• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Pengembangan Kawasan TWAL 17 Pulau Riung yang berkelanjutan

Dalam dokumen STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA TARIK WISATA (1) (Halaman 32-44)

a. Ditinjau dari Aspek Filosofis.

Landasan yang termuat dalam kajian filosofis mencerminkan hakikat yang terdalam dari nilai-nilai moralitas di dalam pembentukan peraturan perundang- undangan di mana dalam hal ini terdapat suatu paradigma bahwa pembangunan pulau-pulau kecil yang disandarkan pada tiga aktor yakni pemerintah, swasta dan masyarakat tidak dapat terlepas dari nilai falsafah ―keberlanjutan antara‖ pemanfaatan alam dan konservasinya untuk mencapai hakikat tujuan bernegara paling mendasar yakni terciptanya masyarakat sejahtera adil dan makmur, baik lahiriah maupun batiniah. Kebijakan pemanfaatan dan pengembangan pulau-pulau kecil beserta kawasan pesisirnya harus didasari landasan filosofis Pancasila dan mengacu pada prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan, termasuk pengakuan dan jaminan perlindungan atas hak-hak hukum adat serta jaminan atas kesejahteraan masyarakat dan kelestarian ekosistemmya.Dalam refleksi filosofis, maka terpenuhinya kesejahteraan melalui pengelolaan plau-pulau kecil dengan penyeimbangan keterjaminan kelestarian lingkunagan hidup merupakan cerminan pemuliaan kemanusiaan. Hal ini sesuai dengan ideologi, falsafah dan cita hukum Pancasila khususnya sila kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Berkaitan dengan penyelenggaraan pulau-pulau kecil maka ideologi, falsafah dan cita hukum Pancasila di atas harus meresepsi dan dapat dioperasionalisasikan di dalam peraturan perundang-undangan. Peresepsian dimaksud harus mencerminkan bahwa di dalam penyelenggaraan dan penanganan pulau-pulau kecil harus dilandasi semangat keadilan, pelibatan masyarakat dan akses yang merata

bagi semua pihak untuk turut berupaya menciptakan kesejahteraan baik lahir maupun batin dengan dilandasi keterjaminan kelestarian lingkungan hidup.

b. Ditinjau dari Aspek sosiologis.

kebudayaan Masyarakat Indonesia sejak awal terbentuk dengan ciri kebudayaan yang sangat beragam yang muncul karena pengaruh ruang hidup berupa kepulauan ciri alamiah tiap-tiap pulau berbeda-beda. Jika dilihat dari segi budaya, masyarakat pulau kecil mempunyai budaya yang umumnya berbeda dari masyarakat pulau kontinen dan daratan (Dahuri, 1998). Sebagian besar masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil adalah nelayan yang pada saat-saat tertentu juga berkerja sebagai petani di persawahan pasang surut yang menggantung kehidupan pada sumberdaya wilayah P3K khususnya perikanan sebagai sumber pendapatan lainnya. Kesulitan menangkap ikan diperairan dekat pantai akhir-kahir ini menjadikan masyarakat tersebut harus mencari ikan lebih jauh, dengan dibuatnya sistem pengelolaan sumber daya wilayah P3K terpadu yang diharapkan memberikan kemudahan bagi masyarakat, pemerintah dan pihak lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat umumnya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Yudhohusodo, 1998).

c. Ditinjau dari Aspek ekologis.

Kawasan pulau-pulau kecil memiliki potensi pembangunan yang cukup besar karena didukung oleh letaknya yang strategis dari aspek ekonomi, maupun

pertahanan dan keamanan serta adanya beberapa ekosistem yang saling berinteraksi khas tropis dengan produktivitas hayati tinggi yaitu terumbu karang (coral reef), padang lamun (seagrass), dan hutan bakau (mangrove). Oleh karenanya pembangunan pulau-pulau kecil harus memprioritaskan pada keseimbangan antara aspek ekonomi dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Briguglio, 1995). Prinsip keseimbangan ini terelaborasi di dalam kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil yang bertumpu pada tiga stake holders mendasar yakni pemerintah, swasta dan masyarakat. Dengan demikian, terdapat pola yang senantiasa sinergis antara pemanfaatan potensi-potensi ekonomi dengan aspek lingkungan hidup. Dalam menjaga fungsi ekologi pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dipahami beberapa aspek mendasar terkait pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yaitu:

 Setiap aktor yang terlibat tersebut, dalam pengelolaan pulau-pulau kecil yang bersifat rentan harus berbasis pada kepedulian atau kesadaran terhadap lingkungan.

