• Tidak ada hasil yang ditemukan

C. Asetilasi Pati Sagu

1. Struktur Kimia dengan Spektrum Inframerah

Analisis spektrum inframerah terhadap pati dan modifikasinya dilakukan untuk menunjukkan perubahan struktur kimia molekul pati setelah mengalami proses modifikasi kimiawi. Hasil analisis spektrum inframerah pati sagu dan modifikasinya dapat dilihat pada Gambar 43 dan 44. Spektrum inframerah amilosa hasil fraksinasi (Gambar 44) menunjukkan pola yang relatif sama dengan pati sagu alaminya (Gambar 43). Hal ini menunjukkan bahwa proses fraksinasi pati tidak menyebabkan perubahan struktur kimia amilosa hasil fraksinasi.

Gugus Asetil

Pati Asetat

65 Gambar 44. Hasil analisis spektrum inframerah amilosa pati sagu dan amilosa asetatnya

Gugus Asetil

Amilosa

Pada Gambar 43 dan 44 juga dapat dilihat hasil analisis spektrum inframerah terhadap pati asetat dan amilosa asetat yang menunjukkan adanya perubahan struktur kimia dibandingkan pati alami dan amilosanya. Spektrum inframerah pati alami menunjukkan adanya puncak frekuensi gelombang 3.000 – 3.500 cm-1 dan 2.950 cm-1 yang dapat disamakan dengan uluran gugus fungsi –OH dan –CH (Mano et al., 2003). Spektrum infra merah pati asetat dan amilosa asetat selain menunjukkan adanya gugus fungsi –OH dan –CH, juga menunjukkan absorbsi yang kuat pada puncak frekuensi gelombang 1.750 cm-1. Puncak frekuensi gelombang 1.750 cm-1 merupakan atribut dari uluran gugus fungsi ester karbonil (C=O) yang mengindikasikan terjadinya reaksi asetilasi.

Reaksi asetilasi pati atau amilosa dapat menyebabkan masuknya gugus fungsi (grup asetil) di dalamnya, sehingga struktur kimianya mengalami perubahan. Masuk- nya grup asetil dalam granula pati ditandai dengan meningkatnya intensitas puncak frekuensi gelombang 1.750 cm-1 dan menurunnya intensitas puncak frekuensi gelom- bang 3.000 – 3.600 cm-1 atau dengan kata lain gugus C=O (grup asetil) meningkat, sedangkan gugus –OH (grup hidroksil) menurun. Menurut Xu et al. (2004), grup hidroksil pada molekul pati ditukar oleh grup asetil, yang dapat menyebabkan hilangnya kristalinitas granula pati.

2. Sifat Thermal

Sifat thermal menggambarkan perubahan yang terjadi selama pemanasan suspensi pati sampai terjadinya gelatinisasi. Sifat thermal pati sagu dan modifikasinya dianalisis dengan menggunakan Differential Scanning Calorimetry (DSC). Grafik hasil analisis DSC disajikan pada Gambar 45, sedangkan hasil analisis secara rinci, yang meliput suhu awal (To), suhu puncak (Tp), suhu akhir (Te) dan energi gelatinisasi endoterm atau entalpi gelatinisasi (∆H) disajikan pada Tabel 17.

Pada Tabel 17 dapat dilihat perubahan suhu transisi (To, Tp, Te) dan nilai ∆Hgel selama pemanasan pati sagu dan modifikasinya. Pati asetat menunjukkan suhu transisi lebih rendah dibandingkan pati sagu alaminya. Demikian juga untuk amilosa asetat yang menunjukkan suhu transisi lebih rendah dibandingkan amilosa dan pati sagu

67 transisinya. Pati yang telah dimodifikasi memiliki nilai ∆Hgel yang lebih kecil dibandingkan pati alaminya, atau dengan kata lain energi endoterm yang dibutuhkan untuk proses gelatinisasi pati sagu yang telah dimodifikasi lebih kecil dibandingkan pati alaminya. Menurut Zobel (1992), suhu transisi selama pemanasan pati dan nilai energi endoterm (∆Hgel) menggambarkan kestabilan intrinsik, perbedaan ukuran dan presentase daerah kristalin dalam granula pati. Singh et al. (2005) menambahkan bahwa ∆Hgel pati yang tinggi menunjukkan bahwa heliks yang dibentuk oleh cabang luar rantai amilopektin tidak lepas dan melebur selama proses gelatinisasi dan sangat kuat menyatu dalam granula alami.

