• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Kelembagaan

Dalam dokumen 5 HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 46-56)

Batas Yuridiksi (jurisdiction boundary)

Batas yuridiksi adalah batas wilayah kekuasaan atau batas otoritas yang dimiliki suatu aktor atau lembaga, batas yuridiksi menentukan siapa dan apa yang tercakup dalam organisasi. Batas yuridiksi juga dapat berimplikasi ekonomi pada pihak yang terlibat dalam yuridiksi tersebut, dalam penelitian ini peneliti akan mengkaji batas yuridiksi dari pengelola kawasan ditinjau dari batas wilayah kekuasaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong beserta realisasinya.

Batas yuridiksi dari pengelola kawasan lindung mangrove adalah seluruh area kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong dengan luas sebesar 4895.50 hektar. Batas yuridiksi dari pengelola kawasan lindung ini mencakup seluruh sumberdaya alam (hayati dan non hayati) yang ada di dalam kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong. Realisasi pelaksanaan batas yuridiksi oleh pengelola kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong adalah sebagai berikut:

1. Batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove dipermasalahkan oleh masyarakat desa karena sebagian besar lahan masyarakat seperti pemukiman, lahan garapan dan tambak yang menjadi sumber penghidupan mereka masuk kedalam kawasan hutan lindung mangrove tanpa adanya ganti rugi/ kompensasi. hal ini dikarenakan ketika proses penetapan kawasan lindung tidak melibatkan masyarakat. Masyarakat telah bermukim, bertani dan memafaatkan sumberdaya hutan mangrove baik hasil hutan maupun hasil perikanan sudah sejak lama dan

turun-menurun (diperkirakan sejak tahun 1871) dan generasi yang ada sekarang merupakan generasi yang ke 8 (delapan).

2. Batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove juga mengalami tumpang tindih dengan sektor kelautan dan perikanan. juga berangapan memiliki wewenang untuk mengembangkan dan mengelola sumberdaya wilayah pesisir khususnya perikanan, hal ini dapat dilihat dari:

a. Dikeluarkannya Izin Usaha Perikanan (IUP) dan Surat Pembudidayaan Ikan (SBI) bagi petambak di Desa Dabong.

b. Telah disusunnya Rencana Detail Tata Ruang Kawasan Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil Kabupaten Pontianak (wilayah Dabong-Kubu) pada tahun 2006

c. Dilaksanakannya berbagai program pemberdayaan masyarakat petambak di Desa Dabong melalui pembinaan, penyuluhan, pelatihan dan penyaluran kredit untuk membantu permodalan.

Bermasalahnya batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong dikarenakan proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan lindung dilakukan dengan kurang baik. Batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove sangat luas dan berlebihan (luas 4895.50 hektar) jika dibandingkan dengan luas hutan mangrove itu sendiri yang hanya sebesar 2849.01 hektar pada tahun 1991 (belum ada kegiatan konversi lahan menjadi tambak). Selain itu kawasan pemukiman dan lahan masyarakat yang sudah ada sebelumnya juga masuk dalam batas yuridiksi kawasan hutan lindung mangrove. Hal ini menunjukan bahwa inventarisasi hutan yang mana hasilnya dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan dilakukan dengan kurang baik.

Menurut UU no 41 tahun 1999, dalam proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah inventarisasi hutan yang mana hasilnya dipergunakan sebagai dasar pengukuhan kawasan hutan. Inventarisasi hutan dilaksanakan untuk mengetahui dan memperoleh data dan informasi tentang sumber daya, potensi kekayaan alam hutan, serta lingkungannya secara lengkap. Inventarisasi hutan dilakukan dengan survei mengenai status dan keadaan fisik hutan, flora dan fauna, sumber daya manusia, serta kondisi sosial ekonomi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Pengukuhan kawasan hutan

dilakukan melalui proses sebagai berikut: (a) penunjukan kawasan hutan, (b) penataan batas kawasan hutan, (c) pemetaan kawasan hutan, dan (d) penetapan kawasan hutan.

