• Tidak ada hasil yang ditemukan

2.5. Strategi Pembangunan Ekonom

2.5.1. Strategi Promosi Ekspor Produk Primer (PEP)

Gillis et.al. (1992) menyatakan bahwa terdapat tiga manfaat dari strategi PEP menurut para ekonom pada saat itu. Ketiga manfaat tersebut adalah : Pertama, meningkatkan manfaat dari faktor-faktor produksi yang dimiliki suatu

negara. Penerapan strategi ini akan memberikan stimulus dalam penggunaan faktor produksi berupa peningkatan intensitas penggunaan lahan dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Kedua, memperluas kepemilikan faktor produksi. Perluasan pasar-pasar potensial untuk produk-produk primer akan meningkatkan pengadaan investasi luar negeri, tabungan domestik, tenaga kerja dan angkatan kerja berkeahlian sebagai komplemen dari faktor-faktor produksi tetap seperti lahan dan sumberdaya alam lainnya. Ketiga, strategi PEP

memberikan efek keterkaitan, terutama keterkaitan ke belakang, konsumsi dan fiskal. Keterkaitan ke belakang dapat meningkatkan skala usaha, menurunkan biaya produksi dan menciptakan pasar domesik dan ekspor yang lebih kompetitif. Keterkaitan konsumsi diperlihatkan oleh kenaikan upah tenaga kerja akan meningkatkan permintaan atas pangan, sandang, perumahan dan kebutuhan lainnya. Sementara itu, keterkaitan fiskal diperlihatkan oleh peningkatan penerimaan pemerintah dari ekspor berupa pajak atau deviden yang dapat digunakan untuk membiayai pembangunan sektor lainnya.

Meskipun demikian strategi PEP memiliki berbagai hambatan dalam penerapannya di negara-negara sedang berkembang, dimana ekspor produk- produk primer selain minyak tidak efektif mendorong pembangunan ekonomi. Hal itu disebabkan : (1) pasar untuk produk-produk primer tumbuh melambat untuk meningkatkan pertumbuhan, (2) harga ekspor produk primer yang diterima cenderung menurun, (3) penerimaan tidak stabil (berfluktuasi), dan (4) keterkaitan tidak bekerja sebagaimana mestinya (Djaimi, 2006). Menurut Prebisch–Singer (1950) dalam Djaimi (2006) menyatakan bahwa tidak hanya pertumbuhan permintaan produk primer yang melambat, dalam jangka panjang harga yang diterima untuk komoditas-komoditas tersebut akan jatuh di pasar dunia relatif terhadap harga impor industri negara sedang berkembang daripada di negara maju. Hal ini terjadi karena ekspor produk primer dari negara sedang berkembang meningkat lebih cepat dari yang dibutuhkan oleh negara-negara industri. Kemudian Behrman (1987) menyatakan bahwa penerimaan ekspor produk primer tidak stabil tersebut akan ditransmisikan ke perekonomian domestik dan membuat permintaan domestik menjadi tidak stabil dan investasi lebih beresiko.

Ketidakpastian akses terhadap impor bahan baku, menyebabkan penerimaan ekspor berfluktuasi. Dan Gillis et. al., 1992 menyatakan booming ekspor produk- produk primer mendorong negara-negara berkembang lebih cenderung mengembangkan industri pengolahan mineral (barang tambang) dengan karakteristik : skala besar, padat modal, teknologi tinggi dan upah yang tinggi. Industri yang dikembangkan ini menciptakan kesempatan kerja yang kecil dan memiliki keterkaitan yang kecil terhadap perekonomian secara keseluruhan.

2.5.2. Strategi Industri Substitusi Impor (ISI)

Substitusi impor merupakan substitusi produksi domestik terhadap impor produk-produk industri manufaktur. Konsep dasar dari strategi ISI meliputi : Pertama, mengidentifikasi pasar domestik yang besar, yang mengindikasikan

peningkatan impor dari tahun ke tahun. Kedua, memastikan bahwa teknologi produksi dapat diterapkan oleh industri manufaktur lokal atau para investor luar negeri bersedia mensuplai teknologi, manajemen dan kapital. Ketiga, menerapkan hambatan-hambatan tarif, seperti tarif atau kuota impor, untuk mengatasi biaya awal yang tinggi dari produksi lokal dan membuatnya menguntungkan bagi investor-investor lokal dalam mencapai target industri (Gillis et. al., 1992).

