• Tidak ada hasil yang ditemukan

Struktur naratif karya performance art dan seni instalasi berjudul Terjerembab

KAJIAN NARASI SIMBOLIK KARYA SENI RUPA TIGA SENIMAN MEDAN

4.1 Struktur dan Pola Naratif karya Seni Rupa Tiga Seniman Medan

4.1.2 Struktur dan Pola Naratif Karya Mangatas Pasaribu 1 Struktur naratif karya seni rupa Mangatas Pasaribu

4.1.2.1.5 Struktur naratif karya performance art dan seni instalasi berjudul Terjerembab

Gambar 4.10

Performance art dan instalasi Mangatas Pasaribu, ―Terjerembab meja datar, cermin, botol minuman kaleng, dan pipet, pada 24 Januari 2014 di Gedegap.

Sumber foto: dokumen Gedegap.

Karya performance art Mangatas yang berjudul ―Terjerembab” pada foto di atas, merupakan karya tiga dimensi yang memanfaatkan ruang dan waktu, dengan hasil akhirnya berupa karya instalasi. Wujud instalasinya merupakan

lanjutan dari karya instalasinya yang pernah dipamerkan pada pameran Seni Rupa

Kontemporer, ―Pameran Rupa – Rupa Seni Rupa 1994‖ di Taman Budaya

Yogyakarta dengan judul ―Tonggo Padao Mara‖, dalam rangka memperingati hari AIDS sedunia (lihat gambar 2.30) tetapi memiliki perbedaan pada komposisi cermin dan sedikit terjadi penambahan pada objeknya.

Pada proses berkarya ―Terjerembab‖, Mangatas terlebih dahulu sudah

mempersiapkan karyanya instalasinya dengan meja yang dicat berwarna hitam berukuran 2,40 x 2,40 meter setinggi 30 cm. Di atas meja tersebut, Mangatas menyusun cermin-cermin yang yang berukuran sama, disusun berjarak seperti pada papan catur yang terdiri dari 8 baris dan 8 kolom, dan Mangatas juga memasang potongan-potongan cermin berukuran sama yang digantungkan di langit-langit, dengan komposisi cermin menghadap kebawah dan tidak beraturan. Tujuannya agar mendapat refleksi seni pantulan dari objek instalasi di bawahnya.

Gambar 4.11

Proses persiapan dan Performance art dan instalasi Mangatas Pasaribu, ―Terjerembab, pada 24 Januari 2014 di Gedegap.

Sumber foto: dokumentasi Gedegap.

Pengertian performance art sebagai bagian dari seni konseptual (conseptual art) yang membebaskan dari material tertentu serta mencari alternatif baru yang merupakan transformasi narasi (teks tertulis maupun verbal) ke dalam bentuk-bentuk teatrikal, personal maupun kolektif, telah dilakukan oleh Mangatas Pasaribu dalam proses performance art-nya, sembari menarasikan secara verbal

terlebih dahulu judul beserta konsep atau gagasannya dalam berkarya. Mangatas juga menarasikan apa yang dimaksud dengan terjerembab pada karyanya, sembari menyusun objek-objek pendukung dalam karya instalasinya, berupa kaleng minuman bekas yang sudah dicat dengan berwarna merah dan pipet (sedotan plastik) berwarna putih. Kaleng-kaleng tersebut disusun dan ada beberapa yang diremas dengan tekanan remasan yang tidak sama pada setiap kaleng. Pada kaleng yang diletakkan pertama kali masih memiliki komposisi kaleng yang utuh (belum terkena remasan tangan Mangatas), dengan memasukkan tiga buah pipet sekaligus di dalamnya. Pada kaleng kedua, sudah terdapat bekas remasan walaupun sedikit, begitu seterusnya sambil menarasikan dan memaparkan tentang kasus-kasus perihal pergaulan bebas, narkoba, dunia hitam dan rasa malas pada anak-anak muda. Mangatas melakukan perform sambil meremas dan menyusun kaleng- kaleng pada tiap bidang meja dan cermin, dan jarak spasial cermin yang disediakan di atas meja. Hingga pada susunan kaleng terakhir, Mangatas menginjak dengan keras kaleng tersebut. Dimana, pada tiap-tiap kaleng dimasukkan tiga buah pipet. Di dalam narasi yang dipaparkan oleh Mangatas, terkandung pesan bahwa hendaknya para anak muda atau siapapun berhati-hati dalam bersikap dan bergaul, agar tidak terjerembab. Bila sudah terjerembab, tidak akan mungkin dan susah untuk diperbaiki, seperti pada kaleng-kaleng yang sudah peot teremas dan terinjak oleh Mangatas.

Setelah performance art Mangatas selesai, Mangatas memberikan souvenir kepada beberapa penonton yang hadir berupa kaleng minuman bekas berwarna merah yang sudah berisi tiga buah pipet, sebagai simbol ungkapan Terimakasih

karena sudah hadir menyaksikan performance art dan instalasinya. Kemudian dilakukan sesi tanya jawab mengenai gagasan dan konsep yang dibangun oleh Mangatas untuk para pengunjung atau penonton atau apresiator. Pada sesi tanya jawab tersebut, Mangatas menjelaskan bahwa warna yang digunakan adalah warna yang mewakili tentang kebudayaan Batak Toba, walaupun tidak ada narasi yang menuju kepada kebudayaan Batak Toba, tetapi warna-warna tersebut, adalah warna-warna yang sering ia pergunakan dalam berkesenirupaan, sekaligus mewakili dirinya yang seorang Batak Toba.