Bermasalahnya proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan lindung mangrove di Desa Dabong juga dapat dilihat dari pengabaian atas hak-hak masyarakat di dalam dan di sekitar hutan. Dalam proses penetapan dan pengukuhan kawasan hutan lindung mangrove, masyarakat belum memperoleh kompensasi atas hilangnya akses dengan hutan sebagai sumber kehidupan dan hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan. Menurut UU no 41 tahun 1999 pasal 68, masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak Penguasaan (property right)

Konsep property right atau kepemilikan muncul dari konsep hak (right) dan kewajiban (obligations) yang didefinisikan atau diatur oleh hukum, adat, tradisi, atau konsensus yang mengatur hubungan antar anggota masyarakat dalam hal kepentingannya terhadap sumberdaya. Oleh karena itu tidak ada seorangpun yang dapat menyatakan hak milik atau penguasaan tanpa pengesahan dari masyarakat dimana dia berada. Implikasi dari hal ini adalah hak seseorang adalah kewajiban dari orang lain seperti dicerminkan oleh hak kepemilikan (ownership) adalah sumber kekuatan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya (Pakpahan 1989).

Pada saat ini hak kepemilikan atas sumberdaya ekosistem mangrove di Desa Dabong berada ditangan Dishutbun KKR. masuk dalam klasifikasi milik negara (state property right) dan diperoleh melalui pengaturan administrasi formal pemerintah. Mekanisme diperolehnya hak kepemilikan tersebut berdasarkan SK MenHut No.259/kpts-II/2000, yang mana kawasan hutan mangrove di Desa Dabong ditetapkan statusnya menjadi Kawasan Hutan Lindung Mangrove. Berkaitan dengan otonomi daerah, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengelola

daerahnya, maka kawasan hutan lindung mangrove tersebut pengelolaanya diwenangkan kepada Dishutbun KKR.

Lemahnya realisasi pelaksanaan dalam menjaga property right oleh pengelola kawasan disebabkan oleh beberapa sebab, yaitu:

1. Sebagian wilayah yang ditetapkan menjadi hutan lindung mangrove sebelumnya sudah dikuasai masyarakat desa sejak lama yaitu mulai tahun 1871. Penguasaan lahan untuk hutan lindung dilakukan secara sepihak tanpa adanya proses pelepasan hak kepemilikan dari masyarakat.

2. Keterbatasan anggaran, kualitas dan kuantitas SDM, maupun sarana dan prasarana dari pengelola kawasan lindung (Dinas Kehutanan). Tercatat jumlah total jumlah polisi kehutanan di Kabupaten Kubu Raya adalah 48 orang dan harus mengamankan seluruh hutan di kabupaten Kubu Raya yang sangat luas baik hutan mangrove maupun non mangrove (hutan lindung, hutan lindung bakau, dan hutan lindung gambut) yang menjadi otoritas Dinas Kehutanan dengan luas total mencapai 146.432.60 hektar. Jadi setiap 1 orang polisi hutan harus mengamankan hutan Negara seluas 3.050.68 hektar.

3. Biaya penegakan property right yang tinggi. Hal ini dikarenakan sulitnya aksebilitas menuju kawasan hutan karena jauh dan terpencilnya kawasan. Untuk menuju ke lokasi harus menggunakan jalur transportasi air, sehingga biaya pengamanan menjadi sangat mahal.

Aturan Representatif (rules of representation)

Aturan representasi dalam pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan hutan lindung mangrove Desa Dabong ditantukan oleh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kehutanan, dimana keputusan pemerintah (kehutanan) menentukan kebijakan pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove. Dalam hal ini maka Dinas Kehutanan merupakan pihak yang mempunyai peran penting dalam proses pengambilan keputusan. Partisipasi pihak lain seperti masyarakat (petambak) dan Diskanlut KKR dalam pengambilan keputusan hanya bersifat saran dan masukan saja, bukan sebagai penentu kebijakan. Berdasarkan hal tersebut, aturan representatif dalam pengelolaan hutan lindung mangrove Desa Dabong pada saat ini masih lemah atau kurang representatif. Hal ini karena aturan

yang dibuat masih belum mewakili semua kepentingan stakeholder. Pengambilan keputusan/peraturan ditentukan secara sepihak tanpa melibatkan stakeholder terutama masyarakat sekitar kawasan hutan lindung.

Aturan representatif di dalam kawasan hutan lindung mangrove mengacu pada PP No. 6 tahun 2007 Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan antara lain:

 Pemanfaatan hutan lindung tidak mengurangi, mengubah atau menghilangkan fungsi utamanya (fungsi lindung) tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat.

 Pihak yang mempunyai peran penting dalam proses pengambilan keputusan adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL).

