• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN UMUM PERUBAHAAN SOSIAL DI BLAHBATUH

2.2 Blahbatuh dalam Subjektif Kognitif

2.2.1 Stratifikasi Sosial

Masyarakat Bali khususnya di Blahbatuh telah memiliki jenis kepercayaan dan pemujaan yang dilakukan yang pada zaman sebelum masuk ajaran Hindu yaitu:

1. Pemujaan terhadap arwah leluhur

2. Pemujaan terhadap arwah para pemuka masyarakat

3. Pemujaan terhadap kekuatan alam

Setelah masuknya ajaran Hindu ke Bali mulai muncul ajaran mengenai 7 sekte yaitu :

1. Sekte Siwa Sidhanta adalah singkatan dari Sikara yang berarti Rudra, Dhakara yang berarti Iswara, dan Anta yang berarti Siwa. Jadi Shidanta berarti penunggalan dari hakekat Rudra, Iswara, dan Siwa. Disamping itu Sakara berarti pertiwi, Dakara Berarti angkasa, dan Anta berarti Sorga. Jadi Sidhanta berarti Hakekat Beliau yang menguasai dunia yang tiga

2. Sekte Pasupati juga merupakan sekte pemujaan Siwa. Bedanya dengan Siwa Shidanta adalah dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupatati adalah dengan menggunakan lingga sebagai simbol tempat turunnya / berstananya dewa Siwa. Jadi penyembahan lingga sebagai lambing Siwa adalah merupakan Ciri khas sekte Pasupata.

3. Sekte Sora adalah sekte yang memuja dewa Surya sebagai dewa utama. Suryasewana yang dilakukan oleh para pendeta di Bali adalah pengaruh dari sekte ini.

4. Sekte Ganapatya adalah sekte yang memuja dewa Ganesha sebagai dewa utama. Banyaknya patung – patung Ganesha yang ditemukan di Bali ( yang semuanya dibuat sebelum zaman Gelgel) menunjukkan betapa besarnya pengaruh sekte ini di Bali pada zaman itu. Dewa Ganesa adalah dewa Wihgna-gnha ( pengganggu – gangguan). Jadi dewa Ganesa adalah pembasmi dari apa yang mengganggu.

5. Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durgha sebagai dewa utama. Pemujaan terhadap Dewi Durgha di Pura Dalem yang ada di desa adat di Bali adalah merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte ini. Sekte ini merupakan salah satu sekte wacamara (sekte aliran kiri), yang mendambakan kekuatan magis yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Dalam sekte ini memiliki ajaran – ajaran yang menjadi dasar kehidupan di dunia ini.

6. Sekte Waisnawa adalah sekte yang memuja Wisnu sebagai dewa yang utama.

7. Sekte Sogata adalah sekte yang memuja Budha.4

4 Wayan Nurkancana, Menguak Tabir Perkembangan Hindu,( Denpasar : PT BP. 1998) pp. 134 - 137

Keberadaan sekte – sekte sangat mempengaruhi keberadaan sejarah masyarakat Blahbatuh disebabkan karena pengaruh dari sekte - sekte ini tetap diwariskan generasi ke generasi dimulai dari kerajan Bedahulu, Raja yang pertama suami istri adalah Sri Dharma Udayana / Gunapria Dharmapatni didampingi Bagawanta Mpu Kuturan, penganut Siwasidhanta. Pada mulanya sekte – sekte hidup berdampingan secara damai namun lama kelamaan dalam perkembangannya sering terjadinya persaingan – persaingan. Bahkan tidak jarang terjadi bentrokan secara fisik. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada senopati Mpu Kuturan untuk mengatasi. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan lalu mengundang semua pemimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang diadakan di Baatanyar. (Daerah ini disebut Pejeng sekarang). Mulai saat itulah orang Bali mengatur adat istiadat maupun pemerintahaan dengan bimbingan Mpu Kuturan, yang bermusyawarah di Bedulu terkenal dengan sebutan SamuanTiga, (yang kini menjadi Pura SamuanTiga). Dalam musyawarah mencapai kata sepakat dengan keputusan, sebagai berikut :

a. Paham Tri Murti dijadikan dasar di Bali, yang berarti bahwa di dalamnya telah tercakup paham seluruh sekte yang berkembang di Bali saat itu.

