• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur kelembagaan

7 MODEL AGROINDUSTRI TERINTEGRASI

7.4 Struktur kelembagaan

Untuk melihat interaksi pengaruh semua pelaku, dalam kajian ini dilakukan analisis dengan metode ISM sesuai dengan urutan kepentingan di atas. Analisis dengan metode ISM seperti disajikan pada Gambar 7.3 menunjukkan bahwa Pemerintah Daerah (4) merupakan elemen yang paling berpengaruh, diikuti oleh lembaga dana (2), dan industri karet (1) sebagai faktor independent (strong driver – weak dependent variables). Lembaga penelitian (9) dan perguruan tinggi (8) merupakan faktor linkage (strong driver – strong dependence variables), sementara pendamping (7), pedagang perantara (6), Koperasi petani karet (5) dan Petani karet (3) merupakan faktor dependent (weak driver – strongly dependent variables). Cara perhitungan terlampir pada Lampiran 38.

Sub elemen kelembagaan (L) Hierarki

Dependency Kategori Driver power Depen- dence

L-1 Industri karet 9 4 Independent

L-2 Lembaga dana 8 4 Independent

L-3 Petani karet 1 9 Independent

L-4 Pemerintah daerah 9 1 Dependent

L-5 Koperasi petani 2 8 Dependent

L-6 Pedagang perantara 3 7 Dependent

L-7 Pendamping kelompok tani 4 6 Dependent

L-8 Perguruan tinggi 6 5 Linkage

L-9 Lembaga penelitian 6 5 Linkage

Sub elemen kunci kelembagaan: 4. Pemerintah daerah

Gambar 7.3. Struktur hierarki dan faktor kunci kelembagaan

3 5 6 7 2 1 4 8 9

120

Berdasarkan hasil analisis pembobotan berpasangan dan ISM, diperoleh sub-elemen penting tujuan, pelaku, kendala dan kelembagaan seperti disajikan pada Tabel 7.3 yang dijadikan landasan dalam model integrasi dari aspek kelembagaan agroindustri terintegrasi. Prioritas pelaku dalam kegiatan ini adalah industri karet, lembaga dana, petani karet dan pemerintah daerah. Namun pada kenyataannya dari tingkat ketergantungan, berdasarkan kajian pengaruh kelembagaan, pihak petani merupakan pihak yang memiliki tingkat ketergantungan paling tinggi (dependent variable). Sementara pemerintah daerah, lembaga dana dan industri karet merupakan faktor yang memiliki pengaruh kuat (independent variables). Kelemahan dan ketergantungan petani ini bisa dilacak ke sub-elemen kunci struktur kendala yang seluruhnya berdampak langsung pada para petani karet yaitu: kurangnya dukungan kebijakan pemerintah daerah, kekurangan modal, tidak ada pendamping, dan minimnya akses informasi. Kendala-kendala ini harus dieliminir agar tujuan pengembangan agroindustri karet alam bisa dicapai.

Tabel. 7.3. Sub-elemen kunci pengembangan agroindustri

No. Elemen Sub elemen kunci

1 Prioritas tujuan 1. Kelangsungan usaha

2. Kontinyuitas bahan baku 3. Kepastian harga dan kualitas 4. Pembagian nilai tambah yang pantas

2 Prioritas pelaku 1. Industri karet

2. Lembaga dana 3. Petani karet 4. Pemerintah daerah

3 Struktur kendala 1. Kurangnya dukungan kebijakan pemerintah

daerah

2. Kekurangan modal 3. Tidak ada pendamping 4. Minimnya akses informasi

4 Kelembagaan 1. Pemerintah daerah

2. Lembaga dana 3. Industri karet

Seperti dikemukakan Ghandi dan Jain (2011) bahwa pemerintah harus memainkan peran fasilitasi melalui kebijakan, regulasi, opsi finansial serta riset dan pengembangan. Termasuk dalam hal ini adalah intervensi dalam masalah manajerial dan pemberian subsidi serta mendorong kontrak kemitraan antara petani dan perusaahan agroindustri. Sementara menurut Esham (2009), selain

121 intervensi dalam bentuk kebijakan dan regulasi, pemerintah dapat menyertakan saham langsung dalam kontrak tani atau perusahaan patungan guna lebih menjamin transparansi. Opsi penyertaan modal ventura ini lebih realistis dan

menguntungkan karena dengan demikian manfaat (benefits) maupun keuntungan

(profits) akan kembali ke daerah.

Sejauh ini, untuk mendukung program revitalisasi perkebunan karet Pemerintah Kabupaten Barito Utara sejak tahun 2009 telah membagikan bantuan bibit karet okulasi mata tidur (OMT) kepada para petani sebanyak 500 ribu batang, 750 ribu batang pada tahun 2010, dan 662 ribu batang di tahun 2011 dengan dana yang bersumber dari APBD (Dishutbun Kabupaten Barito Utara, 2011). Pada tahun 2012 jumlah bantuan bibit yang direncanakan adalah 622 ribu batang. Target peremajaan kebun karet di enam kecamatan adalah 11.025 hektar namun untuk kegiatan peremajaan sendiri masih terkendala oleh ketentuan yang mengharuskan adanya perusahaan penjamin (avalis) dalam kegiatan revitalisasi. Peraturan Menteri Keuangan No. 117/ PMK.06/2006 tentang Kredit Pengembangan Energi Nabati dan Revitalisasi Perkebunan (KPEN-RP) mensyaratkan adanya perusahaan penjamin dalam penyaluran kredit perbankan. Hal ini juga tercantum dalam Permentan Nomor: 33/Permentan/OT.140/7/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan.