 Kepala KPHL, menyusun rencana pengelolaan hutan berdasarkan hasil kegiatan, dengan mengacu pada rencana kehutanan nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota dan dengan memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat, serta kondisi lingkungan.

Sementara masyarakat merasa penerapan aturan diatas belumlah tepat karena selama ini beberapa hak mereka atas kepemilikan tanah/ tambak, hak terhadap akses sumberdaya dan hak atas lapangan pekerjaan belum terpenuhi. Hal ini sangat lah wajar apabila kita mengacu pada UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, antara lain:

1. Penggunaan kawasan hutan yang mengakibatkan kerusakan hutan, wajib dilakukan reklamasi dan atau rehabilitasi sesuai dengan pola yang ditetapkan pemerintah.

2. Untuk menjamin pelaksanaan perlindungan hutan yang sebaik-baiknya, masyarakat diikutsertakan dalam upaya perlindungan hutan.

3. Masyarakat berhak menikmati kualitas lingkungan hidup yang dihasilkan hutan. Selain hak sebagaimana dimaksud, masyarakat dapat:

a. memanfaatkan hutan dan hasil hutan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

b. mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan, dan informasi kehutanan;

c. memberi informasi, saran, serta pertimbangan dalam pembangunan kehutanan; dan

d. melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan baik langsung maupun tidak langsung.

4. Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya akses dengan hutan sekitarnya sebagai lapangan kerja untuk memenuhi kebutuhan hidupnya akibat penetapan kawasan hutan, sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku.

5. Setiap orang berhak memperoleh kompensasi karena hilangnya hak atas tanah miliknya sebagai akibat dari adanya penetapan kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan analisis kelembagaan terhadap berbagai situasi sebagai sumber interdependensi dan struktur institusi (batas yuridiksi, property right dan aturan representatif) dari pengelolaan mangrove di Desa Dabong selama ini, maka telah meyebabkan kondisi performance yang buruk, antara lain:

 Potensi konflik sosial yang tinggi

 Lingkungan alam yang terancam terdegradasi  Kondisi sosial ekonomi masyarakat yang buruk.

Permasalahan dan konfik yang terjadi maka pemerintah telah membuat peraturan untuk menyelesaikan konfik yang terjadi dengan Permenhut No. P. 70/Menhut-II/2008 tentang Pedoman Teknis Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Namun peraturan ini belum tersosialisasi dengan baik ataupun dilaksanakan dan dijadikan acuan menyelesaikan konflik yang terjadi pada kawasan lindung, perturan tersebut antara lain memuat:

1. Sasaran lokasi kegiatan rehabilitasi hutan mangrove salah satunya adalah di dalam kawasan hutan pada hutan lindung yang terdeforestasi, yang dikelola oleh Kabupaten/Kota, dan di luar kawasan hutan pada lahan tegakan mangrove yang telah mengalami degradasi/deforestasi sehingga terganggu fungsi ekologis, sosial dan ekonominya. Kriteria kawasan pantai berhutan bakau adalah minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah ke arah darat.

2. Salah satu alternatif pola tanaman yang dapat diterapkan pada kegiatan rehabilitasi hutan mangrove adalah pola tanam tumpangsari tambak (Silvofishery/wanamina).

3. Tambak silvofishery/ wanamina terdiri dari 4 (empat) macam cara yaitu: empang parit tradisional, komplangan, empang parit terbuka dan kao-kao.

Dari peraturan-peraturan tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perangkat aturan yang dikembangkan dalam rangka pengelolaan hutan lindung masih bisa mengakomodasi kepentingan berbagai stakeholders terutama masyarakat setempat. Untuk menjamin keberhasilan dari pengelolaan hutan lindung mangrove di Desa Dabong, maka diperlukan upaya-upaya kolaborasi membangun suatu sistem kelembagaan yang sistematis dan koordinatif, dilandasi oleh kesepahaman dan kesetaraan antar para stakeholders yang terlibat didalamnya.

