• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Inovasi Pendidikan

Dalam dokumen Konsep Inovasi Pendidikan (Halaman 45-48)

Salah satu faktor yang ikut menentukan efektivitas pelaksanaan program perubahan sosial adalah ketepatan penggunaan strategi. Akan tetapi, memilih strategi yang tepat bukan pekerjaan yang mudah. Sukar untuk memilih satu strategi tertentu guna mencapai tujuan atau target perubahan sosial tertentu.

1. Strategi Fasilitatif

Strategi fasilitatif digunakan untuk memperbaharui bidang pendidikan. Adanya kurikulum baru dengan pendekatan keterampilan proses misalnya, memerlukan perubahan atau pembaharuan kegiatan belajar mengajar. Jika untuk keperluan tersebut digunakan pendekatan fasilitatif, program pembaharuan yang dilaksanakan menyediakan berbagai macam fasilitas dan sarana yang diperlukan. Sekalipun demikian, fasilitas dan sarana itu tidak akan banyak bermanfaat dan menunjang perubahan jika guru atau pelaksana pendidikan sebagai sasaran perubahan tidak memahami

BAB 4

KARAKTERISTIK, STRATEGI,

DAN PETUNJUK PENERAPAN

masalah pendidikan yang dihadapi, tidak merasakan perlu adanya perubahan pada dirinya, tidak perlu atau tidak bersedia menerima bantuan dari luar atau dari yang lain, tidak memiliki kemauan untuk berpartisipasi dalam usaha pembaharuan.

Demikian pula, seandainya dalam pembaharuan kurikulum disediakan berbagai macam fasilitas media instruksional dengan maksud agar pelaksanaan kurikulum baru dengan pendekatan keterampilan proses dapat lancar, ternyata para guru –sebagai sasaran perubahan– tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan media, perlu diusahakan adanya kemampuan atau peranan yang baru, yaitu pengelola atau sebagai pemakai media institusional.

2. Strategi Pendidikan

Perubahan sosial didefinisikan sebagai pendidikan atau pengajaran kembali (re-education) (Zaltman, Duncan, 1977: 111). Pendidikan juga dipakai sebagai strategi untuk mencapai tujuan perubahan sosial. Dengan menggunakan strategi pendidikan, perubahan sosial dilakukan dengan cara menyampaikan fakta dengan maksud penggunaan fakta atau informasi untuk menentukan tindakan yang akan dilakukan. Dasar pemikirannya adalah manusia akan mampu untuk membedakan fakta serta memilihnya guna mengatur tingkah lakunya apabila fakta ditunjukkan kepadanya. Zaltman menggunakan istilah re-education dengan alasan bahwa dengan strategi ini memungkinkan seseorang untuk belajar lagi tentang sesuatu yang dilupakan yang sebenarnya telah dipelajarinya sebelum mempelajari tingkah laku atau sikap yang baru.

Agar penggunaan strategi pendidikan dapat berlangsung secara efektif, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan, yaitu sebagai berikut.

a. Strategi pendidikan dapat digunakan secara tepat dalam kondisi dan situasi:

1. apabila perubahan sosial yang diinginkan, tidak harus terjadi dalam waktu yang singkat (tidak ingin segera cepat berubah);

2. apabila sasaran perubahan (guru) belum memiliki keterampilan atau pengetahuan tertentu yang diperlukan untuk melaksanakan program perubahan sosial;

3. apabila menurut perkiraan akan terjadi penolakan yang kuat oleh guru terhadap perubahan yang diharapkan;

4. apabila dikehendaki perubahan yang sifatnya mendasar dari pola tingkah laku yang sudah ada ke tingkah laku yang baru;

5. apabila alasan atau latar belakang perlunya perubahan telah diketahui dan dimengerti atas dasar sudut pandang guru sendiri, serta diperlukan adanya kontrol dari guru.

b. Strategi pendidikan untuk melaksanakan program perubahan akan efektif jika:

1. digunakan untuk menanamkan prinsip­prinsip yang perlu dikuasai untuk digunakan sebagai dasar tindakan selanjutnya, sesuai dengan tujuan perubahan sosial yang akan dicapai;

2. disertai dengan keterlibatan berbagai pihak, misalnya dengan donatur dan berbagai penunjang yang lain;

3. digunakan untuk menjaga agar guru tidak menolak perubahan atau kembali ke keadaan sebelumnya;

4. digunakan untuk menanamkan pengertian tentang hubungan antara gejala dengan masalah, menyadarkan adanya masalah dan memantapkan bahwa masalah yang dihadapi dapat dipecahkan dengan adanya perubahan. c. Strategi pendidikan akan kurang efektif jika:

1. tidak tersedia sumber yang cukup untuk menunjang kegiatan pendidikan;

2. digunakan tanpa dilengkapi dengan strategi lain.

