• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN PENELITIAN

5) Informan Tambahan 5: Shofanut

4.3.5 Model Komunikasi Antarpribadi ODHA

Model komunikasi ODHA dalam menghadapi stigma dan diskriminasi ini tidak terlepas dari kemampuan ODHA dalam mengungkapkan status dirinya.

Stigma dan Diskriminasi merupakan hambatan dalam proses komunikasi yang dilakukan ODHA. Kurangnya pengetahuan masyarakat menjadi salah satu alasan terjadinya stigma dan diskriminasi tersebut.

Melalui model komunikasi, interaksi sosial berkembang berdasarkan proses komunikasi yang terjadi. Setiap interaksinya di lingkungan sosial, ODHA selalu melihat dirinya melalui perspektif peran orang lain. ODHA mempunyai cara tersendiri dalam melakukan proses komunikasi. Tingkat kedekatan dan hubungan yang akrab juga menjadi penentu dalam proses tersebut. Situasi dalam hal mengenai dirinya sebagai ODHA terjadi dalam dua cara yaitu melalui terbuka dengan menceritakan apa adanya dan tertutup dengan menyembunyikan kondisi kesehatan dirinya.

Tabel 4.5

Model Komunikasi Antarpribadi ODHA Nama

ODHA

Kategori Karakteristik

SBH Terbuka

Tertutup

Percaya diri, merubah penampilan dengan mencat rambut, merawat wajah dan tubuh, pola hidup sehat, berfikir positif, ramah, memulai pembicaraan, menjalin hubungan serius dengan menikah dan menjalin persahabatan akrab.

Penyembunyikan status di masyarakat dengan penampilan sehat dan bersikap secara wajar demi menjaga nama baik keluarga.

AH Tertutup Menutup diri, menghindari berkomunikasi, mengurung diri di kamar, sakit hati, berbohong mengenai penyakit, dan pasrah.

TH Terbuka

Tertutup

Senyum, bersikap ramah, menyapa duluan, berfikir positif berjuang demi anak, cuek masa bodoh, tidak perduli omongan dan sindiran, menerima keadaan diri.

Males bergabung dengan lingkungan sekitar, tidak banyak cerita, mengaku sakit komplikasi dan hepatitis, takut menjadi beban keluarga.

CLMPS Terbuka Berusaha melakukan pendekatan, selalu datang ke rumah, bersikap baik.

Tertutup Pengambilan obat ARV tidak di daerah asal, jarang berkomunikasi, menjaga jarak, mengaku sakit alergi, lebih banyak diam, dan pasrah.

Kategorisasi temuan penelitian sebagaimana tergambar pada tabel diatas adalah bahwa:

1. Model komunikasi yang dilakukan ODHA dilakukan melalui 2 cara yaitu terbuka dan tertutup. Tergantung dengan siapa dan dimana mereka berkomunikasi.

2. Keempat informan memiliki cara tersendiri dalam setiap interaksinya yang dipengaruhi oleh konsep dirinya, jika konsep diri positif maka akan memungkinkan terbukanya komunikasi seperti SBH, TH, dan CLMPS.

Sebaliknya ODHA yang memiliki konsep diri negatif akan cenderung menutup diri dengan lingkungan sosialnya seperti yang dilakukan AH.

3. Keempat informan masih menyembunyikan status diri di lingkungan masyarakat meskipun SBH, TH, dan CLMPS memiliki konsep diri positif.

Hal ini membuktikan masyarakat masih menjadi lingkungan yang berpotensi melakukan stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.

4.4 Triangulasi Sumber Data

Triangulasi sumber data adalah menggali kebenaran informasi tertentu melalui berbagai metode dan sumber perolehan data. Data diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi. Dalam penelitian ini peneliti melakukan observasi non partisipan yaitu peneliti tidak ikut serta menjadi ODHA. Peneliti

hanya menemani dan mengobservasi kegiatan yang dilakukan ODHA, mengobservasi melalui media sosial, dan mengamati verbal dan nonverbal ODHA selama melakukan wawancara.

Ketertutupan status Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) membuat keberadaan mereka masih sangat tersembunyi namun secara kenyataan penyakit ini sudah tidak asing lagi di masyarakat maupun pemerintah. Hal ini dapat dengan mudah diketahui karena pemerintah dan berbagai upaya dari LSM berusaha untuk mengurangi dengan mensosialisasikan dan mengedukasi mengenai HIV/AIDS itu sendiri.

