Target Informasi Rincian
Tingkat kelengkapan Bab I Ketentuan Umum Bab II Diversi
Bab III Acara Peradilan Pidana Anak Bagian Kesatu Umum
Bagian Kedua Penyidikan
Bagian Ketiga Penangkapan dan Penahanan Bagian Keempat Penuntutan
Bagian Kelima Hakim Pengadilan Anak Paragraf 1 Hakim Tingkat Pertama Paragraf 2 Hakim Banding
Paragraf 3 Hakim Kasasi Paragraf 4 Peninjauan Kembali
Bagian Keenam Pemeriksaan di Sidang Pengadilan Bab IV Petugas Kemasyarakatan
Bagian Kesatu Umum
Bagian Kedua Pembimbing Kemasyarakatan
Bagian Ketiga Pekerja Sosial Profesional dan Tenaga Kesejahteraan Sosial
Bab V Pidana dan Tindakan Bagian Kesatu Umum
Target Informasi Rincian
Bagian Kedua Pidana Bagian Ketiga Tindakan
Bab VI Pelayanan, Perawatan, Pendidikan, Pembinaan Anak, dan Pembimbingan Klien Anak
Bab VII Anak Korban dan Anak Saksi Bab VIII Pendidikan dan Pelatihan Bab IX Peran Serta Masyarakat
Bab X Koordinasi, Pemantauan, dan Evaluasi Bab XI Sanksi Administratif
Bab XII Ketentuan Pidana Bab XIII Ketentuan Peralihan Bab XIV Ketentuan Penutup
Tingkat kerincian UU ini cukup rinci, tetapiada rangkaian proses yang seharusnya dirinci dalam tataran undang-undang atau didelegasikan pada peraturan MA. Namun, undang-undang ini justru mendelegasikannya pada peraturan pemerintah. Contoh lain pada Bab X tentang koordinasi, pemantauan, dan evaluasi tidak terlalu detil, mengingat pelaksanaan undang-undang ini tentunya akan berimbas pada kewenangan dan tanggung jawab beberapa kementerian. Efektivitas dan
kerancuan kalimat Kalimat cukup efektif, cukup jelas menjelaskan siapa melakukan apa. Mekanisme evaluasi Bab X mengatur tentang koordinasi, pemantauan, dan
evaluasi.
Pemantauan, evaluasi, dan pelaporan dilakukan oleh kementerian dan komisi yang menyelenggarakan urusan di bidang perlindungan anak. Akan tetapi, pelaksanaannya didelegasikan pada Peraturan Pemerintah.
Kesalahan teknis Tidak ditemukan kesalahan teknis yang signifikan.
C. Proses
C.1. Partisipasi Publik
Target Informasi Rincian
Tahapan dan waktu Pembicaraan Tingkat I (Maret 2011—27 Juni 2012) Pembicaraan Tingkat II dalam Rapat Paripurna 3 Juli
2012
Target Informasi Rincian
semua informasi dapat diperoleh dengan alasan PPID juga belum menerima dokumen yang diminta dari alat kelengkapan yang membahas UU SPPA.
Stakeholders/pemangk u kepentingan yang terlibat
Dalam forum Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), Komisi III mengundang:
18 Oktober 2011
Konsorsium Reformasi Sistem Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum (Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, YLBHI, dan lembaga swadaya masyarakat lain)
11 Oktober 2011
SOS Children's Villages Indonesia sebagai bagian dari Konsorsium yang difasilitasi oleh KPAI
20 Januari 2012
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) dan Pusat Kajian Perlindungan Anak (PUSKAPA) Universitas Indonesia
Kelompok rentan yang
terlibat N/A
Kelompok keahlian
yang terlibat Konsorsium Reformasi Sistem
Perlindungan Anak Berhadapan dengan Hukum (Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), LBH Jakarta, LBH Apik Jakarta, YLBHI, dan lembaga swadaya masyarakat lain)
SOS Children's Villages Indonesia
Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Pusat Kajian Perlindungan Anak (PUSKAPA)
Universitas Indonesia Sifat rapat Sifat rapat terbuka Forum-forum publik
yang diselenggarakan Kunjungan Kerja Spesifik ke 3 (tiga) provinsi,yaitu: Provinsi Sumatra Selatan; Provinsi Jawa Timur; dan
Provinsi Sulawesi Selatan.
