• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III GAMBARAN PERUSAHAAN

C. Struktur Organisasi Unit Pelaksana Cabang

Struktur organisasi adalah sistem formal hubungan-hubungan kerja yang membagi dan mengkoordinasikan tugas-tugas sejumlah orang

dan kelompok-kelompok untuk mencapai tujuan organisasi. Struktur organisasi juga berkaitan dengan masalah perbedaan status di ornagisasi/perusahaan, yaitu masalah mengenai posisi tertentu sebagai kosekuensi dari karakteristik yang membedakan posisi seseorang atau kelompok dengan yang lainnya dalam struktur formal dan informal (Gibson, J.L., dalam Wahyudi, 2008). Persaingan untuk meningkatkan status pada setiap departemen atau unit kerja bertujuan untuk memperoleh penghargaan dan pengakuan dari pimpinan Masalah yang muncul dalam struktur organisasi berkenaan dengan persaingan pengaruh dan kekuasaan antar departemen/unit kerja, sistem penilaian yang tidak jelas, dan perbrdaan dalam menafsirkan tujuan organisasi. Masalah juga bisa muncul apabila seorang individu atau departemen tidak mendapatkan penghargaan atau kesempatan sesuai dengan prestasi yang dicapai. Konflik status dapat disebabkan persepsi atas ketidakadilan dalam hal ganjaran, penugasan kerja atau kesempatan pengembangan karier.

d. Perbedaan Individu

Sifat merupakan ciri khas yang ada pada setiap individu yang membedakannya dengan individu lainnya. Perbedaan individu dilatar belakangi oleh pendidikan, budaya, lingkungan sosial, etnik, dan lain- lain. Perbedaan latar belakang di atas menimbulkan perbedaan dalam bersikap dan bertindak di lingkungan kerja. Konflik dapat terjadi apabila masing-masing individu mempertahankan pendiriannya dan tidak bersedia menerima pendapat serta fikiran orang lain.

3. Jenis – Jenis Konflik

Konflik yang muncul didalam organisasi harus dikelola secara baik dan tepat agar tidak merugikan organisasi. Untuk mengelola konflik secara efektif dan efisien, maka pimpinan harus mengenal secara tepat dimana konflik tersebut terjadi agar pimpinan tersebut dapat memilih strategi manajemen yang tepat. James A.F Stoner dan Charles Wankel yang diterjemahkan oleh Winardi ( 1994 ; 68 ) menyatakan bahwa terdapat lima macam jenis konflik yang mungkin muncul dalam kehidupan organisasi tertentu, yaitu :

a. Konflik di dalam diri individu ; terjadi apabila seorang individu tidak pasti tentang pekerjaan apa yang diharapkan akan dilakukan olehnya, apabila tuntutan tertentu dari pekerjaan yang ada, berbenturan dengan tuntutan lain, atau apabila sang individu dituntut untuk melaksanakan hal – hal yang melebihi kemampuannya.

b. Konflik antara individu – individu didalam organisasi yang sama ; terjadi karena adanya perbedaan – perbedaan dalam kepribadian. Seringkali konflik – konflik demikian muncul karena tekanan – tekanan yang berkaitan dengan peranan atau dari cara orang mempersonalifikasi konflik antar kelompok – kelompok.

c. Konflik antara individu – individu dan kelompok – kelompok ; dianggap hal yang Konflik antara individu – individu dan kelompok – kelompok seringkali berhubungan dengan cara para individu menghadapi tekanan – tekanan untuk mencapai konformitas, yang ditekankan kepada mereka oleh kelompok kerja mereka.

d. Konflik antara kelompok – kelompok dalam organisasi yang sama ; konflik yang banyak terjadi didalam organisasi – organisasi, karena tiap kelompok dalam organisasi mempunyai kepentingan dan tujuan yang berbeda dan antar kelompok sendiri menginginkan segala kepentingan dan tujuannya dapat tercapai dengan baik walaupun harus berbenturan dengan kelompok lainnya.

e. Konflik antara organisasi – organisasi dalam bidang ekonomi ; menyebabkan timbulnya pengembangan produk – produk baru, teknologi, dan jasa, harga – harga lebih rendah dan penggunaan sumber daya lebih efisien.