 Sistem pengelolaan pulau-pulau kecil terpadudan berkelanjutan.

 Indikator keberhasilan pengelolaan pulau-pulau kecil salah satunya dari faktor kualitas lingkungan yang berkelanjutan.

Prinsip konservasi dalam pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil mengandung implikasi bahwa keberadaan berbagai pihak turut mendukung terbentuknya sistem yang menjamin perlindungan terhadap kesinambungan kualitas lingkungan hidup dan memastikan kegiatan usaha dan jasa di pesisir dan pulau-pulau

kecil yang ramah lingkungan (Yudhohusodo, 1998). Hal ini dilakukan antara lain melalui kegiatan pengelolaan dengan memperhatikan kaidah ekologi dan peka terhadap nilai sosial budaya masyarakat. Selain itu, menentukan ambang batas (carrying capacity), baik secara sosial maupun ekologis dalam rangka meminimalisasi akibat negatif yang ditimbulkan kegiatan pembangunan.

Mengingat P3K berfungsi salah satunya sebagai pengatur iklim global,habitat dan ekosistem lingkungan yang bermanfaat bagi masyarakat, maka dapat dikatakan P3K sebenarnya merupakan kawasan yang sangat sensitiv terhadap perubahan. Oleh karenanya, pemanfaatan potensi sumberdaya keanekaragaman hayati dan ekosistemnya serta nilai kekhasan dan keaslianya yang ada di P3K harus dilakukan secara berkelanjutan dan terpadu yang berbasis pada perlindungan, pemeliharaan, pemanfaatan dan pengembangan terhadap (Adrianto, Luky. 2004).

Dengan pendekatan tersebut diharapkan dapat meningkatkan apresiasi, pemahaman dan kesadaran akan ekosistem yang menjadi tatanan unsur keseimbangan lingkungan hidup kawasan P3K. Dengan pendekatan ekologis, pengelolaan lingkungan di pulau-pulau kecil menjadi penting sebagai upaya terpadu untuk melestarikan (perlindungan, pengembangan dan pemanfaatan) fungsi lingkungan hidup, dan sekaligus menjadi rambu pembangunan berkelanjutan yang menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan.

Tersebarnya ribuan pulau-pulau kecil yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, di satu sisi merupakan cerminan kekayaan sumber daya yang dimiliki bangsa Indonesia. Namun di sisi lain dengan kurang tersedianya prasarana dan sarana yang memadai antara lain di bidang sosial, ekonomi, budaya, hukum, pendidikan, dan kesehatan, menimbulkan kendala pertahanan dan keamanan bagi keutuhan negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terutama pulau-pulau kecil yang berada di wilayah perbatasan. Hal ini berkaitan dengan batas wilayah antar negara. Dari sudut politis pertahanan dan keamanan, pulau-pulau kecil terutama di perbatasan memiliki arti penting sebagai pintu gerbang keluar masuknya aliran orang dan barang misalnya di Sabang, Sebatik dan Batam yang juga rawan terhadap penyelundupan barang- barang ilegal, narkotika, senjata, dan obat-obatan terlarang. Indonesia memiliki 92 buah pulau kecil yang terletak di perbatasan dengan negara lain, berarti bahwa pulau- pulau kecil tersebut memiliki arti penting sebagai garda depan dalam menjaga dan melindungi keutuhan NKRI dari intervensi negara lain.

Dilihat dari sudut pertahanan dan keamanan, pada dasarnya pulau-pulau kecil terutama di perbatasan memiliki arti penting sebagai pintu gerbang keluar masuknya aliran orang dan barang, yang juga rawan terhadap kegiatan kriminal seperti penyelundupan, penjualan narkotikadan obat-obatan terlarang, serta senjata ilegal. Kekhawatiran terhadap keberadaan pulau kecil terluar tidak terbatas pada lepasnya pulau ke negara lain yang letaknya berhadapan langsung dengan 10 negara tetangga (Singapura, Malaysia, Thailand, India, Vietnam, Palau, Papua Nugini, Australia, Philipina, dan Timor Leste), tetapi juga potensi rawan intervensi negara lain terhadap

ideologi, ekonomi, politik, sosial-budaya, dan pertahanan keamanan. Dengan adanya Perpres No. 78 Tahun 2005 tentang adanya upaya pengelolaan pulau-pulau kecil, termasuk pulau terluar, paling tidak menjadi upaya perhatian dan sinergi antar berbagai departemen dan lembaga non departemen dalam mengelola terutama pulau- pulau kecil khususnya yang letaknya terluar (Tribunnews, 2010).

