• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perilaku Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), Stigma dan Diskriminasi Di Rumah Singgah Moderamen GBKP Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perilaku Orang Dengan HIV AIDS (ODHA), Stigma dan Diskriminasi Di Rumah Singgah Moderamen GBKP Kecamatan Berastagi Kabupaten Karo Tahun 2014"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang

mempunyai bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis,

tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat

disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku manusia adalah semua kegiatan atau

aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh

pihak luar (Notoatmodjo, 2003).

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan

bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus

terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner

(2)

Gambar 2.1. Skema Teori Perilaku S_O_R

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :

1. Perilaku tertutup (convert behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan

sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat

diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus

dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut

sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat

diamati atau dilihat oleh orang lain.

Perilaku manusia sangat kompleks dan mempunyai ruang lingkup yang sangat

luas. Menurut Benjamin Bloom dalam Notoatmodjo ( 2007), ranah perilaku terbagi

dalam 3 domain, yaitu : Stimulus

Organisme

• Perhatian

• Pengertian

• Penerimaan

Reaksi (Perubahan Sikap)

(3)

2.1.1. Pengetahuan

Pengetahuan (knowledge) merupakan hasil tahu dan ini terjadi setelah melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca

indra, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian

besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga. Pengetahuan atau

kognitif merupakan faktor dominan yang sangat penting dalam terbentuknya tindakan

seseorang, sebab dari hasil penelitian ternyata perilaku yang didasari oleh

pengetahuan akan lebih langgeng daripada perilaku yang tidak didasari oleh

pengetahuan (Notoatmodjo, 2007).

Menurut Rogers dalam Notoatmodjo (2010), pengetahuan dapat dibedakan

menjadi 3 jenis, yaitu :

a. Awareness Knowledge (Pengetahuan kesadaran), yaitu pengetahuan akan keberadaan suatu inovasi. Pengetahuan jenis akan memotivasi individu untuk

belajar lebih banyak tentang inovasi dan kemudian akan mengadopsinya. Pada

ini inovasi diperkenalkan pada masyarakat tetapi tidak ada informasi yang pasti

tentang produk tersebut. Karena kurangnya informasi tersebut maka masyarakat

tidak merasa memerlukan inovasi tadi. Rogers menyatakan bahwa untuk

menyampaikan keberadaan inovasi akan lebih efektif disampaikan melalui media

massa seperti radio, televisi, koran atau majalah. Sehingga masyarakat akan lebih

cepat mengetahui keberadaan suatu inovasi.

(4)

pengetahuan jenis ini penting dalam proses keputusan inovasi. Untuk lebih

meningkatkan peluang pemakaian sebuah inovasi maka individu harus memiliki

pengetahuan ini dengan cukup tentang penggunaan inovasi ini.

c. Principles-Knowledge (Prinsip dasar), yaitu pengetahuan tentang prinsip-prinsip keberfungsian yang mendasari bagaimana dan mengapa suatu inovasi dapat

bekerja.

Pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat

(Notoatmodjo, 2010), yaitu:

1. Tahu (Know)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya,

yang termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali

(recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau ransangan yang telah diterima. Oleh sebab itu “tahu” ini merupakan tingkat

pengetahuan yang paling rendah.

2. Memahami (Comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan menjelaskan secara benar

tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterprestasi materi tersebut secara

benar.Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat

menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya

(5)

3. Aplikasi (Application)

Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah

dipelajari pada situasi atau kondisi ril (sebenarnya). Aplikasi disini dapat

diartikan aplikasi atau pengunaan hukum, rumus, metode, prinsip, dan

sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.

4. Analisa (Analysis)

Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek

kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi

tersebut, dan masih dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja: dapat

menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan,

mengelompokkan dan sebagainya.

5. Sintesa (Synthesis)

Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau

menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu materi atau objek. Dengan kata

lain, sintesis itu suatu kemampuan untuk menyusun formulasi-formulasi yang

ada.

6. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau

penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan

suatu kriteria yang di tentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-kriteria yang

telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau

(6)

responden kedalam pengetahuan yang ingin kita ketahui dapat disesuaikan

dengan tingkat tersebut di atas.

Faktor-faktor yang memengaruhi pengetahuan adalah :

1. Pendidikan

Pendidikan merupakan penuntun manusia untuk berbuat dan mengisi

kehidupannya yang dapat digunakan untuk mendapatkan informasi sehingga

yang dapat meningkatkan kualitas hidup, sebagaimana umumnya semakin tinggi

pendidikan seseorang semakin mudah menerima informasi dan semakin

pengetahuan yang dimiliki sehingga penggunaan komunikasi dapat secara efektif

akan dapat melakukannya (Notoatmojo, 2007).

2. Sumber Informasi

Informasi adalah penerangan, pemberitahuan, kabar atau berita tentang sesuatu

keseluruhan makna yang menunjang pesan atau amanat. Pengetahuan diperoleh

melalui informasi yaitu kenyataan (fakta) dengan melihat dan mendengar sendiri.

Informasi kesehatan biasanya berasal dari petugas kesehatan atau instansi

pemerintah atau media massa. Pada umumnya petugas kesehatan melakukan

pendekatan dengan ceramah atau penyuluhan kesehatan, sedangkan melalui

media massa dapat berupa elektronik seperti televisi, radio, dan lain-lain. Adapun

media cetak seperti majalah, koran, buku, dan lain-lain. Sumber informasi

kesehatan yang tepat mempunyai peran besar dalam meningkatkan pengetahuan

(7)

3. Sosial Ekonomi

Lingkungan sosial akan mendukung tingginya pengetahuan seseorang.

Sedangkan ekonomi dikaitkan dengan pendidikan ekonomi baik tingkat

pendidikan akan tinggi, sehingga tingkat pengetahuan akan tinggi juga.

4. Budaya

Budaya sangat berpengaruh terhadap tingkat pengetahuan seseorang karena

informasi yang baru akan disaring kira-kira sesuai tidak dengan budaya yang ada

dan agama yang dianut (Notoatmodjo, 2007).

2.1.2. Sikap

Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap suatu stimulus atau objek,

baik yang bersifat intern maupun ekstern sehingga manifestasinya tidak dapat

langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari sikap yang

tertutup tersebut. Notoatmodjo (2007) sikap merupakan reaksi atau respon seseorang

yang masih tertutup terhadap suatu stimulus atau objek. Allport dalam Notoatmodjo

(2010) menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok:

1. Kepercayaan (keyakinan), ide, konsep terhadap suatu objek.

2. Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek.

3. Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave). Sikap terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu:

1. Menerima (Receiving)

Menerima diartikan bahwa orang atau subjek mau menerima stimulus yang

(8)

2. Menanggapi (Responding)

Menanggapi diartikan sebagai memberikan jawaban atau tanggapan terhadap

pertanyaan atau objek yang dihadapi.

3. Menghargai (Valuing)

Menghargai diartikan subjek atau seseorang memberikan nilai yang positif

terhadap objek atau stimulus, dalam arti membahasanya dengan orang lain,

bahkan mengajak atau memengaruhi atau menganjurkan orang lain merespons.

4. Bertanggung jawab (Responsible)

Seseorang yang telah mengambil sikap tertentu berdasarkan keyakinannya, dia

harus berani mengambil risiko bila ada orang lain yang mencemoohkan atau

adanya risiko lain. Bertanggungjawab merupakan sikap yang paling tinggi

tingkatannya (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Azwar (2005) ada beberapa faktor yang memengaruhi sikap terhadap

obyek sikap antara lain :

1. Pengalaman pribadi, untuk dapat menjadi dasar pembentukan sikap, pengalaman

pribadi haruslah meninggalkan kesan yang kuat karena itu, sikap akan lebih

mudah terbentuk apabila pengalaman pribadi tersebut terjadi dalam situasi yang

melibatkan faktor emosional.