4. Pendekatan Manajemen Konflik

Salah satu persoalan yang sering muncul selama berlangsungnya perubahan di dalam organisasi adalah konflik antar anggota atau antar kelompok. Menurut Hardjana (Wahyudi, 2008), konflik tidak hanya harus diterima dan dikelola dengan baik, tetapi juga harus didorong karena konflik merupakan kekuatan untuk mendatangkan perubahan dan kemajuan dalam lembaga. Demikian pula Edelman R.J. (Wahyudi, 2008) menegaskan bahwa, jika konflik dikelola secara sistematis dapat berdampak positif yaitu, memperkuat hubungan kerja sama, meningkatkan kepercayaan dan harga diri, mempertinggi kreativitas dan produktivitas, dan meningkakan kepuasan kerja. Manajemen konflik yang tidak efektif dengan cara menerapkan sanksi yang berat bagi penentang, dan berusaha menekan bawahan yang menentang kebijakan sehingga iklim organisasi semakin buruk dan meningkatkan sifat ingin merusak. Maka dari itu, pimpinan organisasi di tuntut memiliki

kemampuan tentang manajemen konflik dan memanfaatkan konflik untuk meningkatkan kinerja dan produktivitas organisasi.

Manajemen konflik adalah teknik yang dilakukan pimpinan organisasi untuk mengatur konflik dengan cara menentukan peraturan dasar dalam bersaing (Criblin J, dalam Wahyudi, 2008). Menurut Walton R. E. Dan Owens R. G. (Wahyudi, 2008), tujuan manajemen konflik adalah untuk mencapai kinerja yang optimal dengan cara memelihara konflik tetap fungsional dan meminimalkan akibat konflik yang merugikan. Mengingat kegagalan dalam mengelola kunflik dapat menghambat pencapaian tujuan organisasi, maka pemilihan teknik pengendalian konflik menjadi perhatian pimpinan organisasi. Tidak ada teknik pengendalian konflik yang dapat digunakan dalam segala situasi, karena setiap pendekatan mempunyai kelebuhan dan kekurangan. Gibson J. L. et. al. (Wahyudi, 2008) mengatakan, memilih resolusi konflik yang cocok tergantung pada faktor-faktor penyebabnya. Menurut Handoko (Wahyudi, 2008) secara umum terdapat tiga cara dalam menghadapi konflik, yaitu :

a. Stimulasi konflik, diperlukan apabila satuan-satuan kerja dalam organisasi terlalu lambat dalam melakukan pekerjaan karena tingkat konflik rendah. Situasi konflik yang rendah akan menyebabkan para karyawan takut berinisiatif sehingga akhirnya menjadi pasif. Pimpinan perusahaan perlu merangsang timbulnya persaingan dam konflik yang dapat berdampak peningkatan kinerja karyawan perusahaan.

b. Pengurangan atau penekanan konflik, berusaha meminimalkan kejadian konflik tetapi tidak menyentuh masalah-masalah yang menimbulkan konflik.

c. Penyelesaian konflik, berkenaan dengan kegiatan-kegiatan pimpinan organisasi yang dapat mempengaruhi secara langsung pihak-pihak yang bertentangan.

Dengan penjelasan yang berbeda, Leavitt, H. J. (Wahyudi, 2008) mengemukakan bahwa untuk mengatasi konflik dapat dilakukan pendekatan sebagai berikut :

a. Konfrontasi

Teknik konfrontasi adalah pemecahan masalah untuk mengurangi ketegangan melalui pertemuan tatap muka antar kelompok yang sedang konflik, dengan tujuan untuk mengenal masalah dan menyelesaikannya. Kelompok yang sedang konflik iberi kesempatan berdebat dan membahas semua masalah yang relevan sampai keputusan tercapai.

b. Negosiasi dan tawar-menawar

Teknik negosiasi dan tawar menawar adalah perundingan mempertemukan dua pihak dengan kepentingan yang berbeda untuk mencapai sebuah persetujuan. Masing-masing pihak membawa serangkaian usulan yang kemudian didiskusikan dan dilaksanakan. Dalam perundingan, tidak ada yang dikalahkan, semua pihak menghindarkan perasaan telah memenangkan tuntutan.