Informasi detil tentang penyelenggara dan pihak yang dilibatkan dalam forum-forum tersebut tidak ditemukan. C.2. Perdebatan
Target Informasi Rincian
Wacana Konsep keadilan restoratif dan upaya diversi Batas usia anak yang dapat dipidana
Aparat penegak hokum khusus anak Lembaga-lembaga baru
Syarat, tata cara, dan jangka waktu penangkapan serta penahanan secara khusus
Jenis pemidanaan dan tindakan
Kewajiban untuk tidak mempublikasi perkara anak Pengaturan sanksi pidana dan sanksi administratif terhadap petugas dan aparat yang tidak menjalankan tugas pokok dan fungsi serta kewenangan diatur dalam undang-undang.
Metode pembahasan Pembahasan dengan pola Datar Invantarisasi Masalah (DIM)
Metode pengambilan keputusan
N/A Bobot perdebatan N/A Kesetaraan dalam
Tabel Analisis UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi A. Profil Peraturan
Judul : UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Jenis
Undang-Undang* : 1. 2. Baru Revisi 3. Penggantian
4. Kumulatif Terbuka:
a. Ratifikasi Peraturan Internasional b. Putusan JR MK
c. Pemekaran Wilayah
Pengusul : DPR
Status Perencanaan : Prolegnas Tahun 2010 Durasi Pembahasan : Mulai: 7 April 2011
Pengesahan: 13 Juli 2012
* bold and underline the option
B. Substansi
B.1. Materi Pengaturan Target Informasi Rincian Tujuan pengaturan
dan masalah yang ingin dipecahkan
Sebagai suatu peraturan, UU Dikti memiliki dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis dalam pembentukannya. Dasar filosofis dari UU Dikti adalah membentuk pendidikan tinggi Indonesia yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945. Secara sosiologis, UU Dikti dibentuk untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam menghadapi globalisasidi segala bidang. Selain itu, melalui UU ini juga, diharapkan dapat mewujudkan keterjangkauan dan pemerataan yang berkeadilan dalam memperoleh pendidikan tinggi. Secara politis, UU Dikti dibentuk sebagai bentuk “perlawanan” terhadap berlakunya PP No. 66 Tahun 2010yang mengatur bahwa PTN harus mengubah kembali bentuk hukumya dari BHMN menjadi UPT dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pasal-pasal yang diatur dalam UU Dikti pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan hal-hal yang diatur dalam UU Sisdiknas. Namun, dalam UU Sisdiknas, pengaturan mengenai pendidikan tinggi diatur lebih lanjut dalam PP. Dengan demikian, tantangan yang sebenarnya dari pembentukan UU Dikti terletak pada level pelaksanaan.
Pihak yang diuntungkan dari lahirnya peraturan dan pengaruhnya terhadap kelompok rentan
Salah satu tujuan pembentukan UU Dikti adalah memberikan jaminan adanya pengelolaan perguruan tinggi yang baiksehingga akan berdampak pula pada munculnya kebebasan akademik. Pengaturan dalam undang-undang ini sudah terlihat sangat kuat mengarah pada pengelolaan perguruan tinggi yang baik. Walaupun apabila dilihat lebih dalam, pengaturan itu sudah diatur sebelumnya, baik dalam UU Sisdiknas maupun peraturan pelaksanaannya tentang pendidikan tinggi.