Menurut Krugman dan Obstfeld (1991) negara-negara yang menerapkan stategi ISI tidak menyebabkan negara-negara tersebut menjadi lebih maju bahkan menyebabkan stagnasi pendapatan per kapita. Pada kasus beberapa negara berkembang hal itu terjadi. Menurut Basalim et. al. (2000), kegagalan negara- negara sedang berkembang meningkatkan perekonomiannya, termasuk Indonesia, dengan menerapkan strategi ISI adalah : Pertama, pengembangan industri substitusi impor dijalankan dengan melakukan proteksi pemerintah yang

berlebihan berupa pemberian fasilitas kredit, fiskal dan perlindungan tarif. Hal ini membawa konsekuensi berupa kondisi pasar yang tidak sehat, harga yang terlalu tinggi, mutu barang rendah dan timbulnya praktek-praktek monopoli atau sejenisnya. Lebih tegas dinyatakan oleh Tambunan (2004) bahwa proteksi itu menjadikan industri menjadi tidak efisien. Inefisien ini telah membuat industri menjadi high cost industry. Kedua, industri yang dikembangkan cenderung bersifat padat modal, sehingga peranannya dalam penyerapan tenaga kerja sangat kecil. Disamping itu, pengembangan industri padat modal ini menyebabkan industri kecil dan menengah sejenis yang padat karya kalah bersaing, sehingga tingkat pengangguran bertambah. Ketiga, industri substitusi impor bersifat inward-looking dalam memasarkan produknya dan outward-looking dalam

permintaan input, implikasinya multiplier effects yang ditimbulkan sangat kecil. Keempat, pengembangan industri ini cenderung menguras devisa negara guna

mengimpor bahan baku/penolong dan barang modal yang diperlukan, di sisi lain produk-produk yang dihasilkan kalah bersaing dengan produk-produk sejenis dari negara lain karena kualitas yang relatif rendah. Kelima, apabila produk-produk industri ini di ekspor, maka devisa yang diperoleh negara-negara sedang berkembang sangat kecil. Hal ini disebabkan produk industri yang dihasilkan merupakan subcontracting exports dari perusahaan asing kepada afilisasinya di negara lain.

Selanjutnya Tambunan (2004) menyatakan bahwa dari pengalaman Indonesia, strategi ISI tidak hanya memberikan dampak buruk terhadap sektor industri, tetapi juga terhadap sektor pertanian dan pedesaan. Dengan tarif impor yang tinggi dalam skim ISI, impor barang modal yang dibutuhkan oleh sektor pertanian manjadi mahal sehingga investasi menurun. Dia menyatakan bahwa

secara umum, sektor pertanian berada pada situasi yang berat dalam posisi “underinvestment”.

2.5.3. Strategi Industri Promosi Ekspor (IPE)

Inward–looking strategy dari ISI merupakan salah satu cara untuk

mempercepat perubahan dalam teori comparative advantage. Pendekatan alternatif adalah outward–looking strategy yang secara langsung mentargetkan untuk mengekspor produk-produk manufaktur. Walaupun substitusi impor merupakan bagian utama dari outward looking strategies, tetapi hanya langkah pertama untuk mewujudkan industri yang kompetitif secara internasional. Outward–looking development berakar dari teori ekonomi Neoklasik, tetapi

strategi ini paling banyak dipraktekkan di Asia Timur yang dikenal dengan market–oriented theories of development (teori pembangunan berorientasi pasar).

Outward–looking development lebih dikenal dengan strategi IPE (Gillis et.

al., 1992).

Menurut Gillis et. al. (1992) memahami strategi IPE dapat dijelaskan melalui tiga prinsip dasar dari sistem ekonomi pasar, yaitu : (1) barang dan jasa harus tersedia sesuai dengan mekanisme pasar, (2) harga harus merefleksikan kelangkaan relatif dari perekonomian, dan (3) kompetisi di dalam maupun di luar pasar domestik.

Teori Neoklasik secara ideal menghendaki kontrol pemerintah dan distorsi harga sekecil mungkin. Namun demikian, esensi dari strategi IPE tidak mengabaikan adanya intervesi atau distorsi dalam pasar, dengan kata lain intervensi pemerintah dapat dilakukan apabila terjadi market failure (kegagalan pasar). Oleh karenanya, perusahaan-perusahaan swasta menentukan apa yang

dihasilkan untuk pasar domestik dan ekspor. Dalam dunia Neoklasik, strategi IPE dinyatakan sebagai keluaran kekuatan pasar. Gambaran ini telah mendominasi literatur pembangunan dan dijadikan formulasi dasar dari program-program utama dari penyesuaian struktural yang lebih berorientasi ke luar (Balassa, 1980 dan Djaimi, 2006).

