• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING DAN QUANTUM LEARNING

Dalam dokumen pembelajaran inovatif (Halaman 36-48)

Metodologi / Methodology

Saturday, March 10, 2007 11:09:14 Clicks: 1955 Bahan ini cocok untuk Sekolah Menengah Nama & E-mail (Penulis):

JELARWIN DABUTAR butar_lbt@yahoo.co.id

Saya Guru di SMK NEG.1 LAGUBOTI-TOBA SAMOSIR SUMUT Tanggal: 21/2/2007

STRATEGI PEMBELAJARAN QUANTUM TEACHING DAN QUANTUM LEARNING Seperti kita ketahui, di dalam dua tiga dasa warsa terakhir ini perkembangan teknologi itu berjalan dengan amat cepat. Teknologi yang di hari keamarin masih dianggap modern (sunrise teohnology ) bukan tak mungkin hari ini sudah mulai basi (sunset technology).

Teknologi baru terutama multimedia mempunyai peranan semakin penting dalarn pembelajaran. Banyak orang percaya bahwa multimedia akan dapat membawa kita kepada situasi belajar dimana learning with effort akan dapat digantikan dengan learning with fun. Apalagi dalam pembelajaran orang dewasa, learning with effort menjadi hal yang cukup menyulitkan untuk dilaksanakan karena berbagai faktor pembatas, seperti kemauan berusaha, mudah bosan dll. Jadi proses pembelajaran yang menyenangkan, kreatif, tidak membosankan menjadi pilihan para guru/fasilitator. Jika situasi belajar seperti ini tidak tercipta, paling tidak multimedia dapat membuat belajar lebih efektif menurut pendapat beberapa pengajar.

Pada saat ini kita semua memahami bahwa proses belajar dipandang sebagai proses yang aktif dan partisipatif, konstruktif, kumulatif, dan berorientasi pada tujuan

pembelajaran, baik Tujuan Pembelajaran Umum (TPU) maupun Tujuan Pembelajaran Khusus (TPK) untuk mencapai kompetensi tertentu.

SMK yang sudah mapan pada umumnya menggunakan teknologi multimedia di dalam kegiatan pembelajaran di kelas. Pada beberapa tahun lalu yang masih menggunakan Overhead Projector (OHP) dan menggunakan media Overhead Transparancy (OHT), pada saat ini menjadi tidak mode dan mulai ditinggalkan. Beberapa kelebihan

multimedia seperti tidak perlu pencetakan hard copy dan dapat dibuat/diedit pada saat mengajar menjadi hal yang memudahkan guru dalam penyampaian materinya.

Berbagai variasi tampilan/visual bahkan audio mulai dicoba seperti animasi bergerak, potongan video, rekaman audio, paduan warna dll dibuat untuk mendapatkan sarana bantu mengajar yang sebaik-baiknya. Bahkan pada beberapa kesempatan telah diadakan ToT Multimedia dan juga In House Training

Pembelajaran yang Efektif

Sejauh ini multimedia mampu mengubah pembelajaran secara drastis dan

fundamental. Namun pertanyaannya adalah, kapan multimedia efektif digunakan dalam proses pembelajaran peserta diktat ? dan mengapa efektif ?

menyeluruh tentang multimedia. Ketika membahas multimedia, biasanya yang kita maksudkan adalah gabungan alat-alat teknik seperti komputer, memori elektronik,  jaringan informasi, dan alat-alat display yang dapat menyajikan informasi melalui

berbagai format seperti teks, gambar nyata atau grafik dan melalui multi saluran sensorik. Hal ini analog dengan pernikiran jika kita menganggap komputer sebagai mesin tik misalnya. Padahal komputer jelas-jelas merniliki berbagai fungsi dan manfaat yang lebih banyak dibanding mesin tik manual.

Beberapa kesalahan konsep mengenai multimedia dapat diringkas sebagai berikut : 1.Sebagian besar pengguna teknologi multi media masih menganggap multi media hanya sebagai alat penampil suatu materi yang akan disampaikan

2.Multimedia dipandang sebagai wahana yang selalu memberikan dampak positif pada pembelajaran.