b. Dalam pertemuan tersebut Mpu Kuturan yang membangun sistem kemasyarakatan, yang dimuat didalam prasasti Batuan tahun 944 S (1022 M) memunculkan istilah desa. Namun pengaruhnya lebih berkisar pada sistem organisasi dan kepercayaan masyarakatnya, bukan pengawasaanya dari atas. Dalam setiap desa (desa adat) supaya di bangun kahyangan tiga

yaitu Pura Balai Agung, Pura Puseh, Pura Dalem. Di setiap rumah didirikan bangunan suci berruang tiga (Rong Tiga) sebagai tempat permujaan Tri Murti.

c. Penduduk dibagi menjadi dua golongan yaitu :

a. . Kaum Bangsawan /Penguasa dan

b. Yang lainnya masyarakat professional dengan julukan/warna sesuai dengan keahliannya/ pekerjaannya masing – masing seperti :

a. Rama Kabayan , penguasa /pimpinan suatu desa

b. Sangging / Undagi para seniman gambar dan ukir

c. Pande: pembuat senjata, alat2 dapur, alat petani maupun perhiasan dan gambelan.

d. Bujangga atau Sri Mpu/JeroMangku, pemimpin agama termasuk adat istiadat.5

Masyarakat pada zaman Mpu Kuturan sangat percaya akan ajaran diajarkan melahirkan penyatuan kelompok dan pengelompokan sosial di masyarakat melalui keahlian yang dikuasai masyarakatnya di Bali. Dalam ajaran agama Hindu dikenal dengan nama catur warna.

Pada tahun saka 1259 naik tahta raja Bedahulu dengan gelar Bhatara Sri Astasura Ratna Bumi Banten dengan patih Pasung Gigris dan salah satu patih selain Pasung Gigris yaitu Kebo Iwa. Dalam penelitian R. Goris tidak disebutkan tentang hal tersebut, akan tetapi Kebo Iwa ditulis dalam Purana, Prasasti Pura Maospahit, Babad Bara Batu dan dipercayai keberadaannya oleh masyarakat Blahbatuh , inti isi mengenai Kebo Iwa menceritakan sebagai berikut :

Pada masa pemerintahan Astasura Ratna Bumi Banten mengadakan pertarungan antara Kebo Iwo dengan semua patih dan rakyat dalam adu tanding dan dimenangkan oleh Kebo Iwa. Dengan demikian raja kagum atas kekuatan Kebo Iwa, lalu Kebo Iwo diangkat menjadi patih andalan. Beliau sangat terkenal sampai diluar Bali. Diceritakan penyerangan Gajah Mada ke Bali dibantu Arya Damar dan Arya lainnya gagal disebabkan adanya patih Kebo Iwo. Untuk dapat mengalahkannya Gajah Mada menggunakan siasat yaitu membujuk Kebo Iwa untuk datang ke Jawa dengan imbalan akan disandingkan dengan putri dari Jawa Madura.

Kemudian setelah tiba di Jawa dan disambut oleh orang – orang Surabaya, Madura, tak terbilang banyak menyambut kedatangannya. Ia lalu disuruh membuat sumur di lereng gunung untuk pemandian Sang Dyah di kala hari pernikahan nanti. Setelah Kebo Iwa menggali sumur, lalu ditimbun dengan bongkahan – bongkahan batu, lalu disangga batu itu dengan belahan tangan dan dihempaskan kembali dari dalam sumur, bagaikan hujan batu, semuanya lari tunggang langgang menyelamatkan diri takut kena bongkahan batu. Lalu Kebo Iwa keluar dari dalam sumur seraya berucap,