3. Strategi Bujukan

Program perubahan sosial dengan menggunakan strategi bujukan, artinya tujuan perubahan sosial dicapai dengan cara membujuk (merayu) agar sasaran perubahan (guru) mau mengikuti perubahan sosial yang direncanakan. Sasaran perubahan diajak untuk mengikuti perubahan dengan cara memberikan alasan, mendorong, atau mengajak untuk mengikuti contoh yang diberikan. Strategi bujukan dapat berhasil apabila berdasarkan alasan yang rasional, pemberian fakta yang akurat.

Strategi bujukan tepat digunakan apabila:

a. guru (sasaran perubahan) tidak berpartisipasi dalam proses perubahan sosial;

b. guru berada pada tahap evaluasi atau legitimasi dalam proses pengambilan keputusan untuk menerima atau menolak perubahan sosial;

c. guru diajak untuk mengalokasikan sumber penunjang perubahan dari kegiatan atau program ke kegiatan atau program yang lain; d. masalah dianggap kurang penting atau jika cara pemecahan

masalah kurang efektif;

e. pelaksana program perubahan tidak memiliki alat kontrol secara langsung terhadap sasaran perubahan;

f. perubahan sosial sangat bermanfaat, tetapi mengandung risiko yang dapat menimbulkan perpecahan;

g. perubahan tidak dapat dicobakan, sukar dimengerti, dan tidak dapat diamati manfaatnya secara langsung;

h. dimanfaatkan untuk melawan penolakan terhadap perubahan pada saat awal diperkenalkannya perubahan sosial yang diharapkan.

4. Strategi Paksaan

Pelaksanaan program perubahan sosial dengan menggunakan strategi paksaan, artinya dengan cara memaksa guru (sasaran perubahan) untuk mencapai tujuan perubahan. Hal­hal yang dipaksa merupakan bentuk dari hasil target yang diharapkan. Kemampuan untuk melaksanakan paksaan bergantung pada hubungan kontrol antara pelaksana perubahan dengan sasaran. Jadi, ukuran hasil target perubahan bergantung dari kepuasan pelaksanaan perubahan. Kekuatan paksaan artinya sejauh mana pelaksana perubahan dapat memaksa guru bergantung pada tingkat ketergantungan guru dengan pelaksana perubahan. Kekuatan paksaan juga dipengaruhi berbagai faktor, antara lain ketatnya pengawasan yang dilakukan pelaksana perubahan terhadap guru. Tersedianya berbagai alternatif untuk mencapai tujuan perubahan dan tersedianya dana (biaya) untuk menunjang pelaksanaan program, misalnya untuk memberi hadiah kepada guru yang berhasil menjalankan program perubahan dengan baik.

Penggunaan strategi paksaan perlu mempertimbangkan hal­hal berikut.

a. Partisipasi guru terhadap proses perubahan sosial rendah dan tidak mau meningkatkan partisipasinya.

b. Guru tidak merasa perlu untuk berubah atau tidak menyadari perlunya perubahan sosial.

c. Guru tidak memiliki sarana penunjang untuk mengusahakan perubahan dan pelaksana perubahan juga tidak mampu mengadakannya.

d. Perubahan sosial yang diharapkan harus terwujud dalam waktu yang singkat. Artinya, tujuan perubahan harus segera tercapai. e. Menghadapi usaha penolakan terhadap perubahan sosial atau untuk cepat mengadakan perubahan sosial sebelum usaha penolakan terhadapnya bergerak.

f. Guru sukar untuk menerima perubahan sosial, artinya sukar dipengaruhi.

g. Menjamin keamanan percobaan perubahan sosial yang telah direncanakan.