3.Karena multimedia memanfaatkan banyak ragam media (audio, visual, animasi gerak, dll) maka serta merta akan menghasilkan proses kognitif yang banyak pula. Dengan bahasa sederhana dikatakan bahwa dengan memberikan banyak hal (teks, gambar, animasi, dll.) maka peserta didik akan mendapatkan lebih banyak.

Kembali pada topik terkemuka, sebelum kita mencari jawaban atas pertanyaan di atas hendaknya kita memaharni level-level pada multimedia. Secara keseluruhan,

multimedia terdiri dari tiga level (Mayer, 2001) yaitu :

1.Level teknis, yaitu multimedia berkaitan dengan alat-alat teknis ; alat-alat ini dapat diartikan sebagai wahana yang meliputi tanda-tanda (signs).

2.Level semiotik, yaitu representasi hasil multimedia seperti teks, gambar, grafik, tabel, dll.

3.Level sensorik, yaitu yang berkaitan dengan saluran sensorik yang berfungsi untuk menerima tanda (signs).

Dengan memanfaatkan ketiga level di atas diharapkan kita dapat mengoptimalkan multimedia dan mendapatkan efektifitas pemanfaatan multimedia pada proses pembelajaran.

Berikut ini dipaparkan hasil-hasil penelitian berkaitan dengan pemanfaatan

multimedia. Pengaruh multimedia dalam pembelajaran menurut YG Harto Pramono antara lain :

a.Multi bentuk representasi b.Animasi

c.Multi saluran sensorik

d.Pembelajaran non-linearitas e.Interaktivitas.

1.Multi Bentuk Representasi

Yang dimaksud dengan multi bentuk representasi adalah perpaduan antara teks, gambar nyata, atau grafik. Berdasarkan hasil penelitian tentang pemanfaatan multi bentuk representasi, informasi/materi pengajaran melalui teks dapat diingat dengan baik jika disertai dengan gambar. Hal ini dijelaskan dengan dual coding theory (Paivio, 1986). Menurut teori ini, sistem kognitif manusia terdiri dua sub sistem : sistem verbal dan sistem gambar (visual). Kata dan kalimat biasanya hanya diproses dalam sistem

verbal (kecuali untuk materi yang bersifat kongkrit), sedangkan gambar diproses melalui sistem gambar maupun sistem verbal. Jadi dengan adanya gambar dalam teks dapat meningkatkan memori oleh karena adanya dual coding dalam memori (bandingkan dengan single coding).

Seseorang yang membaca/memahami teks yang disertai gambar, aktifitas yang dilakukannya yaitu : memilih informasi yang relevan dari teks, membentuk

representasi proporsi berdasarkan teks tersebut, dan kemudian mengorganisasi informasi verbal yang diperoleh ke dalam mental model verbal.

Demikian juga ia memilih informasi yang relevan dari gambar, lalu membentuk image, dan mengorganisasi informasi visual yang dipilih ke dalam mental mode visual. Tahap terakhir adalah menghubungkan 'model' yang dibentuk dari teks dengan model yang dibentuk dari gambar .Model ini kemudian dapat menjelaskan mengapa gambar dalam teks dapat menunjang memori dan pemahaman peserta didik.

Fitur penting lain dalam multimedia adalah animasi. Berbagai fungsi animasi antara lain : untuk mengarahkan perhatian peserta diklat pada aspek penting dari materi yang sedang dipelajari (tetapi awas, animasi dapat juga mengalihkan perhatian peserta dari topik utama), Menurut Schnotz dan Bannert (2003), pemahaman melalui teks dan gambar dapat mendukung pembentukan mental model melalui berbagai route (yang juga ditunjang oleh latar belakang pengetahuan sebelurnnya atau prior knowledge).

Menurut model ini, gambar dapat menggantikan teks dan demikian pula sebaliknya. Model ini dapat juga menjelaskan perbedaan tiap-tiap individu dalam belajar

menggunakan multimedia Beberapa hasil penelitian menunjukkan peserta diklat yang memiliki latar belakang pengetahuan sebelurnnya (prior knowledge) tinggi tidak

memperoleh banyak keuntungan dengan adanya gambar pada teks, sedangkan peserta diklat dengan prior knowledge rendang sangat terbantu dengan adanya gambar pada teks.

