• Tidak ada hasil yang ditemukan

OPTIMAL SUPERCONDUCTING MAGNETIC ENERGY STORAGE MENGGUNAKAN INTERVAL TYPE-2 FUZZY LOGIC CONTROLLER UNTUK MULTI-AREA AUTOMATIC GENERATION CONTROL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "OPTIMAL SUPERCONDUCTING MAGNETIC ENERGY STORAGE MENGGUNAKAN INTERVAL TYPE-2 FUZZY LOGIC CONTROLLER UNTUK MULTI-AREA AUTOMATIC GENERATION CONTROL"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

LOGIC CONTROLLER UNTUK MULTI-AREA AUTOMATIC

GENERATION CONTROL

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh :

Arie Bagus Laksono

102116010

FAKULTAS TEKNOLOGI INDSTRI

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO

UNIVERSITAS PERTAMINA

2020

OPTIMAL SUPERCONDUCTING MAGNETIC ENERGY

STORAGE MENGGUNAKAN INTERVAL TYPE-2 FUZZY

(2)

O

p

tima

l S

u

p

er

co

n

d

u

ct

in

g

M

a

g

n

et

ic E

n

er

g

y

S

to

ra

g

e

Me

n

g

g

u

n

ak

an

In

te

rv

a

l T

yp

e

-2

F

u

zz

y

Lo

g

ic C

o

n

tr

o

ller

U

n

tu

k

M

u

lti

-Are

a

A

utom

a

tic

G

en

er

a

tio

n

Co

n

tr

o

l

A

ri

e Ba

g

u

s L

ak

so

n

o

1

0

2

1

1

6

0

1

0

(3)

LOGIC CONTROLLER UNTUK MULTI-AREA AUTOMATIC

GENERATION CONTROL

LAPORAN TUGAS AKHIR

Oleh :

Arie Bagus Laksono

102116010

FAKULTAS TEKNOLOGI INDSTRI

PROGRAM STUDI TEKNIK ELEKTRO

UNIVERSITAS PERTAMINA

2020

OPTIMAL SUPERCONDUCTING MAGNETIC ENERGY

STORAGE MENGGUNAKAN INTERVAL TYPE-2 FUZZY

(4)
(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Tugas Akhir

: Optimal Superconducting Magnetic Energy

Storage Berbasis Interval Type 2 Fuzzy logic

Controller untuk Multi-Area Automatic

Generation Control

Nama Mahasiswa

: Arie Bagus Laksono

Nomor Induk Mahasiswa

: 102116010

Program Studi

: Teknik Elektro

Fakultas

: Teknologi Industri

Tanggal Lulus Sidang Tugas Akhir

: 5 September 2020

Jakarta, 15 September 2020

MENGESAHKAN

Pembimbing I :

Nama : Dr. Eng Muhammad Abdillah S.T., M.T

NIP

: 116153

Pembimbing II :

Nama : Nita Indriani Pertiwi, M.T

NIP

: 116148

MENGETAHUI,

Ketua Program Studi Teknik Elektro

Dr. Eng. Wahyu Kunto Wibowo, S.T., M.Eng.

NIP 116059

ACC 15/09/2020

(6)

LEMBAR PERNYATAAN

(7)

ABSTRAK

Arie Bagus Laksono, 102116010. Optimal Superconducting Magnetic Energy Storage Berbasis

Interval Type 2 Fuzzy logic Controller untuk Multi-Area Automatic Generation Control.

Dalam pengoperasian sistem tenaga listrik, kestabilan sangat penting dalam menjaga dan menjamin kualitas daya listrik yang dikirim dari unit pembangkit hingga ke sisi konsumen melalui saluran transmisi. Jika terjadi perubahan beban pada sistem tenaga listrik, maka dapat mempengaruhi perubahan frekuensi pada aliran listrik yang dihasilkan oleh pembangkit yang juga berpengaruh pada frekuensi sistem selama proses pengoperasian, maka dari itu dibutuhkan suatu skema sistem kontrol yang disebut Automatic Generation Control (AGC). Dalam suatu sistem interkoneksi, AGC berfungsi sebagai sistem yang mempertahankan frekuensi di titik nominal. Namun sistem pengontrol primer pada AGC memiliki nilai osilasi yang tinggi dan cenderung memiliki respon lambat. Untuk mengatasi permasalahan tersebut digunakan teknologi penyimpanan energi bernama

Superconducting Magnetic Energy Storage (SMES) yang dapat mengontrol daya aktif dan reaktif

pada sistem dengan kemampuan charge dan dischargenya. Sistem dapat dipasang pada masing-masing area sistem AGC. Usaha untuk menjaga agar sistem tetap adaptif ketika terjadi perubahan nilai beban, yaitu dengan ditambahkan suatu sistem kontrol pada sistem kendali SMES. Tugas akhir ini merepresentasikan penggunaan Interval Type-2 Fuzzy Logic Control dalam mentuning input SMES untuk menghasilkan desain kontrol yang optimum pada sistem tenaga listrik. Hasil simulasi menunjukkan bahwa pengaplikasian metode ini mampu memberikan pengaruh yang bagus pada sistem, yaitu dapat mereduksi overshoot dan undershoot serta mempercepat settling time respon deviasi frekuensi area 1, deviasi frekuensi area 2, dan perubahan daya tie line.

Kata Kunci : Superconducting Magnetic Energy Storage (SMES), Multi-Area Automatic Generation

(8)

ABSTRACT

Arie Bagus Laksono, 102116010. Optimal Superconducting Magnetic Energy Storage Based on Interval Type 2 Fuzzy logic Controller for Multi-Area Automatic Generation Control.

In power system operation, stability is very important for maintaining and guaranteeing the quality of electric power sent from the generating unit to the consumer side through the transmission line. If there is a change in the load on the electric power system, it can affect the frequency change in the electricity generated by the generator which also affects the system frequency during the operation process. Therefore, a control system scheme called Automatic Generation Control (AGC) is needed. In an interconnection system, AGC functions as a system that maintains frequency at a nominal point. However, the primary control system at AGC has high oscillation values and tends to have a slow response. To solve this problem, an energy storage technology called Superconducting Magnetic Energy Storage (SMES) is used which can control active and reactive power in the system with charge and discharge capabilities. The system can be installed in each area of the AGC system. To keep the system adaptive when the load value changes, a control system is added to the SMES control system. This final project represents the use of the Interval Type-2 Fuzzy Logic Control for tuning the SMES input to produce the optimum control design in the electric power system. The simulation results show that the application of this method is able to have a good effect on the system, which can reduce overshoot and undershoot, and then accelerate the settling time response to area 1 frequency deviation, area 2 frequency deviation, and tie line power changes.

Key Word : Superconducting Magnetic Energy Storage (SMES), Multi-Area Automatic Generation

(9)

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Dengan memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT atas Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga Laporan Tugas Akhir dengan judul OPTIMAL SUPERCONDUCTING MAGNETIC

ENERGY STORAGE BERBASIS INTERVAL TYPE 2 FUZZY LOGIC CONTROLLER UNTUK MULTI-AREA AUTOMATIC GENERATION CONTROL akhirnya dapat penulis susun dan

selesaikan. Penulisan laporan Tugas Akhir ini dimaksudkan sebagai syarat menyelesaikan program sarjana di Program Studi S1 Teknik Elektro, Fakultas Teknologi Industri, Universitas Pertamina.