“Hai kamu prajurit semua, kalau kamu mengaharapkan aku mati, aku takkan mati oleh batu, juga dengan senjata buatan manusia, malu aku kembali ke Bali. Dengarkan ucapanku, kalau kamu ingin membunuh aku, dengan kapur bubuk timbun aku kedalam sumur beserta canang wangi, seperti bunga, daun, air, dupa, buah. Jika aku mati atas kehendak kamu semua. Semoga di kemudian hari di bumi ini akan dimasuki Kebo Putih. Saat itu semuanya akan kesusahan,” demikian akhirnya Kebo Iwa meninggal di dalam sumur menuju kesunyian.6

Cerita ini menjelaskan awal mula maksud dari icon Kecamatan Blahbatuh yaitu patung Kebo Iwo. Ini memberikan pelambangan keadaan Blahbatuh itu sendiri. Memang bagi masyarakat yang bukan masyarakat Kabupaten Gianyar khususya Blahbatuh pasti menganggap Kebo Iwo tidak memiliki bukti yang jelas tentang keberadaannya namun masyarakat melihat dari sejarah hidupnya yang dapat dijadikan simbolis. Dan peninggalan yang pernah dihasilkan Kebo Iwo dijadikan warisan budaya masyarakat di Kecamatan Blahbatuh. Untuk itu masyarakat merasa memerlukan sosok figur dalam membimbing masyarakat kearah kehidupan yang lebih baik maka masyarakat Blahbatuh dan Gianyar memberikan nama jalan dan tempat penting seperti jalan, pura, GOR, dan lain - lainnya di wilayah masing – masing dengan nama Kebo Iwo untuk menunjukkan berartinya beliau di mata masyarakat Kabupaten Gianyar khususnya Kecamatan Blahbatuh.

6 I Made Bawa, Kebo Iwo dan Sri Karang Buncing dalam Dinasti Raja – Raja

Diceritakan kembali mengenai Raja Bedahulu Astasura Ratna Bumi Banten yang diserang oleh pasukan Gajah Mada dari 4 arah akhirnya gugur dan patihnya beliau bernama Pasung Gigris tertawan, lalu diperintahkan menjadi penguasa sementara. Sisa pasukan yang masih hidup melarikan diri ke pedalaman. Dan melakukan perlawanan dari daerah – daerah pedalaman. Pada tahun 1343 para penguasa Bali yang memegang pemerintahan sebelumnya seperti Pasung Gigris bertugas menyerang raja Sumbawa yaitu Dedelanata dan keduanya gugur di dalam pertempuran. Untuk memegang pemerintahan, Gajah Mada atas nama kerajaan Majapahit menugaskan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan menjadi raja di Bali. Raja ini merupakan keturunan Mpu Kepakisan dan medirikan kerajaan Samprangan, daerah Gianyar.

Para arya yang berjasa menaklukan pulau Bali, ditempatkan di desa–desa. Dalem Ketut Kresna Kepakisan masih menghadapi pemberontakan rakyat “ Baliaga”. Sri Kresna Kepakisan tidak berhasil memadamkan pemberontakan tersebut, hingga putus asa, lalu mengirim utusan ke Majapahit mohon mengundurkan diri. Permohonan pengunduran diri ditolak oleh Patih Gajah Mada. Melalui utusan tesebut Gajah mada memberikan nasehat–nasehat untuk membesarkan hati Raja Bali dan memberikan hadiah berupa keris. Orang–orang Baliaga mulai mendapat serangan dan tunduk.

