• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

A. Stres Pada Remaja

1. Stres

Salah satunya adalah melalui kesakitan. Tingkatan stres yang muncul

tergantung pada keadaan rasa sakit dan umur individu. Stres juga dapat

yang melawan bila seseorang mengalami konflik. Konflik dikatakan sebagai

stressor yang paling utama. Menurut Kurt Lewin ada tiga jenis konflik, yaitu:

a.) Konflik pendekatan-pendekatan yaitu situasi ketika individu berhadapan

dengan dua pilihan yang sama-sama diinginkan, b.) Konflik

penghindaran-penghindaran yaitu situasi ketika individu berhadapan dengan dua pilihan

yang sama-sama tidak diinginkan, dan c.) Konflik pendekatan-penghindaran

yaitu situasi ketika individu berhadapan dengan pilihan antara yang diinginkan

dan tidak diinginkan.

2). Stressor di dalam keluarga.

Stres bersumber dari interaksi di antara para anggota keluarga seperti

perselisihan dalam masalah keuangan, perasaan saling acuh tak acuh atau

tujuan-tujuan yang saling berbeda.

3). Stressor di dalam komunitas dan lingkungan.

Ada beberapa stressor di dalam lingkungan individu, misalnya:

pengalaman stres anak-anak di sekolah karena kejadian kompetitif, stres yang

dialami orang tua karena pekerjaannya, tanggung jawab terhadap keluarganya,

dsb. Stres yang berasal dari lingkungan adalah kebisingan, suhu yang terlalu

panas, kesesakan dan angin badai (tornado, tsunami), migrasi, sekolah, dsb.

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa stressor

pada individu antara lain:

1). Stressor dari dalam diri individu (internal), yaitu penyakit yang diderita

serta keadaan rasa sakit yang dialami dan umur individu tersebut. Stres

motivasional yang melawan bila individu mengalami konflik yang

merupakan stressor paling utama dalam diri individu dan penilaian

individu terhadap setiap peristiwa atau kondisi tertentu yang dapat

mendatangkan stres.

2). Stressor dari luar diri individu (eksternal), yaitu masalah dalam keluarga

(perselisihan dalam masalah keuangan, bertambahnya anggota keluarga,

kematian salah satu anggota keluarga), masalah pekerjaan atau studi,

ditinggal oleh orang yang disayangi, lingkungan tempat tinggal yang

kumuh, bising, sesak, udara atau suhu yang panas, bencana alam seperti

gempa bumi, angin badai (tornado, tsunami) dan migrasi merupakan

beberapa hal yang dapat menyebabkan stres pada diri individu.

c. Faktor Yang Mempengaruhi Penilaian Stres

Kondisi stres yang dialami oleh individu tergantung pada hasil dari

penilaian yang dibuat oleh individu dalam transaksinya dengan lingkungan. Ketika

individu memutuskan ada kecocokan antara tuntutan-tuntutan dengan sumber daya

maka individu cenderung mengalami sedikit stres atau bahkan tidak mengalami

stres sama sekali, tetapi ketika penilaiannya menunjukkan kesenjangan khususnya

bila menilai tuntutan lebih besar daripada sumber daya maka individu akan merasa

sangat stres (Gusniarti, 2002).

Menurut Hardjana (1994), penilaian individu tentang hal, peristiwa, orang

1). Faktor Pribadi, yaitu meliputi unsur intelektual, motivasi dan kepribadian.

Unsur intelektual berkaitan dengan sistem berpikir individu. Semakin individu

tersebut berpikiran negatif, pesimis dan berkeyakinan irasional maka semakin

mudah individu tersebut mengalami stres. Pada unsur motivasi, semakin

peristiwa yang dapat mendatangkan stres tersebut mengancam cita-cita

hidupnya maka semakin rentan individu tersebut mengalami stres. Unsur

kepribadian, lebih berhubungan dengan harga diri. Individu yang memiliki

harga diri rendah dapat lebih mudah mengalami stres karena mereka

cenderung mudah merasa tidak memiliki kemampuan untuk mengatasi stres

yang datang padanya.