Laporan Tugas Akhir ini dapat diselesaikan berkat bantuan dan dukungan dari berbagai pihak yang telah memberikan gagasan, bimbingan, dan berbagai upaya lainnya. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Kedua Orang Tua : Abdul Djalil dan Winarti yang telah memberikan segala dukungan. 2. Bapak Dr. Eng. Muhammad Abdillah, S.T., M.T., selaku Dosen Pembimbing dan Dosen

Teknik Elektro yang telah membimbing penyelesaian Tugas Akhir.

3. Ibu Nita Indriani Pertiwi, M.T., selaku Dosen Pembimbing dan Dosen Teknik Elektro yang telah membimbing penyelesaian Tugas Akhir.

4. Bapak Dr. Eng. Wahyu Kunto Wibowo, M.T., selaku Dosen Wali dan Ketua Program Studi Teknik Elektro.

5. Bapak Prof. Akhmaloka Ph.D sebagai Rektor Universitas Pertamina.

6. Bapak Prof. Dr. Ir. Ichsan Setya Putra sebagai Wakil Rektor 1 Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Universitas Pertamina.

7. Bapak Prof. Ir. Suprihanto, Ph.D sebagai Dekan Fakultas Perencanaan Infrastuktur & Fakultas Teknologi Industri Universitas Pertamina

8. Seluruh Dosen Program Syudi Teknik Elektro Universitas Pertamina

9. Seluruh staff akademik dan administrasi Program Studi Teknik Elektro yang telah membantu penulis dalam pelaksanaan kegiatan Tugas Akhir ini.

10. Teman-teman satu angkatan dan seluruh mahasiswa Program Studi Teknik Elektro Universitas Pertamina

11. Sahabat seperjuangan SMA : Agyl Nur Fahrurrozi, Ninda Sriwardani, Inas Safina Bobsaid, Fitria Raamadhani, dan Irsyad Jamil.

12. Sahabat seperjuangan kuliah : Faizal Nur Yusuf, Lutvi, Fahmi Nur Sandy, Mujono, Ganang Alrian Wachid, Fathan Mujahid Satria dan Ahmad Rauhan.

Surabaya, 25 Agustus 2020 Penulis,

(10)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i LEMBAR PERNYATAAN... ii ABSTRAK... iii ABSTRACT ... iv KATA PENGANTAR ... v DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR TABEL ... xi BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 2 1.3 Batasan Masalah ... 2 1.4 Tujuan Perancangan ... 2 1.5 Manfaat Perancangan ... 2 1.6 Waktu Perancangan ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Automatic Generation Kontrol (AGC) ... 4

2.1.1 Konsep Respon Generator terhadap Perubahan Beban ... 5

2.1.2 Konsep Pengaruh Beban Terhadap Frekuensi ... 7

2.1.3 Konsep Pengaturan Valve dengan Governor ... 7

2.1.4 Pemodelan Sistem Turbin ... 8

2.1.5 Pemodelan Sistem Automatic Generation Kontrol (AGC) ... 9

2.2 Superconducting Magnetic Energy Storage (SMES) ... 9

2.3 Interval Type-2 Fuzzyl logic controler (IT2FLC) ... 10

2.3.1 Fuzzifikasi ... 11

2.3.2 Rule Base ... 12

2.3.3 Inferensi ... 13

2.3.4 Tipe Reduksi ... 13

2.3.5 Defuzzifikasi ... 14

2.4 Indeks Performansi Eror ... 14

2.5 Respon Transien ... 15

BAB III. KONSEP PERANCANGAN ... 16

(11)

3.2 Pertimbangan Perancangan ... 17

3.2.1 Model Linear Multi-Area AGC ... 17

3.2.2 Pemodelan Dynamic Sistem SMES ... 19

3.2.3 Pemodelan IT2FLC ... 20

3.2.4 Standar Perubahan Frekuensi ... 38

3.3 Analisa Teknis ... 39

3.4 Peralatan dan Bahan ... 39

3.5 Metode Analisa Data ... 39

BAB IV. KONSEP PERANCANGAN ... 40

4.1 Pendahuluan ... 40

4.2 Simulasi Sistem ... 41

4.3 Data Parameter Sistem ... 45

4.4 Analisis Hasil Simulasi ... 47

4.4.1 Studi Kasus 1 ... 47

4.4.2 Studi Kasus 2 ... 58

4.4.3 Studi Kasus 3 ... 67

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

5.1 Kesimpulan ... 75

5.2 Saran ... 75

(12)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2. 1 Diagram Skematik AGC dan AVR pada Generator Sinkron ... 4

Gambar 2. 2 Hubungan Kecepatan dengan Torsi ... 5

Gambar 2. 3 Hubungan Perubahan Daya dengan Kecepatan ... 6

Gambar 2. 4 Blok Diagram Sistem Beban ... 7

Gambar 2. 5 Penyederhanaan Blok Diagram Sistem Beban ... 7

Gambar 2. 6 Mekanisme Governor pada Sistem Pembangkit ... 8

Gambar 2. 7 Blok Diagram Governor dengan Karakteristik Speed Drop ... 8

Gambar 2. 8 Blok Diagram Sederhana dari Steam Turbine ... 8

Gambar 2. 9 Blok Diagram AGC Satu Area ... 9

Gambar 2. 10 Circuit Diagram SMES ... 9

Gambar 2. 11 Mekanisme Kendali Type-2 Fuzzy Logic [13] ... 10

Gambar 2. 12 Membership Function IT2FLC... 11

Gambar 2. 13 Respon output dan error plant ... 12

Gambar 2. 14 Karakteristik respon transien ... 15

Gambar 3. 1 Flowchart Perencanaan Optimal SMES Berbasis IT2FPID untuk Multi-Area AGC . 16 Gambar 3. 2 Interkoneksi Sistem Tenaga Listrik Dua Area ... 17

Gambar 3. 3 Rangkaian Ekivalen Interkoneksi Sistem Tenaga Listrik Dua Area ... 17

Gambar 3. 4 Model Linear Interkoneksi Sistem Tenaga Listrik Dua Area ... 18

Gambar 3. 5 Blok Digaram Orde Satu Sistem SMES [17] ... 20

Gambar 3. 6 Blok Diagram Sistem IT2FLC ... 20

Gambar 3. 7 Respon Input 1 Fuzzy (f) ... 21

Gambar 3. 8 Respon Input 2 Fuzzy (df) ... 21

Gambar 3. 9 Respon Output Fuzzy (u) ... 22

Gambar 3. 10 Membership Function Fuzzt Type 1 Input (f) ... 23

Gambar 3. 11 Membership Function Fuzzt Type 1 Input (df) ... 23

Gambar 3. 12 Membership Function Fuzzt Type 1 Output (u) ... 24

Gambar 3. 13 Membership Function Type 2 Fuzzy Logic Input (f) ... 24

Gambar 3. 14 Membership Function Type 2 Fuzzy Logic Input (df) ... 25

Gambar 3. 15 Membership Function Type 2 Fuzzy Logic Output (u) ... 25

Gambar 3. 16 LMF Input 1 IT2FLC ... 26

Gambar 3. 17 LMF Input 2 IT2FLC ... 26

Gambar 3. 18 LMF Output IT2FLC ... 27

Gambar 3. 19 UMF Input 1 IT2FLC ... 27

Gambar 3. 20 UMF Input 2 IT2FLC ... 27

Gambar 3. 21 UMF Output IT2FLC ... 28

Gambar 3. 22 Derajat Keanggotaan Input 1 LMF ... 28

Gambar 3. 23 Derajat Keanggotaan Input 2 LMF... 29

Gambar 3. 24 Derajat Keanggotaan Input 1 UMF ... 30

Gambar 3. 25 Derajat Keanggotaan Input 2 UMF ... 30

Gambar 3. 26 Inferensi Output LMF fuzzy ... 31

Gambar 3. 27 Inferensi Output UMF fuzzy ... 32

Gambar 3. 28 Output LMF ... 33

(13)