Berarti bagi guru/fasilitator cukup jelas kapan menggunakan gambar pada teks dan kapan tidak menggunakannya. Tetapi perlu diingat juga bahwa pada dasarnya gambar sebagai penunjang penjelasan substansi materi yang tertera pada teks, jadi  jangan sekali-sekali porsi gambar melebihi teks yang ada. Juga gambar harus relevan

dan berkaitan dengan narasi pada teks. 2.Animasi

Menurut Reiber (1994) bagian penting lain pada multimedia adalah animasi. Animasi dapat digunakan untuk menarik perhatian peserta diklat jika digunakan secara tepat, tetapi sebaliknya anirnasi juga dapat mengalihkan perhatian dari substansi materi yang disampaikan ke hiasan animatif yang justru tidak penting. Animasi dapat membantu proses pelajaran jika peserta diklat banya akan dapat melakukan proses kognitif jika dibantu dengan animasi, sedangkan tanpa animasi proses kognitif tidak dapat dilakukan. Berdasarkan penelitian, peserta diklat yang memiliki latar belakang pendidikan dan pengetahuan rendah cenderung memerlukan bantuan, salah satunya animasi, untuk menangkap konsep materi yang disampaikan.

3.Multi Saluran Sensorik

Dengan penggunaan multimedia, peserta diklat sangat dimungkinkan mendapatkan berbagai variasi pemaparan materi. Atau sebaliknya guru/fasilitator dapat

menggunakan berbagai saluran sensorik yang tersedia pada media tersebut. Dengan penggunaan multi saluran sensorik, dimungkinkan penggunaan bentuk-bentuk auditif dan visual. Menurut basil penelitian, pemerolehan pengetahuan melalui teks yang menggunakan gambar disertai animasi, basil belajar peserta akan lebih baik jika teks disajikan dalam bentuk auditif dari pada visual.

4.Pembelajaran Non Linear

Pembelajaran non linear dirnaksudkan sebagai proses pembelajaran yang tidak hanya mengandalkan materi-materi dari guru/widyaiswara, tetapi peserta diklat

hendaknya menambah pengetahuan dan ketrampilan dari berbagai somber ekstemal seperti narasumber di lapangan, studi literatur dari beberapa perpustakaan, situs internet, dan sumber-sumber lain yang relevan dan menunjang peningkatan diri. Berdasarkan suatu penelitian dikatakan bahwa tingkat pemahaman dengan sistem pembelajaran non linear merniliki hasil yang lebih baik dibanding peserta diktat mendapatkan pengetahuan dan ketrampilan hanya dari fasilitator. Jadi tugas guru/fasilitator untuk dapat merangsang dan menciptakan suatu kondisi semangat menambah ilmu para peserta diklat dari berbagai sumber lain.

5.Interaktivitas

Interaktivitas disini diterjermahkan sebagai tingkat interaksi dengan media

pembelajaran yang digunakan, yakni multimedia. Karena kelebihan yang dimiliki multimedia, memungkinkan bagi siapapun (guru/fasilitator dan peserta diklat) untuk eksplore dengan memanfaatkan detail-detail di dalam multimedia dalam menunjang kegiatan pembelajaran. Permasalahannya tinggal bagaimana aktivitas behavioristik terhadap multimedia memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak (guru & peserta).

Saya JELARWIN DABUTAR setuju jika bahan yang dikirim dapat dipasang dan digunakan di Homepage Pendidikan Network dan saya menjamin bahwa bahan ini hasil karya saya sendiri dan sah (tidak ada copyright).