Gambar 45. Kurva hasil analisis sifat thermal pati sagu dan modifikasinya : (a) pati alami, (b) amilosa, (c) amilosa asetat, dan (d) pati asetat

Tabel 17. Sifat thermal pati sagu dan modifikasinya

Jenis Pati Sagu To (oC) Tp (oC) Te (oC) ∆Hgel (J/g)

Pati Sagu 66,05 79,52 80,56 -297,26

Pati Asetat 58,41 69,31 73,71 -176,01

Amilosa 66,41 75,12 76,39 -164,40

Amilosa Asetat 59,99 69,91 71,73 -148,54

Keterangan :

To : suhu awal (onset temperature)

Tp : suhu puncak (peak temperature)

Te : suhu akhir (end temperature)

∆H : energi gelatinisasi endoterm (gelatinization endothermic energy atau enthalpy of gelatinization)

(a) (b)

(c) (d)

Hasil penelitian Ansharullah (1997) menunjukkan bahwa nilai sifat thermal pati yang tinggi merefleksikan tingkat kristalinitas yang tinggi dan struktur granula yang lebih stabil. Kristalinitas pati yang tinggi menunjukkan energi endoterm yang juga tinggi. Menurut Yang et al. (2006), secara umum struktur granula pati alami memiliki kristalinitas berkisar 15 – 45 %. Proses modifikasi pati menyebabkan perubahan struktur granula dan berkurangnya sifat kristalinitas. Kedua hal tersebut yang diduga menyebabkan perubahan suhu transisi dan nilai ∆Hgel, dimana suhu transisi dan nilai ∆Hgel pati yang telah dimodifikasi lebih rendah dibandingkan pati alaminya.

3. Sifat Fisiko-Kimia dan Fungsional

Perubahan struktur kimia molekul pati setelah melalui proses modifikasi kimiawi, selain menyebabkan perubahan sifat thermal, juga menyebabkan perubahan sifat fisiko-kimia dan fungsionalnya. Hasil analisa sifat fisiko-kimia dan fungsional pati sagu dan modifikasinya disajikan pada Tabel 18, sedangkan hasil analisis statistiknya dapat dilihat pada Lampiran 20.

Tabel 18. Sifat fisiko-kimia dan fungsional pati sagu dan modifikasinya*

Sifat Fisiko-kimia & Fungsional Pati Sagu Pati

Asetat Amilosa

Amilosa Asetat

Kadar air (%) 14,08 9,63 12,60 9,97

Warna bubuk : Nilai L

o Hue Chroma 91,31 72,13 42,22 92,25 71,54 34,34 73,23 69,24 40,66 94,32 67,30 30,55 Kelarutan pada 70° C (%) 25,84 26,61 23,37 9,90

Swelling power pada 70°C (%) 44,20 72,45 38,72 46,97

Kejernihan pasta 1 % (% T) 76,10 66,75 65,80 61,30

Freeze-thaw stability (% sineresis) 81,67 75,00 91,67 66,67

Oil Retention Capacity (%) 6,50 8,67 7,67 16,33

* Data rata-rata dua kali ulangan 2)SIRIM Standard MS 470 : 1992

1)

SNI 01-3729-1995 3)Wattanachant et al. (2002)

Pada Tabel 18 dapat dilihat bahwa kadar air pati asetat atau amilosa asetat lebih rendah dibandingkan pati alami dan amilosanya. Jika dikaitkan dengan hasil analisis nilai water retention capacity-nya (Gambar 46), pati alami menunjukkan kemampuan menyerap air relatif lebih besar dan berbanding lurus dengan peningkatan suhu

69 meskipun dengan nilai kemiringan (slope) yang kecil, sedangkan untuk amilosa asetat menunjukkan kecenderungan nilai WRC yang relatif sama (stabil) pada suhu pengamatan. Ini menunjukkan bahwa adanya gugus asetil dalam pati asetat atau amilosa asetat mengurangi kemampuannya menyerap air.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 65 70 75 80 Suhu (oC) W RC ( % )

Pati Sagu Pati Asetat Amilosa Amilosa Asetat

Gambar 46. Grafik hubungan suhu pemanasan (oC) terhadap nilai water retention capacity (% WRC) pati sagu dan modifikasinya

Hasil analisis sifat fungsional pati asetat dan amilosa asetat menunjukkan kecenderungan yang sama, dimana nilai oil retention capacity (ORC) menunjukkan peningkatan dibandingkan pati alami dan amilosanya atau dengan kata lain masuknya gugus asetil dalam pati dan amilosanya dapat meningkatkan kemampuannya menyerap minyak. Menurut Zhang et al. (1977), masuknya gugus asetil dalam molekul pati dapat meningkatkan sifat hidrofobiknya, sehingga dapat meningkatkan kemungkinan menjadi polimer hidrofobik

