• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV TEMUAN PENELITIAN

1) Informan 1: SBH

Ibu SBH adalah informan pertama yang peneliti wawancarai. Peneliti bertemu dan berkenalan dengan SBH ketika sedang mengambil obat ARV di Pusyansus pada bulan Mei 2018. Peneliti memperkenalkan diri dan menjelaskan maksud serta tujuan mengadakan penelitian. Senyum manis dan sambutan hangat

langsung peneliti terima ketika itu. Perempuan Kelahiran 1977 ini memiliki ciri-ciri rambut pendek sebahu dan berkulit putih terawat. Badannya yang sehat sama sekali tidak terlihat bahwa ia terinfeksi virus HIV/AIDS. Pada saat itu SBH juga langsung bersedia diwawancara tetapi meminta wawancara dilakukan pada siang hari. Pada pukul 12.42 WIB peneliti bertemu kembali dengan SBH di salah satu rumah makan di depan RSUP. H. Adam Malik. Pada saat itu SBH meminta maaf bertemu di rumah makan mengingat peneliti sedang berpuasa. Disana SBH bersama 2 orang teman yang juga merupakan ODHA. Sama sekali tidak ada rasa canggung yang ia tunjukkan kepada peneliti. SBH merupakan orang yang ramah dan terbuka, ia dengan senang hati menjawab setiap pertanyaan yang peneliti ajukan. Hal ini juga peneliti amati ketika ia memesan minuman dengan kata-kata candaan kepada petugas rumah makan. Tidak ada sedikit pun ketakutan yang ia tunjukkan bahwa ia adalah ODHA. Peneliti memulai sesi wawancara dengan menanyakan bagaimana awalnya SBH terinfeksi HIV/AIDS, SBH pun menjawab:

“Awal terinfeksi pastinya saya tidak tahu, tetapi yang saya tahu dari suami saya. Saat itu suami saya sering sakit-sakitan, sudah berobat kemana-mana tidak pernah sembuh, terus mencret, dan batuk. Saya tidak apa-apa, saya tidak sakit. Awal mula saya ketahuan sakit ketika suami saya berobat ke sebuah rumah sakit di Lubuk Pakam. Saat berobat dilakukan pemeriksaan darah dan hasilnya tidak diberitahukan kepada saya. Tetapi pihak rumah sakit di Lubuk Pakam menyarankan suami saya untuk dibawa ke Rumah Sakit Adam Malik. Berbekal surat rujukan dari rumah sakit di Lubuk Pakam, kami berobat ke Adam Malik tepatnya pada tahun 2007. Pada saat pemeriksaan di Adam Malik disampaikan bahwa suami saya terinfeksi HIV positif. Kemudian disarankan agar saya dan anak juga harus melakukan pemeriksaan darah. Dari hasil pemeriksaan, ternyata saya positif sedangkan anak saya negatif.”

Suami SBH meninggal pada tahun 2008 dan semakin bertambah beban hidup yang dialami perempuan asal Kalimantan ini. Akibat faktor ekonomi ia

pekerjaan. Bersama orang yang ia sebut “Mamak” yang sudah dianggap sebagai keluarga, ia memilih untuk tinggal di daerah Tembung. Peneliti kembali bertanya tentang pengungkapan mengenai status kesehatan dirinya, berikut jawaban SBH:

“Pada awalnya mamak yang di Tembung sudah tahu karena pernah bantu-bantu di rumah saya sebelum suami meninggal. Selain itu kakak angkat saya yang di Binjai juga saya beritahu bahwa penyakit yang saya derita sama dengan suami saya. Selanjutnya, pada awalnya keluarga mamak yang di Tembung tidak tahu tentang penyakit saya, namun lama kelamaan saudara-saudaranya akhirnya tahu bahwa suami saya meninggal karena terinfeksi HIV. Saat itu saya takut mereka tahu sehingga saya tidak pernah memberitahu mereka yang sebenarnya kalau saya juga terinfeksi HIV.”

Demi menutupi status dirinya yang takut diketahui orang lain, SBH pergi dan bekerja di Malaysia dengan alasan faktor ekonomi untuk membiayai anaknya sekolah. Pada tahun 2013 ia memutuskan untuk kembali pulang ke Indonesia akibat virus HIV yang terus menggerogoti tubuhnya. Disinilah awal SBH mengalami stigma dan diskriminasi, sebagaimana penuturannya:

“Ketika saya pulang dari Malaysia, kondisi kesehatan saya menurun drastis (drop) hingga melakukan transfusi sampai 5 kantong darah. Tiga hari kesehatan saya menurun, saya diungsikan keluarga. Alasannya karena suami saya yang dulunya HIV pasti sudah menularkannya kepada saya. Bahkan masyarakat mengatakan bahwa saya sudah tidak bisa lagi tinggal disana. Saat itu yang mereka katakan “Itu kereta api, campakkan aja dia ke kereta api! Ini gak diterima masyarakat!” Bahkan pada saat itu saya dan anak saya hampir saja mau dibakar oleh mereka dengan alasan agar tidak menularkan virus penyakit yang saya derita.”

