• Tidak ada hasil yang ditemukan

― Dan Tuhanmu Telah memerintahkan supaya kamu jangan

3. Strategi Pembinaan Akhlak

Strategi secara bahasa berasal dari bahasa Yunani yaitustrategia yang berarti ilmu perang. Dalam kamus besar bahasa Indonesia strategi diartikan sebagai ilmu dan seni menggunakan sumber daya bangsa-bangsauntuk melaksanakan kebijaksanaan tertentu dalam perang dan damai. Sedangkan menurut Syaiful Bahri Djamarah, strategi merupakan sebuah cara atau metode yang secara umum memiliki pengertian garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditentukan.20 JR. David, juga mengartikan bahwa strategi adalah perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.21

Secara sederhana strategi adalah upaya yang terencana untuk mencapai tujuan. Dalam bahasa yang lain penggunaan strategi biasa disamakan dengan siasat atau cara. Maka dapat dipahami bahwa strategi kalau dirincikan dapat diterjemahkan dengan langkah-langkah yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai tujuannya.

Dari penjelasan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa strategi adalah suatu cara yang bersifat umum digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan agar terjadi kesesuaian dengan teknik danoutput yang diinginkan.Strategi juga dapat disimpulkan sebagai suatu rencana tindakan dan rangkaian kegiatan yang termasuk penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber daya untuk mencapai tujuan tertentu.Strategi dapat juga diartikan sebagai siasat melakukan kegiatan-kegiatan tertentu yang mencakup metode dan teknik. Adapun yang dimaksud dengan metode adalah cara itu sendiri. Sedangkan yang dimaksud dengan teknik adalah cara melakukan kegiatan khusus dalam menggunakan suatu metode tertentu.atau dapat diartikan dengan tindakan praktis yang diterjemahkan dari strategi berupa langkah-langkah yang harus dilakukan dalam menacapai tujuan.

Dalam pembinaan akhlak, strategi harus menyentuh kepada aspek-aspek manusia atau unsur-unsur insaniyah yang terdiri dari akal, amarah dan syahwat.

20

Syaiful Bahri Djamarah, Strategi Belajar-Mengajar, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 5.

21

Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Lencana Prenada Media, 2006), h. 124.

Sebagai yang dikemukakan oleh Ibnu Al-Jauzi bahwa di dalam diri manusia mempunyai tiga unsur penting;1) unsur akal (juz’ ‘aqli), 2)unsur amarah (juz

ghadhabi),3) unsur hawa bafsu (juz’ syahwani).22

Sedangkan menurut Imam Al-Ghazali, struktur kerohanian manusia menjadi empat unsur, yaitu nafs, qalb, ruh dan akal.23nafs menurut Imam Al-Ghazali mempunyai dua arti, pertama adalah kekuatan hawa marah dan syahwat

yang dimiliki oleh manusia.Dan pengertian inilah menurut mayoritas ulama’

tasawuf. Mereka berkata sebagaimana hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Ibn Abbas yang artinya―Musuhmu yang paling membahayakan adalah nafsumu

yang terletakdiantara dua lambungmu‖.24

Apabila nafs menenggelamkan diri dalam kejahatan, mengikutinafsu amarah, syahwat dan godaan syetan, maka dinamakan nafs al-ammarah.Bahkan dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengatakan ―jadikanlahsebuah kekalahan dalam jiwamu (nafs).Maksudnya adalah himbauan agarmemposisikan jiwa pada poros

bawah, sehingga jiwa (nafs) tidak merajalelamenerjang syari’at.

