• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian III strategi pengelolaan migas hasil EOR

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.2. Hasil dan Pembahasan Rancangan Proses Penyimpanan CO2 1. Hasil Identifikasi Lapangan Minyak Bumi dan Gas Alam

5.3.9. Strategi Pengelolaan Migas Hasil EOR

Strategi pengelolaan migas hasil EOR yang dapat ditempuh oleh pemerintah daerah penghasil migas, adalah sebagai berikut:

1. Melakukan pemetaan sumur-sumur EOR berdasarkan potensi migas yang paling potensial, yang memungkinkan dalam pengelolaan lebih lanjut.

2. Pemilihan kandidat lapangan EOR potensial dapat dilakukan berdasarkan karakteristik cadangan, potensi produksi, jaringan pemasaran dan analisis kelayakan ekonomi dari lapangan tersebut.

3. Pengelolaan sumur-sumur EOR harus dilakukan per lapangan. Hal ini disebabkan pengelolaan per sumur sangat tidak ekonomis, karena memerlukan modal awal, biaya operasional, kemampuan pemeliharaan dan teknis operasional yang tinggi.

4. Pemerintah daerah dapat berkerja sama dengan PT. Pertamina dalam mengoperasikan sumur-sumur EOR potensial. PT. Pertamina merupakan pemegang kuasa wilayah pertambangan, sedangkan pemerintah daerah lewat badan usaha milik daerah (BUMD) atau koperasi unit desa (KUD) sebagai pihak operasional dalam memperoleh migas hasil EOR.

5. Dalam kontrak kerjasama, BUMD atau KUD berhak memperoleh bantuan operasional peralatan produksi dan pemasukan dari hasil kerja, namun semua modal awal investasi harus ditanggung oleh BUMD atau KUD. Kontrak kerjasama mengharuskan semua biaya operasional dapat dikembalikan PT. Pertamina. PT. Pertamina dapat berperan sebagai pengawas, memberi bimbingan teknis operasional dan cara pengelolaan migas hasil EOR.

Strategi tersebut di atas berdasarkan hasil identifikasi terhadap potensi pemanfaatan dan pengolahan migas hasil EOR pada lapangan dan sumur EOR potensial. Kab. Indramayu dan Majalengka memiliki beberapa lapangan dan sumur migas tidak produktif yang berpotensi sebagai lapangan dan sumur EOR, dan dapat dikelola oleh pemerintah daerah melalui BUMD maupun KUD.

Hal ini sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, dan UU No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, yang menjelaskan bahwa pemerintah daerah penghasil

migas dapat ikut serta berperan dalam mengelola sumur-sumur migas tidak produktif atau lapangan migas melalui BUMD atau KUD.

Hal ini diperjelas dengan hasil analisis Eniet al.(2009), yang menyatakan bahwa meningkatnya kebutuhan terhadap energi, melambungnya harga minyak mentah yang mencapai US$100 perbarrel, dan banyaknya lapangan minyak tua di Indonesia, menjadi alasan utama mengapa peningkatan pengurasan minyak tahap lanjut (EOR) sangat perlu untuk dilakukan. Berdasarkan peraturan dari pemerintah melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) No. 1 tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua, dan kebijakan pemerintah dalam Pedoman dan Pola Tetap Pengembangan Industri Minyak dan Gas Bumi Nasional 2005 - 2020 tentang paket insentif untuk pengembangan lapangan marjinal dan lapangan minyak tua (brownfield), maka dapat menjadi pendorong aplikasi EOR di Indonesia.

Hal tersebut di atas diperkuat oleh hasil identifikasi terhadap strategi pemerintah dalam pengembangan industri migas nasional bagian hulu, seperti yang tercantum dalam kebijakan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, tentang Pedoman dan Pola tetap Pengembangan Industri Minyak dan Gas Bumi Nasional 2005 - 2020. Salah satu strategi adalah memberikan insentif bagi pengembangan lapangan marjinal, yaitu lapangan yang tidak atau kurang ekonomis, dan lapanganbrownfield, dengan instrumen kebijakan pemberian paket insentif tahun 1988, 1989, 1992 dan 1994. Hal ini bertujuan untuk mendorong pengembangan lapangan kurang ekonomis atau marjinal, kegiatan eksplorasi di daerah frontier dan laut dalam serta pengembangan kawasan timur Indonesia. Khusus untuk strategi pengembangan industri migas nasional bagian hilir, salah satunya adalah mendorong peran swasta dalam kegiatan usaha hilir migas yang mengikut sertakan peran koperasi dan UKM, dengan instrumen kebijakan pemberian regulasi penetapan bagi hasil dari migas dalam rangka perimbangan keuangan antara pusat dan daerah.