2. Pengaruh orang lain yang dianggap penting, pada umumnya individu cenderung

untuk memiliki sikap yang searah dengan sikap orang yang dianggap penting.

Kecenderungan ini antara lain dimotivasi oleh keinginan untuk menghargai

(9)

3. Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis yang

mengarahkan sikap kita terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai

sikap anggota masyarakatnya, karena kebudayaanlah yang memberi corak

pengalaman individu-individu masyarakat asuhannya.

4. Media masa dalam pemberitaan surat kabar maupun radio atau media

komunikasi lainnya, berita yang seharusnya faktual disampaikan secara obyektif

cenderung dipengaruhui oleh sikap penulisnya, akibatnya berpengaruh terhadap

sikap konsumenya.

5. Lembaga pendidikan dan lembaga agama, konsep moral dan ajaran dari lembaga

pendidikan dan lembaga agama sangat menentukan sistem kepercayaan, tidak

mengherankan jika pada giliranya konsep tersebut mempengaruhui sikap.

2.1.3. Tindakan

Suatu sikap belum terwujud dalam bentuk tindakan. Untuk mewujudkan sikap

menjadi sebuah perbuatan diperlukan menanamkan pengertian terlebih dahulu,

membentuk dan mengubah sikap atau menumbuhkan hubungan yang baik serta

diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain

fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak (Notoatmodjo, 2007).

Adapun tingkatan dari tindakan adalah :

1. Persepsi (Perception)

Mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan

(10)

2. Respon Terpimpin (Guide Response)

Dapat melakukan sesuatu dengan urutan yang benar sesuai dengan contoh-contoh

adalah indikator tingkat kedua.

3. Mekanisme (Mechanisme)

Apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara otomatis

atau sesuatu itu sudah menjadi kebiasaan maka ia sudah mencapai tingkat ketiga.

4. Adaptasi (Adaptation)

Tindakan yang sudah berkembang dengan baik (Notoatmodjo, 2007).

2.2. Teori Perubahan Perilaku

Beberapa teori determinan perilaku dari analisis faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku kesehatan antara lain:

1.

Lawrence Green mencoba menganalisis perilaku manusia dari tingkat

kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor pokok,

yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor : Teori Lawrence Green

a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya.

(11)

c. Faktro-faktor pendorong (renforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok

referensi dari perilaku masyarakat.

2. Teori Snehandu B. Kar (1983)

Kar mengidentifikasi adanya 5 faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu:

a. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan

kesehatannya (behavior itention).

b. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support). Didalam kehidupan sesorang di masyarakat, perilaku orang tersebut cenderung

memerlukan legitimasi dari masyarakat sekitarnya.

c. Terjangkaunya informasi (accessibility of information) adalah tersedianya informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh

seseorang.

d. Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan

atau keputusan (personal autonomy).

e. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation). Beberapa teori perubahan perilaku yaitu:

1. Teori Stimulus Organisme (S – O – R)

Didasarkan pada asumsi bahwa penyebab terjadinya perubahan perilaku

tergantung kepada kualitas rangsang (stimulus) yang berkomunikasi dengan

organisme. Artinya, kualitas dari sumber komunikasi, misalnya kredibilitas,

(12)

seseorang, kelompok atau masyarakat. Hosland, et al ( 1953) dalam Notoatmojo

(2007) mengatakan bahwa perubahan perilaku pada hakikatnya adalah sama dengan

proses belajar. Teori ini mengatakan bahwa perilaku berubah hanya apabila stimulus

(rangsang) yang diberikan benar-benar melebihi dari rangsang semula. Rangsang

yang dapat melabihi stimulus semula ini berarti stimulus yang diberikan harus dapat

meyakinkan organisme. Dalam meyakinkan organisme ini faktor reinforcement

memegang peranan penting.

2. Teori Festinger ( Dissonance Theory ) ( 1957 )

Teori ini sebenarnya sama dengan konsep imbalance (tidak seimbang). Hal ini berarti bahwa keadaan cognitive dissonance merupakan ketidak seimbangan psikologis yang diliputi oleh ketegangan diri yang berusaha untuk mencapai

keseimbangan kembali. Apabila terjadi keseimbangan dalam diri individu, maka

berarti terjadi ketegangan diri lagi, dan keadaan ini disebut consonance

(keseimbangan). Ketidakseimbangan terjadi karena dalam diri individu terdapat dua

elemen kognisi yang saling bertentangan, yang dimaksud elemen kognisi adalah

pengetahuan, pendapat dan keyakinan. Apabila individu menghadapi suatu stimulus

atau objek, dan stimulus tersebut menimbulkan pendapat atau keyakinan yang

berbeda/bertentangan di dalam diri individu itu sendiri maka terjadilah dissonance. Keberhasilan yang ditunjukkan dengan tercapainya keseimbangan menunjukkan

(13)

3. Teori Fungsi

Teori ini berdasarkan anggapan bahwa perubahan perilaku individu

tergantung kepada kebutuhan. Hal ini berarti bahwa stimulus yang dapat

mengakibatkan perubahan perilaku seseorang adalah stimulus yang dapat dimengerti

dalam konteks kebutuhan orang tersebut. Menurut Katz ( 1960 ) dalam Notoatmojo

(2007) perilaku dilatarbelakagi oleh kebutuhan individu yang bersangkutan :

1) Perilaku memiliki fungsi instrumental. Artinya dapat berfungsi dan

memberikan pelayanan terhadap kebutuhan.

2) Perilaku berfungsi sebagai pertahanan diri dalam menghadapi lingkungannya

3) Perilaku berfungsi sebagai penerima objek dan pemberi arti

4) Perilaku berfungsi sebagai nilai ekspresif dari diri seseorang dalam menjawab

suatu situasi

Teori fungsi ini berkeyakinan bahwa perilaku mempunyai fungsi untuk

menghadapi dunia luar individu, dan senantiasa menyesuaikan diri dengan

lingkungannya menurut kebutuhannya. Oleh sebab itu di dalam kehidupan manusia

perilaku itu tampak terus – menerus dan berubah secara relative

4. Teori Kurt Lewin

Kurt Lewin (1970) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan

yang seimbang antara kekuatan – kekuatan pendorong dan kekuatan – kekuatan

penahan. Perilaku itu dapat berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua

kekuatan tersebut di dalam diri seseorang sehingga ada tiga kemungkinan terjadinya

(14)

a. Kekuatan – kekuatan pendorong meningkat.

b. Kekuatan – kekuatan penahan menurun

c. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun.

2.3. HIV/AIDS dan ODHA 2.3.1. Pengertian HIV dan AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang merusak sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan AIDS. Virus ini dapat menginfeksi sel sel

manusia dengan target utamanya adalah limfosit CD4 dimana limfosit CD4 ini

bertanggungjawab untuk mengendalikan atau mencegah infeksi oleh banyak virus

yang lain, bakteri, jamur dan parasit dan juga beberapa jenis kanker (Gallant, 2010).

CD 4 adalah sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel-sel

darah putih manusia, terutama sel-sel limfosit.CD 4 pada orang dengan sistem

kekebalan yang menurun menjadi sangat penting, karena berkurangnya nilai CD4

dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit

yang seharusnya berperan dalam memerangi infeksi yang masuk ke tubuh manusia.

Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4 berkisar antara 1400-1500.

Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan yang terganggu (misal pada orang

yang terinfeksi HIV) nilai CD 4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada

beberapa kasus bisa sampai nol). Sel yang mempunyai marker CD4 di permukaannya

berfungsi untuk melawan berbagai macam infeksi. Disekitar kita banyak sekali

(15)

Namun kita tidak setiap saat menjadi sakit, karena CD4 masih bisa berfungsi dengan

baik untuk melawan infeksi ini. Jika CD4 berkurang, mikroorganisme yang patogen

di sekitar kita tadi akan dengan mudah masuk ke tubuh kita dan menimbulkan

penyakit pada tubuh manusia (Runggu, 2014).

Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau retroviridae.

Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang tergantung pada enzim

reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu

HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan

masing-masing subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua

grup tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh

dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).

AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom) atau sindrom kehilangan kekebalan tubuh adalah sekumpulan gejala penyakit yang menyerang tubuh manusia

sesudah sistem kekebalannya dirusak oleh virus yang disebut HIV (Djoerban, 2000).

Virus HIV membutuhkan sel-sel kekebalan kita untuk berkembang biak. Secara

alamiah sel kekebalan kita akan dimanfaatkan, bisa diibaratkan seperti mesin

fotocopy. Namun virus ini akan merusak mesin fotocopynya setelah mendapatkan

hasil copy virus baru dalam jumlah yang cukup banyak, sehingga lama kelamaan sel

(16)

2.3.2. Pengertian ODHA

sebagai pengganti istilah untuk seseorang yang dinyatakan positif terinveksi

lain yang dinilai kurang manusiawi. Penggunaan kata

Antom M. Moeliono, Kepala Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa

Dekdibdud, kepada aktivis YPI Al. Husein Habsy dan Alm Suzana Murni. Sekarang,

istilah

(Kompasiana, 2013). Istilah ODHA untuk di dunia digunakan PLWHA yaitu

singkatan dari People Living With HIV AIDS.

2.3.3. Epidemiologi

Menurut data UNAIDS sampai dengan tahun 2012 terdapat 35.300.000 orang

yang hidup dengan HIV di dunia, dimana remaja dan orang muda yang berusia 10-24

tahun berjumlah 5.400.000 orang. Diperkirakan remaja dan orang muda yang baru

terinfeksi sampai dengan tahun 2012 bekisar 780.000 orang (UNAIDS, 2013) Hasil

laporan Ditjen PPM & PL Kemenkes RI menyatakan Jumlah kumulatif infeksi HIV

yang dilaporkan dari tahun 1987 sampai dengan Maret 2014 sebanyak 134.053 orang.

persentase HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (72,3%)

diikuti kelompok umur 20-24 tahun (15%) dan kelompok ≥ 50 tahun (5,8%) dimana

rasio HIV antara laki-laki dan permpuan adalah 1:1. Persentase faktor resiko HIV

tertinggi adalah hubungan sex beresiko pada heteroseksual (55,6%), pengguna jarum

(17)

kumulatif AIDS dari tahun 1987 sampai dangan Maret 2014 dilaporkan sebanyak

54.231 orang, dimana persentase kumulatif kasus AIDS tertinggi pada kelompok

umur 20-29 tahun (33,1%), kemudian diikuti kelompok umur 30-39 tahun (28,2%),

40-49 tahun (10,5%), 15-19 (3,1%), dan 50-59 tahun (3,2%). umur 30-39 tahun

(22,3%) dan kelompok umur 40-49 tahun (22,1%). Faktor risiko penularan terbanyak

melalui heteroseksual (60,8%), penasun (15,5%), diikuti penularan melalui perinatal

(2,7%), dan homoseksual (2,4%) (KPA, 2014).

Kasus HIV AIDS menyebar di 348 (70%) dari 497 kabupaten/kota di seluruh

provinsi di Indonesia. Jumlah infeksi HIV tertinggi di Indonesia adalah DKI Jakarta

(27.207 ), diikuti oleh Jawa Timur (15.233), papua (12.767) dan Bali (7.922) dan

jumlah AIDS terbanyak dilaporkan dari Papua (7.795), diikuti oleh DKI Jakarta

(6299), Jawa Barat (4.131) dan Bali (3.798) (KPA, 2014).

2.3.4. Penularan HIV AIDS

Menurut Komisi Penanggulangan AIDS (2013) ada beberapa cara penularan

HIV yaitu :

1. Melalui hubungan seks tanpa menggunakan kondom sehingga memungkinkan

cairan mani atau cairan vagina yang mengandung virus HIV masuk ke dalam

tubuh pasangannya

2. Dari seorang ibu hamil yang HIV positif kepada bayinya selama masa kehamilan,

waktu persalinan dan/atau waktu menyusui.

3. Melalui transfusi darah/produk darah yang sudah tercemar HIV. Lewat

(18)

disterilkan, terutama terjadi pada pemakaian bersama alat suntik di kalangan

pengguna narkoba suntik (penasun).

Menurut penelitian Jacqueline Boles dan Kirk W Elifson (1994) untuk

melihat identitas seksual dan HIV melakukan penelitian terhadap 224 laki-laki

pekerja sex jalanan dimana 17,9% dari sampel mengidentifikasikan dirinya sebagai

homoseksual, 46 % heteroseksual dan 35% biseksual. Berdasarkan identitas seksual,

status HIV pada kelompok homoseksual sebesar 50%, kelompok biseksual sebesar

36,5% kelompok heteroseksual sebesar 18,5%. Perbedaan tingkat infeksi HIV pada

laki-laki dari setiap kategori identitas seksual secara signifikan berkaitan dengan

hubungan seks anal reseptif yang dilaporkan, jumlah pasangan seksual yang tidak

dibayar/membayar, pengguanaan kokain, penggunaan napza suntik, pengalaman

terinfeksi sipilis dan hepatitis.

Dari studi yang dilakukan oleh Endang Basuki, Ivan dkk, yang

dipublikasikan oleh tentang berbagai alasan bagi wanita pekerja seks di Indonesia

untuk tidak menggunakan kondom, mengungkapkan bahwa sekitar 53% hubungan

seksual dengan kondom dilakukan oleh para pekerja seks, dan 12% dari dari jumlah

ini, para wanita pekerja sekst tersebut harus berdebat terlebih dahulu dengan

pelanggan untuk bisa menggunakan kondom. Hanya 5,8% dari wanita pekerja seks

yang secara konsisten menggunakan kondom selama dua minggu observasi dan

jumlah ini menurun menjadi 1,4% selama empat minggu observasi. Berbagai alasan

untuk tidak menggunakan kondom dari sisi klien, menurut pengakuan wanita pekerja

(19)

bahwa pelanggan yang sudah kenal dengan wanita pekerja seks tidak perlu

menggunakan kondom untuk menghindari penyakit menular seksual atau AIDS.

Pandangan ini tentu saja akan merugikan PSK tersebut, karna akan sangat beresiko

terhadap penularan HIV AIDS.

Penggunaan jarum suntik secara bergantian juga sangat beresiko terhadap

penularan HIV AIDS, akan tetapi penggunaannya masih sangat tinggi. Hal ini

didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elisabeth Pisani, Dadun dkk (2003),

studi yang dilakukan untuk melihat prevalensi paktek-praktek penyuntikan yang

berisiko terhadap penularan HIV pada kelompok pengguna napza suntik (penasun) di

Indonesia dan mengkaji risiko-risiko penularan HIV secara seksual dari penasun

kepada pasangan seksualnya.Data dikumpulkan melalui survai surveilans perilaku

pada kelompok penasun laki-laki di tiga kota. Sebanyak 650 penasun laki-laki

direkrut melalui beberapa gelombang dari berbagai lokasi yang secara sistematis

dipilih dengan mempertimbangkan variasi dari populasi ini. Pewawancara yang

terlatih, kebanyakan mantan penasun, melakukan wawacanra yang berfokus pada

praktek-praktek penyuntikan, perilaku seksual dan pengetahuan yang terkaitan

dengan HIV.