Sedangkan nafs dalam pengertian yang kedua adalah merupakanhakikat, diri, dan dzat manusia karena mempunyai sifat yang latif, rabbani,dan rohani. Nafs dalam pengertian yang pertama di atas merupakanbentuknya yang tidak kembali pada Allah swt dan jauh dari Allah swt,sedang dalam pengertian yang kedua adalah merupakan nafs al-muthmainnahyang diridloi oleh Allah swt.25

Qalb (hati), Imam Al-Ghazali membagi menjadi duabagian.Pengertian bagian pertama adalah berupa fisik, maksudnya adalahjantung yang merupakan segumpal daging yang terletak pada dada sebelahkiri. Sedangkan pengertian bagian kedua adalah hati dalam pengertianmetafisik yang merupakan karunia Tuhan yang halus (latifah) bersifatruhaniah, menjadi sasaran perintah, hukuman dan tuntutan Tuhan.Pengertian inilah yang menjadi hakikat manusia dan yang berhubungandengan ilmumukasyafah.26

22

Abdurrahman Ibnu Al-Jauzi, Terapi Spiritual, Terj. A. Khosla Asy’ari Khatib, (Jakarta: Zaman, 2010), h. 14.

23

Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, (Bairut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiah,2002), juz III, h. 45.

24

ibid,h. 4.

25

Al-Ghazali, Ihya’ Ulum al-Din, juz III, h 5.

26

Selanjutnya tentang al-ruh, jenis ini juga mempunyai banyak arti.Jika dalam bahasa Arab, ruh diartikan sebagai nyawa dan jiwa. Begitu jugadalam bahasa Indonesia ruh dipahami sebagai lawan dari kata jasmani, yaituruhani. Namun jika dikaitkan kembali dalam bahasa Arab, ruh dapat berartisemua makhluk yang tidak berjasad, seperti jin, malaikat, dan setan.

Sebagaimana mendefinisikan kata al-qalb dengan pengertianmetafisik, Imam Al-Ghazali juga memaknai ruh sebagai sesuatu yang indah,bersifat ketuhanan yang mengalahkan akal dan pemahaman dalammenentukan hakikat kebenaran.27Sehingga dengan adanya ruh ini menjadifaktor penting dalam mendukung aktifitas manusia, sebab tanpa adanya ruh,manusia tidak akan dapat berpikir dan merasa.

Istilah keempat adalah al-aql (akal).Pada umumnyaakal diartikan sebagai pusat segala kecakapan yang dimiliki manusia,karena akal dapat menjadi tolak ukur kecakapan manusia. Ada pula yangmengartikan akal dengan otak.Imam Al-Ghazali juga membagi pengertianakal menjadi dua bagian.Pertama akal merupakan pengetahuan mengenaihakikat segala sesuatu, dalam hal ini akal diibaratkan sebagai sifat ilmuyang terletak dalam hati. Adapun pengertian yang kedua adalah akal rohaniyang memperoleh ilmu pengetahuan itu sendiri (al-mudrik li al-ulum) yangtak lain adalah jiwa (al-qalb) yang bersifat halus dan menjadi esensimanusia.28

Dapat disimpulkan bahwa unsur-unsur insaniyah yang menjadi objek pembinaan akhlak merupakan prosesmenghilangkan atau membersihkan sifat-sifat tercela yang ada pada diri danmenanamkan atau mengisi jiwa dengan sifat-sifat terpuji sehinggamemunculkan tingkah laku yang sesuai dengan sifat-sifat Tuhan.

Menurut Imam Al-Ghazali, strategi pembinaan akhlak dapat dilaksanakan dengan jalan tazkiyah al-nafs, mujahadah dan riyadlah.29Tazkiyah al-nafs memiliki arti penyucian diri atau jiwa. Secara bahasa, tazkiyah al-nafs berasal dari dua kata yakni tazkiyah dan nafs. Tazkiyah berasal dari kata

27

Ibid.

28

Al-Ghazali,Isi Pokok Ajaran Al-qur’an., h. 5.