Teknik penyerapan (absorption) adalah cara mengelola konflik organisasi antara kelompok besar dengan kelompok kecil. Kelompok kecil mendpatkan sebagian yang diinginkannya tetapi sebagai konsekuensinya harus ikut bertanggung jawab terhadap pelaksanaannya.

Konflik yang dikelola secara positif dan konstruktif dapat mencapai tujuan organisasi. Dengan demikian pendekatan dalam pengelolaan konflik menjadi hal yang sangat penting. Wexley, K. N. dan Yuki, G. A., (Wahyudi, 2008) mengemukakan pendekatan-pendekatan yang umum dilakukan terhadap manajemen konflik adalah sebagai berikut :

a. Menetapkan peraturan-peraturan dan prosedur standar untuk mengatur perilaku agresif, mendorong perlakuan yang jujur terhadap bawahan. b. Mengubah pengaturan arus kerja, desain pekerjaan, serta aspek-aspek yang

berkaitan dengan hubungan kerja antar pribadi dan antar kelompok. c. Mengubah sistem ganjaran untuk mendorong persaingan atau kerja sama. d. Membentuk unit khusus yang berperan sabagai mediator dan arbitrator

atau juru damai dari pihak ketiga agar mempermudah pengendalian konflik.

e. Memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang mempunyai orientasi tujuan yang berbeda dapat terwakili dalam kelompok pembuat kebijakan. f. Melatih pejabt-pejabat kunci untuk mendalami teknik-teknik manajemen koflik.

Keberhasilan dalam mengelola konflik ditentukan oleh ketepatan dalam memilih teknik pengelolaan, kemampuan pihak ketiga atau pimpinan dalam mengelola konflik, dan kesdiaan pihak-pihak yang terlibat konflik untuk

menyelesaikan konflik. Winardi (Wahyudi, 2008) berpendapat bahwa metode- metode yang paling banyak digunakan dalam penyelesaian konflik adalah : a. Metode dominasi atau supresi, yang berusaha menekan konflik dan bukan

menyelesaikannya. Dengan cara memaksakan, konflik diharapkan reda dengan sendirinya. Hasil penyelesaian konflik dengan metode dominasi menimbulkan situasi menang-kalah, pihak yang kalah harus menerima kenyataan bahwa pihak lain mempunyai otoritas yang lebih tinggi. Ada empat cara yang dapat ditempuh melalui metode dominasi, yaitu : 1) dengan memaksa pihak lain, 2) membujuk secara sepihak untuk mengikuti keinginannya, 3) menghindari konflik atau menolak untuk menghadapi konflik, 4) pemungutan suara atau berdasrkan keinginan mayoritas.

b. Metode kompromi, adalah penyelesaian konflik dengan jalan menghimbau pihak yang terlibat konflik untuk tujuan masing-masing kelompok guna mencapai sasaran yang lebih penting bagi kelangsungan organisasi. Penyelesaian konflik dengan metode kompromi dilakukan dengan cara : 1) memisahkan pihak-pihak yang konflik hingga dicapai suatu pemecahan, 2) melalui arbitrasi yaitu campur tangan pihak ketiga, 3) menggunakan imbalan, yaitu salah satu pihak menerima imbalan untuk mengakhir konflik.

c. metode pemecahan problem integratif. Metode ini dapat mengalihkan konflik antar kelompok menjadi sebuah situasi pemecahan masalah bersama. Terdapat tiga cara penyelesian konflik secara integratif, yaitu : 1) melalui konsensus kedua pihak yng terlibat konflik, 2) konfrontasi untuk membandingkan pendapat masing-masing pihak yang berkonflik,

3)penggunaan tujuan-tujuan superordinat sebagai tujuan yang bernilai lebih tinggi dari tujuan unit/kelompok, d tujun tidak dapat dicapai tanpa kerjasama semua pihak yang bertentangan.