Gambar 3. 30 output IT2FLC menggunakan toolbox software MATLAB ... 38

Gambar 4. 1 Diagram Blok Perbandingan Sistem Multi-Area AGC Dengan Variasi Kontrol ... 41

Gambar 4. 2 Blok Diagram Multi-Area AGC Tanpa Kontroler ... 42

Gambar 4. 3 Blok Diagram Conventional Kontrol Multi-Area AGC ... 42

Gambar 4. 4 Blok Diagram Conventional Kontrol Multi-Area AGC dengan Kontrol Tambahan Berupa SMES ... 43

Gambar 4. 5 Blok Diagram Conventional Kontrol Multi-Area AGC + SMES Kontrol ... 44

Gambar 4.6 Blok Diagram Conventional Kontrol Multi-Area AGC (a) + SMES T1FLC (b) + SMES IT2FLC ... 45

Gambar 4. 7 Deviasi Frekuensi Area 1 ... 49

Gambar 4. 8 Deviasi Frekuensi Area 2 ... 49

Gambar 4. 9 Deviasi Daya Tie Line ... 49

Gambar 4. 10 Respon Frekuensi Area 1 dengan Kontroler Integral ... 50

Gambar 4. 11 Respon Frekuensi Area 2 dengan Kontroler Integral ... 51

Gambar 4. 12 Respon Daya Tie-Line Sistem dengan Kontroler Integral ... 51

Gambar 4. 13 Respon Frekuensi Conventional AGC Area 1 dengan Penambahan 1 SMES ... 52

Gambar 4. 14 Respon Frekuensi Conventional AGC Area 2 dengan Penambahan 1 SMES ... 52

Gambar 4. 15 Respon Daya Tie-Line Conventional AGC dengan Penambahan 1 SMES ... 53

Gambar 4. 16 Respon Frekuensi Area 1 Sistem Menggunakan TIFLC SMES dan IT2FLC SMES 54 Gambar 4. 17 Respon Frekuensi Area 2 Sistem Menggunakan TIFLC SMES dan IT2FLC SMES 54 Gambar 4. 18 Respon Daya Tie Line Sistem Menggunakan TIFLC SMES dan IT2FLC SMES ... 55

Gambar 4. 19 Grafik ITAE Studi Kasus 1 ... 56

Gambar 4. 20 Grafik ITSE Studi Kasus 1 ... 56

Gambar 4. 21 Grafik IAE Studi Kasus 1 ... 57

Gambar 4. 22 Grafik ISE Studi Kasus 1 ... 57

Gambar 4. 23 Deviasi Frekuensi Area 1 ... 59

Gambar 4. 24 Deviasi Frekuensi Area 2 ... 59

Gambar 4. 25 Deviasi Daya Tie Line ... 59

Gambar 4. 26 Respon Frekuensi Area 1 dengan Kontroler Integral ... 60

Gambar 4. 27 Respon Frekuensi Area 2 dengan Kontroler Integral ... 61

Gambar 4. 28 Respon Daya Tie-Line Sistem dengan Kontroler Integral ... 61

Gambar 4. 29 Respon Frekuensi Conventional AGC Area 1 dengan Penambahan 1 SMES ... 62

Gambar 4. 30 Respon Frekuensi Conventional AGC Area 2 dengan Penambahan 1 SMES ... 62

Gambar 4. 31 Respon Daya Tie-Line Conventional AGC dengan Penambahan 1 SMES ... 63

Gambar 4. 32 Respon Frekuensi Area 1 Sistem Menggunakan TIFLC SMES dan IT2FLC SMES 64 Gambar 4. 33 Respon Frekuensi Area 2 Sistem Menggunakan TIFLC SMES dan IT2FLC SMES 64 Gambar 4. 34 Respon Daya Tie Line Sistem Menggunakan TIFLC SMES dan IT2FLC SMES ... 65

Gambar 4. 35 Grafik ITAE Studi Kasus 2 ... 66

Gambar 4. 36 Grafik ITSE Studi Kasus 2 ... 66

Gambar 4. 37 Grafik IAE Studi Kasus 2 ... 66

Gambar 4. 38 Grafik ISE Studi Kasus 2 ... 67

Gambar 4. 39 Respon Frekuensi Conventional AGC Area 1 dengan Penambahan 2 SMES ... 68

Gambar 4. 40 Respon Frekuensi Conventional AGC Area 2 dengan Penambahan 2 SMES ... 68

Gambar 4. 41 Respon Daya Tie-Line Conventional AGC dengan Penambahan 2 SMES ... 68 Gambar 4. 42 Respon Frekuensi Area 1 Sistem Menggunakan TIFLC SMES dan IT2FLC SMES 70

(14)

Gambar 4. 43 Respon Frekuensi Area 2 Sistem Menggunakan TIFLC SMES dan IT2FLC SMES 70

Gambar 4. 44 Respon Daya Tie Line Sistem Menggunakan TIFLC SMES dan IT2FLC SMES ... 70

Gambar 4. 45 Grafik ITAE Studi Kasus 3 ... 72

Gambar 4. 46 Grafik ITSE Studi Kasus 3 ... 72

Gambar 4. 47 Grafik IAE Studi Kasus 3 ... 72

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. 1 Timeline Perancangan Tugas Akhir ... 3

Tabel 2. 1 Contoh Rule Base Fuzzy Satu Dimensi. ... 13

Tabel 2. 2 Contoh Rule Base Fuzzy Satu Dimensi Simetris ... 13

Tabel 3. 1 Membership Function Input 1 (f) Fuzzy ... 22

Tabel 3. 2 Membership Function Input 2 (df) Fuzzy ... 22

Tabel 3. 3 Membership Function Output (u) Fuzzy ... 23

Tabel 3. 4 Rules Fuzzy Logic Control ... 25

Tabel 3. 5 Batas Kerja Frekuensi Sistem Tenaga Listrik ... 38

Tabel 3. 6 Studi Kasus yang Akan Dianalisa ... 39

Tabel 3. 7 Daftar Peralatan ... 39

Tabel 4. 1 Data Parameter Sistem AGC Tanpa Kontroler ... 45

Tabel 4. 2 Data Parameter Kontrol Integral dan Karakteristik Respon Frekuensi pada AGC ... 46

Tabel 4. 3 Data Parameter Sistem SMES ... 46

Tabel 4. 4 Data Parameter Kontrol Optimal SMES ... 47

Tabel 4. 5 Data Performansi Grafik pada Gambar 4.7 sampai Gambar 4.9 ... 50

Tabel 4. 6 Data Performansi Grafik pada Gambar 4.10 sampai Gambar 4.12 ... 51

Tabel 4. 7 Data Performansi Grafik pada Gambar 4.13 sampai Gambar 4.15 ... 53

Tabel 4. 8 Data Performansi Menggunakan SMES T1FLC ... 55

Tabel 4. 9 Data Performansi Menggunakan SMES IT2FLC ... 55

Tabel 4. 10 Nilai Indeks Performansi Error pada Masing-Masing Sistem pada Studi Kasus 1 ... 57

