• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2) Tujuan Komunikasi Antarpribadi

2.3.4 Konsep Diri

Konsep diri berkembang melalui interaksi dengan orang lain. Konsep ini berjalan seperti saat kita memandang cermin, kita melihat apa yang cermin perlihatkan kepada kita. Penilaian tentang diri kita, bagaimana kita membayangkan kita tampak pada orang lain, bagaimana orang menilai penampilan kita dan bagaimana kita mengalami perasaan senang atau kecewa.

Konsep diri sering juga disebut konstruksi, identitas diri atau perspektif diri yaitu kumpulan keyakinan tentang diri sendiri yang mencakup unsur-unsur prestasi, peran, dan identitas diri. Konsep diri berkaitan dengan bagaimana seseorang mengenal dirinya secara sesuai dengan identitas yang diberikan kepadanya.

Menurut Rakhmat (2005:99) dengan mengamati diri sendiri sampailah kita pada gambaran dan penilaian diri kita yang disebut sebagai konsep diri.

Faktor yang sangat penting dalam komunikasi antarpribadi ditentukan oleh konsep diri karena setiap orang bertingkah laku sebaik mungkin sesuai dengan konsep diri yang ada pada dirinya. Keberhasilan komunikasi antarpribadi banyak bergantung pada kualitas konsep diri, apakah konsep dirinya negatif atau positif.

Fitt (dalam Agustiani, 2006:138) menyatakan konsep diri merupakan aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan kerangka acuan (frame of reference) dalam ia berinteraksi dengan lingkungannya.

Penilaian dan interaksi dengan orang lain sangat mempengaruhi pembentukan penilaian diri. Seorang individu tidak dapat begitu saja menilai bahwa ia memiliki diri yang baik, tanpa disertai adanya reaksi dari orang lain yang menunjukkan bahwa secara fisik ia memang baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konsep

diri adalah penilaian seseorang tentang dirinya berkaitan dengan pengalaman yang didapat dan akan mempengaruhi interaksinya di masyarakat.

Berkaitan dengan hal tersebut, ODHA akan memandang dirinya tergantung dari konsep diri yang melekat pada dirinya dan berkaitan dengan pengalaman dirinya ketika berkomunikasi dengan lingkungan sosial. ODHA yang menarik diri dari lingkungan dengan menghindari situasi dalam berkomunikasi akan cenderung memiliki konsep diri yang negatif. Sebaliknya, konsep diri positif jika ODHA mau menerima akan status dirinya dan mendapat dukungan dari lingkungan sosialnya seperti keluarga. Konsep diri terbentuk akibat dari pengaruh lingkungan sosial ODHA itu sendiri. Akibat adanya stigma dan diskriminasi lingkungan sosial akan berpengaruh pada konsep diri ODHA.

2.3.5 Teori Interaksi Simbolik

Interaksi simbolik memandang bahwa individu selalu aktif dalam melakukan interaksi dengan individu lainnya. Lebih lanjut Mulyana (2006:74) menjelaskan pendekatan interaksi simbolik berupaya untuk menjelaskan hubungan diantara pemahaman, motif, dan rancangan pesan serta pemaknaan atas peran dan tindakan. Dengan kata lain interaksi simbolik berusaha menjelaskan bagaimana orang-orang menempatkan komunikasi mereka dalam berbagai komunikasi tatap muka dengan berbagai macam orang lewat pengambilan peran (role talking) ataupun pengambilan perspektif (perspective talking).