Keturunan Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan menggantikan kedudukannya sebagai raja yaitu Dalem Samprangan. Karena beliau tidak cakap dalam memerintah maka digantikan oleh Dalem Ketut Ngelesir dengan bantuan Kebon Tubuh yang mempersembahkan tanah miliknya di Gelgel untuk membangun istana. Kerajaan

Gelgel mulai tumbuh. Dalem Ketut Ngelesir menyempurnakan pemerintahan dengan memberikan perhatian terhadap pembesar – pembesar “Baliaga”. Mereka yang memegang pemerintah secara turun - temurun memakai gelar “Dalem”. Gelar ini dipakai sejak kerajaan Bali berpusat di Samprangan sampai Gelgel runtuh. Dimulai dari Dalem Ketut Sri Kresna Kepakisan dilanjutkan dengan Dalem Samprangan dilanjutkan dengan Dalem Ketut Ngelesir dilanjutkan Dalem Waturenggong dilanjutkan dengan Dalem Bekung dilanjutkan lagi Dalem Seganing dan raja terakhir adalah Dalem Dimade.

Orang – orang yang memegang jabatan di bawah raja merupakan keturunan para Arya yang menaklukan Bali. Secara turun temurun mereka memakai gelar “Gusti”. Lain halnya setelah kerajaan Klungkung berdiri. Raja yang memegang pemerintah di Kerajaan Klungkung memakai gelar “Dewa Agung”7 dan diikuti oleh keturunan memakai gelar yang sama.

Menurut pandangan penulis awal mula kelas sosial atau di masyarakat Bali dikenal dengan nama catur kasta (empat kelas sosial berdasarkan keturunan di masyarakat) di Bali dimulai dari pemakaian gelar oleh para petinggi suatu pemerintahan karena penerangan sejarah para petinggi di BUali bawahan berasal dari kerajaan Majapahit yang berada di Bali, selalu menggunakan gelar yang sama pada setiap keturunannya. Karenanya di masyarakat muncul perbedaan antara rakyat dengan

7 Departemen Pendidikan Kebudayaan, Sejarah Daerah Bali,( Jakarta : Proyek Penerbitan Buku Bacaan dan Sastra Indonesia dan Daerah. 1978) pp.38 -62

penguasa. Dengan berjalannya waktu pada masyarakat muncul golongan atas diikuti oleh masyarakat golongan bawah dan meluas dipengaruh di setiap wilayah di Bali disebabkan keadaan dan kondisi zaman. Golongan atas melahirkan golongan tri wangsa yang artinya tiga golongan yang diartinya tiga gelar atau sebutan bagi garis keturunan yang memiliki peranan dalam struktur dalam masyarakat. Sedangkan golongan bawah melahirkan golongan jaba yang artinya gelar atau sebutan bagi garis keturunan yang tidak memiliki peranan dalam struktur dalam masyarakat.

Golongan Tri Wangsa menduduki kedudukan tertinggi baik dalam ajaran agama maupun pemerintahan yang ada pada masa itu. Golongan tri wangsa terdiri dari Brahmana: Ida Bagus bagi laki – laki, Ida Ayu bagi perempuan dan bila disucikan secara agama maka mendapat gelar Ida Penanda Lanang bagi laki – laki dan Ida penanda Istri bagi perempuan. Ksatria : Cokorda untuk laki – laki, Cokorda istri untuk perempuan, Anak Agung untuk laki –laki, Anak Agung Ayu untuk perempuan, Dewa untuk laki – laki, Desak untuk perempuan, tambahan mengenai dewa ada juga menggunakan Dewa Pungakan disingkat menjadi Dewa Ngakan atau Ngakan bagi laki –laki, Sangayu bagi perempuan. Dan untuk para pengikut (para arya) memakai “Gusti” baik laki – laki maupun perempuan. Bagi golongan Ksatria yang masuk kedalam Kesucian ajaran agama maka memakai gelar Mpu, Rsi dan Mangku. Golongan Tri wangsa memiliki peranan sebagai berikut: Brahmana sebagai pembuat, pelaksana, dan pembina kepercayaan masyarakat terhadap ajaran–ajaran agama dan leeluhur di dalam masyarakat itu sendiri.

