BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perilaku
Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang
mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis,
tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh
pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan
bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus
terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner
Gambar 2.1. Skema Teori Perilaku S_O_R
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :
1. Perilaku tertutup (convert behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan
sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat
diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut
sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat
diamati atau dilihat oleh orang lain.
Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat
luas. Menurut Benjamin Bloom dalam Notoatmodjo ( 2007), ranah perilaku terbagi
dalam 3 domain, yaitu : Stimulus
Organisme
• Perhatian
• Pengertian
• Penerimaan
Reaksi (Perubahan Sikap)
2.1.1. Pengetahuan
Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indra, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian
besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau
kognitif merupakan faktor dominan yang sangat penting dalam terbentuknya tindakan
seseorang, sebab dari hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh
pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).
Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan dapat dibedakan
menjadi 3 jenis, yaitu :
a. Awareness Knowledge (Pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis akan memotivasi individu untuk
belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada
ini inovasi diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti
tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka masyarakat
tidak merasa memerlukan inovasi tadi. Rogers menyatakan bahwa untuk
menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media
massa seperti radio, televisi, koran atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih
cepat mengetahui keberadaan suatu inovasi.
pengetahuan jenis ini penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih
meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki
pengetahuan ini dengan cukup tentang penggunaan inovasi ini.
c. Principles-Knowledge (Prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat
bekerja.
Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat
(Notoatmodjo, 2010), yaitu:
1. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,
yang termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali
(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau ransangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah.
2. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar
tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara
benar.Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat
menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya
3. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi ril (sebenarnya). Aplikasi disini dapat
diartikan aplikasi atau pengunaan hukum, rumus, metode, prinsip, dan
sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
4. Analisa (Analysis)
Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi
tersebut, dan masih dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat
menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,
mengelompokkan dan sebagainya.
5. Sintesa (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu materi atau objek. Dengan kata
lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang
ada.
6. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
suatu kriteria yang di tentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang
telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau
responden kedalam pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat disesuaikan
dengan tingkat tersebut di atas.
Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan adalah :
1. Pendidikan
Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi
kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga
yang dapat meningkatkan kualitas hidup, sebagaimana umumnya semakin tinggi
pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi dan semakin
pengetahuan yang dimiliki sehingga penggunaan komunikasi dapat secara efektif
akan dapat melakukannya (Notoatmojo, 2007).
2. Sumber Informasi
Informasi adalah penerangan, pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu
keseluruhan makna yang menunjang pesan atau amanat. Pengetahuan diperoleh
melalui informasi yaitu kenyataan (fakta) dengan melihat dan mendengar sendiri.
Informasi kesehatan biasanya berasal dari petugas kesehatan atau instansi
pemerintah atau media massa. Pada umumnya petugas kesehatan melakukan
pendekatan dengan ceramah atau penyuluhan kesehatan, sedangkan melalui
media massa dapat berupa elektronik seperti televisi, radio, dan lain-lain. Adapun
media cetak seperti majalah, koran, buku, dan lain-lain. Sumber informasi
kesehatan yang tepat mempunyai peran besar dalam meningkatkan pengetahuan
3. Sosial Ekonomi
Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang.
Sedangkan ekonomi dikaitkan dengan pendidikan ekonomi baik tingkat
pendidikan akan tinggi, sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi juga.
4. Budaya
Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena
informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan budaya yang ada
dan agama yang dianut (Notoatmodjo, 2007).
2.1.2. Sikap
Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek,
baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat
langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari sikap yang
tertutup tersebut. Notoatmodjo (2007) sikap merupakan reaksi atau respon seseorang
yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Allport dalam Notoatmodjo
(2010) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok:
1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.
2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:
1. Menerima (Receiving)
Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau menerima stimulus yang
2. Menanggapi (Responding)
Menanggapi diartikan sebagai memberikan jawaban atau tanggapan terhadap
pertanyaan atau objek yang dihadapi.
3. Menghargai (Valuing)
Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif
terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasanya dengan orang lain,
bahkan mengajak atau memengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.
4. Bertanggung jawab (Responsible)
Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia
harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau
adanya risiko lain. Bertanggungjawab merupakan sikap yang paling tinggi
tingkatannya (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Azwar (2005) ada beberapa faktor yang memengaruhi sikap terhadap
obyek sikap antara lain :
1. Pengalaman pribadi, untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman
pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat karena itu, sikap akan lebih
mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang
melibatkan faktor emosional.
2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya individu cenderung
untuk memiliki sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggap penting.
Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk menghargai
3. Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis yang
mengarahkan sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai
sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak
pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.
4. Media masa dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media
komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif
cenderung dipengaruhui oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap
sikap konsumenya.
5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama, konsep moral dan ajaran dari lembaga
pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan, tidak
mengherankan jika pada giliranya konsep tersebut mempengaruhui sikap.
2.1.3. Tindakan
Suatu sikap belum terwujud dalam bentuk tindakan. Untuk mewujudkan sikap
menjadi sebuah perbuatan diperlukan menanamkan pengertian terlebih dahulu,
membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik serta
diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain
fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak (Notoatmodjo, 2007).
Adapun tingkatan dari tindakan adalah :
1. Persepsi (Perception)
Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan
2. Respon Terpimpin (Guide Response)
Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh-contoh
adalah indikator tingkat kedua.
3. Mekanisme (Mechanisme)
Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis
atau sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan maka ia sudah mencapai tingkat ketiga.
4. Adaptasi (Adaptation)
Tindakan yang sudah berkembang dengan baik (Notoatmodjo, 2007).
2.2. Teori Perubahan Perilaku
Beberapa teori determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang
mempengaruhi perilaku kesehatan antara lain:
1.
Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat
kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok,
yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor : Teori Lawrence Green
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.
c. Faktro-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok
referensi dari perilaku masyarakat.