PEMBELAJARAN KUANTUM SEBAGAI MODEL PEMBELAJARAN YANG MENYENANGKAN

Oleh: Djoko Saryono

Hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran berbagai bidang studi terbukti selalu kurang memuaskan berbagai pihak (yang berkepentingan –  stakeholder). Hal tersebut

setidak-tidaknya disebabkan oleh tiga hal. Pertama, perkembangan kebutuhan dan aktivitas berbagai  bidang kehidupan selalu meninggalkan proses/hasil kerja lembaga pendidikan atau melaju

lebih dahulu daripada proses pengajaran dan pembelajaran sehingga hasil-hasil pengajaran dan pembelajaran tidak cocok/pas dengan kenyataan kehidupan yang diarungi oleh siswa. Kedua, pandangan-pandangan dan temuan-temuan kajian (yang baru) dari berbagai bidang tentang pembelajaran dan pengajaran membuat paradigma, falsafah, dan metodologi

 pembelajaran yang ada sekarang tidak memadai atau tidak cocok lagi. Ketiga, berbagai  permasalahan dan kenyataan negatif tentang hasil pengajaran dan pembelajaran menuntut

diupayakannya pembaharuan paradigma, falsafah, dan metodologi pengajaran dan

 pembelajaran. Dengan demikian, diharapkan mutu dan hasil pembelajaran dapat makin baik dan meningkat.

Untuk memperbaiki dan meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajaran –  di samping juga menyelaraskan dan menyerasikan proses pembelajaran dengan pandangan-pandangan dan temuan-temuan baru di pelbagai bidang –  falsafah dan metodologi pembelajaran senantiasa dimutakhirkan, diperbaharui, dan dikembangkan oleh berbagai kalangan khususnya kalangan  pendidikan-pengajaran-pembelajaran. Oleh karena itu, falsafah dan metodologi pembelajaran

silih berganti dipertimbangkan, digunakan atau diterapkan dalam proses pembelajaran dan  pengajaran. Lebih-lebih dalam dunia yang lepas kendali atau berlari tunggang-langgang

(runway world –  istilah Anthony Giddens) sekarang, falsafah dan metodologi pembelajaran sangat cepat berubah dan berganti, bahkan bermunculan secara serempak; satu falsafah dan

metodologi pembelajaran dengan cepat dirasakan usang dan ditinggalkan, kemudian diganti (dengan cepat pula) dengan dan dimunculkan satu falsafah dan metodologi pembelajaran yang lain, malahan sering diumumkan atau dipopulerkan secara serentak beberapa falsafah dan metodologi pembelajaran.

Tidak mengherankan, dalam beberapa tahun terakhir ini di Indonesia telah berkelebatan (muncul, populer, surut, tenggelam) berbagai falsafah dan metodologi pembelajaran yang dipandang baru-mutakhir meskipun akar-akar atau sumber-sumber pandangannya sebenarnya sudah ada sebelumnya, malah jauh sebelumnya. Beberapa di antaranya (yang banyak

dibicarakan, didiskusikan, dan dicobakan oleh pelbagai kalangan pembelajaran dan sekolah) dapat dikemukakan di sini, yaitu pembelajaran konstruktivis, pembelajaran kooperatif,

 pembelajaran terpadu, pembelajaran aktif, pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning, CTL), pembelajaran berbasis projek (project based learning), pembelajaran  berbasis masalah (problem based learning), pembelajaran interaksi dinamis, dan

 pembelajaran kuantum (quantum learning).

Dibandingkan dengan falsafah dan metodologi pembelajaran lainnya, falsafah dan

metodologi pembelajaran kuantum yang disebut terakhir tampak relatif lebih populer dan lebih banyak disambut gembira oleh pelbagai kalangan di Indonesia berkat penerbitan  beberapa buku mengenai hal tersebut oleh Penerbit KAIFA Bandung [Quantum Learning,

Quantum Business, dan Quantum Teaching] –  di samping berkat upaya popularisasi yang dilakukan oleh perbagai pihak melalui seminar, pelatihan, dan penerapan tentangnya. Walaupun demikian, masih banyak pihak yang mengenali pembelajaran kuantum secara terbatas –  terutama terbatas pada bangun (konstruks) utamanya. Segi-segi keseja rahan, akar  pandangan, dan keterbatasannya belum banyak dibahas orang. Ini berakibat belum

dikenalinya pembelajaran kuantum secara utuh dan lengkap.