Hasil studi ini menunjukkan bahwa hampir semua penasun tahu bahwa HIV

ditularkan melalui penggunaan jarum secara bergantian, tetapi 85% dari penasun

melaporkan bahwa mereka menggunakan jarum secara bergantian pada minggu

sebelumnya. Lebih dari dua pertiga penasun aktif secara seksual, 48% memiliki

(20)

bulan terakhir. Penggunaan kondom secara konsisten berkisar 10%. Potensi bagi

penyebaran HIV secara seksual dari penasun ke pasangan seksualnya sesungguhnya

sangat tinggi.Intervensi yang ada diharapkan sesegera mungkin bisa mengurangi

tingginya tingkat berbagi jarum suntik. Fokus pada pembersihan jarum dan

peningkatan penggunaan kondom juga merupakan hal yang sangat mendasar harus

dilakukan.

Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat terjadi (Maryunani A, 2009):

1. Selama kehamilan, ketika janin masih dalam kandungan ibu dengan resiko

kejadian 5-10%.

2. Selama persalinan, dengan resiko kejadian 10-20%, sebagian besar penularan

HIV dari ibu ke bayi terjadi pada saat persalinan ini. Hal ini disebabkan karena

pada saat proses persalinan, tekanan pada plasenta yang mengalami peradangan

atau terinfeksi meningkat menyebabkan terjadinya sedikit percampuran antara

darah ibu dengan darah bayi. Penularan HIV dari ibu ke bayi dapat pula terjadi

pada saat bayi terpapar oleh darah dan lendir ibu di jala lahir.

3. Selama menyusui, bayi tertular melalui pemberian Air Susu Ibu (ASI) yang

mengidap HIV dengan resiko kejadian 10-15%.

Berbeda dengan penyakit demam berdarah ataupun malaria, AIDS tidak

ditularkan melalui gigitan nyamuk. Cara penularan AIDS juga berbeda dari penularan

influenza dan tuberculosis. AIDS tidak ditularkan melalui bersin ataupun batuk.

(21)

memakai telepon umum, nonton bioskop, tempat bekerja, saekolah, ataupun tinggal

serumah dengan penderita AIDS (Djoerban, 2000).

2.3.5. Aspek Gejala Klinis

Dalam tubuh penderita AIDS, partikel virus bergabung dengan DNA sel

penderita, sehingga satu kali seseorang terifeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap

terinfeksi. Untuk diketahui sel manusia yang terutama diserang oleh HIV adalah

limfosit subjenis T helper atau disebut juga sebagai limfosit CD4. Fungsi limfosit

CD4 dala system kekebalan tubuh amat penting, ia mengatur dan bekerjasama dengan

komponen system kekebalan yang lain. Bila jumlah limfosit CD4 berkurang, maka

system kekebalan tubuh orang yang bersangkutan akan rusak, sehingga mudah

dimasuki dan diserang oleh berbagai kuman penyakit.

Global Programme on AIDS dari badan Kesehatan Dunia (WHO) membagi

tingkat klinik infeksi HIV sebagai berikut:

Tingkat klinik 1 (Asimptomatik):

1. Tanpa gejala sama sekali

2. Limfadenopati Generalisata Persisten (LGP) yakni pembesaran kelenjar getah

bening di beberapa tempat yang menetap.

Pada tingkatan ini pasien belum mempunyai keluhan dan dapat melakukan

(22)

Tingkat klinik 2 (Dini):

1. Penurunan berat badan kurang dari 10%

2. Kelainan mulut dan kulit yang ringan, misalnya dermatitis seboroika, prurigo,

infeksi jamur pada kuku, ulkus pada mulut berulang dan cheilitis angularis

3. Herpes zoster yang timbul pada 5 tahun terakhir.

4. Infeksi saluran napas bagian ats berulang, misalnya sinusitis.

Pada tingkatan ini pasien sudah menunjukkan gejalatetapi aktivitas tetap

normal.

Tingkat klinik 3 (menengah):

1. Penurunan berat badan >10% berat badan.

2. Diare kronik>1 bulan, penyebab tidak diketahui.

3. Panas yang tidak diketahui sebabnya selama lebih dari 1 bulan, hilang timbul

maupun terus menerus.

4. Kandidiasis mulut.

5. Bercak putih berambut di mulut (hairy leukopklakia). 6. Tuberkulosis paru setahun terakhir.

7. Infeksi bakteri yang berat misalnya pneumonia.

Pada tingkat klinik ini, penderita biasanyaberbaring di tempat tidur lebih dari

12 jam sehari, selama sebulan terakhir.

(23)

1. Badan menjadi kurus (HIV wasting syndrome), yaitu berat badan turun lebih dari 10% dan diare kronik tanpa diketahui sebabnya selama lebih dari satu bulan atau

keleamhan kronik dan panas tanpa diketahui sebabnya selama lebih ari satu bulan.

2. Pneumonia Pneumositis Karini

3. Toksoplasmosis otak

4. Kristopridiosis dengan diare. 1 bulan.

5. Kriptokokosis di luar paru.

6. Penyakit virus sitomegalo pada organ tubuh, kecuali di limpa, hati atau kelenjar

getah bening

7. Infeksi virus herpes simpleksdi mukokutan lebih dari satu bulan atau di alat dalam

(visceral) lamanya tidak dibatasi. 8. Leukoensefalopati multifocal progresif.

9. Mikosis (infeksi jamur) apa saja (misalnya histoplasmosis, kokkidioidomikosis)

yang endemic, yang menyerang banyak organ tubuh (disseminata).

10.Kandidiasis esofagus, trakea, bronkus, atau paru.

11.Mikobakteriosis atipik (mirip bakteri TBC), disseminate.

12.Septicemia salmonella non tifoid.

13.Tuberculosis di luar paru.

14.Limfoma

15.Sarkoma Kaposi

16.Ensefalopati HIV , sesuai criteria CDC yaitu: gangguan kognitif atau disfungsi

(24)

minggu atau beberapa bulan, tanpa dapat ditemukan penyebabnya selain HIV

(Djoerban, 2000)

Walaupun AIDS yang sudah parah itu seringkali dapat didiagnosis secara

klinis, namun perlu dianjurkan menjalani tes serologik (Cock, 1996).

2.3.6. Pencegahan HIV AIDS

Ada beberapa cara mencegah penularan HIV AIDS yaitu:

1. Hindari Kontak dengan Darah yang terinfeksi HIV Cara yang paling umum untuk

menularkan HIV adalah melalui kontak dengan darah dari orang yang terinfeksi

HIV. Transfusi, atau kontak dengan luka, dapat menyebabkan virus menyebar

dari satu orang ke orang lain. Transmisi dengan darah dapat dengan mudah

dihindari melalui tes darah dan menghindari kontak dengan luka jika seseorang

positif terinfeksi HIV, jika Anda harus berurusan dengan luka dari pengidap HIV/

AIDS, pastikan untuk memakai pakaian pelindung seperti sarung tangan karet.

2. Hati-hati dengan jarum suntik dan peralatan bedah obat infus, jarum suntik dan

peralatan tato dapat menjadi sumber infeksi HIV. Jarum tato, senjata, dan pisau

cukur adalah alat yang berpaparan langsung dengan darah orang yang terinfeksi.

Berikut adalah beberapa hal yang harus Anda perhatikan ketika menggunakan

jarum dan peralatan bedah:

a. Jangan menggunakan kembali alat suntik sekali pakai.

b. Bersihkan dan cuci peralatan bedah sebelum menggunakannya.

c. Jika Anda ingin tato, pastikan itu dilakukan oleh sebuah toko tato bersih dan

(25)

d. Hindari penggunaan obat-obat terlarang dan zat yang dikendalikan intravena.