2. Teori Snehandu B. Kar (1983)
Kar mengidentifikasi adanya 5 faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu:
a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behavior itention).
b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support). Didalam kehidupan sesorang di masyarakat, perilaku orang tersebut cenderung
memerlukan legitimasi dari masyarakat sekitarnya.
c. Terjangkaunya informasi (accessibility of information) adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh
seseorang.
d. Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan
atau keputusan (personal autonomy).
e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation). Beberapa teori perubahan perilaku yaitu:
1. Teori Stimulus Organisme (S – O – R)
Didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku
tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan
organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi, misalnya kredibilitas,
seseorang, kelompok atau masyarakat. Hosland, et al ( 1953) dalam Notoatmojo
(2007) mengatakan bahwa perubahan perilaku pada hakikatnya adalah sama dengan
proses belajar. Teori ini mengatakan bahwa perilaku berubah hanya apabila stimulus
(rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari rangsang semula. Rangsang
yang dapat melabihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat
meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini faktor reinforcement
memegang peranan penting.
2. Teori Festinger ( Dissonance Theory ) ( 1957 )
Teori ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance (tidak seimbang). Hal ini berarti bahwa keadaan cognitive dissonance merupakan ketidak seimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai
keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan dalam diri individu, maka
berarti terjadi ketegangan diri lagi, dan keadaan ini disebut consonance
(keseimbangan). Ketidakseimbangan terjadi karena dalam diri individu terdapat dua
elemen kognisi yang saling bertentangan, yang dimaksud elemen kognisi adalah
pengetahuan, pendapat dan keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus
atau objek, dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang
berbeda/bertentangan di dalam diri individu itu sendiri maka terjadilah dissonance. Keberhasilan yang ditunjukkan dengan tercapainya keseimbangan menunjukkan
3. Teori Fungsi
Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu
tergantung kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat
mengakibatkan perubahan perilaku seseorang adalah stimulus yang dapat dimengerti
dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz ( 1960 ) dalam Notoatmojo
(2007) perilaku dilatarbelakagi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan :
1) Perilaku memiliki fungsi instrumental. Artinya dapat berfungsi dan
memberikan pelayanan terhadap kebutuhan.
2) Perilaku berfungsi sebagai pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya
3) Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan pemberi arti
4) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab
suatu situasi
Teori fungsi ini berkeyakinan bahwa perilaku mempunyai fungsi untuk
menghadapi dunia luar individu, dan senantiasa menyesuaikan diri dengan
lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu di dalam kehidupan manusia
perilaku itu tampak terus – menerus dan berubah secara relative
4. Teori Kurt Lewin
Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan
yang seimbang antara kekuatan – kekuatan pendorong dan kekuatan – kekuatan
penahan. Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua
kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya
a. Kekuatan – kekuatan pendorong meningkat.
b. Kekuatan – kekuatan penahan menurun
c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun.
2.3. HIV/AIDS dan ODHA 2.3.1. Pengertian HIV dan AIDS
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan AIDS. Virus ini dapat menginfeksi sel sel
manusia dengan target utamanya adalah limfosit CD4 dimana limfosit CD4 ini
bertanggungjawab untuk mengendalikan atau mencegah infeksi oleh banyak virus
yang lain, bakteri, jamur dan parasit dan juga beberapa jenis kanker (Gallant, 2010).
CD 4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel
darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.CD 4 pada orang dengan sistem
kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4
dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.
Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.
Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang
yang terinfeksi HIV) nilai CD 4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada
beberapa kasus bisa sampai nol). Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya
berfungsi untuk melawan berbagai macam infeksi. Disekitar kita banyak sekali
Namun kita tidak setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih bisa berfungsi dengan
baik untuk melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang, mikroorganisme yang patogen
di sekitar kita tadi akan dengan mudah masuk ke tubuh kita dan menimbulkan
penyakit pada tubuh manusia (Runggu, 2014).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.
Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim
reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu
HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan
masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua
grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh
dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia
sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV (Djoerban, 2000).
Virus HIV membutuhkan sel-sel kekebalan kita untuk berkembang biak. Secara
alamiah sel kekebalan kita akan dimanfaatkan, bisa diibaratkan seperti mesin
fotocopy. Namun virus ini akan merusak mesin fotocopynya setelah mendapatkan
hasil copy virus baru dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga lama kelamaan sel
2.3.2. Pengertian ODHA
sebagai pengganti istilah untuk seseorang yang dinyatakan positif terinveksi
lain yang dinilai kurang manusiawi. Penggunaan kata
Antom M. Moeliono, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Dekdibdud, kepada aktivis YPI Al. Husein Habsy dan Alm Suzana Murni. Sekarang,
istilah
(Kompasiana, 2013). Istilah ODHA untuk di dunia digunakan PLWHA yaitu
singkatan dari People Living With HIV AIDS.
2.3.3. Epidemiologi
Menurut data UNAIDS sampai dengan tahun 2012 terdapat 35.300.000 orang
yang hidup dengan HIV di dunia, dimana remaja dan orang muda yang berusia 10-24
tahun berjumlah 5.400.000 orang. Diperkirakan remaja dan orang muda yang baru
terinfeksi sampai dengan tahun 2012 bekisar 780.000 orang (UNAIDS, 2013) Hasil
laporan Ditjen PPM & PL Kemenkes RI menyatakan Jumlah kumulatif infeksi HIV
yang dilaporkan dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2014 sebanyak 134.053 orang.
persentase HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (72,3%)
diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15%) dan kelompok ≥ 50 tahun (5,8%) dimana
rasio HIV antara laki-laki dan permpuan adalah 1:1. Persentase faktor resiko HIV
tertinggi adalah hubungan sex beresiko pada heteroseksual (55,6%), pengguna jarum
kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dangan Maret 2014 dilaporkan sebanyak
54.231 orang, dimana persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok
umur 20-29 tahun (33,1%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (28,2%),
40-49 tahun (10,5%), 15-19 (3,1%), dan 50-59 tahun (3,2%). umur 30-39 tahun
(22,3%) dan kelompok umur 40-49 tahun (22,1%). Faktor risiko penularan terbanyak
melalui heteroseksual (60,8%), penasun (15,5%), diikuti penularan melalui perinatal
(2,7%), dan homoseksual (2,4%) (KPA, 2014).
Kasus HIV AIDS menyebar di 348 (70%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh
provinsi di Indonesia. Jumlah infeksi HIV tertinggi di Indonesia adalah DKI Jakarta
(27.207 ), diikuti oleh Jawa Timur (15.233), papua (12.767) dan Bali (7.922) dan
jumlah AIDS terbanyak dilaporkan dari Papua (7.795), diikuti oleh DKI Jakarta
(6299), Jawa Barat (4.131) dan Bali (3.798) (KPA, 2014).