Selanjutnya Amsden (1989) menyatakan bahwa learning by doing sebagai prestasi penting bagi sejumlah negara untuk mengadopsi teknologi dalam rangka mengembangkan industri pada abad ke-20. Disamping itu mereka juga harus membangun institusi-institusi ekonomi modern seperti korporasi dan pasar modal. Untuk mewujudkannya, berdasarkan pengalaman Jepang dan Korea Selatan, pemerintah melakukan sejumlah intervensi berupa pengawasan dan subsidi, terutama dalam rangka mengadopsi teknologi baru. Hal ini dilakukan untuk mendorong perusahaan-perusahaan domestik masuk ke pasar ekspor.

Intervensi pemerintah dalam mensukseskan strategi IPE perlu dilakukan dengan hati-hati, yang harus diiringi dengan sejumlah latihan dan kedisiplinan para pejabat pemerintah dalam mensukseskannya. Hanya sedikit pemerintah yang cukup terlatih dan disiplin dalam melaksanakan strategi IPE, antara lain Jepang dan empat negara macan Asia (Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura). Intervensi seperti ini secara langsung mempengaruhi hubungan antara pejabat pemerintah dan perusahaan swasta, yaitu ketergantungan yang saling menguntungkan antara satu sama lain. Oleh karenanya sangat sulit bagi para pejabat pemerintah untuk tetap objektif dan disiplin dalam memberikan imbalan kepada pemenang dan menghukum yang menyimpang (Pack dan Westphal, 1986).

Selanjutnya Gillis et. al. (1992) menyatakan bahwa berbagai intervensi yang dilakukan pemerintah dalam mensukseskan strategi IPE. Intervensi tersebut cenderung menyuburkan perilaku rent–seeking dan menimbulkan distorsi seperti yang ditimbulkan oleh strategi ISI. Disamping itu, intervensi pemerintah cenderung menyebabkan high cost economic (perekonomian biaya tinggi) dan hanya sedikit prospek industri kompetitif secara internasional yang terbentuk.

2.5.4. Strategi Industri Berbasis Pertanian (ADLI)

Agricultural demand-led industrialization strategy (ADLI, strategi industri

berbasis pertanian) berperan penting dalam meningkatkan produktivitas pertanian melalui inovasi teknologi dan peningkatan investasi dalam meningkatkan pendapatan masyarakat di pedesaan. Strategi ini dianjurkan karena produktif dan secara kelembagaan terkait dengan perekonomian secara keseluruhan, stimulasi pertanian pangan menghasilkan insentif pangan yang kuat (meningkatkan permintaan konsumen rumahtangga perdesaan) dan insentif penawaran (meningkatkan suplai pangan tanpa meningkatkan harga). Insentif-insentif ini mampu mengendalikan perluasan industri. Strategi ini berawal dari kebijakan- kebijakan pertumbuhan ekonomi terdahulu, yaitu strategi ISI dan IPE (Adelman, 1984 dalam Adelman, 1995 dan Kasryno dan Stepanek, 1985).

Dalam strategi ADLI, perbaikan produktivitas lahan pertanian berdampak pada sejumlah pasar. Pertama, perbaikan ini menstimulus permintaan input-input antara (seperti pupuk, bibit unggul dan pestisida) dan barang-barang kapital baru (seperti peralatan irigasi baru dan infrastuktur) serta meningkatkan permintaan tenaga kerja. Investasi di sektor pertanian mampu menciptakan kesempatan kerja di sektor non pertanian tergantung pada kekuatan keterkaitan ke belakang sektor

pertanian dan pembagian suplai antara produksi domestik dan impor. Peningkatan produktivitas meningkatkan kesempatan kerja bagi penggarap tanah, apabila inovasi dalam meningkatkan produktivitas lahan menggunakan metode pertanian yang padat tenaga kerja (Adelman, 1984 dalam Adelman, 1995 dan Kasryno dan Stepanek, 1985). Kedua, apabila tren pengeluaran rata-rata dari rumahtangga pertanian kecil dan menengah lebih besar dari pemilik lahan, maka tambahan pendapatan kelompok rumahtangga tersebut terutama lebih banyak dibelanjakan pada komoditas-komoditas non pertanian dan jasa. Barang dan jasa ini meliputi tekstil, pangan olahan, jasa persorangan, pendidikan dan lainnya. Karena strategi ini memberi efek terhadap pertumbuhan dan kesempatan kerja, keterkaitan konsumsi rumahtangga perdesaan merupakan kunci dari sisi permintaan yang mengendalikan industrialisasi di negara-negara sedang berkembang yang berpendapatan rendah (Kasryno dan Stepanek, 1985). Haggblade, Hazell dan Brown (1989) dalam Djaimi (2006) menyatakan bahwa untuk negara-negara berpendapatan rendah seperti Asia Selatan dan sub-Saharan Afrika, imbas perluasan sektor pertanian memberikan efek positip terbesar terhadap kesempatan kerja melalui pengeluaran rumahtangga perdesaan pada barang-barang dan upah non pertanian. Mereka juga melaporkan bahwa keterkaitan konsumsi memberikan efek multiplier sebesar 60-80 persen dari total multiplier pertumbuhan pertanian di negara-negara tersebut. Ketiga, peningkatan penawaran pertanian memastikan upah nominal tidak meningkat. Hal ini mengindikasikan bahwa perluasan industri domestik tidak menyebabkan terjadinya inflasi (Medani, 1985). Dengan demikian keuntungan industri terjamin, upah nominal yang rendah memberikan imbas terhadap kesempatan kerja dalam menghasilkan barang-barang nontradable dan