29

tazkiyah yang maknanya sama dengan tathir yang berasal dari kata thahhara-yuthahhiru-tathir[ah] yang berarti pembersihan, penyucian atau pemurnian.30

Tazkijah al-nafs bisa dicapai melalui berbagai ibadah dan amal perbuatan tertentu, apabila dilaksanakan secara sempurna dan memadai, seperti shalat, infaq, puasa, haji, dzikir, fikir, tilawah al-Qur’an, renungan, muhasabah dan dzikrul-maut. Pada saat itulah terealisir dalam hati sejumlah makna dan dampak bagi seluruh anggota badan seperti lisan, mata, telinga dan Iainnya. Hasil yang paling

nyata ialah adab dan mu’amalah yang baik kepada Allah dan manusia. Kepada

Allah berupa pelaksanaan hak-haknyatermasuk di dalamnya adalah jihad di jalan-Nya. Sedangkan kepada manusia, sesuai dengan ajaran, tuntutan maqam dan taklif Ilahi.

Dampak lain yang dapat dirasakan adalah terealisirnya tauhid ikhlas, sabar, syukur, harap, santun, jujur kepada Allah dan cinta kepada-Nya, di dalam hati. Dan terhindar dari hal-hal yang bertentangan dengan semua hal tersebut seperti riya’, ‘ujub, ghurur marah karena nafsu atau karena syetan. Dengan demikian jiwa menjadi tersucikan lalu hasil-hasilnya nampak pada terkendalikannya anggota badan sesuai dengan perintah Allah dalam berhubungan dengan keluarga, tetangga, masyarakat dan manusia.

Selanjutnya strategi pembinaan akhlak menurut al-ghazaliadalah Mujâhadah dan Riyâdhah.Istilahmujâhadah dan riyâdhah dikenal sebagai strategi dalam melahirkan akhlak yang baik. Mujâhadah menurut bahasa artinya bersungguh-sungguh agar sampai kepada tujuan.Secara lebih luas, mujâhadah adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu (keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi suci bersih bagaikan kaca yang segera dapat menangkap apa saja yang bersifat suci, sehingga ia berhak memperoleh pelbagai pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya.31

Dengan demikian, mujâhadah merupakan tindakan perlawanan terhadap nafsu, sebagaimana usaha memerangi semua sifat dan perilaku buruk yang

30

Atabik Ali & Ahmad Zuhdi Mudlor, Kamus Kontemporer Al-Asri, (Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1996), h. 496

31

ditimbulkan oleh nafsu amarahnya, yang lazimdisebut mujâhadah al-nafs.32Berkaitan dengan ini, Allah SWT. Berfirman:

  

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”

(QS. Al-Ankabut, 29: 69).

Indikator dari keberhasilan mujâhadah adalah munculnya kebiasaan dari seseorang untuk menghiasi dirinya dengan dzikrullah sebagai cara untuk membersihkan hatinya dan sebagai upaya untuk mencapai musyahadah (merasakan adanya kehadiran Allah).33

Adapun riyâdhah artinya ―latihan‖. Maksudnya adalah latihan rohaniah

untuk menyucikan jiwa dengan memerangi keinginan-keinginan jasad (badan). Proses yang dilakukan adalah dengan jalan melakukan pembersihan atau pengosongan jiwa dari segala sesuatu selain Allah, kemudian menghiasi jiwanya dengan zikir, ibadah, beramal saleh dan berakhlak mulia. Pekerjaan yang termasuk kedalam amalan riyâdhah adalah mengurangi makan, mengurangi tidur untuk salat malam, menghindari ucapan yang tidak berguna, dan berkhalwat yaitu menjauhi pergaulan dengan orang banyak diisi dengan ibadah, agar bisa terhindar dari perbuatan dosa.34

Tujuan riyâdhah adalah untuk mengontrol diri, baik jiwanya maupun badannya, agar roh tetap suci.35Oleh karena itu, riyâdhah haruslah dilakukan secara sungguh-sungguh dan penuh dengan kerelaan.Riyâdhah yang dilakukan dengan kesungguhan dapat menjaga seseorang dari berbuat kesalahan, baik terhadap manusia ataupun makhluk lainnya, terutama terhadap Allah Swt. Bagi seorang sufi riyâdhah merupakan sarana untuk mengantarkan dirinya lebih lanjut pada tingkat kesempurnaan, yaitu mencapai hakekat.36

32

Achmad Suyuti, Percik-Percik Kesufian,(Jakarta: Pustaka Amani, 2006), h. 125.