2.3.4. Penularan HIV AIDS
Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (2013) ada beberapa cara penularan
HIV yaitu :
1. Melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom sehingga memungkinkan
cairan mani atau cairan vagina yang mengandung virus HIV masuk ke dalam
tubuh pasangannya
2. Dari seorang ibu hamil yang HIV positif kepada bayinya selama masa kehamilan,
waktu persalinan dan/atau waktu menyusui.
3. Melalui transfusi darah/produk darah yang sudah tercemar HIV. Lewat
disterilkan, terutama terjadi pada pemakaian bersama alat suntik di kalangan
pengguna narkoba suntik (penasun).
Menurut penelitian Jacqueline Boles dan Kirk W Elifson (1994) untuk
melihat identitas seksual dan HIV melakukan penelitian terhadap 224 laki-laki
pekerja sex jalanan dimana 17,9% dari sampel mengidentifikasikan dirinya sebagai
homoseksual, 46 % heteroseksual dan 35% biseksual. Berdasarkan identitas seksual,
status HIV pada kelompok homoseksual sebesar 50%, kelompok biseksual sebesar
36,5% kelompok heteroseksual sebesar 18,5%. Perbedaan tingkat infeksi HIV pada
laki-laki dari setiap kategori identitas seksual secara signifikan berkaitan dengan
hubungan seks anal reseptif yang dilaporkan, jumlah pasangan seksual yang tidak
dibayar/membayar, pengguanaan kokain, penggunaan napza suntik, pengalaman
terinfeksi sipilis dan hepatitis.
Dari studi yang dilakukan oleh Endang Basuki, Ivan dkk, yang
dipublikasikan oleh tentang berbagai alasan bagi wanita pekerja seks di Indonesia
untuk tidak menggunakan kondom, mengungkapkan bahwa sekitar 53% hubungan
seksual dengan kondom dilakukan oleh para pekerja seks, dan 12% dari dari jumlah
ini, para wanita pekerja sekst tersebut harus berdebat terlebih dahulu dengan
pelanggan untuk bisa menggunakan kondom. Hanya 5,8% dari wanita pekerja seks
yang secara konsisten menggunakan kondom selama dua minggu observasi dan
jumlah ini menurun menjadi 1,4% selama empat minggu observasi. Berbagai alasan
untuk tidak menggunakan kondom dari sisi klien, menurut pengakuan wanita pekerja
bahwa pelanggan yang sudah kenal dengan wanita pekerja seks tidak perlu
menggunakan kondom untuk menghindari penyakit menular seksual atau AIDS.
Pandangan ini tentu saja akan merugikan PSK tersebut, karna akan sangat beresiko
terhadap penularan HIV AIDS.
Penggunaan jarum suntik secara bergantian juga sangat beresiko terhadap
penularan HIV AIDS, akan tetapi penggunaannya masih sangat tinggi. Hal ini
didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth Pisani, Dadun dkk (2003),
studi yang dilakukan untuk melihat prevalensi paktek-praktek penyuntikan yang
berisiko terhadap penularan HIV pada kelompok pengguna napza suntik (penasun) di
Indonesia dan mengkaji risiko-risiko penularan HIV secara seksual dari penasun
kepada pasangan seksualnya.Data dikumpulkan melalui survai surveilans perilaku
pada kelompok penasun laki-laki di tiga kota. Sebanyak 650 penasun laki-laki
direkrut melalui beberapa gelombang dari berbagai lokasi yang secara sistematis
dipilih dengan mempertimbangkan variasi dari populasi ini. Pewawancara yang
terlatih, kebanyakan mantan penasun, melakukan wawacanra yang berfokus pada
praktek-praktek penyuntikan, perilaku seksual dan pengetahuan yang terkaitan
dengan HIV.
Hasil studi ini menunjukkan bahwa hampir semua penasun tahu bahwa HIV
ditularkan melalui penggunaan jarum secara bergantian, tetapi 85% dari penasun
melaporkan bahwa mereka menggunakan jarum secara bergantian pada minggu
sebelumnya. Lebih dari dua pertiga penasun aktif secara seksual, 48% memiliki
bulan terakhir. Penggunaan kondom secara konsisten berkisar 10%. Potensi bagi
penyebaran HIV secara seksual dari penasun ke pasangan seksualnya sesungguhnya
sangat tinggi.Intervensi yang ada diharapkan sesegera mungkin bisa mengurangi
tingginya tingkat berbagi jarum suntik. Fokus pada pembersihan jarum dan
peningkatan penggunaan kondom juga merupakan hal yang sangat mendasar harus
dilakukan.
Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi (Maryunani A, 2009):
1. Selama kehamilan, ketika janin masih dalam kandungan ibu dengan resiko
kejadian 5-10%.
2. Selama persalinan, dengan resiko kejadian 10-20%, sebagian besar penularan
HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan ini. Hal ini disebabkan karena
pada saat proses persalinan, tekanan pada plasenta yang mengalami peradangan
atau terinfeksi meningkat menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara
darah ibu dengan darah bayi. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat pula terjadi
pada saat bayi terpapar oleh darah dan lendir ibu di jala lahir.
3. Selama menyusui, bayi tertular melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI) yang
mengidap HIV dengan resiko kejadian 10-15%.
Berbeda dengan penyakit demam berdarah ataupun malaria, AIDS tidak
ditularkan melalui gigitan nyamuk. Cara penularan AIDS juga berbeda dari penularan
influenza dan tuberculosis. AIDS tidak ditularkan melalui bersin ataupun batuk.
memakai telepon umum, nonton bioskop, tempat bekerja, saekolah, ataupun tinggal
serumah dengan penderita AIDS (Djoerban, 2000).
2.3.5. Aspek Gejala Klinis
Dalam tubuh penderita AIDS, partikel virus bergabung dengan DNA sel
penderita, sehingga satu kali seseorang terifeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap
terinfeksi. Untuk diketahui sel manusia yang terutama diserang oleh HIV adalah
limfosit subjenis T helper atau disebut juga sebagai limfosit CD4. Fungsi limfosit
CD4 dala system kekebalan tubuh amat penting, ia mengatur dan bekerjasama dengan
komponen system kekebalan yang lain. Bila jumlah limfosit CD4 berkurang, maka
system kekebalan tubuh orang yang bersangkutan akan rusak, sehingga mudah
dimasuki dan diserang oleh berbagai kuman penyakit.
