• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.2. Analisis Data

4.2.1 Strategi Komunikasi Suami Istri Beda Budaya 1 Strategi Komunikasi Keluarga

4.2.1.2 Strategi Komunikasi Keluarga

Keluarga II ini merupakan keluarga yang melakukan pernikahan beda budaya (suku), istri (Jawa) suami (Batam). Suami bernama Ibrahim Azhar dan istri bernama Arinda Puspitasari seorang teller bank swasta di Mojokerto. Penghasilan perbulan keluarga ini cukup besar mencapai 5 juta. Dirumahnya yang begitu sederhana dengan tipe 36 mereka tinggal berempat bersama anaknya. Sedangkan untuk masalah membersihkan rumah dilakukan oleh pembantu.

Apa yang dialami oleh keluarga ini tidak jauh berbeda dengan apa yang dialami oleh keluarga pertama. Keluarga tersebut berpendapat bahwa strategi komunikasi yang dilakukan adalah benar-benar terbuka (Be Open) dan selalu berpikir positif (Be Positive), tidak ada satu halpun yang

ditutup-tutupi. Semua masalah yang muncul dalam hal apapun selalu diselesaikan secara bersama-sama, namun pengambil keputusan dipegang oleh satu pihak yaitu sang istri. Disini suami istri bekerja untuk mendidik anak mereka yang kemudian nantinya mengarahkan anak dalam menjalani kehidupannya kelak.

Pasangan suami istri ini juga mengalami sedikit kesulitan dalam awal-awal hubungan mereka sebelum memutuskan untuk menikah, sehingga mereka sebelum menikah terlebih dahulu membuat kesepakatan, pemahaman yang sama, satu jalan pikiran akan banyak hal, yang tujuannya menyatukan perbedaan diantara mereka. Terlihat seperti petikan berikut :

Informan II (Istri)

“..kalau buat kesepakatan sih jelas iya, kita diskusikan mau mengambil keputusan harus diomongin dulu..”

Adanya kesepakatan bersama diantara suami istri diamini juga oleh suami, karena menurutnya hal tersebut harus dilakukan untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kesalahpahaman. Seperti yang dituturkan berikut :

Informan II (Suami)

“..sebelum menikah kami kami membuat kesepakatan terlebih dahulu agar tidak terjadi kesalahpahaman di kemudian hari. Itulah kuncinya untuk mengurangi ketidakpastian…”

Sekali lagi ada salah satu pihak yang mendominasi, keterbukaan tetap dijaga oleh pasangan Jawa Batam ini karena mereka tidak mau membatasi satu sama lain dalam hal mengungkapkan perasaan, pendapat

atau ide dan pemikiran khususnya hal-hal yang berkaitan dengan anak mereka. Hal ini juga diperkuat oleh kutipan sang istri setelah memiliki anak berikut ini:

Informan II (Istri)

“..ibaratnya kita menumbuhkan tanaman gitu, jadi ya kita sama-sama, nanti kalau malah diatur-atur malah jadi pusing..”

Pak Ibrahim juga menjawab dengan tegas bahwa mereka saling terbuka dan memberi kesempatan yang sama untuk dirinya dan sang istri untuk dalam menyampaikan apa yang ingin diutarakan karena peran orang tua menurutnya harus sama tidak boleh ada yang menang sendiri, seperti yang dikatakan berikut ini :

Informan II (Suami)

“tentu kami memberikan kebebasan untuk menyampaikan pendapat atau pemikiran terutama yang menyangkut masalah anak. Kami sering berdiskusi tentang banyak hal mulai dari pendidikan, kesehatan dan bagaimana caranya menjadi orang tua yang baik dan peduli terhadap anak..”

Terutama dalam hal menjaga kekompakan dan keharmonisan keluarga mereka yang memiliki dua budaya (suku) yang berbeda pasangan ini menjelaskan bahwa komunikasi dan keterbukaan merupakan hal yang utama, apapun yang terjadi mau besar atau kecil semua harus dibicarakan bersama agar bisa ditemukan jalan keluar yang membawa kebaikan dan keuntungan bagi kedua belah pihak. Seperti yang dijelaskan dalam wawancara ini :

Informan II (Suami)

“..hanya satu kuncinya komunikasi. Jadi kamu selalu mengkomunikasikan semua persoalan rumah tangga secara efektif..”

