• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Strategi Pembelajaran Afektif

Dari pembahasan yang lalu mengenai strategi pembelajaran, pada dasarnya strategi pembelajaran (mengajar) adalah tindakan nyata dari guru atau merupakan praktek guru melakukan pengajaran melalui cara tertentu yang dinilai lebih efektif dan efisien. Dengan kata lain, strategi mengajar adalah politik atau taktik yang digunakan guru dalam proses pembelajaran di kelas.52

Kata afektif berasal dari bahasa Inggris affective. Wagnalls menyebutkan bahwa affective is pertaining to or exciting affection.53 Kata affective sendiri terbentuk dari kata kerja affect. Affect berarti kasih sayang, kesanyangan, cinta, perasaan, emosi, suasana hati dan tempramen.54 Dalam istilah Psikologi, kata affect

yang berasal dari bahsa Inggris tersebut kemudian di Indonesiakan menjadi afek.55 Kata afek mendapatkan akhiran –if sehingga berubah menjadi afektif. Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan afektif adalah: 1) Berkenaan dengan perasaan, 2) keadaan perasaan yang memengaruhi keadaan penyakit (penyakit jiwa), 3) gaya atau makna yang menunjukan perasaan.56

Berdasarkan pengertian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa afektif itu adalah masalah yang berkenaan adengan emosi (kejiwaan), kerkenaan dengan ini terkait dengan suka, benci, simpati, antipasti, dan lain sebagainya. Dengan demikian afektif adalah sikap batin seseorang.

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 pasal 3 dijelaskan bahwa Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik, agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,

52

Ahmad Sabri, Strategi Belajar Mengajar Micro Teaching, (Jakarta: PT Ciputat Press, 2005), cet. 1, hal. 2.

53

Wagnalls, New College Dictionary, (New York: De Funk Company, 1956), hal. 20.

54

JP. Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 13.

55

Effendi, S. Daftar Istilah Psikologi (Jakarta Pusat: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), hal. 1.

56

Haidar Putra D, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), hal. 41

berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta tanggung jawab.57

Dari rumusan tujuan pendidikan di atas, sarat dengan pembentukan sikap. Dengan demikian, proses pendidikan yang dilakukan tidak hanya berfokus pada memperoleh pengetahuan melainkan juga pembentukan sikap dan nilai.

Hal tersebut juga diperkuat Zakiah Daradjat dalam bukunya Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, aspek yang bersangkut-paut dengan sikap mental, perasaan dan kesadaran. Hasil belajar dalam aspek ini diperoleh memalui proses internalisasi, yaitu pertumbuhan batiniah. Pertumbuhan itu terjadi ketika menyadari suatu nilai, sehingga menuntun segenap pernyataan sikap, tingkah laku dan perbuatan.58

Pendidikan afektif berusaha mengembangkan aspek emosi atau perasaan peserta didik agar menjadi seimbang, stabil dan matang.59 Sikap atau afektif erat hubungannya dengan nilai yang dimiliki seseorang. Oleh karenannya, pendidikan sikap pada dasarnya adalah pendidikan nilai.

Strategi pembelajaran afektif merupakan suatu metode dalam proses pembelajaran yang menekankan pada nilai dan sikap yang diukur, oleh karena itu menyangkut kesadaran seorang yang tumbuh dari dalam.60

Hasil belajar afektif tidak dapat dilihat bahkan diukur seperti halnya dengan bidang kognitif. Guru tidak dapat langsung mengetahui apa yang begejolak dalam hati anak, apa yang dirasakanya atau dipercayainya.61

Ranah Afektif ini oleh Krathwohl dan kawan-kawan di rinci ke dalam lima jenjang yaitu :62

1. Receiving (Penerimaan) adalah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang pada dirinya dalam bentuk

57

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses pendidikan, (Jakarta: Kencana 2008), cet. 5, hal. 273

58

Zakiah Daradjat, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), cet. 4, hal 201

59

Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai – Karakter, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), cet. 1, hal. 69.