Global Programme on AIDS dari badan Kesehatan Dunia (WHO) membagi
tingkat klinik infeksi HIV sebagai berikut:
Tingkat klinik 1 (Asimptomatik):
1. Tanpa gejala sama sekali
2. Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP) yakni pembesaran kelenjar getah
bening di beberapa tempat yang menetap.
Pada tingkatan ini pasien belum mempunyai keluhan dan dapat melakukan
Tingkat klinik 2 (Dini):
1. Penurunan berat badan kurang dari 10%
2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroika, prurigo,
infeksi jamur pada kuku, ulkus pada mulut berulang dan cheilitis angularis
3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir.
4. Infeksi saluran napas bagian ats berulang, misalnya sinusitis.
Pada tingkatan ini pasien sudah menunjukkan gejalatetapi aktivitas tetap
normal.
Tingkat klinik 3 (menengah):
1. Penurunan berat badan >10% berat badan.
2. Diare kronik>1 bulan, penyebab tidak diketahui.
3. Panas yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang timbul
maupun terus menerus.
4. Kandidiasis mulut.
5. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukopklakia). 6. Tuberkulosis paru setahun terakhir.
7. Infeksi bakteri yang berat misalnya pneumonia.
Pada tingkat klinik ini, penderita biasanyaberbaring di tempat tidur lebih dari
12 jam sehari, selama sebulan terakhir.
1. Badan menjadi kurus (HIV wasting syndrome), yaitu berat badan turun lebih dari 10% dan diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari satu bulan atau
keleamhan kronik dan panas tanpa diketahui sebabnya selama lebih ari satu bulan.
2. Pneumonia Pneumositis Karini
3. Toksoplasmosis otak
4. Kristopridiosis dengan diare. 1 bulan.
5. Kriptokokosis di luar paru.
6. Penyakit virus sitomegalo pada organ tubuh, kecuali di limpa, hati atau kelenjar
getah bening
7. Infeksi virus herpes simpleksdi mukokutan lebih dari satu bulan atau di alat dalam
(visceral) lamanya tidak dibatasi. 8. Leukoensefalopati multifocal progresif.
9. Mikosis (infeksi jamur) apa saja (misalnya histoplasmosis, kokkidioidomikosis)
yang endemic, yang menyerang banyak organ tubuh (disseminata).
10.Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, atau paru.
11.Mikobakteriosis atipik (mirip bakteri TBC), disseminate.
12.Septicemia salmonella non tifoid.
13.Tuberculosis di luar paru.
14.Limfoma
15.Sarkoma Kaposi
16.Ensefalopati HIV , sesuai criteria CDC yaitu: gangguan kognitif atau disfungsi
minggu atau beberapa bulan, tanpa dapat ditemukan penyebabnya selain HIV
(Djoerban, 2000)
Walaupun AIDS yang sudah parah itu seringkali dapat didiagnosis secara
klinis, namun perlu dianjurkan menjalani tes serologik (Cock, 1996).
2.3.6. Pencegahan HIV AIDS
Ada beberapa cara mencegah penularan HIV AIDS yaitu:
1. Hindari Kontak dengan Darah yang terinfeksi HIV Cara yang paling umum untuk
menularkan HIV adalah melalui kontak dengan darah dari orang yang terinfeksi
HIV. Transfusi, atau kontak dengan luka, dapat menyebabkan virus menyebar
dari satu orang ke orang lain. Transmisi dengan darah dapat dengan mudah
dihindari melalui tes darah dan menghindari kontak dengan luka jika seseorang
positif terinfeksi HIV, jika Anda harus berurusan dengan luka dari pengidap HIV/
AIDS, pastikan untuk memakai pakaian pelindung seperti sarung tangan karet.
2. Hati-hati dengan jarum suntik dan peralatan bedah obat infus, jarum suntik dan
peralatan tato dapat menjadi sumber infeksi HIV. Jarum tato, senjata, dan pisau
cukur adalah alat yang berpaparan langsung dengan darah orang yang terinfeksi.
Berikut adalah beberapa hal yang harus Anda perhatikan ketika menggunakan
jarum dan peralatan bedah:
a. Jangan menggunakan kembali alat suntik sekali pakai.
b. Bersihkan dan cuci peralatan bedah sebelum menggunakannya.
c. Jika Anda ingin tato, pastikan itu dilakukan oleh sebuah toko tato bersih dan
d. Hindari penggunaan obat-obat terlarang dan zat yang dikendalikan intravena.
3. Gunakan kondom cara lain untuk penularan HIV adalah melalui kontak seksual
tidak terlindungi. Kondom adalah baris pertama pertahanan Anda untuk
menghindari terinfeksi HIV. Hal ini sangat penting untuk menggunakan kondom
saat berhubungan seks, tidak hanya akan mengurangi kemungkinan terinfeksi
HIV, tetapi juga dapat melindungi diri dari infeksi menular seksual lainnya.
Kondom lateks adalah yang terbaik, tetapi Anda juga dapat menggunakan
kondom polyurethane. Jangan menggunakannya kembali dan pastikan bahwa
tidak ada yang rusak di hambatan saat menggunakannya.
4. Hindari Seks Bebas HIV dan AIDS yang lebih lazim untuk orang dengan banyak
pasangan seksual. Jika Anda hanya memiliki satu pasangan seksual, anda secara
dramatis dapat meminimalkan kemungkinan tertular HIV atau mendapatkan
AIDS. Namun itu tidak berarti bahwa Anda dapat berhenti menggunakan
kondom, Anda masih harus melakukan seks dilindungi bahkan jika Anda setia
pada pasangan seksual Anda (Dayong, 2014).
Menurut KPA (2013) ada 4 hal sederhana mencegah penularan HIV AIDS
yaitu program ABCD :
1. Abstinence – Tidak berhubungan seks (selibat) 2. Be Faithful – Selalu setia pada pasangan
2.3.7. Pengobatan
Hasil laporan Ditjen PPM & PL Kemenkes RI (2013) menyatakan jumlah
ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan sepetember
2013 sebanyak 36.483 orang. Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan
kondisi kesehatan para penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit
oportunistik lain yang berat dapat disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus
menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi
pertumbuhan. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah
berkembang (Djoerban,2000).