Hal ini lebih diperkuat oleh hasil identifikasi terhadap strategi pemerintah dalam pengelolaan sumur tua, yang tercantum dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 01 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan

Pertambangan Minyak Bumi pada Sumur Tua. Salah satu bagian menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan sumur tua adalah sumur-sumur minyak bumi yang dibor sebelum tahun 1970, dan pernah diproduksikan serta terletak pada lapangan yang tidak diusahakan pada suatu wilayah kerja, yang terikat kontrak kerja sama dan tidak diusahakan lagi oleh kontraktor. Pengertian dari KUD, adalah koperasi tingkat kecamatan yang wilayah usahanya mencakup lokasi sumur tua. Pengertian dari BUMD adalah badan usaha tingkat propinsi atau kabupaten atau kota, yang didirikan dan seluruh sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan/atau kota serta wilayah usahanya atau administratifnya mencakup lokasi sumur tua.

Berdasarkan strategi pengelolaan terhadap sumur tua tersebut di atas, maka kontraktor mempunyai kewajiban untuk mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua, yang masih memiliki kandungan minyak bumi berdasarkan pertimbangan teknis dan ekonomis. Dalam hal kontraktor tidak mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi dari sumur tua, maka KUD atau BUMD dapat mengusahakan dan memproduksikan minyak bumi setelah mendapat persetujuan menteri, dan pengusahaan dan pemroduksian minyak bumi dapat dilaksanakan KUD atau BUMD, berdasarkan perjanjian memproduksi minyak bumi dengan kontraktor. KUD dan BUMD dapat bekerja sama memproduksi minyak bumi, dengan mengajukan permohonan kepada kontraktor dengan tembusan kepada menteri, setelah disetujui oleh direktur jenderal dan badan pelaksana migas dengan melampirkan dokumen administratif dan teknis. Pengajuan permohonan didasarkan atas hasil rekomendasi dari pemerintah kabupaten atau kota dan telah disetujui oleh pemerintah propinsi. Khusus yang dimaksud dengan PT. Pertamina (Persero) adalah perusahaan perseroan (Persero) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2003, tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (PERTAMINA) menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

Hal ini lebih diperjelas lagi dalam UU migas No. 22 Tahun 2001, bahwa Pertamina tetap melaksanakan tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan pengusahaan kontraktor eksplorasi dan eksploitasi termasuk kontraktor kontrak

bagi hasil sampai terbentuknya badan pelaksana. Pada saat terbentuknya persero sebagai pengganti Pertamina, BUMN tersebut wajib mengadakan kontrak kerja sama dengan badan pelaksana, untuk melanjutkan eksplorasi dan eksploitasi pada bekas wilayah kuasa pertambangan Pertamina, dan dianggap telah mendapatkan izin usaha yang diperlukan untuk usaha pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan niaga. Pengertian tentang kontraktor adalah badan usaha (BU) atau bentuk usaha tetap (BUT), yang diberikan wewenang untuk melaksanakan eksplorasi dan eksploitasi pada suatu wilayah kerja, berdasarkan kontrak kerja sama dengan badan pelaksana. Badan pelaksana adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan pengendalian kegiatan usaha hulu di bidang migas.

Hasil identifikasi tersebut di atas diperjelas lagi oleh hasil identifikasi DPE-LPPM (2003), yang menunjukkan bahwa dalam pengelolaan lapangan-lapangan tidak produktif dapat dilakukan dengan kemungkinan sebagai berikut : 1. Lapangan yang ada belum masuk ke dalam salah satu area kerja kontraktor,

maka lapangan tersebut dapat ditawarkan melalui tender terbuka oleh Menteri ESDM kepada kontraktor yang berminat denganproduction sharing contract. 2. Lapangan yang ada masuk ke dalam salah satu area kontraktor migas

(termasuk PT. Pertamina), maka kemungkinan sistem pengelolaan, yaitu: a) Kontraktor dapat menawarkan pengelolaan lapangan tersebut pada

kontraktor lain (termasuk BUMD, KUD maupun pengusaha kecil) dengan sistem bagi hasil, sebagaimana seperti yang dilakukan oleh Pertamina lama. b) Kontraktor dapat menawarkan pengelolaan lapangan tersebut pada

kontraktor lain dengan sistem beli minyak yang dihasilkan, sebagaimana yang dikembangkan di lapangan-lapangan non teknis di Cepu.

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dalam pengelolaan lapangan dan sumur tidak ekonomis atau tidak produktif, yang memenuhi syarat kriteria sebagai lapangan dan sumur EOR, dapat dilakukan oleh pemerintah daerah penghasil migas melalui BUMD, KUD maupun pengusaha kecil. Pengelolaan tersebut berdasarkan kontrak kerjasama dengan PT. Pertamina sebagai pemilik kuasa pertambangan berdasarkan ijin dari Badan Pelaksana (BP) Migas, dan rekomendasi dari pemerintah daerah..