60

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana 2007), hal. 272.

61

S Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Bandung: Bina Aksara, 1989), hal. 69. 62

Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo, 2011), cet. 11, hal. 54-56

21

masalah, situasi, gejala dan lain-lain. Receiving juga sering diberi pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek. Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia menerima nilai atau nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau mengidentikkan diri dengan nilai itu. Contoh hasil belajar ini, peserta didik menyadari bahwa disiplin wajib ditegakan, sifat malas dan tidak disiplin harus disingkirkan. 2. Responding (Menanggapi) mengandung arti “adanya partisipasi aktif”.

Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara. Contoh hasil belajar ranah afektif jenjang responding adalah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh atau menggali lebih dalam tentang kedisiplinan.

3. Valuing (Menilai = menanggapi). Menilai atau menghargai artinya memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar, peserta didik di sini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena, yaitu baik buruk. Bila sesuatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan telah mampu untuk mengatakan “itu adalah baik”, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Contoh hasil belajar jenjang Valuing adalah tumbuhnya kemauan yang kuat pada diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

4. Organization (mengatur atau mengorganisasikan) artinya mem-pertemukan perbedaan nilai sehingga terbentuk nilai baru yang lebih universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Contoh hasil belajar afektif jenjang organization adalah peserta didik mendukung penegakkan

disiplin nasional yang telah dicanangkan oleh Presiden Soeharto pada Peringatan Hari Kebangkitan Nasional Tahun 1995.

5. Characterization by a Value or Value Complex (Karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai), yakni keterpaduan semua nilai yang telah dimiliki seseorang, yang memepengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Nilai ini telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Ini adalah merupakan tingkatan afektif tertinggi, karena sikap batin telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki

philosophy of life yang mapan. Contoh hasil belajar afektif pada jenjang ini adalah siswa telah memiliki kebulatan sikap wujud peserta didik menjadikan perintah Allah swt yang tertera dalam al-Qur‟an pada surat al -„Ashr sebagai pegangan hidupnya dalam hal yang menyangkut kedisiplinan, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Setelah proses dari jenjang di atas maka akan mendapati ciri-ciri hasil belajar afektif yang dapat terlihat pada tingkah laku peserta didik seperti, perhatiannya terhadap mata pelajaran tertentu, kedisiplinannya dalam mengikuti pelajaran motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran tertentu, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru dan lain sebagainya.63

Inilah berbagai gambaran tentang kompetensi yang harus dikembangkan melalui proses pembelajaran dalam kelas, yang untuk aspek afektif tersebut tidak cukup hanya dengan proses pembelajaran yang lebih melibatkan mereka dalam pembahasannya, tetapi juga contoh-contoh nyata sehingga mereka dapat memperlihatkan respon yang terukur.64

Tingkah laku afektif adalah tingkah laku yang menyangkut keanekaragaman perasaan, seperti takut, marah, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, dan

63

Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: RajaGrafindo, 2011), cet. 11, hal. 54

64

Dede Rosyada, Paradigma Pendidikan Demokratis, (Jakarta: Kencana, 2004), Cet. 1, hal. 72

23

sebagainya. Tingkah laku seperti ini tidak terlepas dari pengaruh pengalaman belajar. Oleh karenanya, ia juga dapat dianggap sebagai perwujudan perilaku belajar.

Seorang siswa misalnya, dapat dianggap sukses secara afektif dalam belajar agama apabila ia telah menyenangi dan menyadari dengan ikhlas kebenaran ajaran agama yang ia pelajari, lalu menjadikannya sebagai “sistem nilai diri”. Kemudian, pada gilirannya ia menjadikan sistem nilai ini sebagai penuntun hidup, baik dikala suka maupun duka.65

Seperti yang telah di singgung di atas, pembahasan tentang sikap atau afektif erat hubungannya dengan dengan nilai yang dimiliki seseorang. Oleh karenannya, pendidikan sikap atau afektif pada dasarnya adalah pendidikan nilai.

Dokumen terkait