3. Gunakan kondom cara lain untuk penularan HIV adalah melalui kontak seksual

tidak terlindungi. Kondom adalah baris pertama pertahanan Anda untuk

menghindari terinfeksi HIV. Hal ini sangat penting untuk menggunakan kondom

saat berhubungan seks, tidak hanya akan mengurangi kemungkinan terinfeksi

HIV, tetapi juga dapat melindungi diri dari infeksi menular seksual lainnya.

Kondom lateks adalah yang terbaik, tetapi Anda juga dapat menggunakan

kondom polyurethane. Jangan menggunakannya kembali dan pastikan bahwa

tidak ada yang rusak di hambatan saat menggunakannya.

4. Hindari Seks Bebas HIV dan AIDS yang lebih lazim untuk orang dengan banyak

pasangan seksual. Jika Anda hanya memiliki satu pasangan seksual, anda secara

dramatis dapat meminimalkan kemungkinan tertular HIV atau mendapatkan

AIDS. Namun itu tidak berarti bahwa Anda dapat berhenti menggunakan

kondom, Anda masih harus melakukan seks dilindungi bahkan jika Anda setia

pada pasangan seksual Anda (Dayong, 2014).

Menurut KPA (2013) ada 4 hal sederhana mencegah penularan HIV AIDS

yaitu program ABCD :

1. Abstinence – Tidak berhubungan seks (selibat) 2. Be Faithful – Selalu setia pada pasangan

(26)

2.3.7. Pengobatan

Hasil laporan Ditjen PPM & PL Kemenkes RI (2013) menyatakan jumlah

ODHA yang sedang mendapatkan pengobatan ARV sampai dengan bulan sepetember

2013 sebanyak 36.483 orang. Pemberian anti retroviral (ARV) telah menyebabkan

kondisi kesehatan para penderita menjadi jauh lebih baik. Infeksi penyakit

oportunistik lain yang berat dapat disembuhkan. Penekanan terhadap replikasi virus

menyebabkan penurunan produksi sitokin dan protein virus yang dapat menstimulasi

pertumbuhan. Obat ARV terdiri dari beberapa golongan seperti nucleoside reverse transcriptase inhibitor, nucleotide reverse transcriptase inhibitor, non nucleotide reverse transcriptase inhibitor dan inhibitor protease. Obat-obat ini hanya berperan dalam menghambat replikasi virus tetapi tidak bisa menghilangkan virus yang telah

berkembang (Djoerban,2000).

ODHA menyambut gembira obat antiretroviral jenis Efavirenz yang

diproduksi oleh PT. Kimia Farma. Kehadiran obat ini diharapkan bisa memutus Vaksin terhadap HIV dapat diberikan pada individu yang tidak terinfeksi

untuk mencegah baik infeksi maupun penyakit. Dipertimbangkan pula kemungkinan

pemberian vaksin HIV terapeutik, dimana seseorang yang terinfeksi HIV akan diberi

pengobatan untuk mendorong respon imun anti HIV, menurunkan jumlah sel-sel

yang terinfeksi virus, atau menunda onset AIDS. Namun perkembangan vaksin sulit

karena HIV cepat bermutasi, tidak diekspresi pada semua sel yang terinfeksi dan

tidak tersingkirkan secara sempurna oleh respon imun inang setelah infeksi primer

(27)

ketergantungan obat ARV yang selama ini diimpor.

Obat Efavirenz tersebut juga sudah mulai didistribusikan ke Rumah Sakit. Obat

Efavirenz ini adalah obat ARV jenis keempat yang bisa diproduksi oleh Kimia

Farma. Dua lainnya adalah jenis lamivudine, zidovudine dan nevirapine. Untuk jenis

lainnya dan juga obat ARV golongan lini 2 masih import.

Selama ini, mayoritas obat ARV yang dibutuhkan ODHA di Indonesia adalah obat

import dari India. Kerap kali dalam proses pembelian obat import ini mengalami

keterlambatan yang menyebabkan obat terlambat didistribusikan di rumah sakit

(Kompas, 2014).

2.4. Stigma dan Diskriminasi ODHA

Stigma adalah ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena

pengaruh lingkungannya (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Menurut Castro dan

Farmer (2005) dalam kajian literatur Tri Paryati dkk, stigma ini dapat mendorong

seseorang untuk mempunyai prasangka pemikiran, perilaku, dan atau tindakan oleh

pihak pemerintah, masyarakat, pemberi kerja, penyedia layanan kesehatan, teman

sekerja, para teman dan keluarga. Stigma membuat pembatasan pada pendidikan,

pekerjaan, perumahan dan perawatan kesehatan.Stigma dapat dialami sebagai rasa

malu atau bersalah, atau secara luas dapat dinyatakan sebagai diskriminasi. Hal ini

dapat menyebabkan penurunan percaya diri, kehilangan motivasi, penarikan diri dari

kehidupan sosial, menghindari pekerjaan, interaksi dalam kesehatan dan kehilangan

(28)

1 Desember 2013 adalah melawan stigma. Stigma terhadap ODHA akan membuat

mereka merasa tidak nyaman dan akibatnya mereka akan menjauh dari layanan

kesehatan dan jika mereka menjauh dari layanan dan menjadi komunitas tertutup

maka akan sulit menerapkan program pencegahan penularan HIV kepada masyarakat

luas (Bangbuday, 2011).

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diskriminasi adalah

pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit,

golongan, suku, ekonomi, agama, dsb). Menurut UNAIDS (2013), diskriminasi

terhadap penderita HIV digambarkan selalu mengikuti stigma dan merupakan

perlakuan yang tidak adil terhadap individu karena status HIV mereka, baik itu status

sebenarnya maupun hanya persepsi saja. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

menekankan agar masyarakat Internasional agar bekerja lebih keras mengakhiri

stigma dan diskriminasi untuk menghentikan infeksi HIV baru dikalangan anak-anak,

dan untuk menjamin akses keperawatan dan pengobatan bagi semua orang yang

membutuhkan. Badan PBB dalam UNAIDS dengan tegas mengatakan bahwa

menghapus stigma dan diskriminasi mutlak diperlukan untuk mengakhiri epidemi

HIV (Redaksi editorial satuharapan, 2013).

1.

Menurut Herek and Capitanio (1999) dalam Siregar N (2012) stigma ODHA

lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:

Stigma Instrumental ODHA yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal

(29)

2.

3.

Stigma Simbolis ODHA yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan

sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap

berhubungan dengan penyakit tersebut.

Stigma Kesopanan ODHA yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan

dengan issu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.

1.

Menurut Leslie Butt (2010) yang dikutip oleh Siregar N (2012) dari hasil

penelitian mereka di pegunungan Papua dengan 28 responden dari latar belakang

yang beragam, para responden mengungkapkan mereka mengalami stigma dari

berbagai sumber diantaranya:

2.

Pengungkapan status mereka tanpa sepengetahuan mereka oleh orang-orang lain

3.

Pengungkapan status mereka secara sukarela oleh orang-orang lain

4.

Pengungkapan status mereka oleh seseorang yang berpengaruh seperti pemimpin

gereja atau petugas kesehatan

5.

Pengungkapan status mereka oleh orang tua

6.

Kesalahan dalam penyediaan layanan kesehatan

7.

Kurangnya akses ke obat-obatan ARV atau akses yang diketahui orang lain

8.

Kurangnya pengetahuan tentang HIV, transmisi dan ARV

9.

Diskriminasi oleh kerabat jauh dan masyarakat

Pemahaman-pemahaman budaya dan praktek-praktek seputar penyakit keras

10. Nilai-nilai budaya yang berkenaan dengan kematian dan menjelang

(30)

a.

b.

Nilai-nilai budaya tentang pengasingan

c.

Kondisi-kondisi politik yang menyebabkan rasisme

d.