2). Faktor Situasi, yaitu meliputi beberapa hal berikut ini:

a). Situasi yang mengandung tuntutan (demand) yang berat dan mendesak.

Semakin kuat tuntutan dan ancaman yang ditimbulkan oleh peristiwa

tersebut maka semakin berat stres yang dialami.

b). Situasi yang berhubungan dengan perubahan hidup (changeability)

mampu membuat seseorang tertekan dan menimbulkan stres. Misalnya:

mulai kuliah, pekerjaan baru, pindah ke lingkungan baru, jauh dari orang

tua, menikah, menjadi orang tua, pension, kematian pasangan, dsb.

c). Situasi yang tidak jelas (ambiguity). Dampak stres yang muncul

tergantung pada tipe ambiguitas yang muncul. Ambiguitas peran terjadi

ketika seseorang tidak jelas atau rancu dan hal tersebut dapat menaikkan

tingkat stres karena individu tersebut berada dalam ketidakpastian tentang

d). Tingkat diinginkannya (desirability) satu hal. Hal yang diinginkan

individu kurang mendatangkan stres daripada hal yang tidak diinginkan.

e). Kemampuan individu dalam mengendalikan (controllability) situasi, yang

mengandung arti apakah individu mempunyai kemampuan untuk

mengubah atau mengakhiri sumber stres. Individu yang mampu

mengendalikan situasi jarang terkena stres dibandingkan individu yang

kurang mampu mengendalikan situasi.

Berdasarkan uraian di atas maka secara singkat dapat disimpulkan bahwa

penilaian individu terhadap hal, keadaan ataupun peristiwa yang menimbulkan

stres dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:

1). Faktor Internal, yaitu meliputi intelektual, motivasi dan kepribadian.

Intelektual yaitu cara pandang dan berpikir individu. Motivasi yaitu

berhubungan dengan terancam atau tidaknya cita-cita hidup individu oleh

dampak stres yang dialaminya. Kepribadian lebih berhubungan dengan

penilaian individu terhadap dirinya atau tingkat harga diri individu.

2). Faktor Eksternal, yaitu berhubungan dengan beberapa situasi di sekitar

individu, antara lain situasi yang mengandung tuntutan (demand), situasi yang

berhubungan dengan perubahan hidup (changeability), situasi yang tidak jelas

(ambiguity), situasi yang diinginkan atau tidak (desirability) dan kemampuan

d. Gejala-gejala Stres

Munculnya stres dalam diri manusia akan memberikan akibat pada diri

individu tersebut. Cox (Handoyo, 2001) membagi empat jenis konsekuensi yang

dapat ditimbulkan stres yang tampak dalam gejala sebagai berikut:

1). Gejala psikologis, yaitu berupa kegelisahan, agresi, kelesuan, kebosanan,

depresi, kelelahan, kekecewaan, kehilangan kesabaran dan harga diri yang

rendah.

2). Gejala perilaku, yaitu berupa peningkatan konsumsi alkohol dan rokok, tidak

nafsu makan atau bahkan makan berlebihan, penyalahgunaan obat-obatan,

menurunnya semangat untuk berolahraga yang berakibat pada pola diet dan

timbulnya beberapa penyakit. Pada saat stres juga terjadi peningkatan

intensitas kecelakaan baik di rumah, di tempat kerja atau di jalan.

3). Gejala kognitif, yaitu ketidakmampuan mengambil keputusan, kurangnya

konsentrasi dan peka terhadap ancaman.

4). Gejala fisiologis, yaitu menyebabkan gangguan pada kesehatan fisik yang

berupa penyakit yang sudah diderita sebelumnya atau memicu munculnya

penyakit tertentu.