Tabel 4. 11 Data Performansi Grafik pada Gambar 4.23 sampai Gambar 4.25 ... 60

Tabel 4. 12 Data Performansi Grafik pada Gambar 4.26 sampai Gambar 4.28 ... 61

Tabel 4. 13 Data Performansi Grafik pada Gambar 4.29 sampai Gambar 4.31 ... 63

Tabel 4. 14 Data Performansi Menggunakan SMES T1FLC ... 65

Tabel 4. 15 Data Performansi Menggunakan SMES IT2FLC ... 65

Tabel 4. 16 Nilai Indeks Performansi Error pada Masing-Masing Sistem pada Studi Kasus 2 ... 67

Tabel 4. 17 Data Performansi Grafik pada Gambar 4.13 sampai Gambar 4.15 ... 69

Tabel 4. 18 Data Performansi Menggunakan SMES T1FLC ... 71

Tabel 4. 19 Data Performansi Menggunakan SMES IT2FLC ... 71

(16)
(17)

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam pengoperasian sistem tenaga listrik, kestabilan dan keandalan memainkan peran penting dalam menjaga dan menjamin kualitas daya listrik yang dikirim dari unit pembangkit hingga ke sisi konsumen melalui saluran transmisi. Untuk mencapai nilai pengoperasian yang optimum pada suatu sistem tenaga listrik, aliran daya yang dihasilkan oleh unit pembangkit harus seimbang dengan daya yang diserap oleh sisi konsumen atau beban. Jika terjadi perubahan beban pada sistem tenaga listrik, maka dapat mempengaruhi perubahan frekuensi pada aliran listrik yang dihasilkan oleh pembangkit yang juga berpengaruh pada frekuensi sistem selama proses pengoperasian [1]. Maka dari itu dibutuhkan suatu skema sistem kontrol yang disebut Automatic Generation Control (AGC). Dalam suatu sistem interkoneksi, AGC berfungsi sebagai sistem yang mempertahankan frekuensi di titik nominal, membagi aliran daya ke beban antara generator, dan mengontrol jadwal pertukaran daya dalam jaring sistem tenaga listrik [2].

Dalam beberapa penelitian, sistem AGC tidak lagi dapat melakukan kompensasi perubahan beban secara optimal karena respon AGC yang lambat. Hal tersebut dapat mengarah pada sistem penyimpanan frekuensi dan daya yang berada di antara area yang saling berhubungan atau sering disebut daya tie-line [3]. Seiring dengan berkembangnya teknologi penyimpanan energi, permasalahan respon pada AGC dapat direduksi oleh adanya teknologi bernama Superconducting

Magnetic Energy Storage (SMES) yang dapat mengontrol daya aktif dan reaktif [4]. Berdasarkan

kemampuan respon charge dan discharge dari SMES dalam menyimpan energi, maka dapat digunakan dalam menangani permasalahann di bidang kestabilan dinamis, yaitu seperti meredam osilasi daya maupun frekuensi pada sistem [5].

Perubahan daya pada jaring sistem tenaga mempengaruhi baik input maupun output dari SMES, maka dari itu diperlukan strategi kontrol yang tepat sehingga dapat mengendalikan sistem SMES agar lebih optimal dan adaptif ketika terjadi perubahan titik operasi pada jaring kelistrikan. Seiring dengan perkembangan metode kontrol, suatu sistem dapat dioptimalkan menggunakan analisis yang dibentuk dalam sejumlah aturan. Dengan mengkombinasikan sejumlah aturan yang telah ditetapkan, peraturan tersebut menjadi sebuah sistem yang disebut dengan metode Fuzzy Logic Control (FLC). Sampai saat ini FLC telah banyak diterapkan di seluruh dunia dan mengungguli sistem kontrol konvensional sebagai desain kontrol alternatif untuk variasi model sistem linear dan non linear [4,6]. Dalam beberapa kasus, Type-1 Fuzzy Logic Control (T1FLC) masih sering digunakan. Namun, T1FLC sendiri memiliki kemampuan yang terbatas dalam menangani ketidakpastian sistem yang kompleks. Dalam beberapa penelitian membuktikan mengenai performansi IT2FLC lebih baik [7,8]. Dari permasalahan itulah Prof. Lotfi Zadeh mengembangkan Interval Type-2 Fuzzy Logic Control (IT2FLC) pada tahun 1975. Namun metode IT2FLC populer pada awal tahun 2000 karena adanya sistem komputasi yang sudah memadai. Struktur pemodelan IT2FLC hampir sama dengan T1FLC,

(18)

hanya saja memiliki perbedaan pada hasil output setelah melalui proses inferensi, yaitu dilanjutkan ke proses reduksi untuk mengubah himpunan dari output IT2FLC ke T1FLC untuk kemudian dilakukan proses defuzzifikasi [9].

Penelitiann ini mengusulkan pemodelan sistem Multi-Area AGC dengan menggunakan SMES sebagai peredam osilasi dan mempercepat respon pada sistem menggunakan sistem kontrol Interval

Type-2 Fuzzy Control yang dirancang menggunakan software Simulink MATLAB.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah ditulis, maka didapatkan rumusan masalah, yaitu:

1. Bagaimana cara mendesain sistem kontrol Interval Type 2 Fuzzy Logic Control (IT2FLC) pada sistem SMES yang sesuai untuk output frekuensi dan daya tie-line pada sistem AGC?

2. Bagaimana hasil dari performansi sistem AGC setelah sistem kontrol SMES dipasang Interval

Type 2 Fuzzy Logic Control (IT2FLC)?

3. Bagaimana pengaruh pemasangan jumlah SMES pada sistem Multi-Area AGC?

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditulis, maka pembatasan masalah yang dilakukan, yaitu :

1. Model matematika sistem Multi-Area AGC dengan semua parameter diasumsikan ideal . 2. Output yang dihasilkan, yaitu berupa grafik frekuensi dan daya tie-line hasil simulasi software

MATLAB.

3. Beban bersifat statis.

4. Parameter sistem kontrol T1FLC dan IT2FLC diperoleh menggunakan metode trial and error.

1.4 Tujuan Perancangan

Tujuan dilakukannya perancangan ini, yaitu :

1. Memodelkan sistem kontrol Interval Type-2 Fuzzy Logic Control (IT2FLC) pada SMES untuk memperbaiki redaman osilasi frekuensi dan daya tie pada sistem Multi-Area AGC.

2. Memperoleh nilai performansi ITAE, ITSE, IAE, dan ISE minimum dari sistem Multi-Area AGC dengan penambahan sistem SMES berbasis Interval Type-2 Fuzzy Logic Control (IT2FLC). 3. Mengevaluasi pemasangan jumlah SMES terhadap redaman osilasi frekuensi dan daya tie-line

sistem Multi-Area AGC.

1.5 Manfaat Perancangan

Manfaat dari dilakukannya penelitian ini, yaitu :

1. Mempercepat respon frekuensi pada sistem kendali AGC agar kembali ke titik operasi.

2. Meredam adanya osilasi daya maupun frekuensi pada sistem kendali Multi-Area AGC menggunakan sistem penyimpanan energi berupa SMES.

(19)

3. Sebagai salah satu desain acuan dalam pengembangan sistem SMES berbasis IT2FLC untuk sistem kendali Multi-Area AGC.

1.6 Waktu Perancangan

Waktu Pengerjaan Tugas Akhir dilakukan berdasarkan timeline yang tercantum pada Tabel 1.1 berikut.