Tak adanya atau kurangnya layanan kesehatan

e.

Penundaan dalam penyediaan berbagai layanan dasar

Stigmatisasi diri

1.

Berikut beberapa issu mengenai stigma ODHA menurut kesehatan reproduksi

dalam Siregar (2012):

Dukungan Bagi ODHA dan Keluarga

2.

ODHA mengalami proses berduka dalam kehidupannya, sebuah proses yang

seharusnya mendorong pada penerimaan terhadap kondisi mereka. Namun,

masyarakat dan lembaga terkadang memberikan opini negatif serta

memperlakukan ODHA dan keluarganya sebagai warga masyarakat kelas dua. Hal

ini menyebabkan melemahnya kualitas hidup ODHA.

Tempat Layanan Kesehatan

Sering terjadi, lembaga yang diharapkan memberikan perawatan dan dukungan,

pada kenyataannya merupakan tempat pertama orang mengalami stigma dan

diskriminasi. Misalnya, memberikan mutu perawatan medis yang kurang baik,

menolak memberikan pengobatan, seringkali sebagai akibat rasa takut tertular

yang salah kaprah. Contoh dari stigma dan diskriminasi yang dihadapi ini adalah:

alasan dan penjelasan kenapa seseorang tidak diterima di rumah sakit (tanpa

didaftar berarti secara langsung telah ditolak), isolasi, pemberian label nama atau

(31)

kerahasiaan, perlakuan yang negatif dari staf, penggunaan kata-kata dan bahasa

tubuh yang negatif oleh pekerja kesehatan, juga akses yang terbatas untuk

fasilitas-fasilitas rumah sakit.

3.

4.

Akses untuk Perawatan ODHA seringkali tidak menerima akses yang sama

seperti masyarakat umum dan kebanyakan dari mereka juga tidak mempunyai

akses untuk pengobatan ARV mengingat tingginya harga obat-obatan dan

kurangnya infrastruktur medis di banyak negara berkembang untuk memberikan

perawatan medis yang berkualitas.Bahkan ketika pengobatan ARV tersedia,

beberapa kelompok mungkin tidak bisa mengaksesnya, misalnya karena

persyaratan tentang kemampuan mereka untuk mengkonsumsi sebuah zat obat,

yang mungkin terjadi pada kelompok pengguna narkoba suntikan.

Pendidikan

5.

Hak untuk mendapat pendidikan bagi ODHA dan kelompok lain yang rentan

terkadang diremehkan melalui penolakan untuk memasukkan murid ke sekolah

dan universitas, penolakan untuk mengakses fasilitas sekolah, perlakuan yang

negatif dari teman sebaya dan lainnya di lingkungan sekolah, pengucilan di kelas,

dan tidak adanya keinginan untuk mengajak siswa mengikuti pemeriksaan

kesehatan, dll. Lebih jauh lagi, cara mengajar tanpa diskriminasi HIV/AIDS

seringkali tidak masuk dalam kurikulum.

Sistem Peradilan

Perilaku negatif atau prasangka terhadap ODHA dapat direfleksikan dengan

(32)

menyangkut issu-issu seperti kerahasiaan status HIV dan perlindungan dalam

kasus perkosaan/penganiayaan. Sistem peradilan juga dapat meningkatkan

stigmatisasi, misalnya ketika kelompok yang rentan, misalnya pekerja seks dan

pengguna narkoba, dianggap bersalah ketimbang diberi dukungan untuk mencegah

penularan HIV.

6.Politik

7.

Kalangan eksekutif yang tidak berbuat apa-apa di bidang HIV/AIDS dapat

melegitimasi stigma dan diskriminasi, khususnya ketika sikap diskriminasi

ditujukan kepada ODHA dan orang-orang di sekitarnya, ODHA atau kelompok

marjinal lainnya diabaikan dalam proses penegakan hukum, dan mereka yang

melakukan diskriminasi dibiarkan saja.

Organisasi Kepercayan

8.

Pada beberapa kejadian, organisasi kepercayaan turut memberikan prasangka

buruk terhadap ODHA dan keluarganya. Ini secara khusus terlihat lewat perlakuan

terhadap issu seksualitas, seks dan penggunaan narkoba, penggunaan alat

kontrasepsi, pasangan seksual lebih dari satu, dan adanya kepercayaan bahwa

HIV/AIDS adalah merupakan kutukan dari Tuhan.

Media

Beberapa jurnalis tidak mempunyai pengetahuan yang cukup atau informasi dasar

ketika memberitakan situasi yang menyangkut kelompok rentan dan ODHA.

Kesalahan informasi bisa mendorong adanya komentar yang tidak pantas,

(33)

terus berlangsungnya perlakuan negatif terhadap ODHA dan mereka yang terkena

dampaknya, seperti juga terhadap kelompok yang rentan.

9.Tempat Kerja

Semakin banyak masyarakat yang sadar dan peduli akan HIV dan AIDS maka

AIDS akan bisa dihentikan melalui penghapusan stigma dan menghentikan

diskriminasi dengan memulainya dari diri kita sendiri. Beberapa tindakan keluarga

dan masyarakat yang diharapkan dalam membantu dan mendukung ODHA misalnya: Kemampuan untuk membiayai hidup dan untuk dipekerjakan adalah merupakan

hak dasar manusia. Issu-issu yang berhubungan dengan HIV/AIDS menyangkut

pengangkatan dan pemecatan, keamanan karyawan, pemecatan yang tidak adil,

asuransi kesehatan, absen dari kerja untuk tujuan kesehatan, alokasi kerja,

lingkungan yang aman, gaji dan tunjangan, perlakuan atasan dan rekan kerja,

skining HIV untuk semua karyawan, promosi dan pelatihan. Seringkali pemikiran

di balik isu-isu terkait ini adalah adanya kepercayaan bahwa tidak ada gunanya

menginvestasi uang pada seseorang yang akhirnya toh akan meninggal. Tidak

adanya kebijakan perekrutan adalah kondisi rumit yang seringkali terabaikan.

1. Family Concept, artinya lingkungan rumah atau suasana rumah diciptakan agar pengidap HIV seperti merasa benar-benar berada di rumah, misalnya mendapat

kasih sayang, dan rasa bertanggung jawab atas dirinya sendiri.

2. Role Model, adalah menggunakan orang yang pernah mengalami kejadian yang serupa dengan pengidap HIV untuk menceritakan apa yang harus dikerjakan di

(34)

3. Positive Peer Pressure, adalah saling bertukar pikiran dalam satu kelompok agar saling menilai dan memotivasi diri, contohnya tidak kembali kepada

ketergantungan terhadap narkotika.

4. Theurapeutic Session, yaitu konsultasi, penyuluhan dan terapi .

5. Moral and Religius Session, yaitu mensyukuri anugerah Tuhan yang masih menyayangi dengan memberikan ujian yang berat, agar lebih bisa mendekatkan

diri dengan-Nya.

Dengan memberikan perhatian terhadap ODHA, jangan pernah mengucilkan

ODHA dan ikut menyertakan mereka dalam kegiatan-kegiatan masyarakat, dengan

begitu akan menambah semangat mereka untuk hidup dengan lebih baik.

Contoh-contoh kegiatan yang dapat dilakukan yaitu penyuluhan-penyuluhan kesehatan

(dalam kesempatan tersebut, ODHA diharapkan dapat menceritakan kisah mereka di

masa lalu dan mengingatkan bahaya AIDS supaya masyarakat tidak mengikuti jejak

yang telah mereka tempuh) (Mariani, 2013).