Anoraga (1992) menyatakan bahwa stres yang tidak teratasi menimbulkan

gejala badaniah, jiwa dan gejala sosial yang intensitasnya dapat berbeda pada

setiap individu, bisa ringan, sedang atau berat.

1). Gejala badan: sakit kepala, sakit maag, mudah terkejut, banyak mengeluarkan

keringat dingin, gangguan pola tidur, lesu, letih, kaku pada leher belakang

dikerongkongan, gangguan psikoseksual, nafsu makan menurun, mual,

muntah, gejala kulit, gangguan menstruasi, keputihan, kejang-kejang dan

pingsan.

2). Gejala emosional: pelupa, sukar mengambil keputusan, sukar konsentrasi,

cemas, was-was, khawatir, mimpi buruk, mudah marah atau jengkel, mudah

menangis, adanya pikiran untuk bunuh diri, gelisah dan pandangan putus asa.

3). Gejala sosial: makin banyak merokok, minum atau makan, sering mengontrol

pintu dan jendela, menarik diri dari pergaulan sosial, mudah bertengkar dan

kecenderungan untuk membunuh.

Pengukuran tingkat stres remaja pada penelitian ini didasarkan pada

gejala-gejala stres menurut teori Hardjana (1994), yaitu:

1). Gejala fisikal, yaitu: sakit kepala, pusing, pening, tidur tidak teratur, insomnia,

sakit punggung terutama di bagian bawah, diare dan radang usus besar, sulit

buang air besar, gatal-gatal pada kulit, urat tegang terutama pada leher dan

bahu, terganggunya pencernaan, bisulan, tekanan darah tinggi, serangan

jantung, keringat berlebih, selera makan berubah, mudah lelah atau kehilangan

energi serta bertambah banyak melakukan kekeliruan atau kesalahan dalam

kerja dan hidup.

2). Gejala emosional, yaitu: gelisah atau cemas, sedih, depresi, mudah menangis,

mudah berubah suasana hatinya (mood), mudah marah, gugup, merasa tidak

aman serta menurunnya harga diri, terlalu peka dan mudah tersinggung,

mudah menyerang orang dan bermusuhan, emosi mengering atau kehabisan

3). Gejala intelektual, yaitu: susah berkonsentrasi, sulit membuat keputusan,

mudah lupa, pikiran kacau, daya ingat menurun, melamun secara berlebihan,

pikiran dipenuhi oleh satu pikiran saja, kehilangan rasa humor yang sehat,

produktivitas atau prestasi kerja menurun, mutu kerja rendah, meningkatnya

jumlah kekeliruan yang dibuat dalam pekerjaan.

4). Gejala interpersonal, yaitu: kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah

menyalahkan orang lain, mudah membatalkan janji atau tidak memenuhinya,

suka mencari-cari kesalahan orang lain atau menyerang orang dengan

kata-kata, mengambil sikap terlalu membentengi dan mempertahankan diri dan

mendiamkan orang lain.

Berdasarkan beberapa teori yang dijelaskan di atas, maka dapat

disimpulkan gejala-gejala stres sebagai berikut:

1). Gejala fisiologis, yaitu gangguan kesehatan berupa kambuhnya penyakit lama

atau timbulnya penyakit baru; sakit kepala; gangguan pencernaan seperti diare,

radang usus besar, sulit buang air besar, sakit maag, mual dan muntah;

keringat yang berlebih; rasa kaku pada leher belakang sampai punggung dan

bahu; rasa panas dan nyeri pada dada; rasa tersumbat pada kerongkongan;

perubahan selera makan; gangguan psikoseksual; gangguan menstruasi dan

keputihan; gangguan tidur; gatal-gatal pada kulit; mudah merasa lelah dan

letih; kejang-kejang dan pingsan serta serangan jantung.

2). Gejala kognitif, yaitu sulit untuk mengambil keputusan dan berkonsentrasi,

daya ingat menurun dan mudah lupa, peka terhadap ancaman dan mudah

satu hal saja, hilangnya rasa humor, menurunnya produktivitas dan mutu kerja

serta meningkatnya jumlah kekeliruan yang dibuat dalam suatu pekerjaan.