Golongan Ksatria berperan dalam pemeliharaan, pembinaan dan pelaksana pemberian hukuman terhadap tindakan yang mengabaikan aturan yang berada dalam masyarakat itu sendiri. Golongan Jaba terdiri dari: Wayan, Putu, Made, Komang, Ketut, Nengah dan lain – lain, ini digunakan untuk menunjukkan tingkat lahir keturunan dalam golongan Jaba. Bagi golongan Jaba yang ingin masuk kedalam kesucian ajaran agama maka digunakan gelar “Mangku”. Golongan Jaba memiliki peran sebagai pelayan atau pembantu bagi golongan tri wangsa dalam menjalankan ajaran – ajaran yang ada dalam masyarakat itu sendiri, dan juga penyedian saranan yang diperlukan dalam pelaksanaannya. Di berikan hak kepada golongan Ksatria dan jaba mendapatkan peran sebagai pelaksana (tokoh agama) dalam pelaksanaan suatu ajaran.

Dengan melalui pendidikan dalam abad ke XIV sampai permulaan abad XIX mempunyai corak yang sesuai dengan masyarakat tradisional. Pendidikan dilakukan oleh golongan elit (triwangsa) atas inisiatif pribadi. Pendidikan yang menonjol pada waktu itu adalah pendidikan keagamaan dan hal–hal yang berhubungan dengan kehidupan kerajaan. Orang–orang yang meberikan pendidikan terdiri dari orang – orang Brahmana. Orang yang memberikan pelajaran disebut “Sang Guru”. Dimata masyarakat seorang guru dianggap telah memiliki ilmu pengetahuan yang luas. Gelar Sang Guru didapati melalui kelahiran kedua kalinya (dwijati), maksudnya pertama kali manusia lahir ke dunia tidak memiliki apa – apa dalam hidupnya (hampa) dan kelahiran

kedua didapatkan dengan ilmu pengetahuan yang luas melalui pengalaman dalam suatu kegiatan ( upacara).

Orang yang belajar dari sang Guru disebut “Sisya”. Dalam proses sumber - sumber pembelajaran tersebut disebut “Aguru”, sedangkan proses memberikan pelajaran disebut “asisia”. Sebagai seorang sisya harus mentaati peraturan–peraturan yang sangat ketat. Peraturan berupa pengekangan diri (tapa Brata). Seorang guru melakukan pengarahan pada seorang sisya melalui kegiatan (upacara) dalam tujuan membersihkan diri sisya dengan istilah “Abebersih” atau Diksita (diksa)”. Setelah “Mediksa’. Barulah seorang golongan Brahmana, Ksatya, Jaba mendapat gelar sebagai seorang tokoh (diatas sebagai berikut). Biasanya untuk menggantikan dirinya, seorang guru cukup menunjukkan salah seorang keturunanya sebelum meninggal. Khusus bagi golongan ksatrya tentang ilmu – ilmu berhubungan pemerintahaan.8

Menurut peneliti dari cara hidup masyarakat tradisional muncullah istilah catur guru sebagai dasar kehidupan masyarakat. Kata catur berasal dari bahasa sansekerta yang berarti empat kata guru berasal dari akar kata sansekerta, gu berarti kegelapan dan ru berarti penerangan. Jadi guru adalah seseorang yang berpengetahuan dan memberikan pencerahan serta mampu untuk mengarahkan orang lain. Catur guru memiliki arti empat guru yang dihormati, diagungkan, dipuja, ditaati, dan ditakuti

dalam kehidupan masyarakat tradisional pada masa itu. Catur Guru terdiri dari empat guru yaitu :