Karena keluarga ini membebaskan anak dengan dua budaya (suku) yang berbeda, kebiasaan yang berbeda pula, mereka memberi pengertian kepada sang anak dengan mengenalkan dan memberi tahu seperti ini budaya sang ayah dan begini budaya sang ibu. Berikut penuturannya :

Informan II (Istri)

“..dia (anak) tahu kalau bapaknya dari Batam soalnya kan kakek nenek keluarga ayahnya disana semua, jadi dia tahu. Memang dia beda dengan teman-temanya yang lain, ayahnya dari Batam, ibunya dari Jawa. Jelas dia harus mempelajari dua budaya (suku). Jadi yaa aku yang mengenalkan ini lho Batam kaya begini, Jawa kaya begini. Keduanya budaya (suku) kamu, kamu mau ke kakek nenek tidak apa-apa yang penting kamu tahu bagaimana tradisi dan kebiasaan masing-masing budaya (suku). Jadi dari hal-hal kecil seperti ini sudah saya ajarkan..”

Dari pengenalan seperti itu Pak Ibrahim dan Bu Arin mengharapkan sang anak kelak bisa mempelajari 2 budaya (suku),2 kebiasaan yang berbeda agar sang anak tidak lupa dengan Batam/ Jawa, sehingga bila sudah dewasa nantinya anak dapat memilih sendiri budaya (suku) apa yang akan diikutinya. Suami istri ini tidak berusaha menentukan budaya (suku) apa yang paling baik dan paling cocok untuk anaknya. Mereka menyerahkan semua ke anak karena dari awal pernikahan pun mereka sepakat tidak akan memaksakan budaya (suku) masing-masing untuk diikuti atau dipilih sang anak, karena mereka merupakan keluarga yang terbuka, terlihat seperti ini :

Informan II (Istri)

“.. itu sih terserah mereka kalau sudah besar, tapi sekarang kita masih arahin, mereka masih kecil belum bisa ambil keputusan sendiri. Ya kalau sekarang diarahin dulu..”

Dari sini dapat diketahui bahwa dengan menerapkan strategi komunikasi terbuka. Hal ini didasarkan atas adanya saling menerima satu sama lain, saling menghormati adanya perbedaan yang ada dalam berkomunikasi. Keduanya ini telah diterapkan oleh keluarga II sehingga situasi dan kondisi seperti ini membuat Pak Ibrahim dan Bu Arin merasa nyaman dalam menjalankan pernikahan. Hal ini membuat terciptanya keharmonisan dalam hubungan suami istri.

Pernikahan yang dilakukan adalah pernikahan beda budaya (suku) antara istri (Jawa) dan suami (Batam) yang telah dikaruniai dua orang anak perempuan ini cukup harmonis terlihat pasa saat wawancara berlangsung keluarga ini memperlihatkan bahasa nonverbal yang berarti adanya keharmonisan dan kebahagiaan yang dirasakan. Rumah mereka terlihat begitu sederhana dengan tipe 36, dinding cat rumahnya berwarna hijau muda dengan interior klasik yang menunjukkan cirri khas Indonesia, karena sang istrilah yang menjadi pencetus konsep ini semua.

Pernikahan berbeda budaya (suku) bukanlah pernikahan yang mudah untuk dijalani karena itu dibutuhkan komunikasi yang baik diantara keduanya. Komunikasi yang dijalankan harus bersifat terbuka seperti apa yang telah diterapkan oleh keluarga II ini dalam menentukan budaya (suku) untuk sang anak, suami istri ini memberikan kebebasan pada anaknya untuk memilih budaya (suku) yang akan diikuti. Dalam

menentukan budaya (suku) untuk anak tidak menjadi masalah yang berarti karena mereka sebelum memutuskan untuk menikah juga sudah sepakat untuk tidak memaksakan budaya(suku) kepada anak.

Berdasarkan permasalahan yang telah dijabarkan diatas dapat diketahui bahwa strategi komunikasi yang digunakan suami istri keluarga II ini adalah Be Open, Communicate dan Be Positive.

4.2.1.3 Strategi Komunikasi Keluarga III

Perbedaan budaya (suku) yang terdapat dalam keluarga III yaitu Aceh (istri) dan Jawa (suami). Si istri menjadi guru atau tenaga pengajar di salah satu SMA Swasta di Mojokerto dan suami merupakan seorang PNS yang bekerja di salah satu instansi pemerintahan di Mojokerto. Untuk mengisi waktu luangnya sang suami mempunyai usaha sampingan mendistribusikan air mineral dan elpiji ke pelanggan-pelanggannya. Dari penghasilan suami saja perbulan mencapai 3 juta. Keluarga ini tinggal di Asrama Korem Mojokerto. Sang istri yang berprofesi sebagai guru dibantu oleh seorang pembantu untuk mengurus anak mereka.

