• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.8 Hasil Uji Hipotesis

4.9.3 Stres Penderita Diabates Mellitus Tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa

Stres adalah suatu kondisi atau keadaan yang dialami seseorang dimana ada ketidakpastian akan kemampuan untuk menghadapi perubahan atau tuntutan yang terjadi dan menimbulkan gangguan pada diri individu tersebut yang ditandai dengan gejala fisik, kognitif, emosional, dan sosial. Stres dalam penelitian ini diukur dengan menggunakan skala stres, semakin tinggi skor yang diperoleh maka menunjukkan semakin tinggi stres yang dimiliki subjek. Sebaliknya, semakin rendah skor yang diperoleh subjek menunjukkan semakin rendah pula stresyang dimiliki subjek.

Secara umum dapat dilihat bahwa gambaran stres penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa tergolong pada kategori sedang dengan persentase 53,6%, sedangkan sisanya tergolong pada kategori tinggi dengan persentase 24,4% dan sebesar 22% tergolong pada kategori rendah. Hasil penelitian tersebut mengindikasikan bahwa sebagian besar penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa cukup sering mengalami stres yang ditandai dengan adanya gejala fisik, gejala kognitif, gejala emosional, dan gejala sosial. Meskipun sebagian besar subjek berada pada

kategori sedang, namun 24,4% sisanya berada pasa kategori tinggi, artinya hasil ini mengindikasikan bahwa terdapat juga sejumlah penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa yang sering mengalami stres yang ditandai dengan adanya gejala fisik, gejala kognitif, gejala emosional, dan gejala sosial.

Stres yang dialami penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa dapat ditimbulkan oleh banyaknya masalah yang terjadi dari dalam diri atau pun dari luar individu tersebut. Masalah yang timbul dari dalam diri, dari keluarga, dari pekerjaan, dari lingkungan dapat mengakibatkan seseorang berada dalam keadaan stres. Pada saat penderita diabetes mellitus tipe II berada dalam keadaan stres, menjadikan penderita diabetes mellitus tipe II cenderung menjadi mudah marah dan agresi, tidak dapat rileks, atau menunjukkan sikap yang tidak kooperatif. Stres yang dialami penderita diabetes mellitus juga dapat disebabkan karena penyakit kronis yang diderita. Penderita diabetes mellitus khususnya tipe II memiliki reaksi psikologis akibat penyakitnya. Reaksi psikologis itu diantaranya adalah perasaan putus asa, marah, cemas, yang semuanya itu dapat menimbulkan stres (Soeharjono, Tjokroprawiro, dan Adi 2002: 163).

Perasaan stres yang dialami seseorang ternyata lebih disebabkan oleh pikiran dan perasaan yang tidak menyenangkan dalam menghadapi stresor kehidupan, kecenderungan berpikir seseorang baik positif maupun negatif akan membawa pengaruh terhadap penyesuaian dan kehidupan psikisnya. Smith dan Zautra (dalam Satiadarma 2003: 7) menjelaskan bahwa penderita sakit kronis

cenderung membutuhkan lebih banyak bantuan orang lain daripada mereka yang tidak mengalami gangguan sakit kronis. Karenanya, penderita sakit kronis juga cenderung lebih sensitif terhadap stres yang bersumber dari jaringan interpersonal mereka. Hasil penelitian ini juga senada dengan penelitian Brannon dan Feist yang mengatakan bahwa penderita penyakit kronis cenderung menunjukkan ekspresi emosi yang bersifat negatif berkenaan dengan kondisi sakitnya (Satiadarma 2003: 7).