Berdasarkan hasil wawancara di lapangan bahwa komunikasi antarpribadi oleh keempat informan mengenai penyembunyian status mereka sebagai ODHA dilakukan bertujuan untuk menutupinya dari orang-orang disekitarnya karena takut akan stigma dan diskriminasi. Berdasarkan informan SBH, AH, TH, dan CLMPS, mereka memiliki latar belakang yang berbeda mengenai penyebab mereka terinfeksi HIV/AIDS dan perbedaan bentuk stigma dan diskriminasi yang mereka terima. Peneliti menggunakan informan tambahan sebagai bentuk kevaliditasan penelitian ini dimana peneliti juga mewawancarai orang yang mengenal informan dan orang yang mengetahui informasi tentang HIV/AIDS.

Berdasarkan informasi yang diterima dari informan tambahan Juni, Mawar, Rahmad, Melpinnna, dan Shofanut bahwa keempat informan memberikan keterangan yang benar dan informasi yang diberikan informan tambahan tentu ada unsur subjektivitas dari mereka. Jika dilihat berdasarkan subjektivitas peneliti, observasi, informasi dari informan dan informan tambahan di lapangan, keempat informan melakukan komunikasi antarpribadi yang hampir sama ketika

berinteraksi di lingkungan sosialnya. Mereka akan menutupi dan menyembunyikan status mereka di lingkungan sosial yang mereka anggap tidak dekat dengan mereka seperti lingkungan masyarakat di sekitar rumah dan di lingkungan kerja. Sebaliknya mereka akan sangat terbuka dengan orang-orang terdekat yang nyaman dan mendukung mereka seperti keluarga, teman dekat, dan petugas layanan kesehatan.

BAB V

PEMBAHASAN

Masalah yang diteliti dalam penelitian ini adalah bagaimana model komunikasi antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) di lingkungan sosial dalam menghadapi stigma dan diskriminasi. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara mendalam dan observasi.

Peneliti akan membahas hasil temuan penelitian yang terjadi di lapangan dengan menghubungkannya kepada kerangka pemikiran, uraian teori, penelitian terdahulu dan aspek penelitian. Adapun temuan peneliti dalam penelitian ini akan dipaparkan dan dibahas berdasarkan teori-teori yang berhubungan dengan model komunikasi antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA) dalam menghadapi stigma dan diskriminasi lingkungan sosial.

5.1 Komunikasi Antarpribadi Orang Dengan HIV/AIDS (ODHA)

Komunikasi antarpribadi merupakan komunikasi yang berlangsung antara dua orang atau lebih. Komunikasi antarpribadi yang artinya komunikan dan komunikator dapat berkomunikasi secara tatap muka yang memungkinkan setiap pesertanya menangkap reaksi orang lain secara langsung, baik secara verbal maupun nonverbal. Keempat informan yaitu SBH, AH, TH, dan CLMPS melakukan komunikasi antarpribadi kepada keluarga, teman, dan lingkungan sosialnya dengan cara bertatap muka.

Menurut Cangara (2009:24) terdapat komponen atau unsur-unsur dalam proses komunikasi yaitu komunikator, pesan, komunikan, media, dan efek. Semua

ODHA yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah pelaku utama dalam proses komunikasi dan memegang peranan penting dalam mengendalikan jalannya komunikasi.

Pesan yang disampaikan adalah informasi mengenai dirinya di lingkungan sosial terutama dalam hal keterbukaan status kesehatannya sebagai orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Menurut informan, pesan yang disampaikan juga tidak hanya mengenai pengungkapan dan penyembunyian status dirinya.

Kepada petugas kesehatan dan konselor, informasi yang disampaikan bisa berupa kondisi kesehatan dan masalah yang dialaminya terkait stigma dan diskriminasi yang mereka terima dimasyarakat. Pesan tersebut juga disampaikan ODHA secara langsung dengan lingkungan sosialnya yaitu keluarga, teman, masyarakat, dan petugas kesehatan sebagai orang yang menerima pesan.

Pengaruh yang ditimbulkan terhadap pesan yang diterima berbeda-beda di lingkungan sosial ODHA. Sikap dan perilaku yang ditimbulkan akibat proses komunikasi tersebut juga berbeda-beda diantaranya adanya bentuk penerimaan dan penolakan dari pemberian informasi mengenai pengungkapan status diri ODHA tersebut.