Dalam buku yang ditulis oleh J. Loyd Trum dan William Geogiades yang berjudul How to Change Your School (1978) diuraikan tentang petunjuk penerapan inovasi di suatu sekolah. Uraian ini akan membantu jika mengalami kesukaran untuk menentukan teknik dan strategi yang paling tepat untuk memperbaiki sekolah. Misalnya untuk menjawab pertanyaan, antara lain perubahan apa yang tepat untuk meningkatkan mutu sekolah? Inovasi yang mana yang tepat untuk diimplementasikan? Apa saja yang diperlukan untuk menunjukkan pengaruh inovasi terhadap program sekolah, siswa, guru, administrator, dan orangtua serta warga masyarakat yang dilayaninya? Kennedy (1987: 163) membicarakan tentang strategi inovasi yang dikutip dari Chin dan Benne (1970) yang menyarankan tiga jenis strategi inovasi, yaitu power coercive (strategi pemaksaan), rational

empirical (empiris rasional), dan normative-re-educative (pendidikan yang berulang secara normatif).

a. Strategi pemaksaaan

Strategi pemaksaaan berdasarkan kekuasaan merupakan pola inovasi yang sangat bertentangan dengan kaidah­kaidah inovasi.

Strategi ini cenderung memaksakan kehendak, ide, dan pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta situasi inovasi itu akan dilaksanakan. Kekuasaan memegang peranan yang sangat kuat dalam menerapkan ide­ide baru dan perubahan sesuai dengan kehendak dan pikiran pencipta inovasinya. Adapun pihak pelaksana yang sebenarnya merupakan objek utama inovasi yang tidak dilibatkan, baik dalam proses perencanaan maupun pelaksanaannya. Para inovator hanya menganggap pelaksana sebagai objek, bukan sebagai subjek yang harus diperhatikan serta dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan pengimplementasiannya.

b. Strategi empiris rasional

Asumsi dasar dalam strategi ini bahwa manusia mampu menggunakan pikiran logisnya atau akalnya untuk bertindak secara rasional. Dalam kaitan dengan ini, inovator bertugas mendemonstrasikan inovasinya dengan menggunakan metode yang valid untuk memberikan manfaat bagi penggunanya. Di samping itu, strategi ini didasarkan atas pandangan yang optimistis seperti dikatakan Bennis, Benne, dan Chin yang dikutip dari Cece Wijaya dkk. (1991), di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode mengajar yang menurutnya sesuai dengan akal yang sehat, dan berkaitan dengan situasi dan kondisi, bukan berdasarkan pengalaman guru. Dalam berbagai bidang, para pencipta inovasi melakukan perubahan dan inovasi untuk bidang yang ditekuninya berdasarkan pemikiran, ide, dan pengalaman dalam bidangnya itu, yang telah digeluti berbulan­bulan bahkan bertahun­tahun. Inovasi demikian memberi dampak yang lebih baik daripada model inovasi pertama. Hal ini disebabkan oleh kesesuaian dengan kondisi nyata di tempat pelaksanaan inovasi tersebut.

c. Strategi normatif re-edukatif

Jenis strategi inovasi ketiga adalah normatif re­edukatif pendidikan yang berulang, yaitu strategi inovasi yang didasarkan pada pemikiran para ahli pendidikan, seperti Sigmund Freud, John Dewey, Kurt Lewis, dan beberapa pakar lainnya (Cece Wijaya, 1991), yang menekankan cara klien memahami permasalahan

pembaharuan seperti perubahan sikap, kemampuan, dan nilai­nilai yang berhubungan dengan manusia.

Dalam pendidikan, sebuah strategi yang menekankan pada pemahaman pelaksana dan penerima inovasi dapat dilakukan berulang­ulang. Misalnya, dalam pelaksanaan perbaikan sistem belajar mengajar di sekolah, para guru sebagai pelaksana inovasi terus­menerus melaksanakan perubahan sesuai dengan kaidah­ kaidah pendidikan. Kecenderungan pelaksanaan model demikian lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan degan hasil perubahan. Pendidikan yang dilaksanakan lebih mendapat porsi dominan sesuai dengan tujuan menurut pikiran dan rasionalitas yang dilakukan berulang­ulang agar semua tujuan yang sesuai dengan pikiran dan kehendak pencipta dan pelaksananya dapat tercapai.

Dalam dokumen Konsep Inovasi Pendidikan (Halaman 45-48)