Tabel 1. 1Timeline Perancangan Tugas Akhir

No Kegiatan Minggu Ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 1 Pendaftaran TA

2 Pembuatan Proposal TA

3 Pencarian referensi sistem multi area AGC dan SMES

4 Pemodelan single area AGC+SMES

5 Pemodelan single area AGC+SMES+FLC

6 Pencarian referensi IT2FLC

7 Desain single area

AGC+SMES+IT2FLC

8 Pemodelan multi area

AGC+SMES

9 Desain multi area

AGC+SMES+IT2FLC

10 Pembuatan Laporan

Studi Literatur

11

Desain multi area AGC+SMES+IT2FLC dengan Studi Kasus yang telah dirancang

12 Pembuatan Laporan

(20)
(21)

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini dijelaskan mengenai teori dasar dan penurunan matematis dari sistem AGC, IT2FLC, dan SMES. Dijelaskan pula mengenai konsep dasar respon transien dan indeks performansi eror, yaitu Integral of Time by Absolute Error (ITAE), Integral of Time by Square Error (ITSE), Integral

of Absolute Error (IAE), dan Integral of Square Error (ISE)

2.1 Automatic Generation Kontrol (AGC)

Pada sistem pembangkit listrik baik itu pembangkit besar maupun kecil yang saling terhubung secara sinkron pada suatu sistem interkoneksi harus mempunyai nilai frekuensi yang sama. Seiring dengan adanya perubahan permintaan daya dan perubahan beban yang berubah-ubah setiap waktu, maka sangat penting bahwa suatu pembangkit listrik harus memiliki kemampuan untuk mengembalikan output secara cepat dari nol hingga beban maksimum. Akibat adanya perubahan beban yang berubah-ubah setiap waktu, maka dapat dikatakan bahwa frekuensi bukan termasuk besaran konstan, melainkan besaran yang selalu berubah-ubah secara kontinyu sehingga diperlukan adanya suatu sistem yang dapat mengontrol frekuensi pada sistem generator yang terdapat pada pembangkit listrik atau sering disebut sebagai sistem Automatic Generation Control (AGC). Prinsip kerja dari AGC adalah mempertahankan frekuensi pada nilai yang telah ditetapkan selama terjadi gangguan yang disebabkan adanya variasi beban selama sistem beroperasi. Pada Gambar 2.1 diperlihatkan skema diagram Automatic Generation Control (AGC) dan Automatic Voltage

Regulator (AVR) pada suatu generator sinkron.

(LFC) Load Frequency Control G v Pc Ptie PG P  QG AVR Mekanisme kontrol katup Uap Turbin Sensor Frekuensi Sensor Tegangan Medan Generator Sistem Eksitasi

Gambar 2. 1Diagram Skematik AGC dan AVR pada Generator Sinkron

Dengan,

∆PG = Daya aktif generator

∆QG = Daya reaktif generator ∆PC = Kontrol kecepatan

∆PV = Kontrol valve / posisi gerbang

∆Ptie = Daya tie-line

Automatic Generation Kontrol (AGC)

(22)

Output generator yang terdapat pada suatu sistem pembangkit listrik, yaitu berupa daya aktif dan

daya reaktif. Frekuensi suatu sistem pembangkit tergantung terhadap keseimbangan daya aktif yang dihasilkan. Adanya perubahan kebutuhan daya aktif pada satu titik operasi menimbulkan terjadinya perubahan frekuensi sistem karena generator yang mensuplai daya ke dalam sistem berjumlah lebih dari satu. Maka dari itu perlu adanya pembagian kebutuhan daya untuk tiap generator.

Pada Gambar 2.1 sistem AGC dan AVR dipasang pada masing-masing generator. Kontroler di set pada kondisi operasi tertentu untuk memelihara kestabilan frkuensi dan magnitude tegangan agar tidak melebihi batas yang ditentukan.

Perubahan daya aktif dipengaruhi oleh fluktuasi sudut rotor (δ) dan nilai frekuensi (𝑓), sedangkan daya reaktif dipengaruhi oleh perubahan nilai magnitudo tegangan. Kontrol frekuensi beban dan tegangan eksitasi pada generator di analisis secara independen.

Sinyal eror dari sudut rotor ∆δ diperbaiki ketika nilai daya tie-line dan frekuensi diubah dengan mengukur perubahan sudut rotor δ.Sinyal deviasi frekuensi (∆𝑓) dan daya tie-line (∆𝑃𝑡𝑖𝑒) yang

diperoleh lalu dikombinasikan dan ditransformasikan menjadi daya aktif untuk mengatur valve

governor (∆𝑃𝑉). Sinyal ∆𝑃𝑉 dikirimkan ke penggerak utama untuk meningkatkan torsi. Perubahan

nilai output pada generator (∆PG) dipengaruhi oleh penggerak utama dan kondisi ini akan mengubah

nilai frekuensi ∆f dan daya tie-line ∆Ptie [1].

Plant AGC didesain berdasarkan pengaturan sudut rotor pada generator. Perubahan sudut rotor

(∆𝛿) inilah yang dikoreksi oleh sistem agar tetap stabil. Sinyal deviasi frekuensi ∆f dan ∆Ptie

diperkuat dan ditransformasikan menjadi sinyal aktif yang dikirimkan pada penggerak utama untuk menaikkan torsi.

2.1.1 Konsep Respon Generator terhadap Perubahan Beban

Konsep dasar dari pengaturan kecepatan pada sistem pembangkit, yaitu ketika terjadi perubahan nilai beban pada sistem, maka perubahan tersebut direpresentasikan sebagai perubahan output dari torsi elektrik (𝑇𝑒). Torsi elektrik akibat dari perubahan nilai beban tersebut tarik menarik atau

berlawanan arah dengan torsi mekanik (𝑇𝑚) yang dihasilkan oleh putaran turbin pada pembangkit.

Selisih antara nilai torsi mekanik (𝑇𝑚) dengan torsi elektrik (𝑇𝑒) menghasilkan putaran dalam variasi

kecepatan (∆𝜔𝑟) yang direpresentasikan pada Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2. 2 Hubungan Kecepatan dengan Torsi

Dimana,

(23)

Te = Torka elektrik (pu)

Ta = Torka percepatan (pu) H = Ketetapan inersia (MWsec/MVA) Δωr = Deviasi kecepatan rotor (pu)

Blok diagram pada Gambar 2.2 dijabarkan menjadi persamaan sistematis sebagai berikut. 𝛥𝜔𝑟 = 1 2𝐻𝑠𝑇𝑎 (2.1) 𝑇𝑎= 𝑇𝑚− 𝑇𝑒 (2.2) 𝛥𝜔𝑟 = 1 2𝐻𝑠(𝑇𝑚− 𝑇𝑒) (2.3)

Untuk menganalisis frekuensi sistem, lebih baik diubah ke dalam bentik variable daya mekanik dan elektrik. Hubungan antara torsi dengan daya, yaitu

P = r T (2.4)

Dengan mempertimbangkan adanya deviasi yang kecil pada sistem, maka dapat dituliskan sebagai berikut,

P = Po+ P (2.5)

T =To+ T (2.6)

r= o + r (2.7)

Sehingga, dari persamaan (2.4) dapat dituliskan menjadi,

Po+ P = (o + r)( To+ T ) (2.8)

Hubungan antara nilai gangguan yang memiliki orde tinggi diabaikan, sehingga menjadi,

P = o T + r To (2.9)

Karena daya dan torsi pada sistem memiliki perbedaan mekanik dengan elektrik, maka dituliskan, Pm - Pe = o (Tm - Te) + (Tmo -Teo) r (2.10)

Pada kondisi ideal, torsi mekanik sama dengan torsi elektrik Tmo - Teo dan kecepatan o = 1 dalam

satuan pu, maka persamaan 2.10 dapat dituliskan dalam bentuk sebagai berikut.

