• Tidak ada hasil yang ditemukan

2. TINJAUAN PUSIAKA

2.4. Strategi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Teripang Pasir dan

Menurut Cochrane (2002), pengelolaan sumberdaya perikanan

didefinisikan sebagai proses yang terpadu dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumberdaya dan implementasi, dengan penguatan regulasi atau undang-undang yang mengatur aktivitas perikanan agar dapat menjamin keberlanjutan produktivitas sumberdaya

dan pencapaian tujuan perikanan lainnya. Dalam Code of Conduct for Responsible

Fisheries (FAO 1995) dijelaskan bahwa pengelolaan perikanan adalah suatu kebutuhan besar dan menjadi kebutuhan dunia. Hal ini terjadi karena banyak manusia di muka bumi ini yang bergantung pada perikanan sebagai mata pencahariannya.

Menurut Mees (1996), tujuan pengelolaan sumberdaya perikanan harus mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi dan biologi. Oleh karenanya, pengelolaan sumbrdaya perikanan haruslah difokuskan untuk menjaga keseimbangan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Selanjutnya Himman (1998), menyatakan bahwa permasalahan perikanan dalam konteks ekosistem adalah eksploitasi yang berlebihan, kurangnya perhatian terhadap interaksi predator- mangsa dan hasil tangkapan sampingan yang disebabkan oleh penangkapan manusia.

Pasokan yang tinggi dari seluruh dunia terhadap kualitas teripang tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan di pasar Asia, kecuali teknik aquakultur terhadap teripang yang ada diganti secara parsial agar dapat mengurangi penurun stoknya di alam. Studi mengenai teknik aquakultur terhadap teripang tropis telah

lama difokuskan pada penyebaran teripang H. scabra. yang komersial. Beberapa

studi memberikan perhatian yang lebih terhadap H. scabra versiclor (Hamel et al.

2001), dan hanya sedikit informasi yang tersedia mengenai aspek biologisnya, terutama mengenai tahapan awal hidupnya. Sejauh ini, tidak ada satupun percobaan yang dibuat untuk pemeliharaan dari teripang jenis ini, namun telah

dilakukan persiapan percobaan di Bluefin Seafoods sea cucumber hatchery, dimana telah menghasilkan 33.500 anakan selama tahun 2004 (Giraspy and Ivy, 2005).

2.5. Deskripsi Perairan Desa Laluin Kecamatan Kayoa Selatan

Secara keseluruhan terdapat lima Desa dan kelima Desa ini dikenal dengan sebutan pulau Waidoba, Pulau Waidoba merupakan salah satu gugusan pulau Kayoa dan terletak pada posisi 00 36’ 2” LU dan 1260 39’ 54” BT - 00 30’ 50” LU

dan 1260 39’ 54” BT. Pulau ini memiliki luas wilayah sekitar 3.318.77 Ha terdiri

dari luas terumbu karang sekitar 804.79 Ha atau 27.91 %, hutan mangrove 407.93 Ha atau 14.15 %. Luas hutan dan perkebunan 620.87 Ha atau 21.53 %, luas lahan kosong 624.915 Ha atau 21.67 % dan luas pemukiman 110 Ha atau 1.52 % sedangkan luas perairannya sekitar 381.132 Ha atau 13.22 % dari total luas pulau. Pemilihan desa Laluin sebagai desa tempat penelitian karena selain dari Ibu Kota Kecamatan, Desa Laluin merupakan Desa yang memiliki penduduk terbanyak (360 KK) dengan jumlah jiwa sebesar 2.597.000 jiwa dan kurang lebih 90% penduduknya adalah berprofesi sebagai nelayan. Pada umumnya keenam Desa tersebut memiliki mata pencarian Nelayan, Petani, PNS dan Wiraswasta. Nelayan di Desa Laluin terdiri dari Nelayan tetap 281 0rang nelayan sambilan 411 0rang. Rumah Tangga Perikanan (RTP), merupakan satuan rumah tangga nelayan yang didasarkan pada satuan penangkapan diukur dari kepemilikan armada penangkapan. Pada penelitian ini satuan unit armada sebagai acuan RTP, terdiri atas dua bagian yakni armada dengan perahu bermotor dan armada dengan perahu tanpa motor.