Sebagaimana posisi petani, tenaga atau konsultan pendamping merupakan faktor dependent dalam struktur pengaruh kelembagaan, namun ketiadaannya dalam struktur kendala pengembangan merupakan sub-elemen kunci (faktor independent). Ini adalah posisi yang unik. Lebih jauh lagi, dalam hierarki pengaruh kelembagaan, sub-elemen tenaga pendamping ini dipengaruhi oleh dua sub-elemen lain, yaitu lembaga penelitian (L9) dan perguruan tinggi (L8) sebagai faktor linkage (strong driver – strong dependence variables) yang menunjukkan bahwa kedua lembaga ini memiliki daya penggerak yang cukup kuat dan perlu mendapatkan perhatian dari ketiga sub-elemen kunci kelembagaan. Peubah pada sektor ini harus dikaji secara hati-hati sebab hubungan antar peubah tidak stabil. Setiap tindakan pada peubah tersebut akan memberikan dampak terhadap peubah lainnya dan umpan balik pengaruhnya bisa memperbesar dampak.

122

Baik perguruan tinggi, lembaga penelitian dan tenaga pendamping bukanlah shareholder (pemilik modal) dalam kegiatan agroindustri, namun lebih merupakan katalisator, trasfer informasi, ilmu pengetahuan, teknologi dan inovasi baru (Yuotie dan Shapira, 2008; Gorman dan Garnett, 2009; Stone, 2010). Perguruan tinggi dan lembaga penelitian dapat bersinergi dengan industri dan pemerintah dalam menjalan fungsi triple-helix untuk mendorong lahirnya inovasi (Etzkowitz dan Leydesdorff, 2000; Leydesdorff dan Meyer, 2003).

Dari hasil analisis ini disusun model kelembagaan pengembangan seperti disajikan pada Gambar 7.4. Hasil ini merupakan pengembangan dari model kelembagaan agroindustri yang dikembangkan oleh Haris (2006), proyek kemitraan terpadu BI (2003) dan Esham (2009) (halaman 28 dan 29), dimana pemerintah, kelompok tani dan industri memiliki saham dalam kegiatan agroindustri karet alam berbasis lateks maupun kayu karet. Model ini tidak membutuhkan penjamin yang disyaratkan Permentan Nomor: 33/2006 tentang Pengembangan Perkebunan Melalui Program Revitalisasi Perkebunan.

Hubungan langsung Regulasi/koordinasi

Gambar 7.4. Model kelembagaan pengembangan agroindustri karet alam Pemerintah

Daerah

Perguruan Tinggi dan Lembaga Penelitian Lembaga Dana

Nota Kesepakatan Kontrak Tani Industri Karet Remah

Industri Furnitur Industri Pengolahan Kayu

Pe n d a m p in g K el o m p o k P a sa r d o m es ti k /e k sp o r Pedagang Perantara Pembayaran

angsuran Kelayakan usaha

Koperasi Petani Karet Petani/ Kelompok

123 Peran masing-masing pihak dalam kegiatan ini adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah daerah; Meregulasi dan memfasilitasi proses kontrak tani,

membuat kebijakan yang kondusif bagi operasionalisasi contract farming sekaligus sebagai pelaku usaha agroindustri.

2. Pabrik karet remah; pengolah bokar dari petani sekaligus memberikan input produksi, bantuan dan bimbingan teknis bagi petani/kelompok tani/koperasi.

3. Pabrik pengolah kayu; menampung mengolah sebagian kayu hasil peremajaan

menjadi kayu setengah jadi yang siap digunakan proses berikutnya sesuai kebutuhan.

4. Pabrik Furnitur; mengolah kayu karet (setengah jadi) dari para petani maupun barang-barang furnitur dari kelompok usaha kayu olahan baik dalam bentuk jadi maupun setengah jadi untuk diolah (finishing).

5. Petani karet/koperasi; memasok bokar dan kayu karet dengan spesifikasi, jumlah dan waktu yang ditentukan sesuai kesepakatan dengan pihak pabrik karet remah dan pengolah kayu karet sekaligus sebagai pemilik saham mayoritas.

6. Pendamping kelompok; keberadaan konsultan pertanian (pendamping) ini penting untuk transfer pengetahuan pertanian dan sistem informasi serta inovasi baru kepada para petani, serta membantu penguatan kapasitas, penyelesaian masalah serta pembuatan keputusan di tengah kelompok tani (Botha et al., 2006; Coutts et al., 2007; McKenzie, 2007; Stone, 2010). Pendamping ini bisa disediakan oleh pemerintah daerah, perusahaan atau dari LSM.

