• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KONSEP PERANCANGAN

4.4 Analisis Hasil Simulasi

4.4.1 Studi Kasus 1

4.4.1.1 Multi-Area AGC Tanpa Kontroler

Pada studi kasus satu, sistem multi-area AGC diberikan gangguan berupa beban statis ∆𝑃𝐿 pada area 1 sebesar 0.2 p.u atau setara dengan 200 MW karena base power atau kapasitas daya pada masing-masing area sebesar 1000 MW. Sedangkan frekuensi sistem ditentukan dengan nilai nominal

sebesar 60 Hz. Sehingga dengan adanya perubahan beban sebesar 0.2 p.u pada sistem multi area AGC, maka dapat diketahui nilai deviasi frekuensi sistem sebesar,

∆𝑓𝑝𝑢 = −∆𝑃𝐿 (𝑅1 1+ 𝐷1) + (𝑅1 2+ 𝐷2) ∆𝑓𝑝𝑢 = −0.2 (20 + 0.6) + (16 + 0.9) ∆𝑓𝑝𝑢 =−0.2 37.5 ∆𝑓𝑝𝑢 = −0.00533 p. u Jika diubah ke dalam satuan Hz, maka

∆𝑓𝐻𝑍= (∆𝑓𝑝𝑢) (𝑓𝑜) ∆𝑓𝐻𝑍= (−0.00533)(60) ∆𝑓𝐻𝑍= −0.318 Hz

Sehingga didapatkan nilai frekuensi sistem akibat perubahan nilai beban sebesar, 𝑓 = (∆𝑓𝐻𝑍) + (𝑓𝑜)

∆𝑓 = (−0.318) + (60) ∆𝑓 = 59.682 Hz

Sedangkan untuk perubahan daya tie-line didapatkan sebesar, ∆𝑃𝑡𝑖𝑒 = (1

𝑅2+ 𝐷2) (∆𝑓𝑝𝑢) ∆𝑃𝑡𝑖𝑒 = (16.9) (−0.00533) ∆𝑃𝑡𝑖𝑒 = 0.09007 p. u ∆𝑃𝑡𝑖𝑒 = 90.007 MW

Dari hasil analisa di atas dapat dibuktikan dengan melakukan simulasi menggunakan software MATLAB dan berdasarkan pada parameter yang terdapat pada Tabel 4.1 dihasilkan grafik frekuensi dan daya tie line yang ditampilkan pada Gambar 4.7 sampai Gambar 4.9.

Gambar 4. 7Deviasi Frekuensi Area 1

Gambar 4. 8Deviasi Frekuensi Area 2

Dari hasil simulasi pada Gambar 4.7 dan Gambar 4.8 menunjukkan bahwa setelah sistem diberikan gangguan berupa perubahan kenaikan beban pada area 1 sebesar 0.2 p.u akan mengakibatkan perubahan frekuensi pada area 1 dan 2 sebesar −0.00533 p. u atau mengalami penurunan frekuensi sistem sebesar −0.318 Hz. Akibat adanya perubahan beban di area 1, sistem berada pada kondisi steady state baru, yaitu 59.682 Hz dan mengakibatkan adanya perubahan nilai daya tie line sebesar 0.09007 p.u atau setara dengan 90.007 MW dan dapat dilihat pada Gambar 4.9. Dari hasil simulasi, didapatkan juga nilai undershoot dan settling time sebagai nilai performa atau respon dinamis sistem yang dirangkum pada Tabel 4.5 berikut.

Tabel 4. 5 Data Performansi Grafik pada Gambar 4.7 sampai Gambar 4.9

Undershoot (p.u) Settling Time (s)

∆𝒇𝟏 -0.0142 31.15

∆𝒇𝟐 -0.0053 38.06

∆𝑷𝒕𝒊𝒆 -0.0901 38.58

4.4.1.2 Multi-Area AGC dengan Kontrol Conventional

Pada studi kasus 1, sistem multi area AGC akan diuji menggunakan sebuah primary kontrol berupa kontrol integral atau sering disebut dengan kontrol conventional yang dipasang pada area

kontrol error (ACE) sistem multi area AGC. Penggunaan kontrol integral dipasang pada area 1 dan

area 2. Kontrol integral berfungsi untuk menaikkan respon agar Kembali ke titik nominal. Dari hasil simulasi menggunakan software MATLAB dan berdasarkan pada parameter yang terdapat pada Tabel 4.1 dan Tabel 4.2 dihasilkan grafik frekuensi dan daya tie line yang ditampilkan pada Gambar 4.10 sampai Gambar 4.12.