Pm - Pe = Tm - Te (2.11)

Sehingga dapat diilustrasikan ke dalam bentuk blok diagram pada Gambar 2.3 berikut.

(24)

2.1.2

Konsep Pengaruh Beban Terhadap Frekuensi

Daya pada beban pada umumnya terdiri dari suatu gabungan beban yang dalam hal ini merupakan peralatan listrik. Beban listrik dapat dibagi menjadi dua jenis, yaitu beban resistif dan beban aktif. Untuk beban reaktif seperti lampu dan pemanas tidak terpengaruh oleh perubahan frekuensi atau disebut dengan frekuensi bebas. Sedangkan beban aktif seperti halnya motor, perubahan daya listrik dan frekuensi berkaitan dengan perubahan kecepatan motor. Maka dari itu secara keseluruhan karakteristrik frekuensi bergantung pada sebuah beban gabungan. Berikut merupakan persamaan dari beban gabungan.

Pe = PL+ Dr (2.12)

Dimana

ΔPL = Perubahan beban tanpa kepekaan frekuensi

DΔωr = Sensitivitas frekuensi terhadap perubahan beban

D = Konstanta redaman beban

D atau konstanta redaman beban merupakan presentase perubahan beban terhadap 1% perubahan

frekuensi. Jadi, jika D = 3, maka perubahan frekuensi 1% akan memberikan efek perubahan beban sebesar 3%.

Pada Gambar 2.4 berikut menunjukkan blok diagram sistem beban dengan efek redamannya.

Gambar 2. 4 Blok Diagram Sistem Beban

Blok diagram pada Gambar 2.4 dapat disederhanakan lagi menjadi seperti yang tercantum pada Gambar 2.5 berikut.

Gambar 2. 5Penyederhanaan Blok Diagram Sistem Beban

2.1.3 Konsep Pengaturan Valve dengan Governor

Governor pada sistem pembangkit listrik berfungsi sebagai mekanisme kontrol katup/valve pada

turbin. Sinyal eror yang berasal dari perbandingan kecepatan rotor ωr dengan referensi kecepatan

yang telah ditetapkan ωo diperkuat dengan pengontrol integral sehingga sinyal ΔPG mencapai kondisi

(25)

Turbin K Valve/gate Uap/air R + -shaft Ke generator Speed ref. or

-r

G Ps 1 Integrator - + Load reference setpoint

Gambar 2. 6 Mekanisme Governor pada Sistem Pembangkit

Dimana

K = Penguatan proportional R = Speed-droop

Sehingga jika fungsi alih governor pada Gambar 2.6 disederhanakan, maka blk diagram yang dihasilkan dapat dilihat seperti pada Gambar 2.7 berikut.

Gambar 2. 7 Blok Diagram Governor dengan Karakteristik Speed Drop

Dimana

Tg =

1

𝐾𝑅 = Konstanta waktu governor

ΔPg = Sinyal penentu posisi valve

ΔPref

=

Referensi beban

2.1.4 Pemodelan Sistem Turbin

Selanjutnya, model penggerak utama atau dalam aplikasinya yang sering digunakan adalah turbin dapat dilihat seperti di bawah ini:

Dimana Tt adalah konstanta waktu turbin dan ∆Pm merupakan daya mekanik yang dihasilkan oleh

putaran turbin. Pada Gambar 2.8 dapat dilihat bentuk blok diagram sederhana dari turbin.

Gambar 2. 8 Blok Diagram Sederhana dari Steam Turbine

∆Pg = (∆Pref −1 R∆𝜔𝑟) ( 1 1 + 𝑇𝑔𝑠 ) (2.13) ∆Pm= 1 1+Tts ∆Pg (2.14)

(26)

2.1.5 Pemodelan Sistem Automatic Generation Kontrol (AGC)

Selanjutnya sistem dijadikan menjadi suatu model kontrol yang dapat diaplikasikan untuk AGC. Maka jika diambil satu area pada sebuah pembangkit yang menggunakan AGC, sistem yang dimodelkan dapat dilihat seperti pada Gambar 2.9 di bawah ini:

Gambar 2. 9 Blok Diagram AGC Satu Area

2.2 Superconducting Magnetic Energy Storage (SMES)

SMES merupakan suatu alat untuk menyimpan dan melepas daya dalam jumlah besar secara stimultan [5]. SMES pertama kali diusulkan pada tahun 1979 yang mampu menyimpan energi listrik pada medan magnet yang dialiri arus DC [10]. Medan magnet yang dihasilkan berasal dari kumparan konduktor yang didinginkan dengan sistem cryogenic sehingga menjadi superkonduktor yang memiliki nilai loss energy mendekati nol (zero). Komponen sistem pada SMES yang terhubung dengan sistem tenaga listrik terdiri dari kumparan superkonduktor, sistem pendingin cyrogenic dan

power conditioning system (PCS).

Keandalan dari sistem penyimpanan energi SMES merupakan yang paling tinggi dibandingkan dengan sistem penyimpanan energi yang lain karena komponen statis penyusun SMES. Idealnya, ketika superconducting coil melakukan proses charging, arus yang mengalir tidak jatuh dan

magnetic energy pada SMES dapat menyimpan energi tidak terbatas [11]. Pada Gambar 2.10 berikut

merupakan circuit diagram SMES.

(27)

Apabila dibandingkan dengan sistem penyimpanan energi yang lain, seperti Battery Energy

Storage System (BESS), Flywheel Energy Storage (FES), Pumped Hydro Energy Storage, dan Compressed Air Energy Storage (CAES), maka SMES memiliki efesiensi tertinggi, yaitu mampu

mencapai 95%. Efesiensi tinggi dari SMES didapatkan karena rugi-rugi daya yang kecil daripada sistem penyimpanan energi yang lain karena resistansinya yang mendekati nol, lebih jauh lagi bahwa pada SMES tidak ada bagian yang bergerak yang membuat SMES tidak memiliki rugi-rugi akibat gesekan. Keuntungan lain adalah bahwa SMES memiliki tingkat discharge yang dapat dikontrol dan memiliki respon yang sangat cepat sehingga SMES dapat diaplikasikan pada daya yang besar dalam

short energy bursts. SMES juga memiliki lifetime yang lama sehingga tepat jika diaplikasikan pada

sistem yang memiliki sirkulasi kontinyu dari pengoprasiannya. Selain itu SMES juga tidak menyebabkan polusi lingkungan.[12]

2.3 Interval Type-2 Fuzzyl logic controler (IT2FLC)

Fuzzy logic merupakan metode kontrol yang pertama kali diperkenalkan oleh Prof. Lotfi A.

Zadeh pada tahun 1965 melalui penelitiannya, yaitu fuzzy sets pada Journal of Information and

Kontrol. Logika fuzzy sendiri merupakan salah satu metode yang terinspirasi oleh cara respon dan

kognisi manusia. Pada logika biasa, hanya terdapat dua nilai, yaitu benar dan salah, dan juga secara digital sistem hanya mengenal nilai 0 dan 1. Sedangkan logika fuzzy mengenal nilai antara benar dan salah. Kebenaran dalam logika fuzzy dapat dinyatakan dalam derajat kebenaran yang nilainya antara 0 dan 1. Seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. T1FLC sendiri memiliki kemampuan yang terbatas dalam menangani ketidakpastian sistem yang kompleks. Dari permasalahan itulah Prof. Lotfi Zadeh mengembangkan Interval Type-2 Fuzzy Logic Control (IT2FLC) pada tahun 1975.Berikut merupakan mekanisme kendali logika type-2 fuzzy.