7. Lembaga dana; Menyediakan dan menyalurkan pembiayaan bagi pabrik karet

remah, pabrik furnitur, petani karet dan kelompok usaha kayu olahan.

8. Perguruan tinggi dan lembaga penelitian; berkolaborasi dengan pemerintah, petani, dan perusahaan untuk melakukan penelitian, termasuk kerja sama dengan pihak pusat penelitian karet/agroforestri.

9. Pedagang perantara; Tidak terlibat secara langsung dalam kegiatan kontrak tani, tapi masih dapat melakukan transaksi dengan pihak petani maupun pabrik, terutama dengan pihak petani yang tidak terikat kontrak dengan perusahaan.

124

Seperti dikemukakan ADB (2010), sukses kemitraan agroindustri harus didukung oleh: a) Riset yang kuat di sektor pertanian dan dukungan teknologi untuk agroindustri; b) mendorong investasi oleh sektor swasta; c) dukungan dan fasilitasi terhadap pengembangan agroindustri; d) peningkatan kemitraan; e) pengembangan institusi agroindustri; dan f) kebijakan pemerintah yang kondusif.

Dibutuhkan peran aktif pemerintah daerah baik terlibat secara aktif dan langsung dalam kegiatan pengembangan maupun mendorong industri karet berbasis lateks dan kayu, memberikan kemudahan bagi pihak eksportir, memberikan mediasi dan fasilitasi untuk para petani agar dapat mengakses lembaga dana. Pemerintah harus memainkan peran sebagai fasilitator atau mediator melalui kebijakan pemberdayaan, regulasi, opsi finansial, riset bersama lembaga penelitian dan perguruan tinggi (Gandhi et al., 2001). Salah satu kunci sukses Malaysia dan Thailand mengembangkan industri dan ekspor berbasis kayu karet adalah kebijakan pemerintah terhadap produksi kayu karet, termasuk dukungan finansial terhadap petani karet dan bantuan teknis terhadap industri hilir pengolahan kayu karet (Shigematsu et al., 2011).

Pembangunan berkelanjutan melalui kemitraan usaha dapat menjamin terciptanya efisiensi dan pertumbuhan, keadilan dan pemerataan, serta berwawasan lingkungan. Diperlukan konsolidasi kelembagaan yang mantap, baik di tingkat petani, pihak swasta (industri), dan pemerintah didukung oleh perguruan tinggi setempat (Gunasekara, 2006; Saptana dan Ashari, 2007; Gorman dan Garnet, 2009). Sinergi antara universitas, industri dan pemerintah memainkan peran yang sama dan membentuk triple-helix guna merangsang inovasi (Etzkowitz dan Leydesdorff, 1998; 2000; Leydesdorff dan Meyer, 2003). Model ini banyak berkembang di China, Polandia dan Republik Korea dan banyak disarankan sebagai model pengembangan wilayah (Martin, 2011). Transformasi universitas dari transfer pengetahuan dan riset menjadi institusi kewirausahaan merupakan kebutuhan vital dan wajib, bukan pilihan (Ammatucci dan Grimm, 2011).

Pemerintah harus mendukung inovasi baru melalui kebijakan lingkungan, insentif pajak serta penyediaan modal ventura. Industri dapat berperan sebagaimana universitas dalam pelatihan dan riset pengembangan dengan level

125 yang sama. Jika terjadi kesenjangan industri berbasis pengetahuan, maka interaksi universitas-pemerintah dapat membantu memicu kreasi dan mendorong pertumbuhan (Etzkowitz et al., 2007).

Pendamping ini bisa disediakan oleh pemerintah daerah, perusahaan atau dari LSM. Sebagai pembanding, dalam kegiatan Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP), atau Penyuluh Pendamping adalah penyuluh pertanian yang ditugaskan oleh Bupati/Walikota atau pejabat yang ditunjuk untuk mendampingi petani, kelompok tani dan Gapoktan. Ketentuan ini tertuang dalam Permentan Nomor 9 tahun 2010 tanggal 8 Maret 2010 tentang Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan. Selain melakukan pendampingan kepada kelompok tani/ koperasi, pendamping juga memberikan bantuan teknis dan manajemen mutu, berinteraksi secara intensif dengan para petani serta menyediakan informasi harga agar diperoleh informasi yang simetris tentang harga karet dunia dan FOB SIR 20.

Pemerintah dapat mengambil inisiatif pengembangan kelembagaan seperti yang terjadi di beberapa lokasi berupa pengembangan ekonomi lokal gula kelapa dan cassava chips di Lampung Selatan, dan fasilitasi percepatan pemberdayaan ekonomi daerah yang melibatkan Bappeda, BI Bandar Lampung dan Unila Lampung bahkan IMF (Zakaria, 2009). Pada tahap selanjutnya, peran pemerintah semakin berkurang dan peran dunia usaha semakin besar seiring semakin mandirinya kelompok petani. Sementara peran perguruan tinggi dan lembaga penelitian lebih terfokus pada upaya pendampingan, pengembangan dan penerapan iptek yang mampu meningkatkan daya saing produk daerah di tingkat global.