Blumer (dalam Mufid, 2009:149) menyatakan pemaknaan atas sesuatu yang dihadapi individu lewat proses disebut self-indication, yaitu proses komunikasi pada diri individu yang dimulai dari mengetahui sesuatu, menilai

sesuatu, memberinya makna, dan memutuskan untuk bertindak sesuai dengan makna tersebut. Dengan demikian proses self-indication ini terjadi dalam konteks sosial dimana individu mengantisipasi tindakan-tindakan orang lain dan menyesuaikan tindakannya sebagaimana individu tersebut memaknakan tindakan itu. Sehingga teori interaksi simbolis berfokus pada cara orang berinteraksi melalui simbol yang berupa kata, gerak tubuh, peraturan, dan peran. Terdapat tiga premis yang dalam interaksi simbolik yaitu pertama, manusia bertindak berdasarkan makna-makna. Kedua, makna tersebut didapatkan melalui interaksi dengan orang lain. Ketiga, makna tersebut berkembang selama interaksi tersebut sedang berlangsung.

George Herbert Mead (dalam Ardianto & Q. Annes, 2007:136) mencetuskan teori interaksi simbolik dengan tiga konsep, yaitu: Mind, Self dan Society. Tiga konsep ini saling mempengaruhi satu dengan yang lain. Mind merupakan pikiran manusia, self adalah interaksi sosial diri dengan orang lain yang digunakan untuk menginterpretasikan masyarakat atau society dimana kita berada. Makna itu berasal dari interaksi dengan membangun hubungan dengan individu lain. Mind (pikiran) merupakan mekanisme penunjuk diri untuk menunjukkan makna pada diri sendiri dan orang lain. Dan perkembangan self (diri) mengarah pada sejauh mana seseorang akan mengambil peran. Dalam hal ini self merupakan suatu proses sadar yang mempunyai kemampuan untuk berpikir.

Society (masyarakat) yaitu organisasi sosial tempat akal (mind) serta diri (self) berada. Masyarakat sebagai pola-pola interaksi sosial yang biasa terjadi atas berlangsungnya pola-pola interaksi tersebut.

Kuswarno (2009:115) menjelaskan proses sosial dilihat sebagai kehidupan kelompok yang membentuk aturan-aturan dan bukan aturan yang membentuk kelompok. Proses sosial berlandaskan pada perilaku individu di lingkungan sosial. Dalam realitas sosial, individu akan menafsirkan pada kebiasaan. Dengan kebiasaan ini orang bisa memberikan pandangan bagaimana kita bertindak.

Interaksi simbolik sekaligus menjelaskan model komunikasi interaksional dimana orang-orang mengembangkan potensi manusiawinya melalui interaksi dengan orang lain, yaitu melalui pengambilan peran orang lain (role talking). Diri (self) berkembang lewat interaksi dengan orang lain, dimulai dengan lingkungan terdekatnya seperti keluarga dalam satu tahap yang disebut permainan (play stage) dan berlanjut hingga lingkungan luas (generalized others) dalam suatu tahap yang disebut tahap pertandingan (game stage). Dalam interaksi itu, individu selalu melihat dirinya melalui perspektif peran orang lain. Maka konsep diripun akan berkembang berdasarkan bagaimana orang lain memandang diri individu tersebut (Fajar, 2009: 107).

Gambar 2.2 Model Interaksional (Sumber: Fajar, 2009:107)

Interaksi simbolik menjelaskan bahwa manusia bertindak berdasarkan atas makna-makna dimana makna tersebut didapatkan dari interaksi dengan orang lain, serta makna itu terus berkembang pada saat interaksi berlangsung. Bagi ODHA, interaksi simbolik memberikan gambaran dalam berinteraksi dengan orang lain dan menempatkan diri dalam lingkungan sosialnya. Bagaimana ODHA melihat dirinya dan menentukan pilihan bagaimana ia bertindak ketika berinteraksi dengan lingkungannya atas dasar pemaknaan yang melekat pada dirinya.