Berdasarkan jawaban yang disampaikan SBH, ia mendapat stigma dan diskriminasi dari keluarga dan masyarakat yang tidak mau menerima dirinya dengan cara diusir. Peneliti semakin tertarik untuk mengetahui apa saja yang dialaminya ketika mendapat stigma dan diskriminasi. Peneliti mencoba menggali

lebih dalam lagi terkait bagaimana perasaan SBH ketika mendapat stigma dan diskriminasi, berikut jawaban SBH:

“Saya tidak menyangka sampai begitu pikiran dan perlakuan mereka kepada saya. Bahkan pernah saya ajak mereka ke Rumah Sakit Adam Malik tetapi mereka tidak mau sampai akhirnya untuk sekedar dekat dengan saya mereka sudah tidak mau. Pada saat itu yang ada dipikiran saya adalah mati dan membawa serta anak saya dengan meminum racun.

Saya kasihan dengan anak saya karena didalam pikiran saya, anak saya sudah terlantar karena perilaku bapaknya yang hanya meninggalkan aib untuk kami.”

Stigma dan diskriminasi yang ia terima membuatnya ingin mengakhiri hidup dengan anak semata wayangnya terlebih penyakit HIV/AIDS yang ditularkan dari mendiang suami membuatnya semakin depresi dan putus asa. Atas bantuan dari kakak angkat yang tinggal di Binjai dan temannya seorang tukang becak, ia pun di bawa ke rumah sakit Adam Malik dan di opname selama 2 minggu. Ekspresi marah dan kesal juga di tunjukkan SBH mengingat penyakit HIV yang ia diterima melalui mendiang suami yang berakibat ia mengalami perlakuan buruk. Sesekali ia mendongakkan kepala dan menggerakkan tangan seolah-olah seperti menunjuk seseorang.

“Penyakitnya dia buat sendiri dan ditularkan kepada saya. Padahal sebelum nikah, saya tidak pernah keluyuran dan keluar malam. Suami saya yang sering main perempuan tetapi saya kena imbasnya, begitulah fikiran saya saat itu.”

SBH menunjukkan rasa sedih setiap menceritakan pengalaman ketika ia mendapat stigma dan diskriminasi. Sesekali ia menangis dan mengusap air mata yang menetes di kedua matanya dengan menggunakan tisu yang sejak awal ia pegang. Bercerita tentang anak juga membuatnya kembali menangis.

“Saya tidak tahu keberadaan anak saya saat itu. Anak tidak pernah diberitahu selama saya dirawat dan diopname di Adam Malik. Pada saat itu anak saya masih di Tembung. Akibat tidak ada kabar dari saya, mereka hanya bilang kepada anak saya bahwa saya sudah meninggal.

Saat itu hati saya sangat sedih. Tapi sekarang saya sudah tahu. Sejak tahun 2013 semenjak saya di opname sampai sekarang, anak saya diantar bapak yang di Tembung ke Mandala ikut keluarga mendiang suami.”

Pertemuan peneliti dengan SBH tidak hanya sekali saja. Menjadi kordinator sekaligus pendamping ODHA di rumah singgah GBKP membuat peneliti berjumpa kembali dengan SBH ketika ia datang ke Pusyansus untuk membantu dan menemani para ODHA mengambil obat ARV. Selama berada di Pusyansus, peneliti amati SBH selalu menunjukkan sikap yang ramah dengan para ODHA dan petugas layanan kesehatan. Peneliti kembali melanjutkan wawancara lebih mendalam lagi terkait interaksinya di lingkungan sosial setelah mengalami stigma dan diskriminasi.

“Awalnya untuk sekedar keluar dan bertemu dengan orang-orang pun saya tidak berani karena kondisi saya masih sangat parah. Kondisi fisik saya saat itu sangat kurus, kering, dan hitam. Berat badan saya hanya 36 kg. Saat itu saya bertahan di dalam yayasan rumah singgah terus dan takut untuk keluar.”