Membaca relasi tanda simbolis secara semiotis dengan mengaitkan judul dan menyaksikan proses penyusunan karya instalasi sekaligus dinarasikan secara verbal, sudah memunculkan interpretasi dan pemahaman yang sangat jelas perihal konsep dan gagasan berpikir Mangatas terhadap karyanya. Bahwa narasi yang terkandung pada karyanya adalah narasi yang bersifat persuasif, dengan mengajak dan menghimbau para penonton/apresiator agar tidak terjerembab. Gagasan ini bisa dikatakan tepat sasaran, bila dikaitkan dengan banyaknya penonton yang hadir yang sebagian besar adalah anak-anak muda. Narasi yang berisi nasehat ini juga bisa dan tepat olehnya sebagai orang tua yang memiliki anak-anak yang sedang tumbuh remaja, dan sebagai nasehat seorang dosen kepada mahasiswanya agar tidak terjerembab.

Bila elemen-elemen bentuk material yang digunakan oleh Mangatas dipersonifikasikan sebagai manusia, dan dikaitkan dengan judul dan gagasannya yang mengangkat nilai-nilai kemanusian agar tidak terjerembab, dapat diambil konotasi dengan mengibaratkan kaleng-kaleng berwarna merah itu sebagai

seorang gadis, dan pipet-pipet putih tersebut adalah para remaja laki-laki atau hanya laki-laki dengan beragam usia. Dengan mengaitkannya, bisa saja hal tersebut berkisah tentang seks bebas.

Cermin-cermin dari atas dan dari bawah yang terus saling menaggkap dan memantulkan bayangan, dapat dikonotasikan bahwa cermin-cermin tersebut adalah gambaran dari mata-mata yang memandang, yang mengetahui aib dan kejahatan atau sebagai saksi atas perbuatan manusia. Bila cermin yang berada di bawah bisa saja dipersonifikasikan sebagai mata-mata pengamatan manusia, sedangkan cermin yang digantungkan di atas adalah mata Yang Maha Kuasa.

Menurut Mangatas Pasaribu dalam wawancara dengannya perihal karya performance art dan instalasinya, Mangatas menjelaskan, bahwa: ―Kita kadang- kadang tidak menyadari, kelakuan kita bisa membuat kita menjadi terjerembab.‖ Terjerembab adalah bahasa Medan yang artinya terjatuh tanpa sengaja. Mangatas

menjelaskan bahwa ―tanpa kita sadari, perbuatan kita, tingkah laku kita,

membawa kita menjadi terjerembab dalam dunia hitam, terjerembab juga dalam

pergaulan bebas. Dampaknya kita menjadi menderita‖.

Jadi, ide Mangatas dalam memvisualkan dengan membuat karya instalasinya dari wadah minuman kaleng itu, melalui proses perenungan yang panjang dalam bagaimana dia memvisualkannya. Pilihannya jatuh kepada kemasan-kemasan minuman kaleng itu, karena ia menilai materialnya yang sangat

lembut. ―Jadi, ketika mau membentuk-bentuk sangat enak, tanpa membutuhkan

alat bantu‖, katanya. Mangatas menjelaskan dalam proses perenungan material yang digunakan, misalnya untuk menggepengkan besi, dia harus membutuhkan

las karbit untuk dipanaskan untuk mempenyotkannya. Kalaupun dia pakai botol, dia harus membutuhkan tungku untuk memanaskannya, supaya botol itu bisa dibentuk-bentuk. Tetapi dengan kaleng Mangatas tinggal memutarkannya saja. Jadi, keinginan untuk membentuk, bisa diekspresikannya dengan hanya memegang dan memutarkannya begitu saja.

Adanya tiga buah pipet dalam satu wadah pada karya Mangatas merupakan simbolisasi dari terjerembab yang terjadi karena ada aksi dan ada reaksi yang bergabung dengan orang-orang banyak. Dijelaskan oleh Mangatas, bahwa dia juga tetap memakai filosofi Batak dalam karyanya, yaitu dunia atas, dunia tengah, dunia bawah, dan tetap memasukkan warna merah, hitam dan putih.

Dijelaskan olehnya tentang narasi yang terkandung, bahwa ―apabila kita tidak

mem-balance hubungan dengan dunia atas, artinya kan kita tetap masuk dalam

dosa‖. Walaupun karyanya dikemas dalam bentuk pop art sekali, Mangatas mempertegas bahwa ―ruh Batak itu ada dari warna‖. Secara proses performance art-nya, Mangatas menjelaskan bahwa susunan kemasan kaleng itu yang pertama dalam keadaan utuh, tetapi mulai baris ketiga-keempat itu sudah ada penekanan dan goresan dengan kukunya saja, yang lama-lama semakin rusak, hingga permukaan atas dan bawah dari kaleng sudah menyatu, yang dapat dinarasikan sebagai figur yang sudah hancur dan tak bisa tertolong lagi. Digambarkan olehnya sebagai berikut.

Misalnya terjerambab dalam narkoba, dia akan masuk penjara atau akan mati, sudah tak tertolong lagi. Begitu juga dalam dunia hitam, dan hidupnya secara pelan-pelan akan menuju keterjerembab itu. Sedangkan kaca-kaca itu, merupakan refleksi kehidupan. Jadi perbuatan kita akan terefleksi ke atas, sebagaimana kita mengemas, yang kuasa akan tau juga perbuatan kita.