Proses komunikasi antarpribadi akan dapat berlangsung dengan baik dan efektif apabila masing-masing individu yang terlibat didalam proses komunikasi antarpribadi tersebut saling memiliki keterbukaan satu sama lain. Keterbukaan dalam memberikan informasi, perasaan, maupun pikiran. Perlunya keterbukaan statusnya sebagai ODHA dengan mengatakan secara jujur kepada lingkungan sosial bahwa mereka telah dinyatakan positif mengidap HIV. Namun keterbukaan yang dilakukan ODHA tentu dibatasi oleh mereka walaupun komunikasi

antarpribadi yang mereka lakukan berjalan dengan baik. Bagi setiap informan, komunikasi antarpribadi mereka akan berjalan baik jika lingkungan sosial yang tidak memiliki hubungan yang akrab dengan mereka tidak mengetahui status mereka sebagai ODHA.

Pada proses komunikasi informasi yang disampaikan mengenai diri, ODHA memiliki cara tersendiri dalam penyampaiannya meskipun dalam hal tersebut terjadi gejolak batin yang dialaminya apakah lingkungan sosial menerima atau menolak mereka. Pada proses komunikasi yang terjadi antara ODHA dengan lingkungan sosialnya dilakukan dengan proses persiapan diri dan pengenalan lingkungan. Kesiapan dalam hal menerima status dirinya sebagai ODHA yang bertujuan untuk melibatkan ODHA ke dalam proses komunikasi antarpribadi yang terjadi. Hal ini juga didukung dengan pernyataan Pak Rahmad yang mengatakan bahwa:

“Komunikasi yang utama harus lebih mengedepankan persiapan mental ODHA itu sendiri. Mereka harus memiliki kemampuan untuk menerima diri apa adanya. Andaikan terjadi stigma dan diskriminasi oleh masyarakat dan keluarga, sebaiknya mereka siap untuk menghadapi itu.”

Proses pengenalan lingkungan dimana ODHA harus mengetahui dan menganalisis apakah lingkungan sosial yang menjadi lawan bicara mereka dapat atau tidak dapat menerima keberadaan mereka sebagai ODHA yang nantinya akan berdampak pada kehidupan dimasa mendatang bagaimana cara berinteraksi di lingkungan sosialnya. ODHA tidak akan memberikan informasi mengenai apa yang mereka rasakan apabila lingkungan sosialnya tidak dapat memahami apa

yang sebenarnya mereka rasakan. Hal ini penting dilakukan untuk meminimalisir terjadinya stigma dan diskriminasi terhadap ODHA.

Tujuan dari komunikasi yang dilakukan ODHA kepada lingkungan sosial mereka umumnya sama yaitu untuk mendapat perhatian dari orang lain, perhatian dalam arti mereka dapat diterima oleh lingkungan sosialnya tanpa mendapat stigma dan diskriminasi. Selain itu komunikasi antarpribadi yang dilakukan ODHA tidak hanya membantu ODHA untuk lebih terbuka tetapi juga membantu ODHA untuk mengenali diri sendiri. Komunikasi yang dilakukan ODHA juga bertujuan agar mereka dapat memenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan untuk memperoleh bantuan dari orang lain yaitu petugas layanan kesehatan untuk pengambilan obat ARV maupun untuk memeriksakan kondisi kesehatan, serta kebutuhan aktualisasi diri bahwa mereka masih berharga sama seperti sebelum terinfeksi.

Berdasarkan teori interaksi simbolik bahwa pemaknaan konsep diri menjadi penentu dalam komunikasi antarpribadi yang membuat keempat informan menyadari bahwa semakin dalam komunikasi yang dibangun semakin besar keterlibatannya dalam interaksi. Konsep diri terbentuk dari proses interaksi yang terjalin antara ODHA dengan lingkungan sosialnya. Konsep diri adalah cara kita melihat diri kita yang berdampak bagaimana seseorang berkomunikasi dan berhubungan dengan lingkungan sekitarnya. Konsep diri juga mempengaruhi perilaku komunikasi karena konsep diri mempengaruhi keterbukaan diri pribadi terhadap suatu pesan, bagaimana individu mempersepsikan pesan tersebut sesuai dengan konsep dirinya.

Bagi ODHA sikap dan perasaan takut diketahui orang lain tentang status kesehatan dirinya bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini menyangkut persoalan rahasia dan sensitif, tidak hanya untuk dirinya melainkan keluarganya yang juga dapat menimbulkan terjadinya stigma dan diskriminasi di lingkungan sosial dimana ODHA berada. Mereka sendirilah yang memahami dan mengerti diri sendiri dengan segala macam resiko yang akan dihadapi.