3). Gejala emosional, yaitu: rasa gelisah, cemas, sedih, depresi, hilang kesabaran

dan mudah marah atau jengkel, merasa harga diri rendah, terlalu khawatir,

mudah menangis, mudah berubah suasana hatinya, merasa tidak aman, gugup,

terlalu peka dan mudah tersinggung serta mudah terkejut.

4). Gejala perilaku, yaitu: agresi, rasa bosan, kekecewaan, peningkatan konsumsi

alkohol, rokok dan obat-obatan, turunnya semangat untuk berolahraga yang

berakibat pada pola diet yang tidak sehat dan timbulnya beberapa penyakit,

pandangan putus asa, pikiran untuk bunuh diri, mudah bertengkar dan

menyerang orang lain serta bermusuhan, meningkatnya intensitas kecelakaan,

kehilangan kepercayaan kepada orang lain, mudah menyalahkan dan mencari

kesalahan orang lain, mudah membatalkan janji atau tidak memenuhinya,

menarik diri dari pergaulan sosial atau terlalu membentengi dan

mempertahankan diri serta mendiamkan orang lain.

e. Respon Tubuh Terhadap Stres

Selye (Santrock, 2003) menyatakan bahwa stres merupakan kerusakan

yang dialami oleh tubuh akibat berbagai tuntutan yang ditempatkan padanya.

Menurut pengamatan yang dilakukannya berapapun kejadian dari lingkungan atau

stimulus yang ada akan menghasilkan respon stres yang sama pada tubuh. Tanpa

atau serupa. Pada saat mengalami stres, tubuh akan menanggapinya melalui

beberapa tahap yaitu:

1). Tahap peringatan (alarm), yaitu tahap ketika individu memasuki kondisi

shock yang bersifat sementara dan pertahanan tubuh terhadap stres berada

di bawah normal. Individu akan berusaha mengenali keberadaan stres dan

mencoba menghilangkannya sehingga mengakibatkan kondisi otot tubuh

menjadi lemah, menurunnya suhu tubuh dan tekanan darah. Setelah

kondisi shock, kemudian individu akan memasuki kondisi countershock,

yang menyebabkan pertahanan tubuh terhadap stres dan pengeluaran

hormon stres meningkat.

2). Tahap perlawanan (resistance), yaitu tahap ketika pertahanan tubuh

terhadap stres menjadi semakin intensif dan tubuh akan melakukan segala

upaya untuk melawan stres. Tubuh individu akan dipenuhi oleh hormon

stres dan tekanan darah, detak jantung, suhu tubuh serta pernafasan

menjadi meningkat.

3). Tahap kelelahan (exhausted), yaitu tahap ketika individu akan mengalami

kelelahan karena gagalnya segala upaya yang telah dilakukannya untuk

melawan stres. Individu akan mengalami kerusakan tubuh dan menjadi

rentan terhadap penyakit.

Jadi dapat disimpulkan bahwa tubuh akan memberikan respon terhadap

stres melalui tiga tahap. Pertama adalah tahap peringatan yaitu tahap ketika

kondisi tubuh berada di bawah normal dan tubuh berusaha mengenali dan

tahap perlawanan, individu akan berusaha melawan stres dengan segala upaya dan

kondisi tubuh mengalami peningkatan hormon stres serta meningkatnya tekanan

darah, detak jantung, suhu tubuh dan pernafasan. Pada akhirnya individu akan

memasuki tahap ketiga yaitu tahap kelelahan, dan tubuh mengalami kerusakan

serta rentan terhadap penyakit.

f. Cara Menangani Stres

Lazarus (Santrock, 2003) menyatakan bahwa penanganan stres (coping)

terdiri dari dua bentuk, yaitu:

1). Coping yang berfokus pada masalah (problem-focused coping), yaitu suatu

strategi kognitif untuk penanganan stres yang digunakan oleh individu dengan

menghadapi masalahnya dan berusaha menyelesaikannya. Sebagai contoh, bila

seorang mahasiswa mengalami masalah dengan salah satu mata kuliah, maka

ia akan bertanya pada dosen yang bersangkutan, teman atau berusaha mencari

sumber buku di perpustakaan.