Stigma dan diskriminasi yang ia terima membuatnya tidak mau berkomunikasi bahkan berjumpa dengan orang lain terlebih dengan kondisi fisik yang lemah juga semakin membuatnya menarik diri dari lingkungan. Peneliti kembali bertanya bagaimana upaya yang ia lakukan setelah mendapatkan stigma dan diskriminasi dari keluarga, berikut penuturan SBH:

“Bapak Rahmat selaku konseling selalu memberikan motivasi dan sering mengajak saya untuk mengikuti acara-acara bertema pemberdayaan untuk para ODHA. Dari kegiatan-kegiatan dan acara tersebut kemudian saya mencoba memberanikan diri. Ternyata banyak ODHA lain yang sama seperti saya. Saat itu saya mengubah penampilan menjadi lebih percaya diri, saya mencat rambut, melakukan perawatan agar tidak terlihat hitam dan berusaha menggemukkan badan. Saat ini, keluarga dan masyarakat di Tembung sudah biasa dengan saya. Bahkan saya pernah

berkunjung ke Tembung dan banyak yang terkejut melihat penampilan dan kondisi saya yang telah banyak berubah.”

Pengalaman pahit yang ia rasakan menjadi pelajaran baginya bahwa harus selalu yakin dan percaya diri untuk mau menerima dirinya sendiri sebagai ODHA. Meskipun keterbukaan sudah ia lakukan di keluarga, tidak membuat ia juga langsung terbuka dengan masyarakat lain, seperti penuturan SBH:

”Jika ada yang bertanya apa yang saya lakukan di rumah singgah, itu rumah singgah apa, untuk penyakit apa, saya akan jawab dengan balik bertanya dulu mereka taunya itu rumah singgah untuk apa tanpa menyebutkan 3 huruf HIV. Terkadang saya melihat tipe orang nya juga karena banyak yang bertanya kenapa saya mau bekerja di rumah singgah padahal sudah tahu disana HIV. Untuk yang bertanya seperti itu saya tidak langsung jawab tetapi berusaha menjelaskan tentang bagaimana sebenarnya HIV itu, karena perlu dijaga apabila langsung sebutkan tentang HIV, ketakutan saya masyarakat sekitar bahkan penjual makanan pun tidak akan mau melayani. Kalau sudah begitu, bagaimana saya memenuhi kebutuhan di rumah singgah.”

Berdasarkan penuturan SBH, penyembunyian status dirinya masih ia lakukan di lingkungan masyarakat terutama dilingkungan rumah singgah. Ia beranggapan bahwa penyembunyian tersebut dilakukan demi menjaga dirinya dan teman-teman sesama ODHA, terlebih segala kebutuhan untuk rumah singgah harus berhubungan langsung dengan masyarakat sekitar. Ketidakterbukaan mengenai status HIV juga ia lakukan kepada keluarga mendiang suami agar bisa berkomunikasi dengan anaknya. Keluarga dari pihak suami menunjukkan rasa ketidakpedulian terhadapnya terlebih SBH tidak pernah merasa dekat semenjak mendiang suami masih hidup.

“Respon mereka kepada saya sudah jelas tidak mau menerima, bahkan anak saya sampai 5 kali di cek oleh keluarga dan hasilnya selalu negatif.

Jadi jika berkomunikasi dengan anak melalui telepon, saya selalu mengaku tante, karena takut respon keluarga tidak terima. Jangankan sekarang, bahkan dari dulu saya tidak pernah mendapatkan motivasi dan

SBH bercerita bahwa ia tidak memiliki seorang keluarga pun di Medan dikarenakan menikah hanya begitu saja dibawa oleh sang suami pada kala itu.

Terpisah dari keluarganya di Kalimantan hingga sekarang dan tidak pernah berkomunikasi sehingga keluarga juga tidak tahu mengenai penyakitnya. Menikah kembali dengan sesama ODHA juga tidak serta merta membuat SBH membuka status dirinya. Tidak semua keluarga sang suami mengetahui statusnya sebagai ODHA. Ketidakterbukaannya dikarenakan masih ada rasa takut dan tidak berani, terlebih tidak semua keluarga mengetahui status suami SBH yang juga merupakan ODHA, berikut penuturannya:

“Hanya mamak, kakak sama abang suami saya yang mengetahui tentang keadaan saya. Mereka menerima saya, tetapi anggota keluarga yang lain tidak tahu terlebih kondisi saya yang sudah sehat sekarang. Saya belum berani terbuka karena ibu mertua saya pun berpesan untuk tidak terlalu membuka diri karena ibu mertua saya juga menyampaikan bagaimana lelahnya menyembunyikan status suami saya. Saya menjaga itu juga apalagi ibu mertua saya menyampaikan begitu. saya ingin menjaga nama baik keluarga suami saya yang sekarang walaupun ruang lingkup saya jadi sangat terbatas.”