Kelompok rentan yang mendapat pengaruh dari UU Dikti adalah kelompok masyarakat miskin, terutama mereka yang berstatus sebagai mahasiswa atau keluarga mahasiswa. Dalam UU Dikti Pasal 76 ayat (1) disebutkan bahwa “Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik”. Pasal itu dengan jelas menjamin adanya pemenuhan hak yang dilakukan oleh Pemerintah, tetapi pelaksanaannya kerap menuai kendala. Hal itu bisa dilihat dari pelaksanaan ketentuan yang sama dalam UU Sisdiknas, Pasal 12 ayat (1) huruf d, yang menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak: d. Mendapatkan biaya pendidikan bagi mereka yang orang tuanya tidak mampu membiayai pendidikannya. Jadi, sebenarnya, pasal dalam UU Dikti itu bukanlah ketentuan yang baru, tetapi ketentuan dengan semangat yang sama yang diatur dalam UU Sisdiknas.
Pengaruh terhadap prinsip-prinsip dasar
Implementasi hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya:
o UU Dikti melindungi peserta didik atau mahasiswa yang berasal dari keluarga yang tidak mampu secara ekonomi. Pemenuhan biaya kuliah bagi mahasiswa yang tidak mampu merupakan kewajiban dari pemerintah.
Implementasi perspektif lingkungan, HAM, GSDG, dan gender:
o Prinsip dari pembentukan UU Dikti adalah menjamin hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan yang layak.
Pengaruh terhadap sistem ketatanegaraan:
o UU Dikti tidak menambah kewenangan DPR; o UU Dikti tidak menambah lembaga baru. Beban dan manfaat Dalam UUD 1945, disebutkan bahwa anggaran pendidikan
yang ditimbulkan terhadap anggaran negara
dialokasikan minimal sebesar 20%. Alokasi itu merupakan satu-satunya yang secara jelas dicantumkan dalam UUD 1945. Salah satu bagian dari keseluruhan alokasi 20% adalah memberikan beasiswa dan pemenuhan hak biaya pendidikan kepada mereka mahasiswa yang tidak mampu. Alokasi tersebut akan memakan banyak alokasi dari APBN/APBD, tetapi akan memberikan manfaat untuk mencapai tujuan dari pembentukan UU Dikti, terutama dalam membuat pemerataan akses pendidikan tinggi kepada semuawarga negara Indonesia.
Tingkat kesesuaian terhadap konstitusi dan peraturan
perundang-undangan
UU Dikti sudah sesuai dengan UU Sisdiknas, bahkan ada beberapa ketentuan yang secara prinsip pengaturannya sama. Perbedaannya dalam UU Sisdiknas, pengaturan mengenai Pendidikan Tinggi lebih banyak diatur lebih lanjut dalam PP.
Potensi masalah dalam
implementasi
Potensi masalah yang mungkin timbul adalah interpretasi pengaturan dalam UU Dikti dan UU Sisdiknas yang mengatur hal yang sama
Ketentuan Pidana RUU Dikti mengatur ketentuan pidana.
Materi ketentuan pidana dalam UU Dikti belum diatur dalam KUHP.
Penetapan sanksi pada UU Dikti dikenakan kepada aktor yang melakukan sesuatu tindakan tanpa izin, seperti yang telah diatur dalam undang-undang itu. Ketentuan itu seharusnya tidak perlu dikenakan sanksi pidana karena hanya bersifat administratif. Selain itu, tindakan yang diancam sanksi pidana itu dilakukan atas nama lembaga, bukan perseorangan. Maka itu, seharusnya, pelanggaran atas tindakan itu cukup dikenakan sanksi administratif. B.2. Struktur dan Kalimat
Target Informasi Rincian Tingkat
kelengkapan UU Dikti sudah memenuhi 6 kelompok aturan. Namun, kelompok lembaga penyelesaian sengketa tidak diatur secara khusus. Selain itu, ketentuan evaluasi lebih diterapkan pada kewajiban yang diatur dalam ketentuan yang ada, bukan evaluasi terhadap UU Dikti sendiri.
UU Dikti tidak menawarkan alternatif penyelesaian masalah yang baru, bahkan cenderung memaksakan adanya sanksi pidana.
Tingkat kerincian Pengaturan dalam UU Dikti sudah dilakukan secara terperinci. Hal itu sangat dipengaruhi karena seharusnya