2). Coping yang berfokus pada emosi (emotion-focused coping), yaitu strategi

penanganan stres di mana individu memberikan respon terhadap situasi stres

dengan cara emosional, terutama dengan menggunakan penilaian defensif.

Sebagai contoh adalah dengan melakukan mekanisme pertahanan diri seperti

penyangkalan (denial). Misalnya pada saat seseorang menghadapi kematian

orang yang disayanginya atau penyakit, maka ia akan cenderung menyangkal

Menurut Hardjana (1994), stres dapat dikelola dengan tujuan untuk

mengurangi atau meniadakan dampak stres yaitu dengan pendekatan

farmakologis, behavioral, kognitif, meditasi dan hipnosis. McQuade (1987),

berpendapat bahwa untuk menangani stres dapat dilakukan dengan merubah

respon individu terhadap stres tersebut dan hal tersebut dapat dilakukan dengan

obat-obatan, meditasi, hipnotis, umpan balik biologis dan psikoterapi. Berdasarkan

pendapat kedua tokoh tersebut maka dapat dibuat suatu kesimpulan bahwa

penanganan stres dapat dilakukan dengan beberapa metode berikut:

1). Pendekatan Farmakologis atau Biomedis.

Pendekatan ini dilakukan oleh dokter yang ahli dalam psikiatri. Metode ini

memanfaatkan obat-obat penenang. Penggunaan obat penenang ini fungsinya

hanya bersifat sementara, misalnya pada saat seseorang mengalami stres berat

karena ditinggal mati oleh orang yang amat dicintainya (Hardjana, 1994).

Obat-obat penenang tersebut dapat mengurangi kecemasan dalam jangka pendek tetapi

tidak secara langsung membantu individu untuk memecahkan masalah ataupun

mengatasi stresnya (Nevid, 2005).

2). Meditasi.

Metode ini merupakan cara untuk mempengaruhi gejolak mental karena

stres dengan cara menyempitkan perhatian atau kesadaran individu dengan

memfokuskan pada suatu stimulus yang berulang-ulang dengan tujuan untuk

3). Hipnosis

Hipnosis merupakan perubahan kesadaran yang dihasilkan lewat teknik

sugesti tertentu dan dalam keadaan tersebut orang dapat dibantu mengubah

pemahaman, ingatan dan perilakunya (Hardjana, 1994).

4). Umpan Balik Biologis (Biofeedback)

Umpan balik biologis (biofeedback) adalah metode yang menggunakan

alat mesin untuk memantau perubahan yang terjadi pada proses fisiologis atau

otak dan menampilkannya dalam bentuk audio maupun visual (Niven, 2002).

5). Psikoterapi

Menurut Corsini (Gunarsa, 1992) psikoterapi merupakan proses formal

dari interaksi antara dua pihak dengan tujuan untuk memperbaiki keadaan yang

tidak menyenangkan (distress) yang diakibatkan oleh malafungsi pada salah satu

fungsi yaitu fungsi kognitif, afektif atau perilaku. Ada beberapa metode yang

dapat digunakan dalam psikoterapi, yaitu:

a). Terapi Kognitif (Cognitive Therapy).