5.4.2 Sistem Silvofishery Sebagai Rekayasa Kelembagaan

Penerapan sistem silvofishery merupakan salah satu metode dalam pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove terutama pada kawasan yang telah terdeforestasi karena adanya aktivitas tambak. Pengelolaan kawasan hutan lindung mangrove merupakan suatu himpunan aturan untuk akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam merupakan bentuk dari suatu sistem kelembagaan. Kelembagaan merupakan aspek penting yang menunjang keberhasilan suatu pelaksanaan rencana pengelolaan, suatu kelembagaan yang kuat dan matang akan sangat mempengaruhi tingkat keberhasilan untuk mencapai tujuan pengelolaan. Dalam pengelolaan ekosistem mangrove aspek dan peran kelembagaan mutlak diperlukan guna mencapai tujuan pengelolaan dari suatu ekosistem itu sendiri dalam hal ini adalah pemanfaatan yang berkelanjutan. Dengan demikian keefektifan dalam pengelolaan suatu ekosistem tidak terlepas dari peran dari kelembagaan.

Performance yang buruk dari pengelolaan mangrove selama ini disebabkan oleh struktur kelembagaan yang lemah dan kurang memperhatikan berbagai situasi sebagai sumber interdependensi. Menurut Schmid (1987), perubahan institusi akan dapat menghasilkan performance yang berbeda apabila perubahan tersebut dapat mengkontrol sumber interdependensi antar individu. Struktur kelembagaan (batas yuridiksi, hak kepemilikan dan aturan representasi) merupakan hal penting dalam memecahkan masalah ini, yaitu bagaimana pertentangan kepentingan dipecahkan

dan apa akibatnya terhadap performance. Performance yang baik dari kelembagaan pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong yaitu kelestarian lingkungan alam (ekosistem mangrove) yang lestari, kondisi sosial ekonomi masyarakat yang semakin baik dan rendahnya potensi konflik sosial dengan biaya penegakan status yang rendah.

Penerapan sistem silvofishery diperlukan untuk perbaikan dan penguatan struktur kelembagaan dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong dengan memperhatikan berbagai situasi sebagai sumber interdependensi agar menghasilkan performance yang lebih baik. Struktur kelembagaan yang baik akan menghasilan performance yang baik sesuai yang diharapkan oleh semua pihak. Hal ini sesuai dengan pendapat Primavera (2000) bahwa sistem silvofishery yang dibuat pemerintah Indonesia bertujuan untuk penyelesaian konflik pemanfaatan lahan antara kehutanan dan kegiatan perikanan, seperti sistem Mangrove Friendly Aquaculture (MFA) lainnya silvofishery bertujuan membangun persediaan makanan dan pendapatan melalui budidaya ikan, udang dan produksi kepiting dan bertujuan melaksanakan rehabilitasi dan konservasi mangrove.

Dengan penerapan sistem silvofishery akan menghasilkan performance yang lebih baik dalam pengelolaan ekosistem mangrove di Desa Dabong, yaitu:

1. Kelestarian ekosistem mangrove meningkat.

Hal didasarkan pada asumsi bahwa dengan diterapkannya model tambak silvofishery pola empang parit tradisional maka akan terjadi pertambahan luasan mangrove sebesar 60% x 522.08 ha. Selain itu potensi kerusakan hutan mangrove akan menjadi lebih kecil, karena masyarakat (petambak) akan berpartisipasi dalam menjaga ekosistem mangrove.

2. Potensi konflik sosial yang berkepanjangan dapat diatasi.

Bahwa dengan diberinya akses kepada masyarakat untuk memanfaatkan kawasan hutan lindung secara terbatas (silvofishery), maka sumber kehidupan masyarakat tidak terganggu. Selain itu pengakuan terhadap batas yuridiksi dan hak kepemilikan petambak akan meredam potensi konflik yang selama ini sudahterjadi.

3. Kondisi sosial ekonomi masyarakat semakin meningkat.

meningkatkan perekonomian petambak, dan mendorong perkembangan sektor usaha lainnya.

Sesuai pendapat Alpı´zar (2006) bahwa penerapan pendekatan partisipatif dalam pengelolaan perikanan perlu dikembangkan, hal tersebut sangat penting untuk kita yakini dalam pikiran kita batasan yang paling mungkin dalam pendekatan ini. Selain itu sangatlah penting untuk meningkatkan koordinasi antar institusi dan pembangunan sosial, kebijakan hukum dan ekonomi harus dibuat oleh pemerintah bersama dengan masyarakat pesisir, Hal tersebut bertujuan untuk mendapatkan arah yang efektif dalam pengelolaan perikanan.

