• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Stres Oksidatif Pada Abortus Inkomplit

2.4.1. Stres Oksidatif

Efek merugikan dari radikal bebas yang menyebabkan kerusakan biologis dikenal dengan nama stress oksidatif (Kovacic dan Jacintho, 2001). Hal ini terjadi dalam sistem biologis akibat produksi ROS yang berlebihan maupun akibat defisiensi antioksidan enzimatik dan non-enzimatik. Dengan kata lain, stress oksidatif terjadi akibat reaksi metabolik yang menggunakan oksigen dan menunjukkan gangguan keseimbangan status reaksi oksidan dan antioksidan pada mahluk hidup. ROS yang berlebihan akan merusak lipid seluler, protein maupun DNA dan menghambat fungsi normal sel (Gambar 2.1).

Gambar 2.1 Kerusakan Akibat Reaktif Oksigen Spesies Sumber : Kohen dan Nyska (2002)

Radikal yang berasal dari oksigen merupakan kelompok radikal terpenting yang dihasilkan dalam tubuh mahluk hidup (Miller dkk, 1990). Secara umum ROS dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu radikal dan nonradikal, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1. Kelompok radikal yang sering dikenal dengan radikal bebas mengandung satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbit atomik atau molekulernya (Halliwell dan Gutteridge, 1999). Elektron yang tidak berpasangan ini menunjukkan tingkat reaktivitas tertentu pada radikal bebas. Kelompok nonradikal terdiri dari berbagai bahan yang beberapa diantaranya sangat reaktif (Kohen dan Nyska, 2002).

Tabel 2.1 Metabolit Radikal dan Nonradikal Oksigen Sumber : Kohen dan Nyska (2002)

Nama Simbol RADIKAL OKSIGEN Oksigen (Bi-radikal) O2•• Ion Superoksida O2•¯ Hidroksil OH Peroksil ROO Alkoksil RO Nitrit Oksida NO NONRADIKAL OKSIGEN Hidrogen Peroksida H2O2

Peroksida organik ROOH

Asam Hipoklorit HOCL

Ozon O3

Aldehid HCOR

Singlet Oksigen 1O2

Peroksinitrit ONOOH

Molekul oksigen memiliki konfigurasi elektron yang unik dan molekul ini sendiri merupakan bi-radikal karena memiliki dua elektron tidak berpasangan pada dua orbit yang berbeda. (Kohen dan Nyska, 2002). Penambahan satu elektron pada dioksigen akan membentuk radikal superoksid (O2•¯

). Peningkatan anion superoksida terjadi melalui proses metabolik atau setelah aktivasi oksigen oleh radiasi (ROS primer) dan dapat bereaksi dengan molekul lain untuk membentuk ROS sekunder baik secara langsung maupun melalui proses enzimatik atau katalisis metal (Valko dkk, 2005).

Organisme harus menghadapi dan mengontrol adanya pro-oksidan dan antioksidan secara terus menerus. Keseimbangan kedua faktor ini yang dikenal dengan nama redoks potensial, bersifat spesifik untuk tiap organel dan lokasi biologis. Hal-hal yang mempengaruhi kesimbangan ke arah manapun menimbulkan efek buruk terhadap sel dan organisme. Perubahan keseimbangan

ke arah peningkatan pro-oksidan yang disebut stress oksidatif akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Perubahan keseimbangan ke arah peningkatan kekuatan reduksi atau antioksidan juga akan menimbulkan kerusakan yang disebut stress reduktif (Gambar 2.2) (Kohen dan Nyska, 2002)

Gambar 2.2 Pengaruh Keseimbangan Oksidan dan Reduktan Sumber : Kohen dan Nyska (2002)

Radikal bebas memiliki waktu paruh yang sangat singkat, karena setelah terbentuk, komponen ini segera bereaksi dengan molekul lain. Waktu paruh ROS dipengaruhi oleh lingkungan fisiologisnya, seperti pH dan adanya spesies lain. Toksisitasnya tidak selalu sejalan dengan reaktivitas ROS. Pada umumnya, waktu paruh yang panjang dapat mengakibatkan toksisitas yang lebih besar karena memiliki waktu yang cukup untuk berdifusi dan mencapai lokasi yang sensitif, kemudian ROS yang terbentuk akan berinteraksi dan menyebabkan kerusakan di tempat yang jauh dari tempat produksinya. Sebaliknya, ROS yang sangat reaktif dengan waktu paruh yang pendek, misalnya OH, menyebabkan kerusakan langsung di tempat produksinya. Jika tidak ada target biologis penting di sekitar tempat produksinya, radikal tidak akan menyebabkan kerusakan oksidatif. Untuk mencegah interaksi antara radikal dan target biologisnya, antioksidan harus ada di

lokasi produksi untuk bersaing dengan radikal dan berikatan dengan bahan biologis (Kohen dan Nyska, 2002).