Stigma bagi ODHA adalah persoalan yang menyakitkan hati dan membuat mereka kecewa karena di label negatif oleh lingkungan sosialnya.

Stigma yang menganggap bahwa mereka memiliki penyakit tersebut akibat perbuatan yang tidak bermoral dan menyimpang dari norma-norma di masyarakat seperti perilaku seksualitas, berganti pasangan, dan menggunakan narkoba. Begitu juga dengan diskriminasi yang dialami ODHA, sebab mereka diperlakukan berbeda dan tidak sewajarnya seperti diusir, dijauhi, membedakan peralatan makanan, ditolak pada pelayanan kesehatan, dan diskriminasi secara verbal berupa sindiran dan hinaan.

Hal ini juga diungkapkan Indriani dan Fauziah (2017) dimana ODHA mengalami stigma dan diskriminasi dalam keluarga dengan cara menghindar dan berwudhu setelah berinteraksi dengan ODHA, perilaku berupa pemisahan alat makan dan mencuci pakaian. Selain itu, ODHA juga mengalami perilaku yang tidak menyenangkan saat mengakses ARV di rumah sakit dengan cara dibentak-bentak oleh petugas layanan kesehatan dan adanya pernghindaran interaksi secara langsung yang dilakukan rekan kerja ODHA.

ODHA akan memandang dirinya tergantung dari konsep diri yang melekat pada dirinya dan berkaitan dengan pengalaman dirinya ketika

berkomunikasi dengan lingkungan sosial. Stigma dan perlakuan diskriminasi pernah dialami oleh keempat informan peneliti yakni SBH, AH, TH, dan CLMPS.

Kejadian tersebut membuat para ODHA merasa putus asa dan depresi bahkan ingin bunuh diri dan memilih untuk mengakhiri hidupnya, seperti yang diungkapkan SBH:

“Setiap malam saya berdoa agar Tuhan mencabut nyawa saya karena saya berfikir sudah tidak berguna dan tidak punya siapa-siapa lagi. Anak saya pada saat itu tidak tahu keberadaannya dimana semakin membuat saya tidak ingin hidup lagi. Saat di rumah sakit dulu disuruh makan oleh dokter saya selalu mengatakan bahwa saya tidak perlu diobati, saya selalu diminta untuk suntik mati saja. Yang ada difikiran saya saat itu adalah saya sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi, andaipun sehat sudah tidak tahu harus bagaimana dan kemana.”

Konsep diri negatif inilah yang pernah dialami keempat informan.

Konsep diri yang negatif timbul dari kurangnya kepercayaan kepada kemampuan sendiri. Orang yang kurang percaya diri akan cenderung menghindari situasi berkomunikasi dan berkeinginan untuk menutup diri.

Hal ini juga didukung oleh penelitian Hasna Sarikusuma, Ika Herani, &

Nur Hasanah (2012) dimana label negatif dan berbagai bentuk diskriminasi yang diterima ODHA dijadikan sebagai informasi untuk menilai dirinya sendiri sehingga mempengaruhi cara pandang atau konsep diri ODHA. Konsekuensi dari pemberian label negatif dan diskriminasi, ODHA akan memandang, berpikiran, dan merasa negatif terhadap diri seperti adanya rasa putus asa, depresi, tidak berguna, tidak berdaya, menarik diri dari lingkungan, dan berkeinginan untuk bunuh diri.

Seiring dengan berjalannya waktu dan terus melakukan proses komunikasi baik melalui konseling di pusyansus, berinteraksi sesama ODHA,

berubah menjadi positif. Mereka berkeinginan untuk terus melanjutkan hidup agar sehat kembali. Dukungan yang mereka dapat dari keluarga, teman, konselor maupun petugas kesehatan di pusyansus sangat penting dalam membentuk karakter yang dimiliki setiap ODHA. Mereka memahami keadaan diri mereka baik secara psikis maupun fisik kesehatannya. Dukungan yang inilah yang menjadi kunci untuk membuat mereka memiliki konsep diri yang positif, dimana timbul rasa percaya diri dan telah menerima status dirinya. Walaupun demikian, tidak semua informan mendapatkan dukungan dari keluarga dan orang terdekat seperti informan SBH dan CLMPS yang sama sekali tidak ada yang memperdulikan. Meskipun begitu, keinginan mereka untuk terus melanjutkan hidup mereka tunjukkan demi anak. Dimana anak adalah anggota keluarga yang juga termasuk faktor penyemangat bagi ODHA untuk terus berupaya hidup sehat.