2.3.6 Teori Tindakan Beralasan (Theory of Reasoned Action)

Theory of Reasoned Action (TRA) pertama kali diperkenalkan oleh Martin Fishbein dan Icek Ajzen (dalam Jogiyanto, 2007:33). Teori ini menghubungkan antara keyakinan (belief), sikap (attitude), kehendak (intention), dan perilaku (behavior). Kehendak merupakan faktor dari perilaku, artinya jika ingin mengetahui apa yang akan dilakukan seseorang, cara terbaik adalah mengetahui kehendak orang tersebut. Tetapi seseorang dapat membuat pertimbangan berdasarkan alasan-alasan yang sama sekali berbeda atau tidak selalu berdasarkan kehendak. Konsep penting dalam teori ini adalah fokus perhatian (salience), yaitu mempertimbangkan sesuatu yang dianggap penting.

Dan kehendak (intention) ditentukan oleh sikap dan norma subyektif.

Littlejohn (2011:114) lebih lanjut menyatakan teori ini berdasarkan dari perilaku ditentukan oleh sikap seseorang terhadap perilaku dan kumpulan keyakinan tentang bagaimana orang lain ingin seseorang berperilaku. Miller (2001:115) TRA digunakan untuk melihat bagaimana individu akan berperilaku

berdasarkan sikap dan perilaku yang sudah ada sebelumnya. Keputusan individu untuk terlibat dalam perilaku tertentu didasarkan pada hasil yang nantinya akan diharapkan individu tersebut.

Teori perilaku beralasan Theory of Reasoned Action dikembangkan oleh Ajzen (dalam Jogiyanto, 2007:34) menjadi Teori Perilaku Terencana (theory of planned behaviour / TPB). Teori ini mencakup 3 hal yaitu: keyakinan tentang kemungkinan hasil dan evaluasi dari perilaku tersebut (behavioral beliefs), keyakinan tentang norma diharapkan dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs), serta keyakinan tentang adanya faktor yang dapat mendukung atau menghalangi perilaku dan kesadaran akan kekuatan faktor tersebut (control beliefs). Perbedaannya adalah dengan menambahkan konstruk yang tidak terdapat di TRA. Konstruk ini disebut dengan kontrol perilaku persepsi (perceived behavioral control) untuk mengontrol perilaku individu yang dibatasi oleh kekurangan dan batasan dari sumber-sumber daya yang digunakan untuk melakukan perilakunya. Miller (2001:116) menambahkan kontrol perilaku untuk menjelaskan kapan orang memiliki niat untuk melakukan perilaku tersebut.

Niat merupakan sikap individu terhadap perilaku dan persepsi individu terhadap tekanan sosial untuk melakukan atau tidak melakukan perilaku yang didasari keyakinan disebut dengan norma subyektif. Menurut teori tindakan beralasan, perilaku dipengaruhi oleh niat, sedangkan niat dipengaruhi oleh sikap dan norma subyektif. Sikap sendiri dipengaruhi oleh keyakinan akan hasil tindakan yang telah lalu. Faktor lingkungan keluarga merupakan orang yang dapat mempengaruhi tindakan individu, seseorang akan berperilaku apabila persepsi orang lain bersifat positif terhadap perilaku tersebut.

Secara lebih sederhana, teori ini mengatakan bahwa seseorang akan melakukan suatu perbuatan apabila ia memandang perbuatan itu positif dan bila ia percaya bahwa orang lain ingin agar ia melakukannya. Bagi ODHA, mereka akan melakukan suatu perbuatan yang ia yakinin akan menimbulkan efek positif jika melakuannya seperti menyembunyikan status HIV kepada orang lain dengan alasan akan terhindar dari stigma dan diskriminasi.

2.3.7 Teori Disonansi Kognitif

Teori Disonansi Kognitif pertama kali dikemukakan oleh psikolog Leon Festinger pada tahun 1957. Istilah disonansi kognitif menurut Festinger (dalam Effendy, 2003) berarti ketidaksesuaian antara kognisi aspek sikap dengan perilaku yang terjadi pada diri seseorang. Setiap orang yang mengalami disonansi akan berupaya mencari cara untuk mengurangi disonansinya, karena pada umumnya setiap manusia berperilaku konsisten dengan apa yang diketahuinya. Tetapi kenyataan menunjukkan bahwa sering pula seseorang berperilaku tidak konsisten dengan yang diyakininya.