2.5. Moderamen GBKP 2.5.1. Pengertian Moderamen

Moderamen adalah Kepengurusan Pusat GBKP (Gereja Batak Karo

Protestan), atau yang lebih familiar sebagai

(35)

2.5.2. GBKP (Gereja Batak Karo Protestan)

GBKP (Gereja Batak Karo Protestan) adalah sebuah kelom

masyarakat

Koinonia, Diakonia, Personalia/Sumber Daya Manusia dan Dana dan Usaha. Dalam

hai ini pelayanan yang manangani masalah HIV/AIDS ada dalam bidang diakonia

dengan membentuk komisi pelayanan HIV/AIDS dan Napza.

2.5.3. Sejarah Terbentuknya Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP

Kepedulian GBKP terhadap masalah HIV-AIDS sudah ada sejak lama,

bahkan sejak data resmi kasus HIV AIDS belum ada. Namun, pelayanan yang

dilakukan dalam menunjukkan kepedulian tersebut masih berkisar pada sosialisasi

yang dilakukan secara terpisah, artinya di setiap persekutuan Kategorial tingkat Pusat

seperti MORIA (Lembaga kaum Ibu), Permata (Lembaga Pemuda), KA-KR (lembaga

anak dan remaja) terdapat program tentang pelayanan terhadap masalah HIV-AIDS

khususnya dalam bentuk sosialisasi HIV-AIDS. Oleh karena setiap lembaga bekerja

sendiri-sendiri, maka muncullah ide untuk menyatukan pelayanan tersebut. Dengan

bersatunya dana dan program, maka diharapkan pelayanan ini akan lebih maksimal.

Berdasarkan pemikiran inilah maka dibentuk satu unit pelayanan di GBKP yang

dinamakan Komisi HIV-AIDS GBKP (Moderamen GBKP, 2014).

Pada awalnya Komisi ini bekerja dengan baik.Kegiatan yang masih berpusat

pada sosialisasi berjalan dengan lancar. Namun, oleh karena kurangnya dana, maka

(36)

Namun, berdasarkan undangan dari UEM (United Evangelical Mission) tentang

pelatihan HIV/AIDS, maka GBKP dituntut untuk segera mengaktifkan kembali

Komisi HIV/AIDS GBKP. Maka GBKP memutuskan kembali menunjukkan

kepedulian terhadap masalah HIV-AIDS dengan membentuk Komisi Pelayanan

HIV/AIDS dan NAPZA GBKP pada tahun 2006 yang diketuai oleh alm. dr. Petrus

Tarigan dan beranggotakan 7 orang. Dalam hal pendanaan, seluruh biaya kegiatan

Komisi ini diberikan oleh UEM sejumlah Rp. 60.000.000, akan tetapii 2 tahun

kemudian, dana ini dikurangi menjadi Rp. 30.000.000 karena program kerja Komisi

ini masih berkisar pada sosialisasi HIV/AIDS.

Kegiatan Komisi terus berjalan walaupun dengan dana yang terbatas.

Komitmen yang ada di setiap pengurus Komisi membuat dana bukanlah menjadi

hambatan untuk tetap melakukan pelayanan ini. Selain dari UEM, Komisi HIV/AIDS

berusaha mencari sumber dana yang lain. Tanpa henti, Komisi mendesak Moderamen

GBKP untuk menyediakan subsidi bagi Komisi yang berasal dari kas umum GBKP

dan mencari dana melalui donatur-donatur yang peduli akan pelayanan terhadap

masalah HIV/AIDS.

Pada akhirnya, Komisi mulai melakukan pendampingan kepada ODHA pada

tahun 2009. Namun pendampingan ini dilakukan masih sebatas mengunjungi ke

rumah ODHA. Pada tahun 2010, kerjasama Komisi HIV/AIDS dengan Rumah Sakit

Adam Malik semakin meningkat, dan banyak jemaat GBKP yang sudah mengetahui

(37)

menghubungi Komisi HIV/AIDS untuk mencari informasi tentang HIV/AIDS dan

mencari bantuan/dukungan.

Pernah terdapat satu pengalaman dimana ada seorang anak yang berumur 2

tahun ternyata sudah terinfeksi HIV. Ayahnya sudah meninggal karena HIV, dan

ibunya pergi meninggalkan anak tersebut. Akhirnya anak itu di asuh oleh neneknya.

Kondisi anak tersebut sangat memprihatinkan. Seorang tetangga nenek tersebut yang

memberitahukan keadaan itu kepada Komisi HIV GBKP. Keesokannya Komisi HIV

langsung mengunjungi dan mengurus segala surat-surat yang dibutuhkan supaya anak

tersebut segera mendapatkan pertolongan di Rumah Sakit Adam Malik. Tanpa

mengalami hampatan yang berarti, anak tersebutpun langsung di rawat di Rumah

Sakit Adam Malik. Namun, 3 hari kemudian, anak tersebut dan neneknya keluar dari

rumah sakit tanpa sepengetahuan siapapun. Mereka kembali ke desanya. Setelah

Komisi HIV mencari informasi, ternyata nenek dan anak tersebut melarikan diri dari

Rumah sakit Adam Malik karena mereka tidak mampu membeli makanan sehari-hari

walaupun biaya pengobatan dan opname anak tersebut gratis. Dua hari setelah

kembali dari rumah sakit, anak tersebut pun akhirnya meninggal dunia. Pengalaman

ini sangat berarti bagi Komisi HIV/AIDS GBKP. Berdasarkan pengalaman ini, maka

pada bulan November 2011, Komisi HIV/AIDS memberanikan diri mengontrak satu

rumah di belakang Rumah Sakit Adam Malik Jalan Petunia Raya No 36 Medan

untuk dijadikan sebagai rumah singgah. Adapun tujuan awal dari rumah singgah ini

adalah untuk membantu ODHA dan keluarganya agar tidak perlu khawatir akan

(38)

mereka yang baru menerima obat ARV (Antiretroviral) akan banyak mengalami efek

samping. Oleh karena itu, mereka harus tetap tinggal di sekitar Rumah Sakit Adam

Malik untuk dapat berkonsultasi dengan dokter kapan saja (Moderamen GBKP,

2014).

2.5.4. Visi Misi Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP

A. Visi

Menghargai kemanusiaan.

B. Misi

1. Memberikan pemahaman yang benar bahwa semua manusia berharga baik

yang terinfeksi HIV maupun yang tidak melalui sosialisasi HIV, pelatihan,

dan kampanye kepada seuruh masyarakat.

2. Mencegah dan menghilangkan stigma, isolasi dan diskriminasi terhadap

ODHA dan OHIDA melalui pendekatan dan pendampingan kepada

masyarakat umum.

3. Melayani ODHA dan OHIDA secara menyeluruh melalui rumah singgah.

4. Memberdayakan ODHA dan OHIDA melalui pelatihan dan keterampilan

sebagai peningkatan ekonomi.

2.5.5. Program Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP

A. Jangka Pendek

1. Melakukan sosialisasi HIV-AIDS kepada masyarakat dan jemaat

2. Melakukan pelatihan-pelatihan tentang HIV-AIDS

(39)

4. Melakukan advokasi dan pendekatan kepada Pemerintah

B. Jangka Menengah

1. Membentuk tenaga-tenaga relawan HIV-AIDS yang pada akhirnya akan

menjadi rekan sekerja Komisi HIV dalam melakukan berbagai kegiatan.

2. Mencari lahan untuk pembangunan rumah singgah yang permanen milik

GBKP.

C. Jangka panjang

Membangun rumah pelayanan terhadap ODHA yang dilengkapi klinik, dan

fasilitas-fasilitas yang mendukung pelayanan rumah singgah dan rumah

perawatan yang lengkap.