ODHA menyambut gembira obat antiretroviral jenis Efavirenz yang
diproduksi oleh PT. Kimia Farma. Kehadiran obat ini diharapkan bisa memutus Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi
untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan
pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi
pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel
yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit
karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan
tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer
ketergantungan obat ARV yang selama ini diimpor.
Obat Efavirenz tersebut juga sudah mulai didistribusikan ke Rumah Sakit. Obat
Efavirenz ini adalah obat ARV jenis keempat yang bisa diproduksi oleh Kimia
Farma. Dua lainnya adalah jenis lamivudine, zidovudine dan nevirapine. Untuk jenis
lainnya dan juga obat ARV golongan lini 2 masih import.
Selama ini, mayoritas obat ARV yang dibutuhkan ODHA di Indonesia adalah obat
import dari India. Kerap kali dalam proses pembelian obat import ini mengalami
keterlambatan yang menyebabkan obat terlambat didistribusikan di rumah sakit
(Kompas, 2014).
2.4. Stigma dan Diskriminasi ODHA
Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena
pengaruh lingkungannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut Castro dan
Farmer (2005) dalam kajian literatur Tri Paryati dkk, stigma ini dapat mendorong
seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh
pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia layanan kesehatan, teman
sekerja, para teman dan keluarga. Stigma membuat pembatasan pada pendidikan,
pekerjaan, perumahan dan perawatan kesehatan.Stigma dapat dialami sebagai rasa
malu atau bersalah, atau secara luas dapat dinyatakan sebagai diskriminasi. Hal ini
dapat menyebabkan penurunan percaya diri, kehilangan motivasi, penarikan diri dari
kehidupan sosial, menghindari pekerjaan, interaksi dalam kesehatan dan kehilangan
1 Desember 2013 adalah melawan stigma. Stigma terhadap ODHA akan membuat
mereka merasa tidak nyaman dan akibatnya mereka akan menjauh dari layanan
kesehatan dan jika mereka menjauh dari layanan dan menjadi komunitas tertutup
maka akan sulit menerapkan program pencegahan penularan HIV kepada masyarakat
luas (Bangbuday, 2011).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diskriminasi adalah
pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit,
golongan, suku, ekonomi, agama, dsb). Menurut UNAIDS (2013), diskriminasi
terhadap penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan
perlakuan yang tidak adil terhadap individu karena status HIV mereka, baik itu status
sebenarnya maupun hanya persepsi saja. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
menekankan agar masyarakat Internasional agar bekerja lebih keras mengakhiri
stigma dan diskriminasi untuk menghentikan infeksi HIV baru dikalangan anak-anak,
dan untuk menjamin akses keperawatan dan pengobatan bagi semua orang yang
membutuhkan. Badan PBB dalam UNAIDS dengan tegas mengatakan bahwa
menghapus stigma dan diskriminasi mutlak diperlukan untuk mengakhiri epidemi
HIV (Redaksi editorial satuharapan, 2013).
1.
Menurut Herek and Capitanio (1999) dalam Siregar N (2012) stigma ODHA
lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:
Stigma Instrumental ODHA yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal
2.
3.
Stigma Simbolis ODHA yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan
sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap
berhubungan dengan penyakit tersebut.
Stigma Kesopanan ODHA yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan
dengan issu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.
1.
Menurut Leslie Butt (2010) yang dikutip oleh Siregar N (2012) dari hasil
penelitian mereka di pegunungan Papua dengan 28 responden dari latar belakang
yang beragam, para responden mengungkapkan mereka mengalami stigma dari
berbagai sumber diantaranya:
2.
Pengungkapan status mereka tanpa sepengetahuan mereka oleh orang-orang lain
3.
Pengungkapan status mereka secara sukarela oleh orang-orang lain
4.
Pengungkapan status mereka oleh seseorang yang berpengaruh seperti pemimpin
gereja atau petugas kesehatan
5.
Pengungkapan status mereka oleh orang tua
6.
Kesalahan dalam penyediaan layanan kesehatan
7.
Kurangnya akses ke obat-obatan ARV atau akses yang diketahui orang lain
8.
Kurangnya pengetahuan tentang HIV, transmisi dan ARV
9.
Diskriminasi oleh kerabat jauh dan masyarakat
Pemahaman-pemahaman budaya dan praktek-praktek seputar penyakit keras
10. Nilai-nilai budaya yang berkenaan dengan kematian dan menjelang
a.
b.
Nilai-nilai budaya tentang pengasingan
c.
Kondisi-kondisi politik yang menyebabkan rasisme
d.
Tak adanya atau kurangnya layanan kesehatan
e.
Penundaan dalam penyediaan berbagai layanan dasar
Stigmatisasi diri
1.
Berikut beberapa issu mengenai stigma ODHA menurut kesehatan reproduksi
dalam Siregar (2012):
Dukungan Bagi ODHA dan Keluarga
2.
ODHA mengalami proses berduka dalam kehidupannya, sebuah proses yang
seharusnya mendorong pada penerimaan terhadap kondisi mereka. Namun,
masyarakat dan lembaga terkadang memberikan opini negatif serta
memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai warga masyarakat kelas dua. Hal
ini menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA.
Tempat Layanan Kesehatan
Sering terjadi, lembaga yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan,
pada kenyataannya merupakan tempat pertama orang mengalami stigma dan
diskriminasi. Misalnya, memberikan mutu perawatan medis yang kurang baik,
menolak memberikan pengobatan, seringkali sebagai akibat rasa takut tertular
yang salah kaprah. Contoh dari stigma dan diskriminasi yang dihadapi ini adalah:
alasan dan penjelasan kenapa seseorang tidak diterima di rumah sakit (tanpa
didaftar berarti secara langsung telah ditolak), isolasi, pemberian label nama atau
kerahasiaan, perlakuan yang negatif dari staf, penggunaan kata-kata dan bahasa
tubuh yang negatif oleh pekerja kesehatan, juga akses yang terbatas untuk
fasilitas-fasilitas rumah sakit.
3.
4.