Pendekatan ini membantu individu untuk mengidentifikasi dan

memperbaiki keyakinan-keyakinan maladaptif, jenis berpikir otomatis dan sikap

self-defeating yang menghasilkan dan menambah masalah emosional (Nevid,

2005). Metode ini membantu orang untuk mengatur kembali pola berpikirnya

(cognitive restructuring), yaitu dengan mengganti pikiran atau kepercayaan yang

mengundang stres dengan pikiran dan kepercayaan yang tidak mengundang stres

atau dengan mengurangi penilaiannya terhadap hal yang mendatangkan stres

b). Terapi Behavioral (Behavioral Therapy)

Pendekatan ini merupakan aplikasi sistematis dari prinsip-prinsip belajar

untuk menangani gangguan psikologis (Nevid, 2005). Ada beberapa metode yang

dapat digunakan. Peniruan (modeling), yaitu dengan cara mengamati (observation)

dan bergaul (socialization) dengan orang yang mengalami stres sehingga individu

dapat tahu apa dan bagaimana menangani stres dari orang lain (Hardjana, 1994).

Desensitisasi sistematis yaitu metode yang berguna untuk mengurangi ketakutan

dan kecemasan. Metode ini biasanya digabungkan dengan relaksasi yaitu suatu

bentuk penenangan diri dengan cara memusatkan perhatian pada suatu kelompok

otot tertentu dengan menegangkan dan mengendurkannya (Hardjana, 1994).

Teknik ini dapat meningkatkan perasaan segar dan sehat secara fisik maupun

psikis pada diri individu (Gunarsa, 1992).

c). Terapi Musik (Music Therapy)

Pendekatan ini menggunakan musik sebagai media untuk memperbaiki,

memelihara, mengembangkan mental, fisik dan kesehatan emosi. Terapi musik

digunakan untuk memperbaiki kesehatan fisik, interaksi sosial yang positif,

mengembangkan hubungan interpersonal, ekspresi emosi secara alamiah dan

meningkatkan kesadaran diri. Musik dapat digunakan sebagai audioanalgesik

(penenang) atau sebaliknya untuk menimbulkan pengaruh biomedis yang positif.

Contohnya penderita penyakit kronis diajarkan menggunakan musik untuk

menurunkan gejala fisiologis dan kadar stres, mengalihkan perhatian dari rasa

terhadap rasa sakit. Musik dikatakan mampu untuk mengurangi kecemasan dan

stres serta merubah kondisi suasana hati dan emosi yang negatif (Djohan, 2005).

Menurut Gunawan (2003), ada beberapa efek yang ditimbulkan oleh musik

dalam diri manusia, antara lain adalah:

1). Musik meningkatkan energi otot.

2). Musik meningkatkan energi sel tubuh.

3). Musik meningkatkan metabolisme tubuh.

4). Musik meningkatkan kecepatan penyembuhan dan pemulihan pasien operasi.

5). Musik meningkatkan kondisi emosi ke arah yang lebih baik.

6). Musik mempengaruhi detak jantung.

7). Musik mengurangi stres dan rasa sakit.

8). Musik mengurangi rasa lelah dan mengantuk.

9). Musik merangsang kreativitas, kepekaan dan kemampuan berpikir.

University of California Press, berpendapat bahwa terapi dengan

menggunakan musik merupakan salah satu cara yang dapat dilakukan untuk

mengurangi stres yang dialami oleh 50% hingga 80% pasien yang datang untuk

meminta pengobatan terhadap gangguan yang berhubungan dengan stres.

Kemampuan yang dimiliki oleh musik dalam mempengaruhi psikologis dan

proses fisiologis, membuat musik menjadi suatu alternatif yang penting dalam

manajemen stres. Alasan utamanya adalah karena musik dapat menjadi sebuah

bentuk relaksasi dan berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan, ditunjukkan

bahwa musik dapat berfungsi untuk mengurangi suhu tubuh, detak jantung dan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan sebelumnya juga

ditemukan bahwa terapi musik mempunyai beberapa fungsi yang berhubungan

dengan stres sebagai berikut (Johnson, 2002):

1). Musik memberi stimulus untuk relaksasi.

2). Musik memberi penguatan stimulus untuk relaksasi.

3). Musik meningkatkan kesadaran pada respon tubuh terhadap stres dan

meningkatkan proses fisiologis pada relaksasi.