6. Ditinjau dari Aspek yuridis.

Di dalam pengelolaan dan pemanfaatan P3K, perlu ditelaah perspektif kebijakan yuridis secara nasional bagaimana komitmen dan politik hukum berkenaan dengan arah kebijakan P3K nasional.Kebijakan pemanfaatan dan pengembangan pulau-pulau kecil beserta kawasan pesisirnya harus mampu menghindari tumpang tindih aturan, memperkuat sinergi peran antar sektor, serta memperhatikan daya dukung lingkungan yang berorientasi dari eksploitasi menjadi rehabilitasi yang berkelanjutan ( Teridoyo, 2004). Prinsip konservasi meletakkan arti penting terhadap kualitas lingkungan hidup yang terpelihara dari ancaman perusakan dan pencemaran lingkungan.

Wilayah Indonesia pada saat proklamasi kemerdekaan RI 17 agustus 1945 masih mengikuti territoriale Zee En Maritieme Kringe Ordonantie 1939, dimana lebar laut wilayah Indonesia adalah 3 mil diukur dari garis air rendah dari masing- masing pantai pulau Indonesia. Penetapan lebar wilayah laut 3 mil tersebut tidak menjamin kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (Etty R, 2003). Deklarasi ini menyatakan bahwa bentuk geografis Indonesia adalah negara kepulauan

yang terdiri atas ribuan pulau besar dan kecil dengan sifat dan corak tersendiri. Untuk mengukuhkan asas Negara kepulauan ini, ditetapkanlah Undang-undang Nomor : 4/Prp tahun 1960 tentang Perairan Indonesia.

BAB IV PENUTUP

a. Simpulan

Berdasarkan pembahasan diatas,dapat disimpulkan bahwa pengembangan Kawasan TWAL 17 Pulau Riung sebagai Daya Tarik Wisata yang berkelanjutan perlu memperhatikan aspek-aspek inti pembangunan yang berkelanjutan yaitu :

1. secara ekologis haruslah dapat menjamin kelestarian sumber daya pesisir, 2. secara ekonomi dapat mendorong dan meningkatkan taraf hidup masyarakat

serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah dengan tetap mempertahankan stabilitas produktivitas sumberdaya pesisir,

3. secara sosial budaya memberikan ruang bagi kearifan lokal dan pemberdayaan masyarakat serta meningkatkan keterlibatan partisipasi masyarakat dalam kebijakan dan pembangunan.

Rencana pengembangan kawasan bahari harus dikaitkan dengan berbagai kepentingan yang mendasar, yaitu pemberdayaan masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir adalah masyarakat yang memiliki banyak pengetahuan tentang kondisi obyektif wilayahnya, oleh Karena itu dalam pengembangan kawasan wisata bahari, senantiasa hendaknya di mulai pendekatan terhadap masyarakat setempat sebagai suatu model pendekatan perencanaan partisipatif yang menempatkan masyarakat pesisir memungkinkan saling berbagi, meningkatkan dan menganalisa pengetahuan mereka tentang bahari dan kehidupan pesisir, membuat rencana dan bertindak. Pembangunan yang berpusat pada masyarakat lebih menekankan pada pemberdayaan (empowerment), yang memandang potensi masyarakat sebagai sumber daya utama dalam pembangunan dan memandang kebersamaan sebagai tujuan yang akan dicapai dalam proses pembangunan. Masyarakat pesisir adalah termasuk masyarakat hukum adat yang hidup secara tradisional di dalam kawasan pesisir maupun di luar kawasan pasisir.

Oleh karena itu dalam rangka pengembangan kawasan wisata bahari maka prinsip dasar yang harus diperhatikan adalah:

1. Prinsip co-ownership yaitu bahwa kawasan wisata bahari adalah milik bersama untuk itu ada hak-hak masyarakat di dalamnya yang harus diakui namun juga perlindungan yang harus dilakukan bersama.