Guru Swadyaya adalah Sang Yang Widi Wasa merupakan perwujudan penyatuan dari Tri murti disebut maha Guru kehidupan (Guru Utama) yang memberikan tuntunan hidup manusia melalui ajaran-ajarannya yang diturunkan melalui wahyu yang diterima oleh masyarakat melalui golongan Brahmana. Peneliti menggambarkan bagikan Pohon Kehidupan, yang terdiri dari Betara Brahma perwujudan dari pencipta yang berada dalam kuncup yang tumbuh di kulit kayu yang terletak di pohon kehidupan, digambarkan sebagai Ilmu Pengetahuan melalui keyakinan atu kepercayaan puncaknya menjadi kebijaksanaan dalam menjalani hidup, yang nantinya akan menjadi kekuatan dalam diri pribadinya dan tercermin dalam perilakunya., Betara Wisnu perwujudan dari pelindung berada pada daun rimbun dan buahnya yang lonjong digambarkan sebagai kekuasaan dan Kekayaan hasil dari kebijaksanaan yang diperoleh dari prilaku dalam dirinya, Betara Siwa perwujudan dari peleburan berada pada dedaunan tua dan buah yang membusuk dari dalam digambarkan kekuasaan yang menghilang dan kekayaan yang habis diakibatkan oleh waktu, ketiga kekuatan penguasa kehidupan ini dipercayai oleh masyarakat tradisional sebagai Maha Guru Kehidupan. Untuk menghormati maka didirikan tempat suci yang dikenal dengan Pura Dalem, Pura

Maha Guru kehidupan yang mengajari sisia (individu – individu dalam masyarakat) mengenai arti dan mengerti jalan kehidupan yang sesungguhnya melalui

pengalaman sisia dalam menjalani hidupnya. Maha guru kehidupan mengajari sisianya dengan cara melakukan kegiatan untuk mencari kehidupan dikenal dengan nama penghidupan di dalam masyarakat. Maha Guru kehidupan memberikan tugas pada sisianya mencari pengertian arti sesungguhnya kehidupan, di masyarakat lebih dikenal sebagai mata pencaharian hidup. Dan sisia yang bisa menyelesaikan tugasnya dengan baik akan menjadi “orang meninggalkan dunia menuju alamNya”

Guru Wisesa adalah pemerintahan dalam suatu wilayah peneliti menggambarkan sebagai batang pohon yang memiliki struktur terdiri dari penguasa yang dianggap sebagai perwujudan dari betara di bumi, berada pada inti batang pohon menggambarkan keberadaan pelindungi wilayah tersebut, dengan pengikutnya yang menjaga keberadaan penguasa tersebut, menggambarkan kekuatan dari keberadaan pelindungi wilayah tersebut. Masyarakat tradisional mempercayai pemerintahan sebagai Guru Pelindung Kehidupan, karena masyarakat tradisional mematuhi peraturan yang dibuat oleh pemerintah penguasa tersebut bagaikan seorang sisia yang menututi gurunya. Guru Pelindung Kehidupan memberikan tugas pada sisia untuk siap atau sanggup dalam situasi apapun dalam kehidupannya, didalam masyarakat dikenal dengan istilah mengabdi. Karenanya pada masa kerajaan dulu masyarakat memandang bahwa pemerintah adalah seorang guru yang akan memberikan pengarahan pada masyarakat kemana harus melangkah sehingga banyak masyarakat dulu memiliki sifat bersedia mengikuti apa – apapun yang dianggapnya perlu. Sisia yang dapat

menyelesaikan tugasnya dengan baik akan menjadi “orang besar menerima kenyataan hidup ”.

Guru Pengajian adalah masyarakat memiliki kemampuan di suatu wilayah peneliti menggambarkan sebagai akar pohon yang muncul dipermukaan tanah, maksudnya masyarakat yang memiliki kemampauan tersebut dilihat oleh pemerintah dijadikan aparat pemerintah di masyarakat sendiri. Dimata masyarakat tradisional, masyarakat yang memiliki kemampuan dalam menjaga kepercayaan akan dijadikan panutan bagi masyarakat lainnya. Karena itu dianggap sebagai Guru Penjaga kehidupan. Para sisia ditugaskan oleh guru penjaga untuk menjaga kehidupan di wilayah melalui ketrampilan dalam seni yang dikuasai masyarakat tersebut dan dalam menjaga ketrampilan dalam seni agar keberadaannya tetap ada maka muncul sebuah seni tulisan. Sisia yang menyelesaikan tugasnya dengan baik akan menjadi “orang mampu dalam kemampuan”.