4). Musik memfasilitasi identifikasi dan pengekspresian perasaan yang

berhubungan dengan stres.

5). Musik menyediakan alternatif mekanisme coping untuk menghadapi stres

secara sukses.

Oleh karena itu musik merupakan suatu media yang dapat digunakan untuk

mengurangi stres yang dialami oleh individu (Djohan, 2005).

Musik dipercaya memiliki efek penyembuhan bagi tubuh manusia. Ketika

individu mendengarkan musik maka denyut nadi, kecepatan pernafasan, tahanan

listrik pada kulit dan pembuluh darah pendengarnya mengalami perubahan. Musik

juga mampu menurunkan tekanan darah, detak jantung, metabolisme dasar dan

pernafasan sehingga mampu mengurangi tekanan terhadap respon fisiologis,

ketegangan otot, ACTH (hormon stres) dan mengurangi rasa mual (Djohan, 2005).

Musik dapat memberikan perasaan tenang, mengurangi rasa takut dan

cemas. Sloboda (Djohan, 2005) berpendapat bahwa musik dapat meningkatkan

intensitas emosi dan akan lebih akurat bila ‘emosi musik’ tersebut dijelaskan

mendengar musik tersebut. Musik dapat pula meningkatkan perasaan, khususnya

secara langsung dan cepat menimbulkan rasa senang (Meyer, dalam Djohan

2005).

Gardner (Djohan, 2005) menyatakan bahwa musik memiliki hubungan

kausal dengan aspek intelegensi. Musik dapat membantu individu untuk

mengorganisir cara berfikir dan bekerja sehingga membantu mereka untuk

berkembang dalam hal matematika, bahasa dan kemampuan spatial. Djohan

(2005) berpendapat bahwa mendengarkan musik dapat meningkatkan konsentrasi

dan ketrampilan, menyediakan stimuli dalam proses belajar dan mengajar,

mempersiapkan individu untuk memecahkan masalah dengan cara yang menarik

dan orisinil.

Menurut Blacking (Djohan, 2005), musik merupakan perilaku sosial yang

kompleks dan universal karena masyarakat memiliki musik tersebut dan setiap

anggota masyarakatnya adalah musikalitas (perilaku musik). Musik dapat

membantu menghadirkan rasa aman, lingkungan yang mendukung dan mampu

mengurangi stres dengan memberikan identitas kepada pendengarnya sekaligus

sebagai media untuk mengekspresikan diri. Musik juga mampu meningkatkan rasa

percaya diri dengan lingkungan yang tepat, menyediakan lingkungan di mana

individu dapat bekerja dengan baik, menghadirkan rasa aman, lingkungan yang

mendukung dan meningkatkan rasa harga diri (Djohan, 2005).

Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilakukan serta uraian yang

dijelaskan mengenai terapi musik maka dapat dilihat bahwa musik dapat

kognisi dan perilaku. Djohan (2005) mengatakan bahwa terapi musik dapat

dilakukan dengan beberapa metode seperti bernyanyi, bermain alat musik, gerakan

ritmis dan mendengarkan musik. Berger (Djohan 2005) berpendapat bahwa untuk

dapat memperoleh manfaat secara maksimal maka musik harus diprogram dan

dimasukkan dalam jadwal kegiatan harian individu sehingga semakin banyak

manfaat yang diperoleh.

Berdasarkan uraian mengenai penangan stres yang dijelaskan di atas maka

dapat disimpulkan bahwa stres dapat diatasi dengan beberapa cara, yaitu:

1). Melakukan coping. Ada dua cara, pertama problem-focused coping yaitu

dengan menghadapi secara langsung masalah dan menyelesaikannya. Kedua

adalah emotion-focused coping yaitu memberi respon terhadap stres secara

emosional.

2). Pendekatan farmakologis atau biomedis, yaitu mengurangi tingkat stres

dengan memanfaatkan obat penenang yang fungsinya hanya bersifat

Dokumen terkait