Sejalan dengan itu, tulisan ini mencoba memaparkan ihwal pembelajaran kuantum secara relatih utuh dan lengkap agar kita dapat mengenalinya lebih baik dan mampu

menempatkannya secara proporsional di antara pelbagai falsafah dan metodologi

 pembelajaran lainnya –  yang sekarang juga berkembang dan populer di Indonesia. Secara  berturut-turut, tulisan ini memaparkan (1) latar belakang atau sejarah kemunculan

 pembelajaran kuantum, (2) akar-akar atau dasar-dasar teoretis dan empiris yang membentuk  bangun pembelajaran kuantum, dan (3) pandangan-pandangan pokok yang membentuk

karakteristik pembelajaran kuantum dan (4) kemungkinan penerapan pembelajaran kuantum dalam berbagai bidang terutama bidang pengajaran sekolah. Paparan ini lebih merupakan rekonstruksi pembelajaran kuantum yang didasarkan atas pemahaman dan persepsi penulis sendiri daripada resume atau rangkuman atas pikiran-pikiran pencetusn ya.

LATAR BELAKANG KEMUNCULAN

Tokoh utama di balik pembelajaran kuantum adalah Bobbi DePorter, seorang ibu rumah tangga yang kemudian terjun di bidang bisnis properti dan keuangan, dan setelah semua  bisnisnya bangkrut akhirnya menggeluti bidang pembelajaran. Dialah perintis, pencetus, dan  pengembang utama pembelajaran kuantum. Semenjak tahun 1982 DePorter mematangkan

dan mengembangkan gagasan pembelajaran kuantum di SuperCamp, sebuah lembaga

 pembelajaran yang terletak Kirkwood Meadows, Negara Bagian California, Amerika Serikat. SuperCamp sendiri didirikan atau dilahirkan oleh Learning Forum, sebuah perusahahan yang memusatkan perhatian pada hal-ihwal pembelajaran guna pengembanga potensi diri manusia. Dengan dibantu oleh teman-temannya, terutama Eric Jansen, Greg Simmons, Mike Hernacki, Mark Reardon, dan Sarah Singer-Nourie, DePorter secara terprogram dan terencana

mengujicobakan gagasan-gagasan pembelajaran kuantum kepada para remaja di SuperCamp selama tahun-tahun awal dasawarsa 1980-an. “Metode ini dibangun berdasarkan pengalaman dan penelitian terhadap 25 ribu siswa dan sinergi pendapat ratusan guru di SuperCamp”, jelas DePorter dalam Quantum Teaching (2001: 4). “Di SuperCamp inilah prinsip-prinsip dan metode-metode Quantum Learning menemukan bentuknya”, ungkapnya dalam buku Quantum Learning (1999:3).

Pada tahap awal perkembangannya, pembelajaran kuantum terutama dimaksudkan untuk membantu meningkatkan keberhasilan hidup dan karier para remaja di rumah atau ruang-ruang rumah; tidak dimaksudkan sebagai metode dan strategi pembelajaran untuk mencapai keberhasilan lebih tinggi di sekolah atau ruang-ruang kelas. Lambat laun, orang tua para remaja juga meminta kepada DePorter untuk mengadakan program program pembelajaran kuantum bagi mereka. “Mereka telah melihat hal yang telah dila kukan Quantum Learning  pada anak-anak mereka, dan mereka ingin belajar untuk menerapkan teknik dan prinsip yang

sama dalam hidup dan karier mereka sendiri –  perusahaan komputer, kantor pengacara, dan tentu agen-agen realestat mereka. Demikian lingkaran ini terus bergulir”, papar DePorter dalam Quantum Business (2001:27). Demikianlah, metode pembelajar an kuantum merambah  berbagai tempat dan bidang kegiatan manusia, mulai lingkungan pengasuhan di rumah

(parenting), lingkungan bisnis, lingkungan perusahaan, sampai dengan lingkungan kelas (sekolah). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya pembelajaran kuantum merupakan falsafah dan metodologi pembelajaran yang bersifat umum, tidak secara khusus

diperuntukkan bagi pengajaran di sekolah.

