• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI ANALISIS STRATEGI BERTAHAN HIDUP NELAYAN

6.5. Bentuk Strategi Bertahan Hidup Nelayan Berdasarkan Kepemilikan

6.5.1. Strategi Berbasis Modal Sosial: Sistem Patron-Klien

Upaya untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan memperpanjang distribusi rumahtangga yang dilakukan masyarakat nelayan juga menerapkan strategi non-produksi (strategi sosial) yang melibatkan nilai-nilai tradisional yaitu strategi berbasiskan modal sosial dengan memanfaatkan kelembagaan kesejahteraan asli dan pola hubungan produksi yang terdapat pada komunitas nelayan. Strategi berbasiskan modal sosial ini merupakan strategi pendukung dari berbagai bentuk strategi produksi yang dijalankan oleh rumahtangga nelayan guna memperanjang distribusi pendapatan.

Kelembagaan bagi hasil serta hubungan patron-klien dalam produksi masih terlihat sangat kental di komunitas nelayan Kampung Bambu. Akibat aktivitas penangkapan ikan yang penuh dengan ketidakpastian, komunitas nelayan umumnya mengembangkan kelembagaan produksi yang menjamin keamanan nafkah bagi setiap nelayan yang terlibat di dalamnya. Kelembagaan produksi ini mengembangkan mekanisme pembagian nafkah yang berwujud dalam kelembagaan bagi hasil dan hubungan patron klien antara pedagang, nelayan pemilik kapal, pemilik ternak dengan nelayan buruh. Nelayan di Kampung Bambu mengembangkan alat tangkap yang berbeda, masing-masing alat tangkap tersebut memiliki sistem patron-klien yang bervariasi.

Usaha penangkapan ikan oleh nelayan bagang bersifat harian. Umumnya nelayan bagang mengoperasikan alat-alatnya mulai ba’da Ashar hingga Subuh. Nelayan bagang berangkat mulai ba’da Ashar dan menempuh perjalanan hingga satu jam ke tempat bagang-bagang mereka ditancapkan. Sesampainya di bagang, nelayan akan menurunkan jaring dan menunggu hingga jaring tersebut dipenuhi ikan, sekitar dua jam menunggu. Jaring akan ditarik dua sampai tiga kali dalam satu malam penangkapan. Biasanya pemilik perahu ikut aktif dalam kegiatan penangkapan ikan dengan nelayan yang masih memiliki ikatan kekerabatan dengannya. Kemudian nelayan akan menjual hasil tangkapannya melalui TPI

(Tempat Pelelangan Ikan), penjualan dilakukan kepada pedagang yang menawarkan harga tertinggi. Sebagian besar nelayan memiliki keterikatan dengan pedagang, sehingga mereka tak bisa menjual hasil tangkapannya ke pedagang lain. Hubungan yang terjalin antar pedagang dan nelayan tersebut merupakan hubugan antar patron dan klien, dimana pedagang sebagai patron memberikan bantuan permodalan untuk operasi penangkapan sedangan nelayan sebagai klien memberikan kesetiaannya untuk menjual hasil tangkapan kepada pedagang.

Sistem yang sama juga terjadi pada nelayan sero. Usaha penangkapan ikan oleh nelayan sero bersifat harian, meskipun dalam rentang waktu yang lebih sedikit dibandingkan nelayan bagang, karena sero tidak memiliki ‘ruangan’ untuk menunggu ikan terjaring seperti bagang, sehingga nelayan sero akan melaut setelah sebelumnya menurunkan jaring dan langsung kembali untuk menjual ikan hasil tangkapan. Pedagang tempat nelayan sero menjual ikan juga sudah terikat dan tidak bisa menjual hasil tangkapannya ke pedagang lain. Pedagang (patron) biasanya memberikan bantuan kepada nelayan saat mereka kekurangan modal.

Berbeda dengan nelayan bagang dan sero, nelayan tembak akan menjual hasil tangkapannya kepada pedagang yang membeli lebih tinggi. Banyak nelayan

tembak tidak memiliki pedagang yang tetap untuk menjual harga tangkapan mereka karena, berbeda dengan nelayan bagang dan sero yang menangkap ikan sekaligus dalam jumlah besar, nelayan tembak hanya menangkap ikan-ikan yang bernilai jual tinggi dalam jumlah lebih kecil. Meskipun demikian, terdapat juga nelayan tembak yang memiliki pedagang tetap untuk menjual hasil tangkapannya, alasannya adalah nelayan ‘lebih kenal’ dengan pedagang yang membuat tawar- menawar lebih mudah.