5. Manfaat Terjadinya Konflik

Betapa besar keberadaan konflik dalam organisasi, hingga hal ini dapat dimanfaatkan oleh pimpinan untuk memajukan dan mengembangkan organisasi yang dipimpinnya . Konflik yang dimanajemen dengan baik dapat menimbulkan manfaat bagi organisasi. Hammer dan Organ yang di kutip oleh Adam I. Indrawijaya ( 1996 ; 162 ) mengemukakan beberapa manfaat dari konflik, yaitu :

a. Konflik akan mencegah stagnasi,

b. Konflik akan memberikan stimulasi terhadap timbulnya rasa penting dan keingintahuan,

c. Konflik akan menjadi media pengungkapan persoalan, sehingga dapat di pelajari jalan pemecahannya,

d. Konflik merupakan dasar bagi terjadinya perubahan, baik perorangan maupun perubahan sosial,

e. Konflik dapat membantu bagi pengujian kemampuan, sangat berguna untuk keperluan belajar dan pengembangan.

f. Konflik dapat membantu orang – orang dan kelompok untuk menciptakan identitas dan citra mereka.

C. Kinerja

1. Pengertian Kinerja

Menurut Siswanto (2002 : 235) ”Kinerja adalah prestasi yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya”.

Menurut Ilyas (dalam Indrajaya 2001 : 55) ”Kinerja adalah penampilan hasil kerja personal baik kuantitas maupun kualitas dalam suatu organisasi”.

Menurut Malayu (2002 : 86) ”Kinerja adalah hasil kerja nyata dan standar kualitas maupun kuantutas yang dihasilkan setiap karyawan”.

Menurut Mangkunegara (2003 : 223) ”Kinerja adalah hasil dari suatu proses evaluasi yang dilakukan perusahaan meliputi kejujuran, loyalitas, kedisiplinan, kerja sama, tanggung jawab, sikap, kehadiran, kuantitas, pekerjaan, kualitas kerja dan peningkatan kerja”.

Berdasarkan pendapat di atas mengenai kinerja, maka penulis mengambil kesimpulan bahwa kinerja merupakan prestasi kerja seseorang dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan yang diberikan kepadanya di dalam suatu perusahaan yang meliputi kejujuran, loyalitas, kedisiplinan, kerja sama, tanggung jawab, sikap, kehadiran, kuantitas, pekerjaan, kualitas kerja dan peningkatan kerja.

2. Indikator Kinerja

Ukuran secara kualitatif dan kuantitatif yang menunjukkan tingkatan pencapaian suatu sasaran atau tujuan yang telah ditetapkan adalah sesuatu yang dapat dihitung dan diukur serta digunakan sebagai dasar untuk menilai atau melihat bahwa kinerja setiap hari dalam perusahaan dan perseorangan terus mengalami peningkatan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan.

Menurut Mathis (2002 : 78): Kinerja pegawai adalah yang mempengaruhi seberapa banyak mereka memberikan kontribusi kepada organisasi, yang antara lain termasuk :

a. Kuantitas kerja : Volume kerja yang dihasilkan dalam keadaan normal b. Kualitas kerja : Kerapian, ketelitian, dan keterkaitan hasil dengan tidak

c. Pemanfaatan waktu : Penggunaan masa kerja yang disesuaikan dengan kebijaksanaan perusahaan.

d. Kerjasama : kemampuan menangani hubungan dalam pekerjaan. Selain memedomani kriteria tersebut, performance atau kinerja dihasilkan oleh adanya tiga hal, yaitu :

a. kemampuan atau ability dalam wujudnya sebagai kapasitas untuk berprestasi (capacity to perform)

b. Kemauan, semangat, hasrat atau motivation dalam wujudnya sebagai kesediaan untuk berprestasi (willingness to perform)

c. Kesempatan untuk berprestasi (opportunity to perform)

Berdasarkan keseluruhan defenisi di atas dapat kita lihat bahwasanya kinerja pegawai ini adalah merupakan output dari penggabungan faktor-faktor yang penting yakni, kemampuan dan minat, penerimaan seorang pekerja atas penjelasan delegasi tugas dan peran serta tingkat motivasi seorang pekerja. Semakin tinggi faktor-faktor di atas, maka semakin besarlah kinerja pegawai yang bersangkutan.