Falsafah dan metodologi pembelajaran kuantum yang telah dikembangkan, dimatangkan, dan diujicobakan tersebut selanjutnya dirumuskan, dikemukakan, dan dituliskan secara utuh dan lengkap dalam buku Quantum Learning: Unleashing The Genius in You. Buku ini

diterbitkan pertama kali pada tahun 1992 oleh Dell Publishing New York. Pada tahun 1999 muncul terjemahannya dalam bahasa Indonesia yang diterbitkan oleh Penerbit KAIFA Bandung dengan judul Quantum Learning: Membiasakan Belajar N yaman dan

Menyenangkan). Buku yang ditulis oleh DePorter bersama Mike Hernacki –  mitra kerja DePorter yang mantan guru dan pengacara –  tersebut memaparkan pandangan-pandangan umum dan prinsip-prinsip dasar yang membentuk bangun pembelajaran kuantum.

Pandangan-pandangan umum dan prinsip-prinsip dasar yang termuat dalam buku Quantum Learning selanjutnya diterapkan, dipraktikkan, dan atau diimplementasikan dalam lingkungan  bisnis dan kelas (sekolah). Penerapan, pemraktikan, dan atau pengimplementasian

 pembelajaran kuantum di lingkungan bisnis termuat dalam buku Quantum Business:

Achieving Success Through Quantum Learning yang terbit pertama kali pada tahun 1997 dan diterbitkan oleh Dell Publishing, New York. Buku yang ditulis oleh DePorter bersama Mike Hernacki ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Bas yrah Nasution dan diterbitkan oleh Penerbit KAIFA Bandung pada tahun 1999 dengan judul Quantum Business: Membiasakan Berbisnis secara Etis dan Sehat.

Sementara itu, penerapan, pemraktikkan, dan pengimplementasian pembelajaran kuantum di lingkungan sekolah (pengajaran) termuat dalam buku Quantum Teaching: Orchestrating Student Success yang terbit pertama kali tahun 1999 dan diterbitkan oleh Penerbit Allyn and Bacon, Boston. Buku yang ditulis oleh DePorter bersama Mark Reardon dan Sarah Singer- Nourie ini sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia oleh Ary Nilandari dan diterbitkan

oleh Penerbit KAIFA Bandung pada tahun 2000 dengan judul Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas.

Dapat dikatakan bahwa ketiga buku tersebut laris (best-seller) di pasar. Lebih-lebih terjemahannya dalam bahasa Indonesia. Terjemahan bahasa Indonesia buku Quantum

Learning dalam tempo tiga tahun sudah cetak ulang tiga belas kali; buku Quantum Business sudah cetak ulang lima kali dalam tempo dua tahun; dan buku Quantum Teaching sudah cetak ulang tiga kali dalam tempo satu tahun. Hal tersebut sekaligus memperlihatkan betapa  populer dan menariknya falsafah dan metodologi pembelajaran kuantum di Indonesia dan  bagi komunitas masyarakat Indonesia. Popularitas dan kemenarikan pembelajaran kuantum

makin tampak kuat-tinggi ketika frekuensi penyelenggaraan seminar-seminar, pelatihan- pelatihan, dan pengujicobaan pembelajaran kuantum di Indonesia makin tinggi.

AKAR-AKAR LANDASAN

Meskipun dinamakan pembelajaran kuantum, falsafah dan metodologi pembelajaran kuantum tidaklah diturunkan atau ditransformasikan secara langsung dari fisika kuantum yang

sekarang sedang berkembang pesat. Tidak pula ditransformasikan dari prinsip-prinsip dan  pandangan-pandangan utama fisika kuantum yang dikemukakan oleh Albert Einstein,

seorang tokoh terdepan fisika kuantum. Jika ditelaah atau dibandingkan secara cermat, istilah kuantum [quantum] yang melekat pada istilah pembelajaran [learning] ternyata tampak

 berbeda dengan konsep kuantum dalam fisika kuantum.