Menurut Festinger (dalam Surip, 2011:63), Seseorang dimotivasi untuk mengurangi ketidakpastian sebanyak mungkin, bahkan bila perlu mengubah sikap yang diyakininya. Disonansi kognitif merupakan bentuk teknik pembelaan diri (self defense technique) yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh harga diri (self esteem). Seseorang harus memiliki kemampuan menempatkan diri dengan berbagai pilihan dan kemungkinan yang terjadi.

Hutagalung (2015:67) menyatakan terdapat dua hal yang mengatur teori disonansi yaitu, pertama, disonansi akan menciptakan tekanan diri yang

tidak hanya akan menyaringnya namun juga menghindari dari situasi agar disonansi lanjutan tidak muncul.

Teori ini mengungkapkan bahwa keyakinan seseorang dapat berubah pada saat mereka sedang berada pada situasi konflik. Keadaan ini terjadi karena pada dasarnya manusia didorong oleh keinginan untuk selalu berada dalam keadaan yang seimbang. Jadi jika seseorang berada dalam ketidakseimbangan antara kepercayaan atau tindakan yang menimbulkan ketidaknyamanan inilah yang disebut disonansi kognitif. Semakin besar disonansi yang dialami semakin besar pula ketidaknyamanan yang dirasakan seseorang. Disonansi akan terjadi karena secara psikologis tidak nyaman, maka akan memotivasi seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai keseimbangan. Selain itu akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi yang akan meningkatkan disonansi.

Teori disonansi kognitif termasuk dalam cakupan komunikasi antarpribadi. Dimana disonansi kognitif menimbulkan hubungan yang tidak sesuai yang akan menimbulkan terjadinya hambatan sehingga akan mendorong untuk mengurangi disonansi tersebut. Dorongan itu terwujud pada perubahan pada kognisi, perubahan tingkah laku, dan menghadapkan diri pada beberapa informasi dan pendapat-pendapat baru yang sudah diseleksi terlebih dahulu (Sarwono, 2004:122).

Tidak Konsisten

Gambar 2.3 Disonansi Kognitif (Sumber: Hutagalung, 2015:128)

Akibat disonansi kognitif adalah ketidaknyamanan psikologis pada orang-orang disekitarnya. Pada ODHA ketidaknyamanan ini dapat berbentuk perasaan malu, takut, cemas dan sebagainya. Adanya unsur kognisi berupa pengetahuan, pendapat, perasaan, ataupun kepercayaan tentang perilaku diri sendiri maupun perilaku orang lain di lingkungan sosialnya. Unsur kognisi yang nantinya akan menjadi pedoman bagi ODHA dalam berperilaku dan bertindak dengan lingkungan sosialnya. Untuk mengurangi keadaan disonansi, maka seseorang akan melakukan tindakan untuk mengurangi ketidaknyamanan tersebut sehingga terjadi keadaan keseimbangan kembali. ODHA akan cenderung mengembangkan disonansi kognitif ketika interaksinya di lingkungan sosial tidak sesuai dengan harapannya.

Tindakan

Kepercayaan

Disonansi Merubah

Tindakan Merubah Kepercayaan

Merubah Tindakan dan Persepsi

Disonansi

2.3.8 Model Komunikasi

Model adalah kerangka kerja konseptual yang menggambarkan penerapan teori untuk kasus-kasus tertentu yang juga merupakan gambaran untuk menjelaskan atau menerapkan teori. Sebuah model membantu kita mengorganisasikan data-data sehingga dapat tersusun kerangka konseptual yang memperlihatkan kaitan antara satu komponen komunikasi dengan komponen lainnya.