Gambar 2. 11 Mekanisme Kendali Type-2 Fuzzy Logic [13]

Dalam mekanisme sistem kendali IT2FLC, input yang masuk fuzzifikasi dimana dilakukan pemetaan nilai-nilai input ke dalam himpunan fuzzy. Namun pada IT2FLC terdapat Footprint of

(28)

keanggotaan primer dari fungsi keanggotaan tipe 2. Upper membership function (UMF) dan lower

membership function (LMF) merupakan dua buah fungsi keanggotaan tipe 1 yang membatasi FOU.

UMF merupakan himpunan bagian yang memiliki derajat keanggotaan tertinggi pada FOU. Sedangkan LMF merupakan himpunan bagian yang memiliki derajat keanggotaan terendah pada FOU dan dapat digunakan dari funsgi keanggotaan T1FLC. Pada Gambar 2.12 berikut dapat dilihat contoh membership function dalam fungsi segitiga.

Gambar 2. 12 Membership Function IT2FLC

Untuk proses selanjutnya sama dengan mekanisme pada T1FLC, yaitu membuat rule base dimana berisi kumpulan pengaturan fuzzy dalam mengendalikan sistem dan proses inferensi, yaitu untuk mengevaluasi aturan kontrol yang relevan dan mengambil keputusan masukan yang akan digunakan oleh sistem yang dinayatakan dalam bentuk IF-THEN.

Hanya saja yang membedakan dari IT2FLC dengan T1FLC adalah proses reduksi, dimana output dari IT2FLC diubah ke dalam himpunan T1FLC, dimana T1FLC memiliki fungsi keanggotaan yang tegas sehingga dapat dilanjutkan ke proses defuzzifikasi. Output dari proses defuzzifikasi yang digunakan sebagai keluaran untuk dikirimkan ke dalam sistem. Pada penelitian ini, IT2FLC berfungsi sebagai sistem kendali untuk mengoptimalkan kinerja dari sistem SMES yang secara otomatis digunakan untuk meminimalkan adanya eror antara output sistem AGC dengan referensi. 2.3.1 Fuzzifikasi

Fuzzifikasi merupakan pemetaan input fuzzy yang bersifat tegas (crisp) ke dalam bentuk fuzzy.

Hal ini dikarenakan dalam penerapan suatu sistem kontrol, besaran input yang diperoleh dari plant akan selalu berupa data-data non fuzzy (crisp) yang bersifat pasti dan kuantitatif, sedangkan pengolahan data dalam FLC didasarkan teori himpunan fuzzy yang menggunakan variable linguistic yang bersifat fuzzy sehingga pada tahap awal FLC diperlukan adanya fuzzifikasi yang dilakukan oleh fuzzifier. Secara umum himpunan IT2FLC dituliskan sebagai berikut [14].

(29)

Dimana 𝐽𝑥 ⊆ [0,1] merepresentasikan fungsi keanggotaan utama (primary membership function)

dari 𝑥 dan 𝜇𝐴̃(𝑥, 𝑢) merupakan membership function T1FLC atau disebut dengan fungsi keanggotaan

kedua (secondary membership function). 2.3.2 Rule Base

Cara menentukan rule base, yaitu selain menggunakan logika bahasa secara verbal juga dapat menggunakan pengamatan dari grafik respon output dan error dari sistem. Pada Gambar 2.13 berikut diperlihatkan contoh grafik respon error dan output plant.

Gambar 2. 13 Respon output dan error plant

Dari Gambar 2.13 dapat ditentukan bentuk rule base fuzzy dengan cara sebagai berikut.

1. Pada saat detik ke t = 0, error (e) berada pada posisi “Positif Besar” atau disingkat “PB”. Lalu respon output (u) dari detik ke t=0 menuju detik ke t=2 dibutuhkan sinyal kontrol “Positif Besar”. Sehingga didapatkan rule base, IF e = “PB”, THEN u = “PB”.

2. Pada saat detik ke t = 2, error (e) berada pada posisi “Positif Kecil” atau disingkat “PK”. Lalu respon output (u) dari detik ke t=2 menuju detik ke t=4 dibutuhkan sinyal kontrol “Positif Kecil”. Sehingga didapatkan rule base, IF e = “PK”, THEN u = “PK”.

3. Pada saat detik ke t = 4, error (e) berada pada posisi “Negatif Kecil” atau disingkat “NK”. Lalu respon output (u) dari detik ke t=4 menuju detik ke t=6 dibutuhkan sinyal kontrol “Negatif Kecil”. Sehingga didapatkan rule base, IF e = “NK”, THEN u = “NK”.

4. Pada saat detik ke t = 6, error (e) berada pada posisi “Zero” atau disingkat “Z”. Lalu respon output (u) dari detik ke t=6 menuju detik ke t=8 dibutuhkan sinyal kontrol “Zero”. Sehingga didapatkan

rule base, IF e = “Z”, THEN u = “Z”.

Dari analisa keempat rule base diatas, maka dapat dituliskan dalam bentuk Tabel rule base satu dimensi pada Tabel 2.1 berikut.

(30)

Tabel 2. 1 Contoh Rule Base Fuzzy Satu Dimensi.

IF e NK Z PK PB

THEN u NK Z PK PB

Atau jika memiliki membership function yang simetris, jumlah rule base bisa ditambahkan menjadi seperti pada Tabel 2.2 berikut, namun dengan syarat tidak melebihi jumlah syarat rule base.

Tabel 2. 2 Contoh Rule Base Fuzzy Satu Dimensi Simetris

IF e NB NK Z PK PB

THEN u NB NK Z PK PB

2.3.3

Inferensi

Pada proses ini, jika terdapat lebih dari satu kaidah fuzzy yang telah dievaluasi dari rule base, maka output dari proses implikasi tersebut dikombinasikan menjadi sebuah fuzzy set tunggal. Salah satu metode inferensi yang digunakan, yaitu metode Max. Dimana metode inferensi Max ini mengambil nilai maksimum dari proses implikasi.

2.3.4 Tipe Reduksi

Pada interval type-2 fuzzy logic control (IT2FLC) terdapat tambahan step berupa tipe

reduksi diamana proses reduksi ini digunakan untuk mengubah ke himpunan type 1 fuzzy

logic control (T1FLC). Terdapat beberapa metode dalam melakukan proses reduksi, salah

satunya, yaitu center of sets (cos) [14]. Proses reduksi pada IT2FLC ini hamper sama dengan

perhitungan center of area pada defuzzifikasi T1FLC. Hanya saja karena terdapat interval

himpunan pada IT2FLC, maka terdapat dua end point (titik akhir), yaitu

yi sebagai titik tengah

dan yr sebagai titik tengah. Pada persamaan (2.16) dan (2.17) berikut dituliskan persamaan yang sering digunakan.