Akses untuk Perawatan ODHA seringkali tidak menerima akses yang sama
seperti masyarakat umum dan kebanyakan dari mereka juga tidak mempunyai
akses untuk pengobatan ARV mengingat tingginya harga obat-obatan dan
kurangnya infrastruktur medis di banyak negara berkembang untuk memberikan
perawatan medis yang berkualitas.Bahkan ketika pengobatan ARV tersedia,
beberapa kelompok mungkin tidak bisa mengaksesnya, misalnya karena
persyaratan tentang kemampuan mereka untuk mengkonsumsi sebuah zat obat,
yang mungkin terjadi pada kelompok pengguna narkoba suntikan.
Pendidikan
5.
Hak untuk mendapat pendidikan bagi ODHA dan kelompok lain yang rentan
terkadang diremehkan melalui penolakan untuk memasukkan murid ke sekolah
dan universitas, penolakan untuk mengakses fasilitas sekolah, perlakuan yang
negatif dari teman sebaya dan lainnya di lingkungan sekolah, pengucilan di kelas,
dan tidak adanya keinginan untuk mengajak siswa mengikuti pemeriksaan
kesehatan, dll. Lebih jauh lagi, cara mengajar tanpa diskriminasi HIV/AIDS
seringkali tidak masuk dalam kurikulum.
Sistem Peradilan
Perilaku negatif atau prasangka terhadap ODHA dapat direfleksikan dengan
menyangkut issu-issu seperti kerahasiaan status HIV dan perlindungan dalam
kasus perkosaan/penganiayaan. Sistem peradilan juga dapat meningkatkan
stigmatisasi, misalnya ketika kelompok yang rentan, misalnya pekerja seks dan
pengguna narkoba, dianggap bersalah ketimbang diberi dukungan untuk mencegah
penularan HIV.
6.Politik
7.
Kalangan eksekutif yang tidak berbuat apa-apa di bidang HIV/AIDS dapat
melegitimasi stigma dan diskriminasi, khususnya ketika sikap diskriminasi
ditujukan kepada ODHA dan orang-orang di sekitarnya, ODHA atau kelompok
marjinal lainnya diabaikan dalam proses penegakan hukum, dan mereka yang
melakukan diskriminasi dibiarkan saja.
Organisasi Kepercayan
8.
Pada beberapa kejadian, organisasi kepercayaan turut memberikan prasangka
buruk terhadap ODHA dan keluarganya. Ini secara khusus terlihat lewat perlakuan
terhadap issu seksualitas, seks dan penggunaan narkoba, penggunaan alat
kontrasepsi, pasangan seksual lebih dari satu, dan adanya kepercayaan bahwa
HIV/AIDS adalah merupakan kutukan dari Tuhan.
Media
Beberapa jurnalis tidak mempunyai pengetahuan yang cukup atau informasi dasar
ketika memberitakan situasi yang menyangkut kelompok rentan dan ODHA.
Kesalahan informasi bisa mendorong adanya komentar yang tidak pantas,
terus berlangsungnya perlakuan negatif terhadap ODHA dan mereka yang terkena
dampaknya, seperti juga terhadap kelompok yang rentan.
9.Tempat Kerja
Semakin banyak masyarakat yang sadar dan peduli akan HIV dan AIDS maka
AIDS akan bisa dihentikan melalui penghapusan stigma dan menghentikan
diskriminasi dengan memulainya dari diri kita sendiri. Beberapa tindakan keluarga
dan masyarakat yang diharapkan dalam membantu dan mendukung ODHA misalnya: Kemampuan untuk membiayai hidup dan untuk dipekerjakan adalah merupakan
hak dasar manusia. Issu-issu yang berhubungan dengan HIV/AIDS menyangkut
pengangkatan dan pemecatan, keamanan karyawan, pemecatan yang tidak adil,
asuransi kesehatan, absen dari kerja untuk tujuan kesehatan, alokasi kerja,
lingkungan yang aman, gaji dan tunjangan, perlakuan atasan dan rekan kerja,
skining HIV untuk semua karyawan, promosi dan pelatihan. Seringkali pemikiran
di balik isu-isu terkait ini adalah adanya kepercayaan bahwa tidak ada gunanya
menginvestasi uang pada seseorang yang akhirnya toh akan meninggal. Tidak
adanya kebijakan perekrutan adalah kondisi rumit yang seringkali terabaikan.
1. Family Concept, artinya lingkungan rumah atau suasana rumah diciptakan agar pengidap HIV seperti merasa benar-benar berada di rumah, misalnya mendapat
kasih sayang, dan rasa bertanggung jawab atas dirinya sendiri.
2. Role Model, adalah menggunakan orang yang pernah mengalami kejadian yang serupa dengan pengidap HIV untuk menceritakan apa yang harus dikerjakan di
3. Positive Peer Pressure, adalah saling bertukar pikiran dalam satu kelompok agar saling menilai dan memotivasi diri, contohnya tidak kembali kepada
ketergantungan terhadap narkotika.
4. Theurapeutic Session, yaitu konsultasi, penyuluhan dan terapi .
5. Moral and Religius Session, yaitu mensyukuri anugerah Tuhan yang masih menyayangi dengan memberikan ujian yang berat, agar lebih bisa mendekatkan
diri dengan-Nya.
Dengan memberikan perhatian terhadap ODHA, jangan pernah mengucilkan
ODHA dan ikut menyertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, dengan
begitu akan menambah semangat mereka untuk hidup dengan lebih baik.
Contoh-contoh kegiatan yang dapat dilakukan yaitu penyuluhan-penyuluhan kesehatan
(dalam kesempatan tersebut, ODHA diharapkan dapat menceritakan kisah mereka di
masa lalu dan mengingatkan bahaya AIDS supaya masyarakat tidak mengikuti jejak
yang telah mereka tempuh) (Mariani, 2013).
2.5. Moderamen GBKP 2.5.1. Pengertian Moderamen
Moderamen adalah Kepengurusan Pusat GBKP (Gereja Batak Karo
Protestan), atau yang lebih familiar sebagai
2.5.2. GBKP (Gereja Batak Karo Protestan)
GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) adalah sebuah kelom
masyarakat
Koinonia, Diakonia, Personalia/Sumber Daya Manusia dan Dana dan Usaha. Dalam
hai ini pelayanan yang manangani masalah HIV/AIDS ada dalam bidang diakonia
dengan membentuk komisi pelayanan HIV/AIDS dan Napza.