2.5.6. Kepengurusan Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP

1. Ketua : Pt. Tuah Bastari Barus

2. Wakil Ketua : dr. Frida Adelina br Ginting, SPPK.

3. Sekretaris : Pdt. Monalisa br Ginting, S. Si. (Teol)

4. Wakil Sekretaris : Haslinda Sinulingga, SPd.

5. Bendahara : M. Sukatendel

6. Anggota : 1. Dra. Lusia Sukatemdel, MAP

2. dr. Emminiate br Perangin-angin

3. dr. Hormat Surbakti

4. dr. Immanuel Sembiring

(40)

6. Jonsarep Tarigan, SKM

7. Rupina br Purba

2.5.7. Rumah Singgah Moderamen GBKP

Rumah singgah Moderamen GBKP adalah rumah singgah sementara bagi

ODHA yang sedang menjalani pengobatan ARV. Syarat-syarat ODHA yang dapat

tinggal di Rumah Singgah Moderamen GBKP adalah:

1. ODHA yang menjalani terapi ARV dan tempat tinggalnya jauh dari Medan.

Biasanya mereka yang baru menerima ARV dan harus menjalankan penyesuaian.

Jadi harus tinggal di sekitar Rumah sakit Adam Malik.

2. ODHA yang ditolak oleh keluarga atau masyarakat karena tingginya stigma dan

diskriminasi.

3. ODHA yang berasal dari keluarga tidak mampu atau ekonomi lemah, karena

ODHA membutuhkan asupan gizi yang tinggi.

Awal mulai adanya Rumah Singah Moderamen GBKP yaitu pada tahun 2011

dengan mengontrak rumah yang berada di Jalan Petunia Raya Perumahan BS No 36

Medan (di belakang Rumah Sakit Adam Malik Medan) , namun karena jumlah

ODHA yang semakin banyak dan tidak memadai lagi dalam menampung ODHA

maka pada bulan Oktober tahun 2013 berpindah ke rumah yang lebih besar yang ada

di Jalan Bunga Law Gang Bunga Law No 1 Medan. Namun pada pertengahan bulan

Desember tahun 2013 Rumah Singgah Moderamen GBKP yang berada di Jalan

Bunga Law ditutup, karena masyarakat sekitar rumah singgah tersebut menolak

(41)

terhadap ODHA. Komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP sudah berusaha melakukan

sosialisasi dan advokasi kepada aparat pemerintah dan masyarakat setempat, tetapi

tidak berhasil. Akhirnya komisi HIV/AIDS dan Napza GBKP memutuskan untuk

pindah ke Berastagi dan mendapat tempat di Gedung KWK jalan udara Berastagi

(Moderamen GBKP, 2014).

Jumlah ODHA yang tinggal di Rumah singgah moderamen GKBP Berastagi

sampai dengan bulan Juni tahun 2014 berjumlah 7 orang, 4 orang laki-laki dan 3

orang wanita dengan usia antara 25 sampai dengan 45 tahun.

1. Menyediakan kebutuhan makanan sehari-hari seperti nasi, lauk pauk, sayur, susu

dsb.

Pelayanan yang

disediakan di rumah singgah antara lain:

2. Memberikan pelayanan konseling pastoral seminggu sekali.

3. Memberikan kegiatan keterampilan seperti membuat sabun cair.

4. Pendampingan ODHA.

Adapun sumber dana Rumah Singgah Moderamen GBKP diperoleh dari:

1. UEM (United Evangelical Mission) Jerman

2. Moderamen GBKP

3. Donatur

Rumah singgah Monderamen GBKP tidak memandang suku, agama dan latar

belakang ODHA.Kehadiran rumah singgah ini sangat membantu ODHA yang

(42)

2.6. Landasan Teori

Menurut Skinner, seperti yang dikutip oleh Notoatmodjo (2003), merumuskan

bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau

rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses adanya stimulus

terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori Skinner

ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus – Organisme – Respon yang dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 2.2. Skema Teori Perilaku S_O_R

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat

dibedakan menjadi dua (Notoatmodjo, 2003) :

1. Perilaku tertutup (convert behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (convert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan, kesadaran, dan

Stimulus

Organisme

• Perhatian

• Pengertian

• Penerimaan

Reaksi (Perubahan Sikap)

(43)

sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat

diamati secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (overt behavior), yaitu respon seseorang terhadap stimulus

dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut

sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktek, yang dengan mudah dapat

diamati atau dilihat oleh orang lain.

Landasan teori lain yang digunakan adalah Teori Snehandu B. Kar (1983),

Kar mengidentifikasi adanya 5 faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu:

1. Niat seseorang untuk bertindak sehubungan dengan kesehatan atau perawatan

kesehatannya (behavior itention).

2. Dukungan sosial dari masyarakat sekitarnya (social support). Didalam kehidupan sesorang di masyarakat, perilaku orang tersebut cenderung memerlukan legitimasi

dari masyarakat sekitarnya.

3. Terjangkaunya informasi (accessibility of information) adalah tersedianya

informasi-informasi terkait dengan tindakan yang akan diambil oleh seseorang.

4. Otonomi pribadi orang yang bersangkutan dalam hal mengambil tindakan atau

keputusan (personal autonomy).

5. Situasi yang memungkinkan untuk bertindak (action situation).

1.

Menurut Herek and Capitanio (1999) dalam Siregar N (2012) stigma ODHA

lebih jauh dapat dibagi menjadi tiga kategori:

Stigma Instrumental ODHA yaitu refleksi ketakutan dan keprihatinan atas hal-hal

(44)

2.

3.

Stigma Simbolis ODHA yaitu penggunaan HIV/AIDS untuk mengekspresikan

sikap terhadap kelompok sosial atau gaya hidup tertentu yang dianggap

berhubungan dengan penyakit tersebut.

Stigma Kesopanan ODHA yaitu hukuman sosial atas orang yang berhubungan

dengan issu HIV/AIDS atau orang yang positif HIV.

Peneliti memadukan ketiga teori tersebut dimana perilaku tertutup dalam hal ini yang

peneliti bahas adalah pengetahuan dan sikap ODHA terkait status HIV mereka, dan

adanya stigma dan diskriminasi yang ODHA alami yang mempengaruhi ODHA

untuk bertindak untuk memperoleh kesehatan terhadap penyakit yang mereka alami

(perilaku terbuka).

2.7. Kerangka Pikir

Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian

Perilaku ODHA: - Pengetahuan - Sikap

Tindakan

Stigma :

Gambar

Gambar 2.1.  Skema Teori Perilaku S_O_R
Gambar 2.2.  Skema Teori Perilaku S_O_R
Gambar 2.3 Kerangka Pikir Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Hidrograf limpasan langsung dari hasil analisis kedua model dengan data RSS dan proses pengerjaan GIS di softwareWMS menunjukkan kesamaan yang cukup ideal dan

Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia.. Filsafat Hukum

Dalam penelitian ini, penulis mengukur 100 orang responden dari berbagai level jabatan (staff hingga Kasubid) pada institusi Kementerian PU, BAP- PENAS, Dinas PU, Tenaga Ahli

Demikian diterangkan untuk digunakan melengkapi syarat pendaftaran Ujian Meja Hijau Tugas Akhir Mahasiswa bersangkutan di Departemen Matematika FMIPA

Traditional market management in Tsukiji Fish Market based on marketing mix (product, place, promotion, price, people, processes, programs, performance)..

Jumlah Penduduk sebagai salah satu faktor yang berpengaruh terhadap Pajak Daerah, seharusnya dioptimalkan yaitu dengan cara meningkatkan jumlah lapangan kerja,

Pengamanan sebelumnya yang telah dilakukan pada level aplikasi SSO UUI adalah menggunakan algoritma MD5 pada proses otentikasi login dan web service NuSOAP pada pengecekan sesi

Kesimpulan Dan Saran : Pemberian juice alpukat dapat menurunkan kadar gula darah penderita diabetes mellitus tipe II di Wilayah kerja Puskesmas Jetis II Bantul,