Gambar 4. 11Respon Frekuensi Area 2 dengan Kontroler Integral

Gambar 4. 12 Respon Daya Tie-Line Sistem dengan Kontroler Integral

Setelah didapatkan grafik hasil simulasi pada Gambar 4.10 sampai Gambar 4.12, maka didapatkan pula hasil performansi sistem ata urespon dinamis sistem berupa nilai undershoot dan

settling time yang dirangkum pada Tabel 4.6 berikut

Tabel 4. 6Data Performansi Grafik pada Gambar 4.10 sampai Gambar 4.12

Undershoot (p.u) Settling Time (s)

∆𝒇𝟏 -0.0137 28.73

∆𝒇𝟐 -0.0033 45.87

∆𝑷𝒕𝒊𝒆 -0.035 49.3

Dari hasil performansi yang dihasilkan oleh sistem multi-area AGC dengan penambahan kontrol integral dihasilkan nilai undershoot yang lebih rendah dibandingkan dengan multi-area AGC tanpa kontroler. Pada area 1 dihasilkan undershoot sebesar 0.0137 p.u dan kemudian deviasi frekuensi kembali ke nilai nominal, yaitu zero atau nol pada detik ke 28.73. Respon tersebut lebih cepat jika dibandingkan dengan respon grafik area 1 sistem multi-area AGC tanpa kontroler. Begitupun dengan

respon frekuensi pada area 2 multi-area AGC dengan kontrol integral dihasilkan undershoot sebesar 0.0033 p.u dengan kecepatan waktu 45.87 detik menuju steady state. Untuk daya tie line dhasilkan respon undershoot sebesar 0.035 p.u dengan kecepatan waktu 49.3 detik menuju steady state.

4.4.1.3

Multi-Area AGC Conventional dengan 1 SMES

Pada studi kasus 1, sistem multi area AGC conventional atau multi-area AGC dengan kontrol integral akan ditambahkan sebuah secondary kontrol loop menggunakan sistem penyimpanan energi

superconducting magnetic energy storage (SMES) yang terpasang pada area 1 saja. Karena adanya

kemampuan SMES dalam menyimpan dan mengatur daya aktif pada sistem sehingga dapat memgontrol adanya fluktuasi beban atau perubahan beban, yang dalam studi kasus ini menggunakan gangguan beban statis sebesar 0.2 p.u. Diharapkan dengan kemampuan sistem SMES dapat meredam adanya osilasi pada sistem multi area AGC. Dari hasil simulasi menggunakan software MATLAB dan berdasarkan pada parameter yang terdapat pada Tabel 4.1, Tabel 4.2, dan Tabel 4.3 dihasilkan grafik frekuensi dan daya tie line yang ditampilkan pada Gambar 4.13 sampai Gambar 4.15.

Gambar 4. 13 Respon Frekuensi Conventional AGC Area 1 dengan Penambahan 1 SMES

Gambar 4. 15Respon Daya Tie-Line Conventional AGC dengan Penambahan 1 SMES

Setelah didapatkan grafik hasil simulasi pada Gambar 4.13 sampai Gambar 4.15, maka didapatkan pula hasil performansi sistem ata urespon dinamis sistem berupa nilai undershoot dan

settling time yang dirangkum pada Tabel 4.7 berikut

Tabel 4. 7Data Performansi Grafik pada Gambar 4.13 sampai Gambar 4.15

Undershoot (p.u) Settling Time (s)

∆𝒇𝟏 -0.0051 39.21

∆𝒇𝟐 -0.0014 37.02

∆𝑷𝒕𝒊𝒆 -0.0219 37.14

Dari hasil performansi yang dihasilkan oleh sistem multi-area AGC conventional dengan penambahan secondary kontrol berupa SMES pada area 1 dihasilkan nilai undershoot yang lebih rendah dibandingkan dengan multi-area AGC conventional. Pada area 1 dihasilkan undershoot sebesar 0.0051 p.u. Namun settling time yang dihasilkan lebih lama, yaitu 39.21 detik untuk deviasi frekuensi kembali ke nilai nominal. Respon tersebut lebih lambat jika dibandingkan dengan respon grafik area 1 sistem multi-area AGC conventional. Adanya respon waktu menuju steady state yang lambat pada sistem dikarenakan adanya waktu yang diperlukan SMES dalam melakukan charge dan

discharge. Namun dengan kemamuan SMES tersebut osilasi respon dapat diminimalisir. Begitupun

dengan respon frekuensi pada area 2 dihasilkan undershoot sebesar 0.0014 p.u dengan kecepatan waktu 37.02 detik menuju steady state. Untuk daya tie line dhasilkan respon undershoot sebesar 0.0219 p.u dengan kecepatan waktu 37.14 detik menuju steady state.