2. Prinsip co-operation/co management yaitu bahwa kepemilikan bersama mengharuskan, pengelolaan pesisir untuk dilakukan bersama-sama seluruh komponen masyarakat (stakeholder) yang terdiri dari pemerintah, masyarakat dan organisasi non pemerintah (ORNOP) yang harus bekerja sama

3. Prinsip co-responsibility yaitu bahwa keberadaan kawasan wisata bahari menjadi tanggung jawab bersama karena pengelolaan kawasan wisata bahari merupakan tujuan bersama

Ketiga prinsip tersebut dilaksanakan secara terpadu, sehingga fungsi kelestarian pesisir tercapai dengan melibatkan secara aktif peran serta masyarakat sekitar pesisir. Oleh karena itu agar masyarakat mampu berpartisipasi, maka perlu keberdayaan baik ekonomi, sosial dan pendidikan, untuk itu dibutuhkan peran pemerintah dalam memberdayakan masyarakat sekitar pesisir agar meningkatkan kesejahteraannya melalui 6 prinsip pemberdayaan yaitu :

1. Modal masyarakat (social capital) merupakan kerjasama dan nilai-nilai yang disepakati

2. Infrastruktur dan pengembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan informal yang berorientasi kepada kemajuan

3. Orientasi kepemilikan (asset orientation) yaitu pengembangan yang bertumpu pada penggalian kemampuan masyarakat sebagai model pengembangan

4. Kerjasama (collaboration) yaitu mengembangkan pola kerjasama yang tumbuh dari dalam

5. Visi dan tindakan strategis yaitu membangun visi, misi dan tindakan

6. Seni demokrasi, yaitu mengembangkan peran dan partisipatif yang tumbuh dari dalam

Sehingga dalam mewujudkan pariwisata bahari yang berkelanjutan,tentu membutuhkan arah pengembangan melaui kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh koordinasi multisektoral. Strategi yang menjadi fokus utama pengembangan wisata bahari yaitu :

1. Meningkatkan ketersediaan sarana publik yang menciptakan pelayanan dan kenyamanan hakiki bagi wisatawan mancanegara maupun domestik yang akan memanfaatkan sumber daya wisata bahari.

2. Meningkatkan kualitas dan kapasitas sumberdaya manusia yang berkiprah dalam mengelola wisata bahari.

3. Mengembangkan sistem pendataan dan informasi yang lengkap dengan memanfaatkan teknologi yang modern, sehingga memudahkan wisatawan mendapatkan informasi dan akses cepat, murah serta mudah.

Pengembangan sistem pendataan dan informasi ini sekaligus melayani dan mendukung kegiatan promosi dan investasi di bidang wisata bahari.

4. Mengembangkan aktivitas ekonomi non pariwisata yang memiliki keterkaitan dengan kegiatan wisata bahari, misalnya industri kerajinan, perikanan, restoran, misal sea food dan jasa angkutan laut.

5. Meningkatkan jaminan dan sistem keamanan bagi wisatawan yang memanfaatkan potensi wisata bahari.

6. Menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi kalangan investor untuk mengembangkan wisata bahari seperti insentif maupun desinsentif.

7. Mengembangkan model pengelolaan wisata bahari yang mampu menjaga kelestarian ekosistem laut dan budaya masyarakat lokal

b. Saran

Sebagai saran penulis dalam pengembangan Kawasan TWAL 17 Pulau Riung sebagai Daya Tarik wisata Bahari yang berkelanjutan adalah sebagai berikut.

c. Perlunya perhatian terhadap sumber daya pariwisata oleh Pemerintah melalui pemberlakuan regulasi-regulasi terhadap industry-industri pariwisata untuk bisa me-manage lingkungan Kawasan yang tetap mempertahankan keaslian dan keunikkannya

d. Perlunya kerja sama antara stakeholders dalam pemanfaatan sumber daya pulau kecil di Kawasan TWAL 17 Pulau Riung untuk proses perencanan,pemanfaatan,pelakasanaan dan proses pengendalian. e. Perlunya keterlibatan masyarakat dalam mengelola kawasan baik

dalam proses perencanaan.pemanfaatan,maupun pelestarian kawasan Konservasi.

Dalam dokumen STRATEGI PENGEMBANGAN DAYA TARIK WISATA (1) (Halaman 32-44)

Dokumen terkait