• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur Morfologi Kota di Jawa

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

2.1 Kajian Morfologi Kota

2.1.3 Struktur Morfologi Kota di Jawa

Menurut Sunaryo (2013), kota-kota di Jawa pada umumnya memiliki struktur kota yang terdiri dari Alun-Alun dan bangunan penting yang berada di sekitarnya, termasuk keraton dan Masjid Agung, serta pasar yang biasanya terletak terpisah dari Keraton, Alun-Alun, dan Masjid. Sedangkan menurut Rapp (2015), kota-kota di Jawa umumnya juga memiliki pecinan dan area-area yang dijadikan kediaman penguasa. Berikut merupakan penjelasannya:

1. Keraton

Menurut Sunaryo (2013), keraton merupakan pusat kekuasaan dan tempat tinggal Raja beserta keluarga kerajaan. Keraton memiliki kedudukan tertinggi dalam susunan struktur kota di Jawa.

2. Alun-Alun

Menurut Sunaryo (2013), Alun-Alun merupakan bagian dari kompleks Keraton dimana eksistensi dari Keraton dicirikan dari kehadiran Alun-Alun di bagian depannya. Umumnya Alun-Alun memiliki bentuk persegi dan luas. Aktivitas yang dilakukan di Alun-Alun juga berhubungan dengan Keraton.

Sejak zaman Majapahit, Alun-Alun merupakan bagian dari kompleks keraton (Handinoto dalam Rapp, 2015). Pada masa lampau, Alun-Alun digunakan sebagai tempat berkumpulnya rakyat saat ada acara tertentu (seperti pesta rakyat, pertunjukan kesenian, dan pelaksanaan hukuman pancung) atau ada pejabat pemerintahan yang sedang berpidato. Umumnya, disekeliling Alun-Alun tidak hanya terdapat kediaman penguasa dan pendoponya melainkan juga terdapat masjid, pengadilan, dan penjara. Selain itu juga terdapat pasar, pertokoan, kantor pos, kantor polisi, dan fasilitas lainnya.

Rapp (2015) menambahkan bahwa Alun-Alun pada masa pra kolonial memiliki karakteristik yang berbeda dengan Alun-Alun yang didirikan pada masa kolonial. Alun-Alun pada masa prakolonial merupakan peninggalan atau warisan kerajaan kuno pada abad ke 18. Sedangkan Alun-Alun pada masa kolonial umumnya didirikan pada abad

17

ke 19. Pada masa kolonial, di sekitar Alun-Alun tidak hanya terdapat pemerintahan Belanda melainkan juga pemerintahan Pribumi karena ketika itu banyak kota mendapatkan status sebagai ibukota daerah administratif kolonial yang diikuti dengan pembentukan daerah administratif pribumi yang sederajat, yaitu kabupaten yang dipimpin oleh Bupati. Sedangkan Alun-Alun pada masa kolonial merupakan titik pertemuan jalan utama ke semua arah.

Umumnya, kota di Pulau Jawa akan memiliki jaringan jalan berpola grid, yaitu jalan paralel yang memiliki orientasi barat-timur atau utara-selatan (apabila tidak ada gangguan geografis). Jalan tersebut saling bertemu untuk membagi kota menjadi blok-blok dan salah satu blok tersebut ialah Alun-Alun. Sedangkan berdasarkan konsep kosmografi, Alun-Alun merupakan titik pertemuan kehidupan duniawi dengan dunia lain dimana penguasa pribumi (sultan, bupati, dan lain sebagainya) juga dianggap sebagai wakil Tuhan. Biasanya, ditengah Alun-Alun terdapat pohon beringin yang dianggap keramat dan suci menurut kepercayaan kala itu (Rapp, 2015).