4.4.1.4

Multi-Area AGC Conventional dengan 1 Optimal SMES

Agar sistem AGC bekerja secara lebih optimal, maka ditambahkan suatu pengontrol tambahan berupa sistem SMES. Namun agar lebih optimal digunakan scenario dengan menambahkan suatu pengontrol berupa fuzzy logic terhadap input SMES, dimana fuzzy logic ini berfungsi untuk mentuning nilai gain SMES agar kinerja sistem AGC bekerja secara optimal. Pada scenario ini,

dibandingkan dua jenis sistem kontrol untuk mengoptimalkan kinerja SMES, yaitu Type 1 Fuzzy

Logic Control (T1FLC) dan Interval Type 2 Fuzzy Logic Control (IT2FLC). Unttuk nilai memberhip function pada kontrol T1FLC berdasarkan pada Gambar 3.6 sampai Gambar 3.8 dan membership function pada kontrol IT2FLC berdasarkan pada Gambar 3.9 sampai Gambar 3.11 Untuk rules yang

digunakan pada T1FLC dan IT2FLC sama dengan Tabel 3.4. Dari hasil simulasi menggunakan

software MATLAB dan berdasarkan pada parameter yang terdapat pada Tabel 4.1, Tabel 4.2, Tabel

4.3, dan Tabel 4.4 dihasilkan grafik frekuensi dan daya tie line yang ditampilkan pada Gambar 4.16 sampai Gambar 4.18.

Gambar 4. 16 Respon Frekuensi Area 1 Sistem Menggunakan TIFLC SMES dan IT2FLC SMES

Gambar 4. 18Respon Daya Tie Line Sistem Menggunakan TIFLC SMES dan IT2FLC SMES

Setelah didapatkan grafik hasil simulasi pada Gambar 4.16 sampai Gambar 4.18, maka didapatkan pula hasil performansi sistem ata urespon dinamis sistem berupa nilai undershoot dan

settling time yang dirangkum pada Tabel 4.8 dan Tabel 4.9 berikut.

Tabel 4. 8 Data Performansi Menggunakan SMES T1FLC

Undershoot (p.u) Settling Time (s)

∆𝒇𝟏 -0.0026 33.82

∆𝒇𝟐 -0.0006083 37.06

∆𝑷𝒕𝒊𝒆 -0.006516 41.3

Tabel 4. 9 Data Performansi Menggunakan SMES IT2FLC

Undershoot (p.u) Settling Time (s)

∆𝒇𝟏 -0.000423 22.15

∆𝒇𝟐 -0.0001262 29.79

∆𝑷𝒕𝒊𝒆 -0.001303 36.73

Dari hasil performansi yang dihasilkan oleh sistem multi-area AGC conventional dengan penambahan secondary kontrol berupa optimal SMES pada area 1 dihasilkan nilai undershoot yang lebih rendah dibandingkan dengan multi-area AGC conventional menggunakan SMES. Pada penggunaan sistem kontrol pada sistem SMES, IT2FLC memiliki nilai undershoot dan kecepatan respon yang lebih bagus daripada sistem kontrol T1FLC. Pada Tabel 4.9 performansi dengan menggunakan metode kontrol IT2FLC dapat meredam undershoot frekuensi pada area 1 sebesar 0.000423 p.u yang artinya dapat merdam sebesar 16,3% dari undershoot yang dihasilkan oleh metode kontrol T1FLC yang dalam sistem ini menghasilkan undershoot sebesar 0.0026 p.u. Sedangkan untuk area 2, IT2FLC dapat meredam sebesar 20.71% dari undershoot yang dihasilkan oleh metode T1FLC. Sedangkan untuk undershoot pada daya tie line dengan menggunakan metode IT2FLC dapat

meredam sebesar 19,99%. Waktu yang dibutuhkan sistem untuk menuju ke nilai nominal lebih cepat Ketika menggunakan metode IT2FLC dibandingkan dengan metode T1FLC.

Jika dilihat menggunakan indeks performansi eror ITAE, ITSE, IAE, dan ISE sistem Multi-Area AGC dengan optimal SMES menggunakan metode kontrol IT2FLC memiliki nilai performansi yang paling kecil dibandingkan dengan metode kontrol yang lain yang disimulasikan pada studi kasus 1 ini. Dapat dilihat grafik ITAE, ITSE, IAE, dan ISE pada Gambar 4.19 sampai Gambar 4.22.

Gambar 4. 19 Grafik ITAE Studi Kasus 1

Gambar 4. 21 Grafik IAE Studi Kasus 1

Gambar 4. 22 Grafik ISE Studi Kasus 1

Berdasarkan nilai yang dihasilkan oleh indeks performansi eror ITAE, ITSE, IAE, dan ISE dari Gambar 4.20 sampai Gambar 4.23 dapat dilihat pada Tabel 4.10 berikut.

Tabel 4. 10 Nilai Indeks Performansi Error pada Masing-Masing Sistem pada Studi Kasus 1

Conventional SMES SMES T1FLC SMES IT2FLC

ITAE 1.906 3.866 0.3352 0.0581

ITSE 0.1662 0.1306 0.005233 0.0001683

IAE 0.6752 0.6858 0.1245 0.02536

ISE 0.1174 0.04145 0.00411 0.0002102

Dapat dilihat bahwa nilai kriteria perhitungan eror dari SMES IT2FLC yang didesain memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan metode kontrol Conventional, SMES, dan SMES T1FLC. Hal ini merepresentasikan bahwa sistem mempunyai eror yang kecil dan menuju steady state yang diinginkan dengan cepat.

Dokumen terkait