Pada pH fisiologis, superoksid ditemukan dalam bentuk ion superoksid (O2•¯

) sedangkan pada pH rendah ditemukan sebagai hidroperoksil (HO2), yang lebih mudah berpenetrasi ke dalam membran biologis. Dalam keadaan hidrofilik, kedua substrat tersebut dapat berperan sebagai bahan pereduksi, namun kemampuan reduksi HO2 lebih tinggi. Reaksi terpenting dari radikal superoksid adalah dismutasi, dimana 2 radikal superoksid akan membentuk Hidrogen peroksida (H2O2) dan O2 dengan bantuan enzim superoksid dismutase maupun secara spontan (Kohen dan Nyska, 2002).

Hidrogen peroksida dapat menyebabkan kerusakan sel pada konsentrasi yang rendah (10µM), karena mudah larut dalam air dan mudah melakukan penetrasi ke dalam membran biologis. Efek buruk kimiawinya dapat dibedakan menjadi 2, yaitu efek langsung dari kemampuan oksidasinya dan efek tidak langsung, akibat bahan lain yang dihasilkan dari H2O2, seperti OH dan HClO. Efek langsung H2O2

seperti degradasi protein Haem, pelepasan besi, inaktivasi enzim, oksidasi DNA, lipid, kelompok -SH dan asam keto (Kohen dan Nyska, 2002).

Molekul oksigen reaktif termasuk radikal bebas, pada keadaan normal dibentuk secara kontinyu sebagai hasil sampingan proses metabolisme selular. Proses metabolisme yang merupakan sumber radikal bebas (Ronzio, 1999, Wibowo, 2002):

1. Reaksi fosforilase oksidatif pada pembentukan ATP di mitokondria. Secara normal dalam reaksi ini 1-5% oksigen keluar dari jalur reaksi ini dan

mengalami reduksi univalent. Reduksi satu elektron dari molekul oksigen ini akan membentuk radikal superoksida, yang harus didetoksifikasi oleh mekanisme proteksi biokimia endogen untuk mencegah kerusakan sel.

2. Beberapa jenis enzim oksidase, misalnya xantin oksidase dan aldehid oksidase dapat membentuk zat oksidan yang reaktif, seperti superoksida.

3. Metabolisme asam arakhidonat oleh enzim siklooksigenase untuk membentuk prostaglandin dan oleh enzim lipooksigenase untuk membentuk leukotrien menyebabkan pembentukan zat-zat antara berbentuk peroksi maupun radikal hidroksi.

4. Sistem oksidase NADPH-dependen di permukaan membran neutrofil adalah sumber pembentukan radikal superoksida yang sangat efisien. Enzim ini lebih banyak bersifat dorman, namun jika teraktivasi misalnya oleh bakteri, mitogen atau sitokin, enzim ini akan mengkatalisis reaksi reduksi mendadak dari oksigen menjadi hidrogen peroksida dan O2-.

5. Sel yang mengandung peroksisom, organela yang mengoksidasi asam lemak akan memproduksi H2O2.

Bagan 2.1 Fisiologi pembentukan dan katalisasi radikal bebas (Adrian dkk, 2000).

O2- dapat bereaksi dengan nitrik oksida (NO) yang menghasilkan peroksinitrit (ONOO-) yang kemudian akan dioksidasi menjadi nitrat (NO3-). NO merupakan suatu endotelium-derived relaxing factor (EDRF), suatu zat yang menyebabkan vasodilatasi sebagai respon terhadap asetilkolin. Peroksinitrit ini sangat sitotoksik dan menyebabkan kerusakan oksidatif pada protein, lemak, dan DNA ( Intyre, 1999).

Radikal bebas dihasilkan selama proses fisiologi normal, namun pelepasannya meningkat pada keadaan iskemia, keadaan reperfusi, dan saat terjadinya reaksi imun (Kumar dkk, 2008). Selain dari sumber endogen yang penting, Sel terpapar reaktif oksigen spesies juga berasal dari sumber eksogen seperti radiasi sinar gamma, ultraviolet, makanan, obat-obatan, polutan,

Cytoplasma Mitochondria Cytochrome P450 O2 + e -Superoxide Cu/Zn SOD Hydrogen peroxide H2O + O2 Electron Transport chain O2 + e -Superoxide Hydrogen peroxide Mn SOD GPX CAT H2O + O2 NO NO Peroxynitrite Hydroxyl radical GPX CAT

xenobiotik dan toxin , merokok, dan polusi udara. Radikal bebas dapat merusak semua komponen biokimia sel, protein dan asam nukleat adalah target utama yang paling penting. Karena sangat reaktif, radikal bebas pada umumnya bereaksi dengan struktur pertama yang dijumpai, yang paling sering adalah komponen lipid membran sel atau organel (Bagiada, 1995).

Dokumen terkait