Walaupun demikian, serba sedikit tampak juga kemiripannya. Kemiripannya terutama terlihat dalam konsep kuantum. Dalam fisika kuantum, istilah kuantum memang diberi konsep

 perubahan energi menjadi cahaya selain diyakini adanya ketakteraturan dan indeterminisme alam semesta. Sementara itu, dalam pandangan DePorter, istilah kuantum bermakna

“interaksi-interaksi yang mengubah ener gi menjadi cahaya” dan istilah pembelajaran kuantum bermakna “interaksi-teraksi yang mengubah energi menjadi cahaya karena semua kehidupan adalah energi”.

Di samping itu, dalam pembelajaran kuantum diyakini juga adanya keberagaman dan intedeterminisme. Konsep dan keyakinan ini lebih merupakan analogi rumus Teori Relativitas Einstein, bukan transformasi rumus Teori Relativitas Einstein. Hal ini makin

tampak bila disimak pernyataan DePorter bahwa “Rumus yang terkenal dalam fisika kuantum adalah massa kali kecepatan cahaya kuadrat sama dengan energi. Mungkin Anda sudah

 pernah melihat persamaan ini ditulis sebagai E=mc2.

Tubuh kita secara fisik adalah materi. Sebagai pelajar, tujuan kita adalah meraih sebanyak mungkin cahaya: interaksi, hubungan, inspirasi agar menghasilkan energi cahaya” (1999:16). Jelaslah di sini bahwa prinsip-prinsip pembelajaran kuantum bukan penurunan, adaptasi, modifikasi atau transformasi prinsip-prinsip fisika kuantum, melainkan hanya sebuah analogi  prinsip relativitas Einstein, bahkan analogi term/konsep saja. Jadi, akar landasan

 pembelajaran kuantum bukan fisika kuantum.

Pembelajaran kuantum sesungguhnya merupakan ramuan atau rakitan dari berbagai teori atau  pandangan psikologi kognitif dan pemrograman neurologi/neurolinguistik yang jauh

sebelumnya sudah ada. Di samping itu, ditambah dengan pandangan-pandangan pribadi dan temuan-temuan empiris yang diperoleh DePorter ketika mengembangkan konstruk awal  pembelajaran kuantum. Hal ini diakui sendiri oleh DePorter. Dalam Quantum Learning

(1999:16) dia mengatakan sebagai berikut.

Quantum Learning menggabungkan sugestologi, teknik pemercepartan belajar, dan NLP dengan teori, keyakinan, dan metode kami sendiri. Termasuk di antaranya konsep-konsep

kunci dari berbagai teori dan strategi belajar yang lain, seperti: • Teori otak kanan/kiri (brain hemisphere)

• Teori otak triune (3 in 1)

• Pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik) • Teori kecerdasan ganda

• Pendidikan holistik (menyeluruh) • Belajar berdasarkan pengalaman • Belajar dengan simbol

• Simulasi/permainan

Sementara itu, dalam Quantum Teaching (2000:4) dikatakannya sebagai berikut.

Quantum Teaching adalah badan ilmu pengetahuan dan metodologi yang digunakan dalam rancangan, penyajian, dan fasilitasi SuperCamp. Diciptakan berdasarkan teori-teori pendidikan seperti Accelerated Learning (Lozanov), Multiple Intelegences (Gardner),  Neuro-Linguistic Programming (Grinder dan Bandler), Experiential Learning (Hahn),

Socratic Inquiry, Cooperative Learning (Johnson dan Johnson), dan Element of Effective Instruction (Hunter).

Dua kutipan tersebut dengan gamblang menunjukkan bahwa ada bermacam-macam akar  pandangan dan pikiran yang menjadi landasan pembelajaran kuantum. Pelbagai akar

 pandangan dan pikiran itu diramu, bahkan disatukan dalam sebuah model teoretis yang padu dan utuh hingga tidak tampak lagi asalnya –  pada gilirannya model teoretis tersebut

diujicobakan secara sistemis sampai ditemukan bukti-bukti empirisnya.

Dalam dokumen pembelajaran inovatif (Halaman 36-48)

Dokumen terkait