Seperti halnya keluarga I dan II, keluarga III dalam penelitian ini juga menerapkan strategi komunikasi suami istri yang selalu terbuka dan dalam mengambil keputusan selalu dibicarakan secara bersama. Akan tetapi tetap salah satu pihak yang memegang keputusan akhir dan mendominasi segala sesuatunya. Dalam keluarga ini untuk urusan rumah dan keluarga dipegang oleh sang istri karena dianggap lebih teliti dan

mengetahui segalanya. Bila ada permasalahan semua diselesaikan dengan membicarakan telebih dahulu, sang istri sebagai pengambil keputusan dari pihak yang mendominasi, memintya masukan dahulu kepada suaminya. Berikut ini penuturannya :

Informan III (Suami)

“..untuk masalah urusan rumah tangga sepenuhnya saya serahkan pada sang istri. Saya percaya penuh pada istri dan asti akan melakukan yang terbaik untuk keluarga..”

Dengan tegas Mudjiono menjawab pertanyaan peneliti soal siapa yang paling sering menjadi pengambil keputusan dalam rumah tangga mereka. Berdasarkan kutipan diatas suami istri ini menempatkan sang istri sebagai puhak yang dominan, akan tetapi tidak otoriter. Adanya kesepakatan untuk menjadikan istri sebagai pembuat keputusan dengan penuh tanggung jawab didasarkan pada kesepakatan mereka untuk saling terbuka dan member kebebasan satu sama lain untuk menyampaikan ide dan pendapat yang berkaitan dengan anak.

Informan III (Istri)

“..iya tentu yaa kami berdua sih sama-sama ingin kasih ruang untuk sama lain untuk mengekspresikan diri juga, mengutarakan pendapat juga. Yang berhubungan dengan anak pastinya juga. Tahu sendiri kan kalau persoalan anak itu orang tua harus sama-sama berperan. Jadi kita selalu bicarain gitu seperti pendidikan,kesehatan anak sampai cara mengasuh anak. Tapi balik lagi porsinya lebih lanjut pastinya lebih banyak ke saya( istri)..”

Jadi kita selalu dibicarakan gitu seperti tentang pendidikan, kesehatan anak sampai cara mengasuh anak. Tapi balik lagi porsinya lebih lanjut pastinya lebih banyak ke saya( istri)..”

Dari kutipan diatas jelas bahwa dibalik peran sang istri sebagai pihak yang dominan, diskusi tetap dilakukan oleh pasangan ini dalam menentukan satu kesepakatan untuk segala sesuatunya, terutama yang menyangkut anak. Adanya kesepakatan seperti itu merupakan salah satu dari banyak kesepakatan yang mereka buat sebelum meutuskan untuk menikah.

Langgengnya pernikahan antara Aceh dengan Jawa ini tidak lain adalah karena adanya rasa toleransi yang cukup dijunjung tinggi dan adanya kesepakatan dan persetujuan dari kedua pihak dalam membuat kesepakatan bersama sebagaimana terdapat dalam kutipan berikut :

Informan III (Suami)

“..sebelum menikah kami memiliki kesepakatan berdua tentang pernikahan ini. Yakni tentang adanya komunikasi, rasa toleransi yang tinggi untuk saling menghormati..”

Kutipan tersebut menunjukkan perbedaan yang ada antar dua budaya (suku) bisa dijembatani dengan kesepakatan bersama yang telah dibuat. Sehingga mereka juga tidak menjadikan status budaya (suku) sang anak kelak menjadi permasalahan yang berarti. Yang tersirat dalam pernyataan berikut :

Informan III (Suami)

“..untuk sekarang sih anak masih ikut saya, karena kita tinggalnya di Jawa jadi simple aja,diambil mudahnya. Jadi untuk kedepannya belum dibicarakan dulu dan dijalani apa adanya..”

Selain itu pasangan ini juga terlihat terbuka dalam mengenalkan dan member pengertian pada anaknya mengenai adanya lebih dari satu budaya (suku) dalam keluarganya.