Desa Laluin memiliki perairan yang banyak mendapat massa air dari selat pasir putih dan tanjung Posi-posi, selain itu hampir semua kawasan pantai dikelilingi oleh mangrove dan perairannya memiliki substrat yang bervariasi seperti pasir, pasir berlumpur, lamun dan terumbu karang. Wilayah yang dikelilingi oleh vegetasi mangrove, padang lamun dan terumbu karang ini sangatlah cocok untuk pertumbuhan teripang Strata kedalaman perairan Desa Laluin memiliki kedalaman yang bervariasi pula, pada saat air surut mulai dari kedalaman 0 m hingga kedalaman 30 m. Berdasarkan hasil wawancara dengan

nelayan setempat teripang telah jarang ditemukan pada kedalaman yang mudah dijangkau seperti kedalaman 0-5 m, 5-10 m dan kedalaman 10-15 m, hal ini dikarenakan penangkapan yang dilakukan terus menerus dan saat ini para nelayan teripang melakukan penangkapan dikedalaman 30 m keatas dan penangkapan dibantu dengan alat menyelam yaitu kompresor. Data kualitas perairan Desa Laluin sejak tiga tahun terakhir disajikan pada tabe 1.

Tabel 1: Kondisi perairan Desa Laluin Kec.Kayoa Selatan 3 tahun terakhir

No Parameter Satuan Nilai rata-rata

1 Suhu oC 27

2 salinitas PSU 33

3 DO 5.5

4 Kecerahan m 17

5 Kec. Arus m/det 0.51

6 pH 8.8

Sumber: BAPPEDA Prov.Maluku Utara 2008

Masyarat Desa Laluin telah melakukan pembesaran teripang namun hal ini tetap saja tidak menjamin jumlah produksi yang dibutuhkan pasar dan selalu mengalami kegagalan, disamping itu daerah yang memiliki tempat yang cocok untuk pertumbuhan teripang tekanan terhadap lingkungan perairan akibat adanya pencemaran relatif belum terjadi, sehingga menjadikan perairan Desa Laluin merupakan salah satu penghasil sumberdaya teripang yang ada di Provinsi Maluku Utara.

Dalam periode 5 tahun (2005-2009) produksi mencapai 1615 kg (KUD Khatulistiwa, 2009). Data produksi tahun 2009 per jenis komoditi khusus jenis teripang Kabupaten Halmahera Selatan adalah 768.00 ton (DKP Kabupaten Halmahera Selatan, 2009), penyumbang teripang terbesar untuk Provinsi Maluku Utara salah satunya adalah Desa Laluin.

Teripang merupakan salah satu sumberdaya yang memiliki nilai ekonomis penting dan sampai sekarang masih dimanfaatkan oleh masyarakat nelayan Desa Laluin, dari tahun ketahun masyarakat Desa Laluin Kecamatan Kayoa Selatan telah memanfaatkan teripang sebagai mata pencaharian, cara penangkapan

teripang yang dilakukan secara manual sedangkan pada kedalaman tertentu mengunakan bantuan selam yaitu dengan menggunakan kompresor, ada nelayan yang lepas dan ada nelayan yang memiliki keterikatan dengan pengusaha setempat, nelayan lepas melakukan pengumpulan dan melakukan penggolahan secara sendiri dan bebas melakukan penjualan hasil tangkapan kepada pembeli yang ada di daerah maupun di luar daerah setempat, sedangkan nelayan yang punya keterikatan biasanya nelayan yang mengunakan alat selam (kompresor) dengan cara para nelayan melakukan aktivitas penangkapan yang biaya operasionalnya di tangani oleh pedagang atau pembeli hasil laut dan hasil tangkapan yang di dapat diolah dan dijual kepada pedagan atau pengumpul yang membiayai biaya operasional para nelayan atau kelompok nelayan tersebut.

Penangkapan yang dilakukan bersifat terus menerus hampir setiap hari dan malam harinya nelayan melakukan penangkapan, hal seperti inilah yang mengakibatkan terjadinya penurunan stok teripang dan apabila dalam jangka waktu yang relatif lama atau panjang maka dapat dipastikan akan terjadi ketidak seimbangan stok dan akan tidak menutup kemungkinan mengancam keberadaan dan kelestarian sumberdaya teripang maupun ekonomi masyarakat nelayan setempat. Seperti dikemukakan oleh James & Covich (1991) bahwa laju penangkapan atau intensitas penangkapan dapat digunakan sebagai indikasi arah kecenderungan produktivitas stok, maka dari itu dapat diasumsikan bahwa ketersediaan jumlah stok yang ada sangat ditentukan oleh tingkat eksploitasi.

Dokumen terkait