2.5.3. Sejarah Terbentuknya Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP
Kepedulian GBKP terhadap masalah HIV-AIDS sudah ada sejak lama,
bahkan sejak data resmi kasus HIV AIDS belum ada. Namun, pelayanan yang
dilakukan dalam menunjukkan kepedulian tersebut masih berkisar pada sosialisasi
yang dilakukan secara terpisah, artinya di setiap persekutuan Kategorial tingkat Pusat
seperti MORIA (Lembaga kaum Ibu), Permata (Lembaga Pemuda), KA-KR (lembaga
anak dan remaja) terdapat program tentang pelayanan terhadap masalah HIV-AIDS
khususnya dalam bentuk sosialisasi HIV-AIDS. Oleh karena setiap lembaga bekerja
sendiri-sendiri, maka muncullah ide untuk menyatukan pelayanan tersebut. Dengan
bersatunya dana dan program, maka diharapkan pelayanan ini akan lebih maksimal.
Berdasarkan pemikiran inilah maka dibentuk satu unit pelayanan di GBKP yang
dinamakan Komisi HIV-AIDS GBKP (Moderamen GBKP, 2014).
Pada awalnya Komisi ini bekerja dengan baik.Kegiatan yang masih berpusat
pada sosialisasi berjalan dengan lancar. Namun, oleh karena kurangnya dana, maka
Namun, berdasarkan undangan dari UEM (United Evangelical Mission) tentang
pelatihan HIV/AIDS, maka GBKP dituntut untuk segera mengaktifkan kembali
Komisi HIV/AIDS GBKP. Maka GBKP memutuskan kembali menunjukkan
kepedulian terhadap masalah HIV-AIDS dengan membentuk Komisi Pelayanan
HIV/AIDS dan NAPZA GBKP pada tahun 2006 yang diketuai oleh alm. dr. Petrus
Tarigan dan beranggotakan 7 orang. Dalam hal pendanaan, seluruh biaya kegiatan
Komisi ini diberikan oleh UEM sejumlah Rp. 60.000.000, akan tetapii 2 tahun
kemudian, dana ini dikurangi menjadi Rp. 30.000.000 karena program kerja Komisi
ini masih berkisar pada sosialisasi HIV/AIDS.
Kegiatan Komisi terus berjalan walaupun dengan dana yang terbatas.
Komitmen yang ada di setiap pengurus Komisi membuat dana bukanlah menjadi
hambatan untuk tetap melakukan pelayanan ini. Selain dari UEM, Komisi HIV/AIDS
berusaha mencari sumber dana yang lain. Tanpa henti, Komisi mendesak Moderamen
GBKP untuk menyediakan subsidi bagi Komisi yang berasal dari kas umum GBKP
dan mencari dana melalui donatur-donatur yang peduli akan pelayanan terhadap
masalah HIV/AIDS.
Pada akhirnya, Komisi mulai melakukan pendampingan kepada ODHA pada
tahun 2009. Namun pendampingan ini dilakukan masih sebatas mengunjungi ke
rumah ODHA. Pada tahun 2010, kerjasama Komisi HIV/AIDS dengan Rumah Sakit
Adam Malik semakin meningkat, dan banyak jemaat GBKP yang sudah mengetahui
menghubungi Komisi HIV/AIDS untuk mencari informasi tentang HIV/AIDS dan
mencari bantuan/dukungan.
Pernah terdapat satu pengalaman dimana ada seorang anak yang berumur 2
tahun ternyata sudah terinfeksi HIV. Ayahnya sudah meninggal karena HIV, dan
ibunya pergi meninggalkan anak tersebut. Akhirnya anak itu di asuh oleh neneknya.
Kondisi anak tersebut sangat memprihatinkan. Seorang tetangga nenek tersebut yang
memberitahukan keadaan itu kepada Komisi HIV GBKP. Keesokannya Komisi HIV
langsung mengunjungi dan mengurus segala surat-surat yang dibutuhkan supaya anak
tersebut segera mendapatkan pertolongan di Rumah Sakit Adam Malik. Tanpa
mengalami hampatan yang berarti, anak tersebutpun langsung di rawat di Rumah
Sakit Adam Malik. Namun, 3 hari kemudian, anak tersebut dan neneknya keluar dari
rumah sakit tanpa sepengetahuan siapapun. Mereka kembali ke desanya. Setelah
Komisi HIV mencari informasi, ternyata nenek dan anak tersebut melarikan diri dari
Rumah sakit Adam Malik karena mereka tidak mampu membeli makanan sehari-hari
walaupun biaya pengobatan dan opname anak tersebut gratis. Dua hari setelah
kembali dari rumah sakit, anak tersebut pun akhirnya meninggal dunia. Pengalaman
ini sangat berarti bagi Komisi HIV/AIDS GBKP. Berdasarkan pengalaman ini, maka
pada bulan November 2011, Komisi HIV/AIDS memberanikan diri mengontrak satu
rumah di belakang Rumah Sakit Adam Malik Jalan Petunia Raya No 36 Medan
untuk dijadikan sebagai rumah singgah. Adapun tujuan awal dari rumah singgah ini
adalah untuk membantu ODHA dan keluarganya agar tidak perlu khawatir akan
mereka yang baru menerima obat ARV (Antiretroviral) akan banyak mengalami efek
samping. Oleh karena itu, mereka harus tetap tinggal di sekitar Rumah Sakit Adam
Malik untuk dapat berkonsultasi dengan dokter kapan saja (Moderamen GBKP,
2014).
2.5.4. Visi Misi Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP
A. Visi
Menghargai kemanusiaan.
B. Misi
1. Memberikan pemahaman yang benar bahwa semua manusia berharga baik
yang terinfeksi HIV maupun yang tidak melalui sosialisasi HIV, pelatihan,
dan kampanye kepada seuruh masyarakat.
2. Mencegah dan menghilangkan stigma, isolasi dan diskriminasi terhadap
ODHA dan OHIDA melalui pendekatan dan pendampingan kepada
masyarakat umum.
3. Melayani ODHA dan OHIDA secara menyeluruh melalui rumah singgah.
4. Memberdayakan ODHA dan OHIDA melalui pelatihan dan keterampilan
sebagai peningkatan ekonomi.