Demikian halnya dengan informan TH yang memiliki 2 anak yang juga terinfeksi HIV/AIDS. Ia juga menuturkan anak adalah segalanya baginya termasuk dorongan dan penyemangat untuk tetap melanjutkan hidup. Selain itu konsep diri positif dapat membantu ODHA memahami dan menerima kenyataan status kesehatannya dan menghadapi setiap stigma dan diskriminasi yang nantinya akan mereka terima di lingkungan sosialnya.

Konsep diri juga akan mendorong terjadinya keterbukaan dalam hal pengungkapan dirinya di lingkungan sosial. Pengungkapan diri atau self disclosure merupakan pengungkapkan informasi maupun perasaan mengenai diri pribadi yang sebenarnya kepada orang lain. Salah satu model untuk memahami tingkat kesadaran dan pengungkapan diri dalam komunikasi adalah Jendela Johari (Johari Window).

Josept Luft dan Harrington Ingham (dalam Mulyana, 2005:15) memberi penjelasan bahwa Jendela Johari mengibaratkan diri manusia sebagai sebuah ruangan yang terdiri dari empat bingkai, dimana masing-masing bingkai menunjukkan daerah diri pribadi. Jika setiap individu dapat memahami dirinya sendiri, maka ia dapat mengendalikan sikap dan tingkah lakunya saat berhubungan dengan orang lain.

Berdasarkan Jendela Johari, hasil temuan menunjukkan bahwa keempat informan memiliki informasi pribadi mengenai status dirinya sebagai ODHA.

Mereka akan membatasi siapa saja yang boleh mengakses informasi tersebut.

Tingkat kedekatan dan hubungan yang akrab juga menjadi penentu dalam memberikan informasi tersebut. Masing-masing keempat informan memiliki 2 bingkai yang mereka lakukan ketika berkomunikasi dengan lingkungan sosialnya, yaitu daerah terbuka dan daerah tersembunyi. Daerah terbuka menunjukkan keterbukaan ODHA mengenai status kesehatannya terhadap orang lain yaitu keluarga, teman dan petugas kesehatan. Seperti yang diungkapkan salah satu informan TH yang mengungkap diri kepada keluarganya:

“Saya terbuka kepada keluarga saya, orang tua dan adik saya. Begitu saya keluar dari rumah sakit, mereka langsung saya beritahu, tidak ada yang saya tutup-tutupi. Mereka mendukung saya terutama kedua orangtua saya selalu memberikan semangat untuk terus sehat dan tidak lupa minum obat.”

Keterbukaan tersebut disebabkan karena adanya rasa aman dan percaya.

Kepercayaan adalah kunci dalam menjalin hubungan yang akrab. Dengan adanya keterbukaan membuat ODHA mendapat dukungan. Sesuai dengan pernyataan Devito (2011:285) yang mengatakan bahwa komunikasi antarpribadi akan efektif

dasar untuk menjalin hubungan antarpribadi yang lebih intim dan mengurangi rasa kekhawatiran, yang juga bertujuan agar ODHA menemukan orang-orang yang dapat mendukung mereka bahkan setelah mengetahui kondisi mereka. Dukungan dari orang-orang terdekat ODHA adalah faktor yang membuatnya semangat untuk terus sehat. Hal itu dirasakan oleh ODHA seperti keluarga dan teman terdekat yang selalu mengingatkan dan memotivasi ODHA untuk menjaga kesehatan.

Bingkai kedua adalah daerah tersembunyi yang menunjukkan keadaan dimana ODHA mengetahui hal mengenai dirinya, namun orang lain tidak mengetahui hal tersebut. Daerah ini dilakukan keempat informan kepada lingkungan disekitarnya dengan menyembunyikan status diri mereka di masyarakat. Keempat informan menjaga jarak dengan orang-orang di sekitarnya sehingga hubungan yang terjalin tidak terlalu akrab. Hal ini diungkapkan oleh informan CLMPS yang mengatakan:

“Saya tertutup dan menjaga jarak bahkan bisa disebut jarang berkomunikasi, sehingga tetangga tidak mengetahui status saya sehingga belum pernah mengalami diskriminasi. Saya selalu berusaha menutupi status penyakit yang saya derita dari masyarakat.”

Keempat informan merasa bahwa jika mereka terbuka dan membangun hubungan akrab dengan masyarakat mereka tidak mendapat sebuah penghargaan.

Di dalam pikiran mereka hanya akan menimbulkan resiko yang akan mengakibatkan kerugian jika lingkungan sekitar tau mengenai status mereka.