Setelah mendapat informasi tentang komunikasi yang dilakukan SBH di lingkungan sosial, wawancara dilanjutkan dengan bertanya tentang hambatan dalam berkomunikasi dengan lingkungan sosial. Menurutnya pengetahuan masyarakat masih awam mengenai HIV/AIDS, itu ia rasakan ketika pernah mengalami stigma dan diskriminasi. Tetapi tidak menutup kemungkinan masyarakat juga mulai mengetahui tentang HIV/AIDS melalui edukasi-edukasi yang diberikan. Kebanyakan masyarakat dari daerah pedesaan yang masih kurang pengetahuan mengenai HIV/AIDS itu sendiri, berikut jawaban SBH:

“Hambatannya lebih kepada pengetahuan masyarakat yang masih minim tentang penyakit yang saya derita ini, tetapi sekarang sudah lebih baik

kondisinya daripada dulu. Sebagai gambaran, di rumah sakit saat ini sudah mulai banyak keluarga yang bersedia menemani nggota keluarga yang terinfeksi. Berbeda dengan zaman dulu yang meninggalkan begitu saja bahkan dulu ada anggota keluarga yang mencuci tangan jika mau melakukan kontak dan bersentuhan dengan ODHA. Perubahan keluarga dan masyarakat sekarang dipengaruhi oleh banyaknya pendamping atau relawan-relawan yang memberikan edukasi baik itu dari LSM, gereja, masjid, bahkan sekolah juga sekarang ini sangat banyak membantu. Tetapi bagaimana pun itu masih di wilayah perkotaan, sementara jika diwilayah pedesaan ataupun perkampungan masih tetap banyak yang belum paham.

Jadi berkomunikasi dengan mereka juga harus dijaga.”

Peneliti kemudian bertanya lagi tentang pandangan SBH sebagai ODHA.

Konsep diri positif ia tunjukkan dengan mengatakan bahwa dirinya adalah orang yang sehat seperti kebanyakan orang pada umumnya, berikut petikan wawancaranya.

“Saat ini saya tidak menganggap saya sakit, tetapi saya meyakinkan diri bahwa saya sehat sama dengan yang lain. Saya tidak duduk dikursi roda.

Berbeda dengan keadaan dulu dimana setiap malam saya berdoa agar tuhan mencabut nyawa saya karena saya berfikir sudah tidak berguna dan tidak punya siapa-siapa lagi. Anak saya pada saat itu tidak tahu keberadaannya dimana semakin membuat saya tidak ingin hidup lagi.

Tetapi sekarang justru kebalikan dari yang dulu, saya sangat berterima kasih masih bisa hidup seperti ini dan diberi kesempatan untuk berumah tangga lagi seperti orang normal lainnya.”

Pandangan mengenai diri SBH ia tunjukkan dengan positif. Ia optimis dan percaya bahwa setiap ODHA berhak sehat. ODHA dapat menjalankan aktivitas sebagaimana manusia pada umumnya tergantung apakah ODHA tersebut mau berusaha sehat atau tidak dan mau menerima status dirinya. Peneliti kemudian menutup wawancara dengan menanyakan apa harapan SBH mengenai stigma dan diskriminasi yang diterima oleh ODHA, berikut penuturan SBH:

“Harapan saya kalau bisa jangan sampai ada stigma dan diskriminasi.

Khususnya yang mempunyai keluarga, sebenarnya dukungan dan rangkulan keluarga merupakan hal yang utama bagi penderita ODHA.

Sama seperti saya yang pada awalnya tidak mempunyai motivasi sama

ODHA bukan untuk ditakuti apalagi untuk disingkirkan. Para ODHA diharapkan harus tetap percaya diri, optimis dan buktikan kepada masyarakat bahkan pada dunia bahwa kita itu tidak sakit. Kita buktikan kepada masyarakat bahwa ODHA tidak seperti yang dibayangkan oleh masyarakat kebanyakan.”

Selama penelitian berlangsung, peneliti pernah meminta SBH untuk ikut ke rumah singgah tempat ia bekerja. Letak rumah singgah yang tidak terlalu jauh berada di belakang RSUP H. Adam Malik bisa dilalui dengan berjalan kaki selama 10 menit. Selama berjalan ke rumah singgah, peneliti amati SBH selalu bertegur sapa dengan masyarakat sekitar yang kami jumpai. Hal ini peneliti simpulkan bahwa masyarakat belum mengetahui status dirinya sebagai ODHA.

Terlebih juga pada saat dokumentasi, dimana awalnya SBH tidak bersedia karena takut identitasnya diketahui oleh masyarakat. Sehingga ia meminta dokumentasi dilakukan tidak berada di rumah singgah tetapi di tempat temannya Juni. Sama halnya dengan media sosial whatsapp milik SBH yang menampilkan foto profil ketika ia menikah di gereja, tampak raut mukanya yang terlihat bahagia dengan sang suami sehingga memperlihatkan bahwa dirinya sama dengan orang tanpa terinfeksi HIV/AIDS.