Model adalah struktur simbol dan aturan kerja yang diharapkan selaras dengan serangkaian poin yang relevan dalam struktur atau proses yang ada. Model sangat vital untuk memahami proses yang lebih kompleks. Jadi, berdasarkan pandangan Deutsch, model merupakan struktur simbol dalam sebuah proses guna memahami proses yang sifatnya kompleks menurut Deutsch (dalam Severin &

Tankard, 2008:53).

Liliweri (2011:64) menyatakan model adalah gambaran informal untuk menjelaskan atau menerapkan teori, dengan kata lain, model adalah teori yang lebih disederhanakan. Model tidak hanya menunjukkan elemen-elemen komunikasi, tetapi hubungan dan arah hubungan yang menggambarkan rangkaian aktifitas, urutan aktifitas dari awal sampai akhir atau berulang-ulang terus menerus. Model memandu kita untuk melihat dimana letak elemen yang rentan pada gangguan dan bagaimana kita mengatasi gangguan itu.

Terdapat ratusan model-model komunikasi yang telah dibuat oleh para ahli. Kekhasan suatu model dipengaruhi oleh latar belakang keilmuan model tersebut, paradigma yang digunakan, kondisi kronologis. Salah satu model komunikasi antarpribadi dapat digambarkan sebagai berikut (Devito, 2017:5):

Gambar 2.4 Model Komunikasi Antarpribadi (Sumber: Devito, 2017:5)

Model tersebut dapat mengidentifikasi beberapa unsur dari komunikasi dan bagaimana suatu proses komunikasi terjadi. Konsep yang didentifikasi dalam model dianggap sebagai komunikasi antarpribadi secara universal yang terjadi ketika sumber atau pengirim (source/encoding) mengirimkan pesan (messages) dalam bentuk verbal atau nonverbal melalui suatu saluran (channels) kepada penerima (receiver/decoding) yang dapat memberikan umpan balik (feedback) ataupun umpan maju (feedforward). Pada proses pengiriman pesan maupun umpan balik, terdapat gangguan/hambatan (noise) yang dapat merusak atau

Noise Source/

Receiver

Encoding/

Decoding

Source/

Receiver

Encoding/

Decoding

Effects Effects

Feedback

Feedback Channels

Channels Messages

Messages

Feedforward

Feedforward

Context

merubah isi pesan yang dikirimkan sesuai dengan situasi, konteks (lingkungan fisik, sosiopsikologis, dan budaya), maupun hubungan antar pelaku komunikasi yang dapat berefek pada kognitif, afektif, dan perilaku penerima atau sumber.

Devito menyatakan bahwa komunikasi antarpribadi adalah interaksi verbal maupun nonverbal yang terjadi antara dua orang atau lebih yang saling bergantungan satu sama lain. Devito mengembangkan sebuah model komunikasi yang didasarkan pada perspektif transaksional dimana setiap partisipan komunikasi secara simultan berperan sebagai pembicara dan pendengar dan seterusnya. Devito lebih lanjut menjelaskan bahwa di saat kita mengirimkan pesan, kita juga menerima pesan yang berasal dari komunikasi yang kita lakukan sendiri dan reaksi yang diberikan oleh lawan bicara.

2.3.9 HIV/AIDS

Harahap (dalam Suriana & Dewi, 2013) menyatakan HIV adalah singkatan dari human immunodeficiency virus yaitu sejenis retrovirus (virus yang dapat menggandakan dirinya sendiri pada sel-sel yang ditumpanginya) yang dapat merusak sistem kekebalan tubuh manusia atau sel-sel darah putih. Sel darah putih inilah yang biasanya merupakan kekebalan tubuh dalam menyerang kuman, bakteri, virus, atau penyakit yang masuk ke dalam tubuh manusia. Lebih lanjut Nursalam & Kurniawati (2009:56) menjelaskan virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, dan air susu ibu (ASI). Penyebaran infeksi sudah bisa terjadi sejak penderita belum menampakkan gejala secara klinis. Oleh karena itu diperlukan sistem diagnosis melalui test darah bagi penderita, sehingga status HIV positif bisa diketahui dan penyebaran infeksi

bisa dikendalikan. Mendiagnosa HIV dengan melihat tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan laboratorium khusus.