Informan III (Istri)

“..kita cukup kasih pengertian sih kaya lewat cerita atau dongeng, terus kebiasaan yang kita lakukan kaya lewat bahasa yang kita gunakan, sosialisasi dengan dunia luar juga. Sesederhana itu karena kami yakin pemahaman akan suatu hal akan tumbuh dengan sendirinya dalam proses perkembangan anak itu sendiri..”

Kutipan diatas menunjukkan bahwa dalam membesarkan anak, pasangan suami istri sepakat memberikan pengertian kepada anaknya akan adanya perbedaan budaya(suku) dalam keluarganya, dimana sang ayah yang bersuku Jawa dan ibunya yang bersuku Aceh. Maka dari itu sejak kecil anak sudah dikenalkan dua budaya (suku). Hal ini dapat memperlihatkan adanya porsi yang sama rata bagi pasangan untuk memperkenalkan masing-masing budaya pada anaknya. Jika dalam mendidik anak saja terlihat ada keterbukaan maka kesepakatan dalam memberi kebebasan pada anak untuk memilih dan menentukan jalan hidupnya dalam hal ini budaya (suku) bisa dijadikan pertimbangan untuk pasangan lainnya yang memiliki kasus yang sama,berikut kutipannya :

Informan III (Istri)

“..kasih kebebasan ke anak kita, terus kalau sudah cukup umur yaa kita juga tidak mau orang tua yang terlalu mengekang. Terus kalau untuk memilih seperti budaya(suku), cita-cita dan sebagainya ya kita kasih pengertian saja..”

Informan menjawab pentanyaan yang dilontarkan peneliti sambil mempersilahkan pewawancara untuk menikmati makanan kecil yang sudah disajikan. Kalimat pada kutipan diatas mencerminkan adanya kebersamaan diantara suami istri yang dirasakan dalam hal berkomunikasi. Ketika wawancara berlangsung istri terlihat sedikit pemalu namun tegas

dalam bicara. Begitu pun dengan suami yang mengaku ia merupakan orang yang bebas seperti penuturannya :

Informan III (Suami)

“saya ini orangnya pendiam. Dan sering memberikan kebebasan seperti yang anak-anak inginkan..”

Dari situ memunculkan adanya kesamaan pemikiran anatara suami istri untuk masa depan anak, semakin jelas terlihat kekompakan mereka dalam berumah tangga.

Rumah yang terletak di Jalan Gajah Mada ini terlihat cukup ramai karena keluarga ini tinggal bersama ketiga orang anaknya. Rumahnya terlihat cukup sederhana dengan tipe 36 terlihat begitu rapi dan asri. Hal ini terlihat dengan adanya furniture yang elegan namun sangat terjaga dan adanya berbagai macam tanaman hias di depan rumah. Keluarga ini begitu ramah,hal ini terlihat ketika peneliti berpamitan baik Pak Mudjiono dan Bu Sesa sama-sama bersalaman dan mengantarkan peneliti sampai pagar depan.

Adanya perbedaan diantara keduanya bukan menjadi penghalang untuk dapat mempertahankan pernikahan. Pernikahan beda budaya (suku) dianggap sebagaian orang sebagai pernikahan yang susah, tetapi keluarga ini menganggap pernikahan beda budaya (suku) sebagai pernikahan yang mengajarkan banyak hal baik untuk masing-masing setelah dijalani karena pasangan suami istri ini memiliki kesamaan yaitu sama-sama ingin mengisi satu sama lain, menerima apa adanya apapun kelebihan dan kekurangan pasangannya.

Keluarga ini memiliki tiga orang anak dalam mendidik anak dikenalkan dua budaya (suku), namun dalam memutuskan budaya (suku) yang akan diikuti dan dipilih orang tua memberikan kebebasan bagi anaknya untuk memilih. Dalam kehidupan sehari-hari si anak dalam melakukan sesuatu selalu diberi penjelasan mengenai kebiasaan,tradisi dari masing-masing budaya(suku) kedua orang tuanya.

Komunikasi yang dilakukan oleh keluarga ini berlangsung secara efektif karena suami istri selalu membicarakan terlebih dahulu ketika ingin memutuskan sesuatu meskipun keputusan akhir sang istrilah yang menetapkan. Dimaksudkan disini adalah segala hal selalu dibicarakan agar masing-masing punya kesempatan yang sama untuk menyatakan pendapat, memberi masukan satu sama lain, semua keputusan yang ada dalam keluarga selalu berdasar atas pemikiran kedua belah pihak sehingga meskipun istri yang menentukan keputusan apa yang diambil, peran suami tidak dibiarkan begitu saja.

Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa strategi komunikasi yang digunakan adalah Be Open dan Communicate.

4.2.1.4 Strategi Komunikasi Keluarga IV

Keluarga IV memiliki keadaan ekonomi yang cukup sederhana, dimana sang suami bekerja sebagai anggota TNI berpangkat Sersan. Pasangan suami (Jawa) bernama Supriyono usia 51 tahun dan istri (Kalimantan) bernama Elly usia yang satu tahun lebih muda dari suami

yakni 50 tahun ini dikaruniai dua orang anak. Supriyono dan Elly merupakan pasangan beda budaya (suku) menyatakan bahwa pernikahan mereka merupakan hal terndah dalam hidup mereka. Rumah mereka terlihat rapi, didinding terdapat banyak foto keluarga yang tertata rapi, perabotan rumah tangga yang digunakan serba elektronik.

Di informan sebelumnya pembuat keputusan ada ditangan istri, namun dalam keluarga ini sang suamilah yang menjadi pengendali. Terkadang suami memutuskan sendiri jika melakukan sesuatu,terkadang suami juga meminta masukan dan mendiskusikan dengan istrinya, baru setelah itu sang suami yang ambil keputusan berdasarkan pertimbangan- pertimbangan. Berikut ini penuturannya ;

Informan IV (Suami)

“tentu kita buat kesepakatan bersama, kita bertukar pendapat yaa, kan berasal dari latar belakang budaya (suku) yang beda..”

Ketika wawancara dimulai suara ramai para anak kecil, anak tetangga yang bermain cukup mengganggu. Kutipan diatas menunjukkan bahwa kesepakatan dibuat dalam mereka memutuskan untuk menjalin hubungan yang lebih serius. Keduanya sama-sama membuat kesepakatan pada saat sebelum menikah karena menganggap adanya kesepakatan bersama akan membantu mereka dalam menjalankan pernikahan mereka yang memiliki latar belakang yang beda. Menurut istri kesepakatan dibuat untuk menggabungkan dua hal yang berbeda agar dikedepannya semua dapat diatasi dengan baik dan salah satunya adalah kesepakatan bersama.

Informan IV (Istri)

“…kami merupakan dua perpaduan yang menjadi satu, sebelum menikah kami memiliki banyak kesepakatan karena adanya beda budaya..”

Informan IV (Suami)

“..lama-lama setelah saya terus mengenalkan budaya (suku), saya keras kepala pokoknya ingin serius dengan Elly dan akhirnya tidak apa-apa. Dan Elly pun setuju untuk mengenal keluarga saya..”

Kutipan diatas menunjukkan bahwa keluarga ini menganggap kesepakatan bersama merupakan hal yang penting dan harus diperhatikan dengan baik. Salah satunya adalah untuk mendapatkan restu dari keluarga sehingga dalam pernikahannya yang berlandaskan agama islam yang kuat, mereka sepakat bahwa peran pengambil keputusan dan pengendali dalam keluarga berada ditangan suami karena suami dianggap sebagai imam. Seperti yang dijelaskan berikut ini :

Informan IV (Istri)

“.. dalam islam seorang pemimpin adalah laki-laki yang dimana fungsinya sebagai pengontrol dan pengendali..”

Kutipan diatas memberi penjelasan bahwa sebagai pengendali suami tidak terlalu otoriter dalam keluarga. Karena suami tidak melupakan peran istri dalam memutuskan suatu hal dan pada akhirnya mereka saling member kebebasan satu sama lain untuk saling menyampaikan apa yang ingin diutarakan apalagi bila berhubungna dengan anak. Yang dijelaksn dalam petikan berikut ini :

Informan IV ( Istri)

“..kita saling beri kebebasan untuk beri pendapat, apalagi berhubungan dengan anak. Tahu sendiri persoalan anak cukup rumit jadi kedua orang tua harus berperan, mendukung satu sama lain..”

Adanya kebebasan yang diperlihatkan untuk masing-masing pribadi dalam urusan anak menjadikan keluarga ini memiliki porsi yang sama rata antara satu dengan yang lain dalam member arahan dan pengenalan akan masing-masing budaya (suku). Seperti yang dikatakan berikut ini :

Informan IV (Istri)

“.. kami menginginkan anak bisa mengenal dan memahami budaya (suku) yang dimiliki kedua orang tuanya..”