33

Labib MZ, Memahami Ajaran Tasawuf, (Surabaya: Bintang Usaha Jaya, 2001), h. 39.

34

Achmad Suyuti, op.cit., h.125-126.

35

Asmaran, Pengantar Studi Tasawuf, (Jakarta: Raja Grafndo, 1994), h. 17.

36

S. Al Aziz dan Moh. Saifulloh. Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, (Surabaya: Terbit Terang, 1998), h. 104.

Mujâhadah dan riyâdhah yang dilakukan akan mendatangkan cahaya di dalam kalbu seseorang. Dengan kesungguhan ber-mujâhadah dan ber-riyâdhah, Allah akan menumbuhkan rasa manisnya amal ibadah di hati, sehingga ia semakin tekun beribadah. Iabenar-benar akan merasakan nikmatnya shalat, puasa, zikir, dan ketaatan lainnya. Dan akhirnya Allah akan menumbuhkan dalam dirinya sifat-sifat terpuji, seperti ikhlas, tuma’ninah, sabar, jujur, istiqamah dan selalu gemar beribadah. Bagi seseorang yang sudah bersungguh-sungguh melakukan mujâhadah dalam ibadahnya, biasanya akan menerima nur dari Allah yang datang ke hatinya, sehingga hati itu mengalami keadaan (hâl) yang bermacam-macam. Ada yang merasakan keresahan dan ketakutan yang sangat kepada Allah, atau rasa cinta yang besar kepada Allah, atau munculnya rasa kasih sayang kepada semua makhluk Allah, atau menimbulkan gairah menegakkan agama Allah, dan bahkan ada yang mendapatkan kasyf (tersingkapnya rahasia batin) atau musyâhadah.

Sebagaimana menurut al-Ghazali di atas, tazkiyah al-nafs, mujâhadah dan riyâdhahadalah strategi dalam melahirkan akhlak yang mulia juga merupakan latihan rohaniah dalam rangka menyucikan jiwa, agar hati diliputi nur Ilahiah, tersingkapnya rahasia batin (mukâsyafah), merasakan nikmat dan lezatnya beribadah.

Dalam buku Berbisnis Dengan Allah, al-Ghazali mengemukakan, sesungguhnya tujuan mujahadah dan riyadlah dengan melakukan amal shalih adalah untuk menyempurnakan dan mensucikan jiwa serta untuk mendidik akhlak. Jiwa dan tubuh bersifat saling mempengaruhi, apabila jiwa sempurna dan suci maka perbuatan tubuh akan baik, begitu juga apabila tubuh baik maka jiwa akan baik.37Jadi, strategi untuk menyucikan jiwa adalah dengan membiasakan diri untuk melakukan perbuatan yang dilakukan oleh jiwa yang suci dan sempurna. Apabila hal tersebut dilakukan dengan terus-menerus, maka jiwa akan terbiasa dan selalu terdorong untuk melakukan perbuatan yang baik dan sempurna dan akan menjadi perangai dan akhlak baginya.

37

Imam Al-Ghazali, Berbisnis Dengan Allah, Terj. Ahmad Farnk, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2002), h. 93.

Setiap orang dalam hidupnya bercita-cita memperolehkebahagiaan.Salah satu dari kebahagiaan adalah orang yang menyucikandirinya, yaitu suci dari sifat dan perangai buruk, suci lahir dan bathin.Sebaliknya, jiwa yang kotor dan perangai yang tercela membawakesengsaraan di dunia dan di akhirat.Dengan melaksanakan strategi pembinaan akhlak ini diharapkan segala kebahagiaan dapat diraih baik kebahagiaan dunia maupun kebahagiaan akhirat.