jasa yang padat tenaga kerja. Besaran dari efek kesempatan kerja tidak langsung mendorong industri dari sisi penawaran.

Ada tiga implikasi kebijakan dalam penerapan strategi ADLI. Pertama, dalam rangka membangun tingkat pertumbuhan produksi pertanian yang kuat, sangat penting memperluas investasi dalam bentuk fisik dan infrastruktur kelembagaan. Ini termasuk investai dalam riset budidaya dan diseminasinya, investasi sosial perdesaan dan jasa pendidikan, serta investasi pemasaran dan jaringan transportasi. Kedua, para perencana harus menghilangkan unsur-unsur perdagangan yang menyebabkan kerusakan pertanian berupa penghisapan peningkatan surplus perdesaan potensial. Ketiga, para perencana seharusnya membangun suatu kebijakan perdagangan terbuka. De Janvry dan Sadaulet (1986) mendemonstrasikan manfaat efek peningkatan suplai pangan dalam mengurangi pengeluaran impor pangan pada negara-negara sedang berkembang berpendapatan rendah. Pengurangan impor pangan akan mengendurkan pertukaran luar negeri untuk membeli barang-barang kapital impor. Hal ini akan menyebabkan harga barang-barang konsumsi non pertanian yang inelastis meningkat. Peningkatan harga barang-barang konsumsi non pertanian menyebabkan permintaan pangan menurun, selanjutnya mengurangi keuntungan petani. Dalam jangka panjang, pengurangan keuntungan pertanian pangan akan membatasi permintaan agregat, menyebabkan strategi ADLI menjadi kolap.

Selanjutnya strategi ADLI tergantung pada asumsi bahwa elastisitas pendapatan rumahtangga perdesaan dan elastisitas harga dari penawarannya terhadap barang-barang non-tradables padat tenaga kerja tinggi. Jika elastisitas- elastisitas ini rendah, maka keberhasilan strategi ADLI dalam jangka panjang

tidak terjamin. Oleh karenanya, pengembangan ekonomi terbuka menjadi kekuatan untuk mendukung industrialisasi melalui ekspor produk primer dan pertanian (De Janvry dan Sadoulet, 1986 dan Adelman dan Vogel, 1991).

Berdasarkan uraian tentang strategi ADLI di atas dapat dinyatakan bahwa strategi tersebut menyajikan strategi pembangunan perdesaan yang memanfaatkan kekuatan permintaan rumahtangga perdesaan dalam rangka meningkatkan produksi barang dan jasa non pertanian secara domestik yang padat tenaga kerja. Peningkatan produksi barang dan jasa tersebut secara simultan meningkatkan penawaran pertanian melalui inovasi teknologi.

Ekonomi di Propinsi Jawa Barat sebagaimana telah dikemukakan pada bab terdahulu menunjukkan bahwa sektor Industri Pengolahan adalah sektor yang masih memberikan kontribusi terbesar terhadap PDRB dan output yang dipasarkan lebih berorientasi ekspor (menurut data BPS Jabar tahun 2004 disebutkan bahwa sampai tahun 2002 produk unggulan yang menjadi andalan untuk memperoleh devisa adalah subsektor industri pengolahan, yaitu mesin dan alat pengangkutan, hasil industri menurut bahan dan hasil industri lainnya). Oleh karenanya, pilihan strategi IPE bagi pengembangan ekonomi privinsi Jawa Barat ke depan nampaknya masih dianggap relevan. Namun demikian perlu dikaji lebih lanjut apakah kebijakan tersebut menjadi tepat.