Pengungkapan diri ODHA tergantung pada situasi dan orang yang diajak untuk berkomunikasi. Jika orang yang diajak berkomunikasi membuat merasa nyaman serta dapat membangkitkan semangat maka kemungkinan bagi ODHA

untuk lebih membuka diri sangatlah besar. Sebaliknya ODHA akan menutup diri dengan lingkungan yang belum bisa menerima dirinya.

Berdasarkan pengamatan peneliti, keempat informan mempunyai komunikasi antarpribadi yang berbeda-beda dalam menghadapi stigma dan diskriminasi yang mereka terima di lingkungan sosialnya. Informan SBH yang awalnya mendapat penolakan hingga di usir oleh keluarga dan masyarakat membuatnya tampil beda dan percaya diri dengan merubah penampilan dan merawat tubuh dan wajah agar tidak terlihat seperti orang yang terinfeksi HIV/AIDS. Informan TH yang memiliki sifat terbuka dan bersikap ramah menjadi awal mula yang baik untuk membentuk terjalinnya komunikasi yang lebih akrab dengan petugas layanan kesehatan yang pernah menstigma dan mendiskriminasi dirinya dengan jibiran dan raut wajah yang kurang menyenangkan. Begitu halnya CLMPS yang di usir dan tidak dianggap keluarga terus berusaha melakukan pendekatan walaupun pada akhirnya hanya orang tua laki-laki yang mau menerima. Berbeda dengan informan AH yang pernah mendapatkan penolakan dari pelayanan kesehatan dan dijauhi saudaranya lebih memilih untuk menutup diri dan mengindari komunikasi dengan orang lain.

Sedangkan kepada masyarakat, keempat informan masih menutupi dan menyembunyikan status kesehatan mereka sebagai ODHA. Hal ini peneliti amati dengan melihat media sosial whatsapp milik SBH yang menampilkan foto profil pernikahannya. Pada saat dokumentasi SBH juga lebih memilih lokasi di tempat temannya Juni. Peneliti juga melihat sikap wajar yang ia tunjukkan dengan menyapa dan bertegur sapa kepada masyarakat sekitar rumah rumah singgah.

Begitu juga dengan media sosial whatsapp milik AH dimana foto profil yang ia

tunjukkan ketika ia sedang wisuda S2 dengan memakai toga sambil tersenyum lebar. Sangat jauh berbeda dengan kondisinya yang sekarang. Hal ini peneliti simpulkan bahwa ODHA tidak ingin statusnya diketahui oleh masyarakat dengan tidak menampilkan dirinya yang berhubungan dengan penyakit HIV/AIDS.

Pada umumnya perilaku ditentukan oleh keinginan individu untuk melakukan atau tidak melakukan suatu perilaku tertentu. Individu akan mempertimbangkan akibat dari tindakannya sebelum ia memutuskan menampilkan atau tidak suatu perilaku tersebut. Latar belakang apa yang membentuk sikap dan tingkah laku seseorang ketika melakukan suatu hal dan atas dasar alasan apa ketika orang lain melakukan sesuatu dan bertindak.

ODHA juga akan mempertimbangkan dan memiliki penilaian tersendiri mengenai tindakan yang ia lakukan kepada orang lain akan berakibat buruk atau tidak kepada dirinya. Keputusan ODHA untuk terlibat dalam perilaku tersebut didasarkan pada hasil yang diharapkan ODHA nantinya. Keempat informan membuka diri dengan lingkungan sosialnya juga berbeda-beda tergantung dari keyakinan yang ada pada diri mereka kepada siapa mereka mau berbagi dan dampak serta konsekuensi apa yang mereka terima nantinya. Berterus terang bukan pilihan yang mudah bagi ODHA. Perilaku yang mereka lakukan untuk

ODHA juga akan mempertimbangkan dan memiliki penilaian tersendiri mengenai tindakan yang ia lakukan kepada orang lain akan berakibat buruk atau tidak kepada dirinya. Keputusan ODHA untuk terlibat dalam perilaku tersebut didasarkan pada hasil yang diharapkan ODHA nantinya. Keempat informan membuka diri dengan lingkungan sosialnya juga berbeda-beda tergantung dari keyakinan yang ada pada diri mereka kepada siapa mereka mau berbagi dan dampak serta konsekuensi apa yang mereka terima nantinya. Berterus terang bukan pilihan yang mudah bagi ODHA. Perilaku yang mereka lakukan untuk