Pada Gambar 47 dapat dilihat perubahan warna bubuk pati sagu dan modifikasi- nya dalam bentuk diagram yang merupakan gabungan dari warna (°Hue), intensitas warna (nilai Chroma) dan tingkat kecerahan (nilai ”L”). Dalam gambar tersebut terlihat warna bubuk fraksi amilosa asetat lebih putih dibandingkan bubuk pati alami, pati asetat dan amilosanya. Hal ini diduga disebabkan karena adanya proses pencucian (selama fraksinasi dan asetilasi) yang menggunakan pelarut organik seperti etanol, eter dan air yang dapat melarutkan zat warna pati dan ikut terbuang dalam larutan pencuci.

Proses fraksinasi dan asetilasi pati sagu juga dapat menyebabkan perubahan struktur granulanya. Pada Gambar 48 dapat dilihat perubahan struktur granula pati yang tampak di bawah mikroskop cahaya dan cahaya terpolarisasi. Menurut Wurzburg (1989), dalam bentuk alami, granula pati memiliki sifat birefringent, yaitu sifat yang merefleksikan cahaya terpolarisasi di bawah mikroskop yang memperlihatkan adanya garis silang polarisasi yang berwarna hitam. Pomeranz (1985), menyatakan bahwa garis silang polarisasi tersebut menunjukkan bahwa granula pati memiliki daerah kristalin, yang di dalamnya terdapat polimer-polimer yang tersusun secara teratur.

Kristalinitas pati disebabkan oleh adanya komponen amilopektin. Tingkat kristalinitas pati meningkat dengan semakin tingginya rasio amilopektin dalam pati (Eliasson dan Gudmundsson, 1996). Banks et al. (1973) menambahkan bahwa sifat birefringent pati bervariasi. Pada umumnya intensitas sifat birefringent pati waxy (amilopektin tinggi) sama dengan intensitas sifat birefringent pati normalnya, sedang- kan pati dengan kadar amilosa tinggi memiliki intensitas sifat birefringent yang rendah. Secara prinsip mekanisme proses fraksinasi pati dilakukan dengan menggunakan air panas, yang merupakan proses gelatinisasi pati. Adanya air dan energi panas, menyebabkan granula pati alami mengalami pembengkakan, yang selanjutnya granula

Pati Asetat 71,5o 73o Pati Sagu Kuning + b Merah + a 69,0° Amilosa 67,5° Amilosa Asetat

71 sudah berubah struktur dan fungsinya. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 48 b, yang menunjukkan bahwa struktur granula amilosa berubah dibandingkan dengan pati alaminya. Di bawah mikroskop cahaya terpolarisasi, fraksi amilosa sudah tidak memiliki integritas sifat birefringent.

Mikroskop Cahaya Mikroskop Cahaya Terpolarisasi

(a)

(b)

(c)

(d)

Gambar 48. Perubahan bentuk granula pati sagu dan modifikasinya : (a) pati alami, (b) amilosa, ( c) pati asetat, dan (d) amilosa asetat (perbesaran 500 X)

Proses asetilasi pati sagu juga dapat menyebabkan perubahan struktur granula- nya. Pada penelitian ini, pati astetat yang dihasilkan memiliki kadar asetil 23,71 % atau nilai DS 1,16. Nilai DS pati asetat yang relatif tinggi (DS > 1), menyebabkan struktur granula pati mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 48 c, dimana struktur granula pati alaminya tidak terlihat lagi baik pengamatan di bawah mikroskop cahaya normal maupun cahaya terpolarisasi. Perubahan struktur granula pati juga ditunjukkan oleh fraksi amilosa asetatnya (DS = 0,60). Menurut Jarowenko (1989), modifikasi secara kimia termasuk asetilasi dapat mempengaruhi struktur granula pati. Perubahan struktur granula pati yang telah diasetilasi tergantung nilai DS-nya. Pati asetat dengan nilai DS kurang dari 0,5, menunjukkan perubahan struktur granula yang tampak di bawah mikroskop elektron relatif kecil (tetap memiliki intensitas sifat birefringent). Hasil penelitian Sapri (2005) menunjukkan adanya perubahan struktur granula pati asetat DS 0,12 dibandingkan pati alaminya, dimana pati asetat tersebut tetap memiliki sifat birefringent meskipun intensitasnya tidak sama dengan pati alaminya (Gambar 49).

73

E. Aplikasi Pati Sagu dan Modifikasinya sebagai Bahan Campuran Plastik Sintetik

Dokumen terkait