Dengan melihat kutipan diatas dapat diketahui bahwa suami dan istri sama-sama ingin kelak sang anak bisa mengenal dan memahami budaya (suku) kedua orang tuanya. Dan dari hal tersebut kunci dari pernikahan mereka yang terlihat tanpa hambatan yang berarti adalah sama- sama saling menghargai, dan mengkomunikasikan atau membicarakan segala sesuatunya. Berikut kutipannya :

Informan IV (Suami)

“..inti pokoknya kita harus saling terbuka, saling menghargai satu sama lain. Ketika kita buat kesepakatan harus dibicarakan lebih lanjut..”

Informan IV (Istri) “..hanya satu kata.. Komunikasi..”

Dari kutipan wawancara diatas dapat diketahui bahwa keluarga ini selalu mengutamakan komunikasi dan toleransi antara satu dengan yang

lain, sehingga kekompakan dan keharmonisan dapat mereka jaga dalam keluarga mereka yang dikaruniai 2 orang anak ini. Dan dari situ mereka sepakat dan memberi pengertian ke anak akan perbedaan budaya(suku), mereka menceritakan juga menjelaskan dengan sederhana dan sedikit demi sediki agar sang anak tidak mengalami kebingungan akan hal tersebut. Dengan cara seperti itu, diharapkan sang anak bisa mengerti dan menerima secara bertahap akan adanya multicultural dalam keluarganya. Seperti yang dijelaskan berikut ini:

Informan IV (Suami)

“..dengan cara menceritakan, pokoknya sesederhana mungkin biar dimengerti anak kita, kita ajarkan pelan-pelan, sedikit-sedikit, tidak langsung “brek” gitu. Nanti malah susah dan ribet..”

Hal senada juga dilakukan oleh istrinya pada saat wawancara berlangsung suami terlihat mendengarkan dengan seksama pertanyaan dari pewawancara. Sebelum memutuskan untuk menikah suami istri ini membuat kesepakatan tertentu karena mereka menganggap bahwa segala sesuatunya harus terkonsep dengan jelas agar kesalahpahaman bisa diminimalisasikan. Selain menyerahkan semuanya kepada Tuhan, mereka juga berusaha dengan jalan membuat suatu komitmen bersama bagaimana pernikahan akan dijalankan, bagaimana dengan urusan anak, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Munculnya kesepakatan tentang cara mengenalkan ke anak tentang adanya multikultur dalam keluarganya, bagaimana nantinya mendidik anak untuk mengarahkannya dalam menentukan kehidupan ketika dewasa. Komunikasi yang mereka jalani adalah

komunikasi yang menggunakan sistem terbuka. Mereka menganggap strategi seperti itu sangat baik karena jika semua dibicarakan maka kesalahpahaman bisa dihindari agar konflik-konflik yang harusnya tidak muncul, bisa disingkirkan.

Perbedaan budaya (suku) bukan menjadi masalah dalam keluarga ini dalam menjalankan pernikahan dan mendidik anaknya. Masalah keluarga yang dihadapi dapat diselesaikan secara bersama terutama dalam mendidik anaknya, bagaimana agar tidak terjadi kecemburuan di masing- masing pribadi atau keputusan anak kelak. Masa penjajakan dan toleransi yang begitu besar membuat keluarga ini tetap menjaga keterbukaan pemikran, pandangan dalam keluarganya.

Dalam hal berkomunikasi dengan anak, suami istri ini tidak mendominasi dalam mengenalkan budaya (suku) masing-masing. Anak dibiarkan mengenal budaya (suku) kedua orang tuanya, sehingga anak mengerti kebiasaan-kebiasaan, adat bahkan hal-hal yang dilakukan oleh orang tuanya meskipun pada akhirnya keputusan ada ditangan sang anak.

71 5.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisis data dan pembahasan dari hasil penelitian, maka dapat dikemukakan bahwa terdapat 1 kesamaan dari 4 informan dalam menggunakan strategi komunikasi dalam hubungan suami istri. Strategi keluarga pertama, strategi yang digunakan adalah adanya saling keterbukaan (Be Open) dan

berkomunikasi yang efektif (Communicate). Begitu pula dengan strategi

komunikasi keluarga kedua,ketiga dan keempat.

Strategi komunikasi yang digunakan antara suami istri beda budaya yaitu adanya keterbukaan dan komunikasi yang efektif. Banyak diantara masyarakat

Dokumen terkait