Dapat disimpulkan bahwa pada zaman kerjaan dan pra kolonial, Alun-Alun merupakan wujud dari konsep keselarasan antara mikrokosmos dan makrokosmos (antara jagad raya dan dunia manusia) yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa. Pada zaman kolonial, terlihat adanya diskontinuitas tentang konsep penataan Alun-Alun. Secara halus Belanda berhasil membuat konsep baru yang disesuaikan dengan sistem pemerintahannya waktu itu (percampuran kebudayaan Jawa dan Belanda atau Indisch). Keadaan tersebut berubah ketika memasuki abad 20 dimana milai terjadi “westernisasi” yang menyebabkan hilangnya identitas Alun-Alun sebagai ciri khas kota-kota di Jawa (Rapp, 2015).

3. Masjid Agung dan Kauman

Menurut Sunaryo (2013), Masjid Agung dan Kampung Kauman terletak di sisi Barat Alun-Alun. Sedangkan Kauman merupakan area tempat tinggal yang memiliki karakter Islami dan umumnya terletak di

18

sekitar Masjid Agung. Pada masa kolonial, Masjid Agung juga dikenal dengan sebutan Masjid Jami dimana keduanya memiliki fungsi yang sama. Masjid berfungsi untuk mendukung segala keperluan terkait dengan urusan keagamaan pemimpin duniawi (sultan, bupati, dan lain sebagainya) dan kerabatnya. Yang menjadi keunikan ialah, gaya arsitektur yang digunakan dalam membangun Masjid Agung ialah gaya arsitektur Masjid yang khas Jawa dengan langgam tradisional (Rapp, 2015).

4. Pasar

Menurut Sunaryo (2013), pasar merupakan area khusus yang diperuntukkan untuk kegiatan perdagangan. Fungsi utama dari pasar ialah mewadahi kegiatan interaksi sosial dan ekonomi. Lokasi dari pasar umumnya jauh di sebelah utara Alun-Alun dan cenderung terpisah dari tiga komponen sebelumnya, yaitu Keraton, Alun-Alun, dan Masjid.

Rapp (2015) menuliskan bahwa tidak sembarang orang boleh mengadakan pasar, baik di wilayah yang dikuasai VOC maupun di Kerajaan Jawa. Hak pasar disewakan oleh kolonial atau penguasa pribumi kepada pemilik tanah melalui sistem yang diesebut pacht. Tuan tanah dapat menyewakan haknya kepada penyewa kedua yang biasanya merupakan orang-orang Tionghoa. Permukiman mereka berada dekat dengan Pasar. Oleh karena itu, di dekat pasar sering dijumpai permukiman Tionghoa.

5. Pecinan

Menurut Rapp (2015), pecinan merupakan kawasan pertama atau kedua setelah permukiman VOC yang benar-benar bersifat kota. Pecinan selalu memiliki letak yang strategis terhadap pasar, benteng, pemukiman Belanda, dan pusat kota atau Alun-Alun.

6. Kediaman Penguasa

Menurut Rapp (2015), kediaman penguasa merupakan komponen yang umumnya juga berada di sekitar Alun-Alun. Kediaman penguasa tidak hanya aparat kolonial melainkan juga aparat pribumi. Umumnya kantor pemerintahan berada satu kompleks dengan tempat tinggal penguasa. Lokasi kediaman para penguasa kolonial umumnya berbeda

19

dengan kediaman penguasa pribumi namun keduanya dibangun disekitar Alun-Alun dan menghadap ke Alun-Alun. Yang membedakan, di depan rumah penguasa pribumi biasanya dibangun sebuah pendopo besar yang sering digunakan untuk acara formal yang ramai.

Sedangkan untuk gaya bangunannya, umumnya menggunakan menggunakan gaya neoklasik, yaitu revitalisasi gaya Yunani dan Romawi Kuno. Ciri khasnya ialah muka bangunan didominasi oleh barisan 4, 6, atau 8 pilar; menggunakan lisplang yang besar dan lebar; menggunakan pilaster (tiang palsu yang ditempel pada dinding sebagai hiasan); serta fronton (gunungan segitiga gaya candi Yunani).