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kinerja Pegawai

Manurut Mathis (2002 : 80) dalam pembahasan mengenai permasalahan kinerja pegawai, tidak terlepas dari berbagai macam faktor yang menyertainya:

a. Faktor kemampuan (ability) : Secara psikologis kemampuan (ability) pegawai terdiri dari kemampuan potensi (IQ) dan kemampuan reality (knowledge dan skill). Artinya, pegawai yang memiliki IQ di atas rata- rata (110-120) dengan pendidikan yang memadai untuk jabatannya dan terampil dalam mengerjakan pekerjaan sehari-hari maka akan lebih

mudah mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu pegawai perlu ditempatkan pada pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya. b. Faktor motivasi : Motivasi terbentuk dari sikap (attitude) seorang

pegawai dalam menghadapi situasi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan diri pegawai yang terarah untuk mencapai tujuan kerja.

4. Penilaian Kinerja

Penilaian kinerja perlu diadakan untuk mengetahui pencapaian sasaran- sasaran organisasiMenurut Siagian (Wahyudi, 2008), penilaian adalah pengukuran dan perbandingan hasil-hasil yang dicapai dengan hasil-hasil yang seharusnya dicapai. Penilaian pda akhirnya menghasilkan keputusan tentang pelaksanaan pekerjaan dengan kategori baik atau tidak, berhasil atau tidak berhasil setlah dihitung secara kuantitatif. Melalui penilaian, kekuatan suatu program bisa diketahui dan dipelihara sedangkan kelemahan-kelemahan dapat dikurangi atau dihilangkan.

Terry (Wahyudi, 2008) menyatakan bahwa penilaian kinerja mmerupakan evaluasi resmi dan periodik tentang hasil pekerjaan seorang pekerja yang diukur dengan kriteria pekerjaan yang telah ditentukan. Dessler (Wahyudi, 2008) mengatakan, agar penilaian kinerja dapat berlangsung sesuai harapan, maka langkah-langkah yang ditempuh adalah:

a. Mendefenisikan pekerjaan, berarti memastikan bahwa pimpinan (evaluator) dan bawahan sama-sama sepakat dengan rincian tugas dan instrumen yang akan digunakan untuk menilai kinerja.

b. Penilaian prestasi, berarti membandingkan antara pretasi aktual anggota/karyawan dengan instrumen penilaian.

c. Menyediakan umpan balik, berarti mengadakan pertemuan-pertemuan untuk membahas prestasi kemajuan bawahan. Dalam pertemuan dirancang rencana pengembangan yang mungkin diperlukan

Menetapkan standar dan metode pengukuran kinerja, tujuan dan sasaran yang ditetapkan selama proses perencanaan sebaiknya dirumuskan secara jelas, mudah dipahami dan terukur dari aspek waktu penyelesaian suatu pekerjaan, dan dengan unit mana harus bekerjasama. Mengukur kinerja, yaitu kegiatan mengamati perilaku karyawan dalam bekerja, dan menghitung keberhasilan penyelesaian tugas dalam jangka waktu yang ditetapkan. Penilaian kinerja yang baik mengutamakan pada hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan, menjelaskan apa yang telah dikerjakan dan menghargai prestasi pekerjaannya. Dengan demikian dalam penilaian kinerja, hubungan antara penilai dengan pihak yang dinilai terjalin dengan baik, tidak semata-mata mencari kesalahan tetapi lebih bertujuan untuk menindak lanjuti hasil penilaian dan menghargai prestasi kerja karyawan.

E. Hubungan Manajemen Konflik dengan Kinerja

Karyawan dapal perusahaan memiliki beragam sifat, pandangan, cara berfikir, hingga kebudayaan. Sering kali dan bahkan tidak dapat dihindari akibat adanya perbedaan itu, muncul pertentangan diantara sesama karyawan. Pertentangan yang muncul akan membuat komunikasi antara sesama karyawan menjadi kurang baik. Komunikasi yang kurang baik, akan membuat pekerjaan terganggu.