4. Alat yang Efektif dalam Pembinaan Akhlak

Menurut Al-Ghazali, Ibnu Sina, dan Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa akhlak adalah hasil usaha (Muktasabah). Pada kenyataan di lapangan, usaha-usaha pembinaan akhlak melalui berbagai macam cara terus dikembangkan. Ini menunjukkan bahwa akhlak memang perlu dibina dan pembinaan ini membawa hasil berupa terbentuknya pribadi-pribadi Muslim yang berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hormat kepada ibu-bapak, sayang kepada sesama makhluk Tuhan.38

Di kalangan ahli tasawuf dikenal sistem pembinaan mental, dengan istilah takhalli, tahalli, dan tajalli.Takhalli adalah mengosongkan atau membersihkan jiwa dari sifat-sifat tercela, karena sifat itulah yang dapat mengotori jiwa manusia.Tahalli adalah mengisi jiwa dengan sifat-sifat yang terpuji (mahmudah).39Jadi, dalam rangka pembinaan mental atau terapi kesehatan, penyucian jiwa hingga dapat berada dekat dengan Tuhan, maka pertama kali yang dilakukan adalah pembersihan jiwa dari sifat-sifat tercela, kemudian jiwa yang bersih diisi dengan sifat-sifat terpuji, hingga akhirnya sampailah pada tingkat yang berikutnya yang disebut dengan tajalli, yaitu tersingkapnya tabir sehingga diperoleh pancaran Nur Ilaahi.40

Dalam pendidikan Islam banyak metode yang diterapkan dan digunakan dalam pembinaan akhlak.Menurut Abdurrahman An-nahlawy alat yang efektif

38

Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2003)h. 156-157

39

M. Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta:Amzah, 2007), h. 38

40

untuk pembinaan akhlak diantaranya yaitu keteladanan, pembiasaan, nasihat dan mendidik melalui kedisiplinan.

a. Keteladanan

Pada dasarnya, kebutuhan manusia akan figur teladan bersumber dari kecenderungan meniru yang sudah menjadi karakter manusia. Peniruan bersumber dari kondisi mental seseorang yang senantiasa merasa bahwa dirinya berada dalam perasaan yang sama dengan kelompok lain (empati) sehingga dalam peniruan ini, anak-anak cenderung meniru orang dewasa, kaum lemah cenderung meniru kaum kuat, serta bawahan cenderung meniru atasannya.41

Pendidikan dengan keteladanan berarti pendidikan dengan memberikan contoh, baik berupa tingkah laku, sifat, cara berfikir, dan sebagainya. Mayoritas ahli pendidikan berpendapat bahwa pendidikan dengan keteladanan merupakan metode yang paling berhasil.Hal ini disebabkan karena pada umumnya dalam belajar lebih mudah menangkap yang konkrit dibandingkan yang abstrak.42

Abdullah Ulwan mengatakan bahwa pendidik akan merasa lebih mudah mengkomunikasikan pesannya secara lisan. Akan tetapi anak didik akan merasa kesulitan dalam memahami pesan itu jika melihat pendidiknya tidak memberi contoh tentang pesan yang disampaikannya.43

Untuk itu Allah mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai hamba dan Rasul-Nya menjadi teladan bagi manusia dalam mewujudkan tujuan pendidikan Islam44, melalui firman-Nya ini:

41

Abdurrahman An-Nahlawi, Pendidikan Islam di Sekolah, Rumah dan Masyarakat, (Jakarta: Gema Insani, 1995)h. 263

42

Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), h. 178

43

Abdullah Alwan, Tarbiyah al-Aulad fi al-Islam, (Beirut: Dar-al-Salam, 1978), h. 633

44

      