Variabel stres terdiri dari empat aspek yaitu gejala fisik, gejala kognitif, gejala emosional, dan gejala sosial. Gejala fisik dapat dilihat dengan subjek merasa sakit kepala atau pusing, tekanan darah menjadi tinggi, cepat lelah, selera makan berubah, gangguan pola tidur, gangguan pencernaan, merasa nyeri di badan, jantung berdebar – debar atau jantung berdetak kencang, dan kehilangan energi. Berdasarkan hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa aspek gejala fisik penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa tergolong sedang. Hal ini berarti penderita diabetes mellitus tipe II sering mengalami masalah yang berpengaruh dengan kondisi fisiknya. Keluhan – keluhan gejala fisik diatas menjadikan penderita diabetes mellitus tipe II menjadi menurun dan semakin lemah sehingga akan mengakibatkan aktivitas menjadi terhambat.

Gejala kognitif tersebut antara lain dapat berupa sulitnya berkonsentrasi, pikiran kacau, pelupa atau daya ingat menurun, dan melamun yang berlebihan. Berdasarkan hasil analisis deskriptif menunjukkan aspek gejala kognitif penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa tergolong

sedang. Hal ini berarti dapat mengakibatkan menurunnya produktivitas dan prestasi individu terutama dalam bidang pekerjaan. Jika hal ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama, juga dapat mengakibatkan berkurangnya kemampuan dan kesempatan penderita diabetes mellitus tipe II dalam mengaktualisasikan diri.

Gejala emosional yang dialami penderita diabetes mellitus tipe II antara lain mudah marah, cemas, suasana hati berubah – ubah, agresif pada orang lain, mudah tersinggung, dan gugup. Berdasarkan hasil analisis deskriptif menunjukkan aspek gejala fisik penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa tergolong sedang. Gejala emosional yang dialami penderita diabetes mellitus tipe II dapat mengakibatkan penderita diabetes mellitus mengalami gangguan dalam mengendalikan emosinya. Gejala emosional ini juga dapat mengakibatkan pengambilan keputusan yang salah pada penderita diabetes mellitus tipe II karena kecenderungan menyelesaikan masalah dengan emosional bukan dengan rasional yang ada.

Gejala sosial yang terjadi antara lain semakin banyak makan, menarik diri dari pergaulan sosial, dan mudah bertengkar dengan orang lain. Berdasarkan hasil analisis deskriptif, menunjukkan bahwa aspek gejala sosial yang dialami penderita diabetes mellitus tipe II di Rumah Sakit Umum Daerah Ambarawa pada kategori tinggi. Hal ini berarti penderita diabetes mellitus tipe II sering mengalami kesulitan yang berarti dalam pergaulan sosial sehari – hari. Penderita diabetes mellitus tipe II juga menemukan kesulitan bersosialisasi dan menjalin hubungan yang baik dengan orang lain.

Berdasarkan perhitungan mean empiris pada variabel stres, aspek gejala fisik memiliki mean empiris yang paling tinggi yaitu sebesar 4,77. Hal ini berarti subjek sering mengalami sakit kepala atau pusing, tekanan darah menjadi tinggi, cepat lelah, selera makan menurun, gangguan pola tidur, gangguan pencernaan, merasa nyeri di badan, dan jantung berdetak kencang. Aspek gejala kognitif dan aspek gejala emosional agak rendah. Hal ini dapat dilihat bahwa besar mean empiris aspek gejala kognitif dan aspek gejala emosional lebih kecil dari mean teoritik yaitu 3,77 dan 3,48. Hal ini berarti subjek agak jarang mengalami gangguan dalam hal sulit berkonsentrasi, kacau pikirannya, pelupa atau daya ingat menurun, dan melamun yang berlebihan. Hal ini juga berarti subjek agak jarang untuk mudah marah, cemas, suasana hati berubah – ubah, agresif pada orang lain, mudah tersinggung, dan gugup. Aspek gejala sosioal memiliki mean empiris yang paling rendah dan lebih kecil dari mean teoritik. Mean empiris aspek gejala sosial sebesar 2,81. Hal ini berarti subjek tidak mengalami hambatan yang berarti dalam pergaulan sosial dan tidak mudah bertengkar dengan orang lain.

4.9.4 Hubungan antara Hardiness dan Emotional Intelligence dengan Stres