Pekerjaan yang terganggu akan mempengaruhi kinerja dari karyawan yang mengalami konflik. Seperti yang dikemukakan oleh S. P. Robbins (dalam Kusnadi, 2003) bahwa tingkat konflik optimal merupakan jenis konflik yang fungsional sehingga organisasi menjadi efektif dan mempunyai karakteristik inovatif, kritis terhadap aktivitas intern organisasi, tanggap terhadap perubahan, kreatif dan cepat beradaptasi terhadap perkembangan lingkungan. Tetapi sebaliknya, jika konflik yang muncul dalam hubungan antar karyawan tersebut dapat dimanage dengan baik, maka hasilnya justru bisa membawa dampak yang baik bagi hubungan antar karyawan dan juga akan berpengaruh baik bagi kinerja karyawan serta operasional perusahaan. Hubungan konflik dan kinerja digambarkan dalam grafik oleh Aldag, R. J. (dalam Wahyudi, 2008) sebagai berikut :

Gambar 2.1 Hubungan Konflik dengan Kinerja Karyawan High Optimal Conflict Performance A B C Low Low High Conflict Intensity

Hubungan antara konflik dengan kinerja (performance) karyawan dalam organisasi pada gambar di atas menunjukkan bahwa, apabila tingkat konflik optimal yaitu tingkat konflik yang sangat fungsional berdampak pada kinerja organisasi menjadi maksimal. Bila konflik terlalu rendah, kinerja dalam organisasi mengalami stagnansi dan organisasi menjadi lambat dalam menyesuaikan diri dengan berbagai perkembangan lingkungan. Di satu sisi, jika tingkat konflik terlalu tinggi, maka akan timbul kekacauan, tidak kooperatif, dan menghalangi pencapaian tujuan organisasi.

BAB III

GAMBARAN PERUSAHAAN

A. Sejarah Perusahaan

1. Listrik Sebelum Kemerdekaan dan di Awal Kemerdekaan sampai 1965

Sejarah listrik di Sumatera Utara bukanlah hal yang baru. Kalau listrik mulai ada di wilayah Indonesia tahun 1893 di daerah Batavia (Jakarta sekarang), maka 30 tahun kemudian (1923) listrik mulai ada di Medan. Sentralnya dibangun di tanah pertapakan kantor PLN Cabang Medan yang sekarang di Jl. Listrik No.12 Medan, dibangun oleh NV NIGEM/OGEM perusahaan swasta Belanda. Kemudian menyusul pembnagunan kelistrikan di Tanjung Pura dan Pangkalan Brandan (1924), Tebing Tinggi (1927), Sibolga (NV ANIWM) Berastagi dan Tarutung (1929), Tanjung Balai tahun 1931 (milik Gemeete-Kotapraja), Labuhan Bilik (1936) dan Tanjung Tiram (1937). Masa penjajahan Jepang, Jepang hanya mengambil alih pengelolaan

Perusahaan Listrik milik swasta Belanda tanpa mengadakan penambahan mesin dan perluasan jaringan. Daerah kerjanya dibagi menjadi Perusahaan Listrik Sumatera Utara, Perusahaan Listrik Jawa dan seterusnya sesuai dengan struktur organisasi pemerintahan tentara Jepang waktu itu.

Setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945, dikumandangkanlah Kesatuan Aksi Karyawan Perusahaan Listrik diseluruh penjuru tanah air untuk mengambil alih Perusahaan Listrik bekas milik swasta Belanda dari tangan tentara Jepang. Perusahaan Listrik yang telah diambil itu diserahkan Kepada Pemerintah RI dalam hal ini Departemen Pekerjaan

Umum. Untuk mengenang peristiwa ambil alih tersebut, maka Penetapan Pemerintah No. 1 SD/45 ditetapkan tanggal 27 Oktober sebagai Hari Listrik. Sejarah memang membuktikan kemudian bahwa dalam suasana yang makin memburuk dalam hubungan Indonesia-Belanda, tanggal 3 Oktober 1953 Keluar Surat Keputusan Presiden No.163 yang memuat ketentuan nasionalisme Perusahaan Listrik milik swasta Belanda sebagai bagian dari perwujudan pasal 33 ayat (2) UUD 1945.

Setelah aksi ambil alih tersebut, sejak tahun 1955 di Medan berdiri Perusahaan Listrik Negara Distribusi Cabang Sumatera Utara (Sumatera Timur dan Tapanuli) yang mula-mula dikepalai oleh R. Sukarno (merangkap Kepala di Aceh), tahun 1959 dikepalai oleh Ahmad Syaifullah. Setelah BPU PLN berdiri dengan SK Menteri PUT No. 16/1/20 tanggal 20 Mei, maka organisasi kelistrikan dirubah. Sumatera Utara , Aceh, Sumbar dan Riau Menjadi PLN Eksploitasi I.