“Sesungguhnya Telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik……”. (Q.S. Al-Ahzab: 21)

b. Pembiasaan

Pembiasaan merupakan proses penanaman kebiasaan.Yang dimaksud dengan kebiasaan adalah cara-cara bertindak dan hampir-hampir otomatis (hampir-hampir-hampir-hampir tidak disadari oleh pelakunya). Pembiasaan merupakan salah satu metode pendidikan yang sangat penting, terutama bagi anak-anak, karena belum mengenal mana yang baik dan buruk. Seseorang yang telah mempunyai kebiasaan tertentu akan dapat melaksanakannya dengan mudah dan senang hati. Bahkan segala sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dalam usia muda sulit untuk diubah dan tetap berlangsung sampai hari tua.Untuk mengubahnya sering kali diperlukan terapi dan pengendalian diri yang serius.45

Metode ini biasanya diterapkan pada ibadah-ibadah amaliah, seperti jamaah shalat, kesopanan terhadap guru, pergaulan terhadap sesama siswa, sehingga tidak asing dijumpai disekolah, sebagaimana seorang siswa begitu hormat pada guru dan kakak seniornya, maka siswa dilatih dan dibiasakan untuk bertindak demikian.

Metode ini perlu diterapkan oleh guru dalam proses pembentukan kepribadian, jika seorang anak telah terbiasa dengan sifat-sifat terpuji, lalu tersimpan dalam sistem otak sehingga aktifitas yang dilakukan oleh siswa tercover secara positif.

c. Memberi Nasihat

Secara etimologi, kata nasihat berasal dari bahasa arab yaitu nashaha yang artinya bersih dari noda dan tipuan. Sedangkan yang dimaksud dengan nasihat adalah penjelasan tentang kebenaran dan kemaslahatan dengan tujuan menghindarkan seseorang yang dinasihati dari bahaya

45

serta menunjukkannya kejalan yang mendatangkan kebahagiaan dan manfaat.46

Memberi nasihat merupakan salah satu metode penting dalam pendidikan Islam.Dengan metode ini pendidik dapat menanamkan pengaruh yang baik kedalam jiwa.Dengan metode ini pula, pendidik mempunyai kesempatan yang luas untuk mengarahkan peserta didik kepada berbagai kebaikan dan kemaslahatan.Cara yang dilakukan hendaknya nasihat lahir dari hati yang tulus.47Menurut Abdurrahman An-Nahlawi nasihat yang tulus ialah orang yang memberi nasihat tidak berorientasi kepada kepentingan material pribadi.Dan pendidik yang memberi nasihat yang tulus hendaknya menghindarkan diri dari segala bentuk sifat riya dan pamrih agar tidak menodai keikhlasannya sehingga kewibawaannya dan pengaruhnya terhadap jiwa peserta didik tidak menjadi hilang.48

d. Mendidik kedisiplinan

Disiplin adalah adanya kesediaan untuk mematuhi ketentuan/ peraturan-peraturan yang berlaku. Kepatuhan yang dimaksud adalah bukanlah karena paksaan tetapi kepatuhan akan dasar kesadaran tentang nilai dan pentingnya mematuhi peraturan-peraturan itu.49Metode ini identik dengan pemberian hukuman atau sanksi.Tujuannya adalah untuk menumbuhkan kesadaran siswa tentang sesuatu yang dilakukan tersebut tidak benar, sehingga siswa tidak mengulanginya lagi.

Hukuman merupakan metode terburuk, tetapi dalam kondisi tertentu harus dugunakan. Oleh sebab itu, ada beberapa hal yang hendak diperhatikan pendidik dalam menggunakan hukuman:

1) Hukuman adalah metode kuratif, yaitu tujuan hukuman ialah memperbaiki peserta didik yang melakukan kesalahan dan

46

Abdurrahman An-Nahlawi, op.cit., h. 253

47

Hery Noer Aly, op.cit., h. 191

48

Abdurrahman An-Nahlawi, op.cit., h. 253

49

M. Alisuf Sabri, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: CV. Pedoman Ilmu Jaya, 1999), Cet. 1, h. 40

memelihara peserta didik lainnya, bukan untuk balas dendam. Oleh sebab itu, pendidik hendaknya tidak menjatuhkan hukuman dalam keadaan marah.