Hasil identifikasi terhadap strategi pengelolaan migas hasil EOR tersebut di atas, menunjukkan bahwa dalam pengelolaan lapangan dan sumur EOR potensial memerlukan beberapa tahapan yang saling terkait. Pertama, melakukan identifikasi awal terhadap karakteristik geologi, batuan dan fluida reservoir. Kedua, melakukan analisis kelayakan teknologi pengolahan migas hasil EOR dan kelayakan ekonomi melalui perhitungan cash flowinvestasi proyek EOR. Ketiga, menganalisis pengaruh sosial dan ekonomi terhadap daerah penghasil migas dari hasil pemanfaatan dan pengolahan migas hasil EOR.

Hal ini sesuai dengan pendapat Aprilian (2001), yang menyatakan bahwa pentingnya penanganan reservoir sejak dini khususnya pada reservoir karbonat yang memang memiliki karakteristik yang unik, jika dibandingkan dengan batuan reservoir lainnya. Perbedaan cara penanganan terletak pada rencana pengembangannya (plan of development), terutama bagaimana mengoptimalkan perolehan minyak atau gas dari sistem karbonat yang sangat heterogen.

Menurut Marhaendrajanaet al. (2005), bahwa pengelolaanreservoirperlu dilakukan secara terencana sejak pertama kali dapat diproduksikan, dan usaha-usaha diarahkan untuk mendapatkan recovery minyak yang maksimal dari suatu reservoir, yang pada akhirnya menghasilkan profit yang juga maksimal. Hal ini dimungkinkan dengan melakukan penerapan perencanaan optimasi produksi yang melibatkan integrasi analisis geologi,reservoirdan produksi.

Hal tersebut sesuai dengan hasil analisis Sumantri (2006), bahwareservoir management adalah suatu urutan kegiatan atau proses yang dilakukan terus menerus sepanjang masa pengusahaan suatu reservoir migas, berulang setiap 3 hingga 5 tahun. Cakupan kegiatan meliputi: pertama, karakterisasi reservoir melalui pekerjaan akuisisi data, studi geofisika, geologi, petrofisika danreservoir. Perencanaan pemboran, komplesi dan produksi. Kedua, penentuan jumlah sumur dan spasinya guna memproduksi & menguras cadangan migas yang terakumulasi secara maksimal. Ketiga, peramalan produksi migas yang akan datang termasuk produksi hasil usaha secondary recovery dan EOR, serta melalui studi pengembangan reservoir (simulasi reservoir). Keempat, perancangan, pembangunan dan pengoperasian fasilitas permukaan tanah guna penanganan

produksi migas hasil peramalan tersebut di atas. Kelima, evaluasi keekonomian dengan memperhitungkan dampak hukum, peraturan, dan lingkungan untuk pengoperasian produksi yang optimal. Keenam, pemantauan atas kelancaran operasi produksi, termasuk melakukan penyesuaian dan kontrol biaya apabila ada penyimpangan dari perencanaannya. Ketujuh, penanganan atas seluruh kondisi tersebut di atas secara efisien dan efektif setiap saat sepanjang masa pengusahaan lapangan, melalui kerja sama terpadu dari seluruh fungsi terkait.

Menurut Sumantri (2006), bahwa pada umumnya lapangan migas tua biasanya tidak punya data yang lengkap, dan hal ini dapat menyulitkan pada waktu akan melakukan pengelolaan reservoir secara profesional. Membuat rencana pengurasan cadangan dan menentukan skenario pengembangannya ke depan dapat menjadi sia-sia. Pengelola hanya bisa melakukan dengan cara coba-coba, misalnya pengeboran reservoir infill, membuka kembali sumur lama (reopening), dan mencoba kerja ulang pindah lapisan, tetapi tidak mungkin membuat perencanaan yang menyeluruh. Hal itu tentu saja bisa mengundang kegagalan total, meskipun ada juga yang kebetulan berhasil, sehingga kebanyakan para investor masih tetap tertarik untuk mengelola lapangan migas tua yang sudah tidak berproduksi lagi, bahkan sudah dalam statusabandoned.

Hal ini sesuai dengan pendapat Kristanto (2007), yang menyatakan bahwa proses pengelolaan suatureservoirdimulai dari proses eksplorasi untuk penemuan reservoir, kemudian diikuti oleh deliniasi reservoir, pengembangan lapangan, tahap produksi primer, sekunder, dan tersier, sampai reservoir tidak dapat berproduksi lagi dan akhirnya sumur ditutup. Proses-proses reservoir disatukan dalam manajemen reservoir, yang menjadi kunci kesuksesan dalam menjalankan seluruh operasi yang berhubungan dalam proses pengelolaanreservoir.

Berdasarkan hasil identifikasi tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa pengelolaan reservoir dapat dilakukan sejak awal dimulainya proses eksplorasi dan eksploitasi, hingga dalam bentuk pengelolaan reservoir pada tahap lanjut dengan metode EOR. Usaha-usaha tersebut diarahkan untuk mendapatkan recoveryminyak bumi dan gas alam yang optimal dari suatureservoir, yang pada akhirnya dapat menghasilkan keuntungan yang maksimal.