banyak menghabiskan waktu di dalam rumah.

Foto profil yang ia tunjukkan juga ketika ia sedang wisuda S2 dengan memakai toga sambil tersenyum lebar. Sangat jauh berbeda dengan kondisi yang ia tunjukkan ketika berjumpa dengan peneliti.