Yatim (2006:5) menjelaskan AIDS adalah singkatan dari acquired immuno deficiency syndrome yang berarti kumpulan gejala menurunnya kekebalan tubuh. AIDS dapat melemahkan atau merusak sistem kekebalan tubuh sehingga menimbulkan berbagai jenis penyakit lain. Dapat disimpulkan bahwa HIV/AIDS adalah suatu sindrom atau kumpulan gejala yang terjadi akibat penurunan kekebalan tubuh yang didapat secara tertular atau terinfeksi virus HIV.

Nursalam & Kurniawati (2009:51) menjelaskan virus HIV dapat ditularkan melalui beberapa cara, yaitu:

1) Hubungan seksual

Melalui hubungan seksual secara vagina, oral maupun anal tanpa perlindungan dengan orang yang menderita HIV/AIDS bisa menularkan HIV, karena pada umumnya HIV terdapat pada darah, sperma, dan cairan vagina.

2) Ibu pada bayinya

Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan yang menderita HIV positif kepada janin yang dikandungnya dengan resiko penularan 0,01% sampai 0,7%. Bila ibu terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebesar 20%

sampai 35%. Apabil gejala AIDS sudah terlihat pada ibu, kemungkinannya bisa mencapai 50%. Semakin lama proses melahirkan, semakin besar resiko penularan. Penyebaran lain dari

ibu ke bayi juga terjadi melalui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI sekitar 10%.

3) Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS

Darah yang mengandung HIV akan langsung menyatu dengan darah penerima dan sangat cepat menularkan HIV karena virus akan langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

4) Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril

Alat pemeriksaan kandungan dan alat-alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV akan bisa langsung menularkan penerima yang tidak terinfeksi jika menggunakan alat-alat tersebut.

5) Alat-alat untuk menggores kulit

Media penularan bisa terjadi pada alat tajam dan runjing seperti jarum suntik, pisau silet, menyunat seseorang, alat tindik, jarum tatto atau pisau cukur yang digunakan oleh orang HIV positif tanpa disterilkan terlebih dahulu.

6) Menggunakan jarum suntik secara bergantian

Jarum suntik sangat berpotensi menularkan HIV baik yang digunakan pada fasilitas kesehatan maupun yang digunakan para pengguna narkoba (Injecting Drug User/IDU).

Departemen Kesehatan RI (2011) menegaskan bahwa HIV/AIDS tidak dapat menular melalui aktifitas seperti:

1) Gigitan serangga

2) Bersalaman dan bersentuhan

3) Berpelukan bahkan berciuman

4) Menggunakan peralatan makan bersama 5) Menggunakan fasilitas umum bersama 6) Tinggal serumah dengan ODHA

Melakukan kegiatan-kegiatan seperti yang disebutkan di atas atau bahkan tinggal serumah dengan orang yang terinfeksi HIV tidak akan menularkan HIV/AIDS. Masyarakat tidak perlu takut dan khawatir akan tertular selama tidak melakukan perilaku berisiko. Lebih lanjut Depkes RI (2011) memaparkan infeksi HIV dapat dicegah dengan cara:

1) Abstinence, dengan tidak berhubungan seks secara langsung.

2) Be Faithful, selalu setia pada pasangan.

3) Condom, menggunakan kondom disetiap hubungan seks berisiko.

4) Drugs, dengan cara menjauhi narkoba.

Pemaparan mengenai tindakan-tindakan yang berakibat penularan HIV dan cara pencegahannya tersebut juga untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa HIV/AIDS tidak dengan mudah menular kepada orang yang berdekatan dengan ODHA. Akan tetapi masyarakat masih takut untuk berdampingan dengan ODHA.