Guru Rupaka adalah orang tua dalam suatu masyarakat di suatu wilayah peneliti menggambarkan sebagai akar pohon yang dalam tanah yang tidak kelihatan namun memberi kehidupan bagi akar permukaan, batang pohon, bagian atas pohon. Karena dalam ajaran catur guru pekerjaan guru rupaka merupakan pekerjaan terberat dalam catur guru disebabkan manusia mempelajari hakekat hidupnya dalam kehidupan manusia melalui 3 tahap yaitu : tahap pertama, merangkak, menunduk artinya menyerahkan hidupnya pada orang lain, selanjutnya menangis artinya meminta sesuatu dari orang lain. tahap kedua, berjalan dengan kedua kaki artinya mempelajari cara

berdiri sendiri, selanjutnya berbicara artinya mulai mempelajari sarana berkomunikasi untuk memiliki sesuatu, selanjutnya menulis juga sarana dalam memperoleh sesuatu dan menunjukkan sesuatu. Dan tahap ketiga. Menunggu artinya menyerahkan sesuatu, selanjutnya diam artinya kehilangan sesuatu. Hakekat hidup ini hanya salah satu dari berbagai ajaran mengenai hakekat hidup. Karenanya itu keluarga merupakan Guru Pembimbing kehidupan. Sisia diberi tugas oleh Guru pembimbing Kehidupan untuk mengetahui kehidupannya dengan menjadi “orang yang hidup dan belajar artinya hidup”.

Pendidikan pada masa itu berdasarkan atas keturunan dan kelas sosial atau golongan. Bagi golongan atas diberikan pelajaran dari 4 guru di atas sedangkan golongan kelas bawah tidak dizinkan untuk mendapatkan pendidikan dari guru wisesa dan guru pengajian hanya didapat melalui guru swadiayaya dan guru rupaka melalui guru ini mereka mengenal arti dari kedudukan dan kekuasaan dari alam maupun manusia karena pendidikan itu sangat didasarkan pada kepercayaan baik dari alam ataupun manusia sendiri. Kepercayaan itu melahirkan sebuah kebudayaan masyarakat menjadikan rutinitas masyarakat pada masa itu.banyak hasil karya yang dihasilkan pada kebudayaan itu yaitu gong, alat musik tradisional khususnya seluruh wilayah Bali merupakan harta berharga. Karena pada awal datangnya orang Belanda disambut dengan musik tradisional memberikan kejutan pada orang Belanda dan membuat bangsa belanda kebinggungan diawalnya lama kelamaan menjadi daya tarik dan memunculkan kekaguman dari rasa itu menjadi cikal bakal aset bagi Bali untuk

menculnya pariwisata. Alasan mengapa belanda sangat di terima wilayah bali awalnya terutama wilayah kerajaan sampranga dulu disebabkan rasa tidak menyukai sikap yang pernah dibawa orang jawa.

Pada masa itu, masyarakat tidak menyenangi sikap menipu mungkin masyarakat menganggap bahwa pelajaran dari empat guru adalah yang utama. Dan juga masyarakat pada masa itu memiliki jiwa murni yang bila di kotori akan mencemari nilai ajaran yang ada. Artha benda menjadi hal ringan bagi masyarakat saat itu karenanya bangunan baik itu tempat tinggal maupun tempat sembahyang dibangun menyatu dengan alam. Menurut pandangan peneliti masyarakat tradisional menganggap bahwa guru swadiayaya dapat ditemui melalui penyatuan masyarakat dengan alam itu sendiri. Sekarang kembali pada penjelasan mengenai setelah masa pemerintah gelgel dilanjutkan dengan masa penjajahan. Dari penjajahan ini munculnya

Dokumen terkait