2) Hukuman dapat digunakan apabila metode lain, seperti nasihat dan peringatan tidak berhasil guna dalam memperbaiki peserta didik. Abdullah Ulwan mengemukakan langkah-langkah yang hendak diperhatikan dalam memperbaiki peserta didik. Langkah-langkah yang dimaksud adalah mengingatkannya akan kesalahan dengan memberi pengarahan, membujuk, memberi isyarat, mencela, mengucilkan, hukuman yang mengandung pendidikan bagi orang lain.

3) Sebelum dijatuhi hukuman, peserta didik hendaknya lebih dahulu diberi kesempatan untuk bertaubat dan memperbaiki diri.

4) Hukuman yang dijatuhkan kepada peserta didik hendaknya dapat dimengerti olehnya, sehingga peserta didik sadar akan kesalahannya dan tidak mengulanginya lagi.

5) Hukuman psikis lebih baik dibandingkan hukuman fisik.

6) Dalam menjatuhkan hukuman, hendaknya di perhatikan prinsip logis, yaitu hukuman yang sesuai dengan jenis kesalahan.50

7) Hukuman hendaknya disesuaikan dengan perbedaan latar belakang kondisi peserta didik. Abdullah Ulwan mengemukakan bahwa peserta didik mempunyai kesiapan yang berbeda-beda dalam hal kecerdasan ataupun respon yang dilahirkan.Demikian pula dalam hal tempramen.Ada peserta didik yang temperamennya tenang, ada yang

temperamennya sedang, dan ada pula yang mudah

bergejolak.Semuanya disebabkan oleh faktor lingkungan, kematangan, dan pendidikan. Atas dasar itu, ada anak yang dapat diperbaiki dengan dipandang dengan muka masam, ada yang perlu dicela, dan ada pula yang perlu dipukul.51

50

Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam.., h. 200-202.

51

Sebagain besar lembaga pendidikan masih menggunakan metode hukuman punishman untuk membentuk kepribadian siswa agar bersikap sesuai dengan lingkungannya.Namun metode ini bukanlah satu-satunya yang dilakukan untuk membina akhlak siswa, biasanya hanya dijadikan apabila siswa sudah berkelakuan di luar batas kewajaran.

B.Boarding School

1. Pengertian Boarding School

Boarding school diartikan sebagai sekolah berasrama. Dalam kamus besar bahasa Indonesia asrama adalah bangunan tempat tinggal bagi kelompok orang untuk sementara waktu, terdiri atas sejumlah kamar, dan dipimpin oleh seorang kepala asrama.52

Menurut Dr. Nurhayati Djamas, Boarding School adalah lembaga pendidikan yang menerapkan pola pendidikan yang siswanya tinggalbersama di asrama yang dibina langsung oleh pengasuh lembaga pendidikan tersebut dengan model terpadu antara pendidikan agama yang dikombinasi dengan kurikulum pengetahuan umum.53

Dari beberapa definisi di atas dapat di fahami bahwa Boarding School adalah sebutan bagi sebuah Lembaga yang didalamnya terjadi kegiatan pendidikan yang melibatkan peserta didik dan para pendidiknya berinteraksi dalam waktu 24 jam setiap harinya dengan mengkombinasikan antara pendidikan agama dan pendidikan umum.

Istilah Boarding School sendiri bukanlah sebuah lembaga pendidikan yang baru di Indonesia, karena pendidikan model asrama tersebut telah lama dilaksanakan di Negara ini yaitu pendidikan pesantren.Menurut Zamakhsyari Dofir pesantren menurut sistem yang dianut terbagi menjadi 2 yakni pesantren salafi yaitu pesantren yang masih menggunakan sistem pendidikan tradisional dan

52

Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2005), edisi ke-3, h. 72

53

Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pascakemerdekaan,

Dokumen terkait