Orang yang mengidap virus HIV tidak dapat dikenali begitu saja. Mereka tampak sehat seperti orang pada umumnya dan tidak menampakkan gejala penyakit apapun. Sebaliknya pengidap AIDS atau orang yang sudah memasuki tahap AIDS akan lebih mudah dikenali karena orang tersebut telah menunjukkan sekumpulan gejala penyakit akibat daya tahan tubuh yang telah menurun karena virus HIV tersebut. Sebagaimana yang diungkapkan Sudoyo (dalam Nursalam &

Kurniawati, 2009:45) bahwa dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun, dan hamper 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun.

Status HIV hanya dapat diketahui setelah mengikuti tes HIV yang disertai dengan konseling. Layanan test HIV dan konseling ini disebut dengan VCT (Voluntary Counseling and Testing) atau KTS (Konseling dan Tes Sukarela). Seseorang akan diberi penjelasan terlebih dahulu mengenai informasi tentang HIV dan AIDS serta akan diminta persetujuan untuk dites. Persetujuan untuk tes ini diberikan ketika orang yang bersangkutan sudah mendapat informasi serta diberi kesempatan untuk berkonsultasi tanpa adanya paksaan dan bersifat sukarela. Konseling ini dilakukan melalui 2 kali tes yaitu konseling sebelum tes (pra konseling) dan konseling sesudah tes (post konseling). Hasil tes sifatnya adalah rahasia dan hanya boleh diketahui oleh orang yang bersangkutan serta petugas medis yang memberikan konseling. Seorang konselor atau petugas kesehatan hanya boleh memberikan hasil tes atau membuka status pasien kepada orang lain dengan seizin orang yang bersangkutan.

2.3.10 Stigma dan Diskriminasi

Stigma adalah tanggapan negatif yang melekat pada pribadi seseorang yang dipengaruhi oleh lingkungannya. Stigma dalam bentuk memvonis seseorang yang memiliki moral atau perilaku yang buruk. Kemenkes RI (2012) menyatakan stigma adalah tindakan memberikan label sosial yang bertujuan untuk memisahkan seseorang atau sekelompok orang dengan pandangan buruk. Lebih

jauh Shaluhiyah, Musthofa, & Widjanarko (2015) menjelaskan stigma terhadap ODHA adalah suatu sifat yang menghubungkan eseorang yang terinfeksi HIV dengan nilai-nilai negatif yang diberikan kepada mereka.

Adanya stigma membuat seseorang dilakukan secara berbeda dengan orang lain. Orang-orang yang distigma biasa dianggap buruk untuk alasan tertentu. Ardani & Handayani (2017) juga mengatakan bahwa karena infeksi virus HIV sifatnya yang menular dan belum ditemukan obatnya sering dianggap sebagai penyakit yang mengerikan. Stigma berupa pandangan seperti ini mempengaruhi penerimaan masyarakat terhadap orang yang positif terinfeksi virus HIV.

Penjelasan defenisi tersebut dapat disimpulkan bahwa stigma adalah pikiran, pandangan, dan kepercayaan yang salah tentang suatu hal. Peristiwa yang terjadi ketika individu memperoleh label, cap atau julukan negatif. Stigma akan mengarahkan pada tindakan diskriminasi, yaitu tindakan tidak mengakui sebagai individu atau bagian sekelompok orang yang mengakibatkan mereka dipermalukan, dijauhi, dihindari maupun ditolak. Stigma yang mengakibatkan diskriminasi akan mempengaruhi diri individu termasuk interaksinya di masyarakat.

Kemenkes RI (2012) membedakan stigmatisasi yang terjadi melalui beberapa proses, seperti:

1) Stigma aktual (actual) atau stigma yang dialami (experienced) seperti dibedakan atau disingkirkannya orang lain yang disebabkan tindakan nyata yang dilakukan perorangan atau sekelompok orang secara verbal maupun nonverbal.

2) Stigma potensial atau yang dirasakan (felt) merupakan tindakan

2) Stigma potensial atau yang dirasakan (felt) merupakan tindakan