Sementara usaha penangakapan ikan yang dilakukan oleh nelayan jaring juga dilakukan setiap hari. Umumnya nelayan jaring mengoperasikan alat-alatnya mulai dari Subuh hingga ba’da Dzuhur atau ba’da Ashar hingga Subuh. Alat dan perahu seperti jaring gill net dioperasikan, mulai dari pemilik perahu hingga kuli nelayan pengangkut membentuk pola hubungan produksi. Pola produksi ini akan melahirkan mekanisme distribusi (pembagian) pendapatan antara pemilik perahu dan nelayan buruhnya. Mekanisme tersebut terwujud dalam kelembagaan bagi

 

hasil. Bagi hasil dari usaha penangkapan ikan nelayan jaring didiferensiasikan berdasarkan tugas-tugas tertentu dalam proses penangkapan ikan tersebut. Hubungan patron-klien nelayan jaring akan tampak ketika hasil penjualan tangkapan minim dan hanya mampu menutupi biaya perbekalan. Dalam kondisi demikian, patron wajib memberikan jaminan nafkah kepada nelayan meskipun jumlahnya tak seberapa. Jaminan nafkah ini diberikan untuk mempertahankan nelayan agar tetap mau bekerja pada patron.

Nelayan budidaya memiliki sistem patron klien yang berbeda dari nelayan dengan alat tangkap lainnya, karena nelayan budidaya tidak memliki frekuensi penangkapan ikan secara harian. Selain itu, nelayan budidaya atau ternak tidak menggunakan alat tangkap seperti bagang, sero, jaring ataupun alat tembak

sebagai inti produksi mereka, melainkan membangun pancang bambu tempat kerang hijau beternak dan menunggu hingga hitungan bulan untuk memanen hasil ternak mereka. Nelayan budidaya memiliki probabilitas ‘gagal panen’ yang lebih tinggi dibandingkan nelayan dengan alat tangkap lain, karena pencemaran akibat limbah yang turun sewaktu-waktu mampu meluruhkan seluruh ternak yang telah dipelihara selama berbulan-bulan. Patron atau pemilik ternak juga memiliki probabilitas gagal panen yang sama besarnya dengan buruh nelayan budidaya yang bekerja pada mereka, sehingga patron nelayan budidaya (pemilik ternak) lebih miskin dibandingkan patron pada nelayan dengan alat tangkap. Hal inilah yang menyebabkan nelayan budidaya memiliki intensitas pinjaman yang rendah pada patron, sebab apabila ternak kerang hijau luruh dan gagal, bukan hanya nelayan budidaya yang rugi tetapi patron atau pemilik ternak juga rugi. Dapat dikatakan kondisi ekonomi patron budidaya tidak jauh berbeda dengan buuh nelayan budidaya. Selain kemungkinan ‘gagal panen’ yang lebih besar, penjualan kerang hijau juga ditentukan pasang surut di Muara Baru (tempat akhir penjualan kerang hijau nelayan budidaya Kampung Bambu).

Jika dibandingkan, maka sistem patron klien pada masing-masing nelayan dengan alat tangkap yang berbeda dapat dimatrikskan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Matriks Sistem Patron Klien Sebagai Strategi Sosial Berdasarkan Jenis Alat Tangkap Nelayan Kampung Bambu, 2010

Jenis Alat Tangkap Sistem Patron-Klien

Bagang

Patron adalah pedagang pembeli hasil tangkapan ikan. Ketergantungan pada patron terlihat saat nelayan harus menjual hasil tangkapan pada pedagang yang sama, sebagai imbalannya pedagang akan memberikan bantuan permodalan baik untuk penangkapan ikan maupun saat baratan.

Sero

Patron adalah pedagang pembeli hasil tangkapan ikan. Ketergantungan pada patron terlihat saat nelayan harus menjual hasil tangkapan pada pedagang yang sama, sebagai imbalannya pedagang akan memberikan bantuan permodalan baik untuk penangkapan ikan maupun saat baratan.

Tembak

Patron adalah pedagang pembeli hasil tangkapan ikan. Ketergantungan pada patron terlihat saat nelayan tembak

menjual hasil tangkapan pada pedagang yang sama, sebagai imbalannya pedagang akan memberikan bantuan permodalan saat baratan.

Jaring

Patron adalah pemilik perahu. Ketergatungan pada patron terlihat saat nelayan jaring hanya melakukan usaha

penangkapan ikan pada pemilik perahu yang sama, sebagai imbalannya pemilik perahu memberlakukan sistem bagi hasil dan jaminan nafkah kepada nelayan.

Budidaya

Patron adalah pemilik ternak kerang hijau. Ketergantungan pada patron terlihat saat nelayan budidaya melakukan penangkapan hasil produksi dari pemilik ternak yang sama. Sebagai imbalannya pemilik ternak akan memberikan bantuan baik untuk mengambil hasil ternak maupun saat baratan.

Sistem patron-klien tersebut pada akhirnya turut membantu nelayan menghadapi masa baratan sebagai salah satu strategi sosial mereka. Meskipun terlihat pada hasil penelitian bahwa hampir seluruh nelayan merasa tidak puas terhadap patron, ketergantungan pada patron tidak dapat dilepaskan dalam kehidupan nelayan. Kelembagaan sistem patron klien ini terwujud dalam hubungan antara nelayan dengan pedagang, pemilik perahu maupun pemilik ternak, yang secara tidak langsung membantu nelayan memperpanjang distribusi pendapatan dalam masa-masa baratan, serta sebagai strategi sosial menghadapi pencemaran.