5.5 Tinjauan Konprehensif Penerapan Silvofishery

Dari hasil beberpa analisis yang telah dilakukan diatas maka dapat dirumuskan beberapa formulasi kebijakan dan tahapan penerapan sistem silvofishery dalam menangani permasalahan pengelolaan ekosistem mangrove Di Desa Dabong, penerapan sistem silvofishery merupakan alternatif solusi yang dapat ditempuh dalam pengelolaan ekosistem mangrove di kawasan ini karena secara persepsi semua stakeholders telah sepakat. Penerapan sistem silvofishery akan menghasilkan performance yang baik dimasa yang akan datang, sehingga dalam penerapannya harus memperhatikan tahap-tahap sebagai berikut:

1) Pemerintah kabupaten dalam hal ini Dishutbun KKR segera membentuk organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) sebagai pengelola kawasan, sesuai PP No. 6 tahun 2007.

2) KPHL segera melaksanakan kegiatan tata hutan yang antara lain adalah kegiatan tata batas dan inventarisasi hutan. Untuk menentukan tata batas zonasi dapat dilakukan dengan melakukan negoisasi dengan pihak-pihak yang terkait, dengan jelasnya batas yuridiksi dan property right semua pihak, maka konflik yang berkepanjangan dapat dihindari.

3) KPHL akan memberikan izin berupa Izin Usaha Pemanfaatan Kawasan (IUPK) untuk usaha tambak sistem silvofishery, hal ini untuk menunjukan pengalihan property righ sekaligus tanggung jawabnya kepada petambak. IUPK yang diberikan diikoti pula dengan membuat kontrak sosial antara KPHL dengan

petambak, kesepakatan konservasi yang dituangkan dalam suatu dokumen/konsensus yang ditanda-tangani secara bersama-sama.

4) Berdasarkan kondisi spesifik lokasi dan keterbatasan tenaga kerja, kegiatan rehabilitasi tambak existing dapat dilakukan menggunakan alat berat (excavator) berdasarkan izin pengelola kawasan.

5) Model silvofishery yang diterapkan adalah model empang parit tradisional dengan perbandingan luasan antara antara mangrove dan parit seusai kesepakatan. Model empang parit tradisional dipilih karena secara struktur sudah sesuai dengan tambak yang ada seperti yang telah disampaikan pada analisis bioteknik.

6) Pola tradisional plus merupakan teknologi yang direkomendasikan untuk diterapkan karena telah menguntungkan secara finansial, dan akan layak secara ekonomi.

7) KPHL akan menetapkan luas maksimal luasan lahan tambak per orang, proses pengalihan hak dari pemilikan berlebih akan diberikan kompensasi berdasarkan kondisi existing dan kesepakatan bersama.

8) Diskanlut KKR memberikan Izin Usaha Perikanan (IUP) berdasarkan izin yang telah diberikan oleh pihak kehutanan, hal ini bertujuan untuk memudahkan proses pembinaan teknis budidaya terhadap para petambak yang ada. Pembentukan koperasi dan optimalisasi terhadap kelompok tani yang sudah terbentuk.

9) Dishutbun KKR (KPHL) dan Diskanlut KKR, kedua intansi tersebut akan memberikan pembinaan dan bantuan kepada petambak berupa penyuluhan mengenai aturan, tujuan dan teknik penerapan tambak silvofishery.

10) Sebagai konsekunsinya maka petambak harus membayar retribusi sebesar 1.5 % dari hasil panen kepada pemerintah daerah, dananya digunakan kembali untuk biaya rehabilitasi, pengamanan dan pelestarian mangrove pada kawasan tersebut.

11) Petambak berkewajiban merehabilitasi tambak yang ada dengan penerapan tambak sistem silvofishery (wanamina) yang merupakan model tambak ramah lingkungan. Kegiatan rehabilitasi dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan petambak dan kesepakatan bersama.

12) Masyarakat juga berkewajiban untuk menjaga keutuhan dan kelestarian kawasan serta berperan dalam usaha pengamanan kawasan hutan lindung. 13) Masyarakat tidak boleh memperjualbelikan lahan tambak (IUPK) tanpa seizin

KPHL.

14) IUPK dan IUP dapat dibatalkan/ dicabut apabila petambak melanggar kesepakatan yang telah dibuat.

15) Kegiatan tambak dapat terus berjalan selama proses administrasi berlangsung, namun petambak/ masyarakat tidak boleh memperluas dan membuka lahan tambak baru di dalam kawasan hutan lindung sampai ada ketentuan atau perubahan status lahan selanjutnya.

Dalam dokumen 5 HASIL DAN PEMBAHASAN (Halaman 46-56)

Dokumen terkait