2.5.5. Program Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP
A. Jangka Pendek
1. Melakukan sosialisasi HIV-AIDS kepada masyarakat dan jemaat
2. Melakukan pelatihan-pelatihan tentang HIV-AIDS
4. Melakukan advokasi dan pendekatan kepada Pemerintah
B. Jangka Menengah
1. Membentuk tenaga-tenaga relawan HIV-AIDS yang pada akhirnya akan
menjadi rekan sekerja Komisi HIV dalam melakukan berbagai kegiatan.
2. Mencari lahan untuk pembangunan rumah singgah yang permanen milik
GBKP.
C. Jangka panjang
Membangun rumah pelayanan terhadap ODHA yang dilengkapi klinik, dan
fasilitas-fasilitas yang mendukung pelayanan rumah singgah dan rumah
perawatan yang lengkap.
2.5.6. Kepengurusan Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP
1. Ketua : Pt. Tuah Bastari Barus
2. Wakil Ketua : dr. Frida Adelina br Ginting, SPPK.
3. Sekretaris : Pdt. Monalisa br Ginting, S. Si. (Teol)
4. Wakil Sekretaris : Haslinda Sinulingga, SPd.
5. Bendahara : M. Sukatendel
6. Anggota : 1. Dra. Lusia Sukatemdel, MAP
2. dr. Emminiate br Perangin-angin
3. dr. Hormat Surbakti
4. dr. Immanuel Sembiring
6. Jonsarep Tarigan, SKM
7. Rupina br Purba
2.5.7. Rumah Singgah Moderamen GBKP
Rumah singgah Moderamen GBKP adalah rumah singgah sementara bagi
ODHA yang sedang menjalani pengobatan ARV. Syarat-syarat ODHA yang dapat
tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP adalah:
1. ODHA yang menjalani terapi ARV dan tempat tinggalnya jauh dari Medan.
Biasanya mereka yang baru menerima ARV dan harus menjalankan penyesuaian.
Jadi harus tinggal di sekitar Rumah sakit Adam Malik.
2. ODHA yang ditolak oleh keluarga atau masyarakat karena tingginya stigma dan
diskriminasi.
3. ODHA yang berasal dari keluarga tidak mampu atau ekonomi lemah, karena
ODHA membutuhkan asupan gizi yang tinggi.
Awal mulai adanya Rumah Singah Moderamen GBKP yaitu pada tahun 2011
dengan mengontrak rumah yang berada di Jalan Petunia Raya Perumahan BS No 36
Medan (di belakang Rumah Sakit Adam Malik Medan) , namun karena jumlah
ODHA yang semakin banyak dan tidak memadai lagi dalam menampung ODHA
maka pada bulan Oktober tahun 2013 berpindah ke rumah yang lebih besar yang ada
di Jalan Bunga Law Gang Bunga Law No 1 Medan. Namun pada pertengahan bulan
Desember tahun 2013 Rumah Singgah Moderamen GBKP yang berada di Jalan
Bunga Law ditutup, karena masyarakat sekitar rumah singgah tersebut menolak
terhadap ODHA. Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP sudah berusaha melakukan
sosialisasi dan advokasi kepada aparat pemerintah dan masyarakat setempat, tetapi
tidak berhasil. Akhirnya komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP memutuskan untuk
pindah ke Berastagi dan mendapat tempat di Gedung KWK jalan udara Berastagi
(Moderamen GBKP, 2014).
Jumlah ODHA yang tinggal di Rumah singgah moderamen GKBP Berastagi
sampai dengan bulan Juni tahun 2014 berjumlah 7 orang, 4 orang laki-laki dan 3
orang wanita dengan usia antara 25 sampai dengan 45 tahun.
1. Menyediakan kebutuhan makanan sehari-hari seperti nasi, lauk pauk, sayur, susu
dsb.
Pelayanan yang
disediakan di rumah singgah antara lain:
2. Memberikan pelayanan konseling pastoral seminggu sekali.
3. Memberikan kegiatan keterampilan seperti membuat sabun cair.
4. Pendampingan ODHA.
Adapun sumber dana Rumah Singgah Moderamen GBKP diperoleh dari:
1. UEM (United Evangelical Mission) Jerman
2. Moderamen GBKP
3. Donatur
Rumah singgah Monderamen GBKP tidak memandang suku, agama dan latar
belakang ODHA.Kehadiran rumah singgah ini sangat membantu ODHA yang
2.6. Landasan Teori
Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan
bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau
rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus
terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner
ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 2.2. Skema Teori Perilaku S_O_R
Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :
1. Perilaku tertutup (convert behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan
Stimulus
Organisme
• Perhatian
• Pengertian
• Penerimaan
Reaksi (Perubahan Sikap)
sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat
diamati secara jelas oleh orang lain.
2. Perilaku terbuka (overt behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus
dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut
sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat
diamati atau dilihat oleh orang lain.
Landasan teori lain yang digunakan adalah Teori Snehandu B. Kar (1983),
Kar mengidentifikasi adanya 5 faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu:
1. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan
kesehatannya (behavior itention).
2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support). Didalam kehidupan sesorang di masyarakat, perilaku orang tersebut cenderung memerlukan legitimasi
dari masyarakat sekitarnya.
3. Terjangkaunya informasi (accessibility of information) adalah tersedianya
informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang.
4. Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau
keputusan (personal autonomy).
5. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).
1.
Menurut Herek and Capitanio (1999) dalam Siregar N (2012) stigma ODHA
lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:
Stigma Instrumental ODHA yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal
2.
3.
Stigma Simbolis ODHA yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan
sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap
berhubungan dengan penyakit tersebut.
Stigma Kesopanan ODHA yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan
dengan issu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.
Peneliti memadukan ketiga teori tersebut dimana perilaku tertutup dalam hal ini yang
peneliti bahas adalah pengetahuan dan sikap ODHA terkait status HIV mereka, dan
adanya stigma dan diskriminasi yang ODHA alami yang mempengaruhi ODHA
untuk bertindak untuk memperoleh kesehatan terhadap penyakit yang mereka alami
(perilaku terbuka).
2.7. Kerangka Pikir
Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian
Perilaku ODHA: - Pengetahuan - Sikap
Tindakan
Stigma :