Tahun 1965, BPU PLN dibubarkan dengan peraturan Menteri PU No. 1/PRT/64 dan dengan peraturan Menteri No. 1/PRT/65 ditetapkan dengan pembagian daerah kerja menjadi 15 Kesatuan Daerah Eksploitasi I. Sumatera Utara ditetapkan menjadi Eksploitasi I.

2. Dari Eksploitasi I menjadi Eksploitasi II

Sebagai tindak lanjut dari pembentukan PLN Eksploitasi I Sumatera Utara tersebut, maka dengan Keputusan Direksi PLN No. Kpts 009/DIRPLN/66 tanggal 16 April 1966, PLN Eksploitasi I dibagi menjadi 4 cabang dan 1 sektor, yaitu Cabang Medan, Binjai, Sibolga, Cabang P.Siantar (berkadudukan di Tebing Tinggi). PP No. 18 tahun 1972 mempertegas kedudukan PLN

sebagai Perusahaan Umum LIstrik Negara dengan hak, wewenang dan tanggungjawab membangkitkan, menyalurkan dan mendistribusikan tenaga listrik ke seluruh wilayah Negara RI. Dalam SK Menteri tersebut PLN Eksploitasi I Sumatera Utara dirubah menjadi PLN Eksploitasi II Sumatera Utara.

3. Eksploitasi II Menjadi Wilayah II

Kemudian menyusul Peraturan Menteri PUTL No. 013/PRT/75 yang merubah PLN Eksploitasi menjadi PLN Wilayah. PLN Eksploitasi II menjadi PLN Wilayah II Sumatera Utara.

4. Dari PERUM Menjadi PERSERO

Dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 23/1994 tanggal 16 Juni 1994 maka ditetapkan status PLN sebagai Persero. Adapun yang melatarbelakangi perubahan status tersebut adalah untuk mengantisipasi kebutuhan listrik yang terus meningkat dewasa ini. Dimana pada abad 21 nanti, PLN tidak dapat tidak, harus mampu menghadapi tantangan yang ada. PLN harus mampu menggunakan tolak ukur Internasional, dan harus mampu berswadaya tinggi, dengan manajemen yang berani transparan, terbuka, desentralisasi, profit centre dan cost centre.

Untuk mencapai tujuan PLN meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong perkembangan industri pada PJPT II yang tanggungjawabnya cukup besar dan berat, kerjasama dan hubungan yang harmonis dengan instansi dan lembaga yang terkait, perlu dibina dan ditingkatkan terus.

5. Pemisahan PT PLN (Persero) Wilayah II dan PT PLN (Persero) Pembangkitan dan Penyaluran Sumatera Bagian Utara

Perkembangan kelistrikan di Sumatera Utara terus mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang begitu pesat, hal ini ditandai dengan semakin bertambahnya jumlah pelanggan, perkembangan fasilitas kelistrikan, kemampuan pasokan listrik dan indikasi pertumbuhan lainnya. Untuk mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kelistrikan Sumatera Utara di masa-masa mendatang serta sebagai upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan jasa kelistrikan, maka berdasarkan Surat Keputusan Nomor. 078.K/023/DIR/1996 Tanggal 9 Agustus 1996 dibentuk organisasi baru di bidang jasa pelayanan kelistrikan yaitu PT PLN (Persero) Pembangkitan dan Penyaluran Sumatera Bagian Utara.

Dengan pembentukan organisasi baru PLN Pembangkitan dan Penyaluran Sumatera Bagian Utara yang terpisah dari PLN Wilayah II, maka fungsi- fungsi Pembangkitan dan Penyaluran yang sebelumnya dikelola PLN Wilayah II berpindah tanggungjawab pengelolaannya ke PLN Pembangkitan dan Penyaluran Sumbagut. Sementara itu, PLN Wilayah II berkonsentrasi pada distribusi dan penjualan tenaga listrik.

B. Visi dan Misi Perusahaan 1. Visi

“Diakui sebagai Perusahaan Kelas Dunia yang bertumbuh kembang. Unggul dan terpercaya dengan bertumpu pada potensi Insani. Dan visi 75-100 yaitu mewujudkan rasio elektrifikasi 100% setelah 75 tahun RI

Dokumen terkait