Dimana,

M = Tingkat kuantisasi i = Elemen ke-i

𝑥𝑙 = Titik tengah sumbu x bangun l

𝑥𝑟 = Titik tengah sumbu x bangun r

Al = Luas bangun l Ar = Luas bangun r 𝑥𝑙 = ∑𝑀𝑖=1𝐴𝑙𝑖𝑥𝑙𝑖 ∑𝑀𝑖=1𝐴𝑙𝑖 (2.16) 𝑥𝑟 = ∑𝑀𝑖=1𝐴𝑟𝑖 𝑥𝑟𝑖 ∑𝑀𝑖=1𝐴𝑟𝑖 (2.17)

(31)

2.3.5 Defuzzifikasi

Proses defuzzifikasi merupakan proses mengubah harga crisp dari besaran fuzzy. Pada IT2FLC sedikit berbeda dengan T1FLC. Proses defuzzifikasi pada IT2FLC merupakan lanjutam dari metode pada proses reduksi. Pada proses reduksi sebelumnya, digunakan metode center of set dimana telah didapatkan nilai 𝑥𝑙 dan 𝑥𝑟. Sehingga untuk mendapatkan harga sinyal kontrol pada proses

defuzzifikasi hanya perlu menghitung rata-rata dari nilai 𝑦𝑙 dan 𝑦𝑟 seperti yang telah dituliskan pada

persamaan 2.18 berikut.

2.4 Indeks Performansi Eror

Sistem kendali close loop berperan penting untuk mengurangi eror (𝑒(𝑡)) antara setiap variabel dan mencapai nilai nol secepat mungkin. Oleh karena itu, kriteria apapun yang digunakan untuk mengukur kualitas respon sistem harus memperhitungkan variasi eror selama rentang waktu tertentu [15]. Terdapat dua kriteria dasar yang dapat digunakan, yaitu :

Integral of Time Multiplied by Squared Error

𝐼𝑇𝑆𝐸 = ∫ 𝑡{𝑒(𝑡)}2 𝑑𝑡

0

(2.19)

Integral of Time Multiplied by Absolute Error

𝐼𝑇𝐴𝐸 = ∫ 𝑡|𝑒(𝑡)| 𝑑𝑡

0

(2.20)

Integral of Squared Error

𝐼𝑆𝐸 = ∫ {𝑒(𝑡)}2 𝑑𝑡

0

(2.21)

Integral of Absolute Error

𝐼𝐴𝐸 = ∫ |𝑒(𝑡)| 𝑑𝑡

0

(2.22)

ITSE memiliki pengali waktu tambahan dari galat fungsi yang menitik beratkan pada lamanya durasi galat, oleh karena itu kriteria ITSE paling sering diterapkan dalam sistem yang membutuhkan waktu penetapan yang cepat.

ITAE mengintegrasikan kesalahan mutlak yang memiliki pengali waktu tambahan. Galat yang kecil akan menghasilkan ITAE yang besar setelah waktu yang lama. Kelemahan dari tuning ITAE juga menghasilkan overshoot atau undershoot yang paling tinggi.

𝑥 =𝑥𝑙+ 𝑥𝑟 2

(32)

ISE mengintegrasikan kuadrat kesalahan di setiap waktu. Galat yang kecil akan menghasilkan ISE yang besar. Dengan meminimalkan ISE cenderung menghilangkan kesalahan besar dengan cepat, tetapi akan mentoleransi kesalahan kecil yang bertahan untuk jangka waktu yang lama. Respon paling cepat dengan, amplitudo cukup rendah namum terjadi osilasi.

IAE mengintegrasikan kesalahan mutlak dari pada setiap waktu. Hal ini menghasilkan respon lebih lambat dari sistem ISE optimal, tetapi osilasinya lebih berkurang sehingga lebih cepat teredam.

2.5 Respon Transien

Respon transien adalah suatu keadaan dimana sistem mengalami perubahan kondisi yang menunjukkan osilasi teredam menjadi kondisi steady-state. Fungsi dari respon transien ini adalah untuk mengetahui pengaruh output sistem kontrol terhadap input yang diberikan [16]. Untuk menentukan spesifikasi respon transien pada sistem kontrol pada umumnya digunakan enam jenis pengamatan yang terdapat pada bagian respon transien, yaitu :

1. Delay time (𝑡𝑑) (waktu tunda) merupakan waktu yang dibutuhkan respon untuk mencapai

setengah nilai akhir pada saat pertama kali respon bergerak atau dalam kasus ini bergerak dari detik 0

2. Rise time (𝑡𝑟) (waktu bangkit) merupakan waktu yang dibutuhkan respon untuk mencapai nilai

akhir pada saat pertama kali respon bergerak.

3. Peak time (𝑡𝑝) (waktu puncak) merupakan waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai

overshoot tertinggi.

4. Maximum overshoot (𝑀𝑝) (overshoot tertinggi) merupakan nilai puncak maksimum pada respon.

5. Settling time (𝑡𝑠) (waktu stabil) waktu yang dibutuhkan untuk mencapai nilai akhir respon dengan

presentasi toleransi sebesar 2% atau 5% dari nilai akhir.

6. Underdamped (𝑀𝑢) merupakan nilai terendah setelah terjadi osilasi pada suatu respon.

Pada Gambar 2.14 berikut ditampilkan contoh respon yang menampilkan keenam jenis pengamatan pada suatu respon transien.

(33)
(34)

BAB III. KONSEP PERANCANGAN

3.1 Diagram Alir Perancangan

Pada Gambar 3.1 di bawah ini ditampilkan diagram alir perancangan sistem pada penelitian yang akan dilakukan.

Gambar 3. 1 Flowchart Perencanaan Optimal SMES Berbasis IT2FPID untuk Multi-Area AGC

Pada perancangan ini diharapkan sistem Multi-Area AGC dapat mempertahankan nilai frekuensi pada titik operasi dan mengontrol penjadwalan daya tie-line. Dengan adanya sistem penyimpanan energi berupa SMES yang berperan sebagai pengontrol daya aktif pada sistem, maka diharapkan

output yang dihasilkan oleh sistem Multi-Area AGC dapat bekerja lebih optimal dalam meredam

osilasi daya maupun frekuensi pada sistem. Selain itu, dengan adanya metode kontrol cerdas berupa

Interval Type-2 Fuzzyl logic controler yang dapat merespon secara cepat terhadap gangguan pada

beban seperti naik turunnya frekuensi dan juga daya, maka diharapkan kinerja dari sistem SMES dalam mengontrol input dan output jauh lebih optimal dan adaptif. Kinerja sistem dapat dikatakan optimal apabila nilai redaman pada sistem multi-area AGC bernilai optimal atau berada pada nilai minimun dari standard yang berlaku dan juga nilai indeks performansi eror yang memiliki nilai paling minimum diantara keempat sistem yang akan disimulasikan. Indeks performansi eror yang digunakan pada penelitian ini, yaitu ITAE, ITSE, IAE, dan ISE.

(35)

3.2 Pertimbangan Perancangan

Pada penelitian ini, terdapat beberapa hal yang menjadi pertimbangan dalam melakukan percancangan atau pemodelan sistem, yaitu pemodelan sistem Multi-Area AGC, pemodelan sistem SMES, dan pemodelan sistem kontrol IT2FLC.

3.2.1 Model Linear Multi-Area AGC

Pemodelan sistem Multi-Area AGC didesain berdasarkan penggabungan single-area AGC menjadi dua area AGC yang saling terkoneksi seperti pada Gambar 3.2 berikut.

Gambar 3. 2 Interkoneksi Sistem Tenaga Listrik Dua Area

Dari Gambar 3.2 dapat digambarkan rangkaian ekivalennya sehingga dapat dilihat seperti pada Gambar 3.3 berikut.

Gambar 3. 3 Rangkaian Ekivalen Interkoneksi Sistem Tenaga Listrik Dua Area

Suatu area yang saling terinterkoneksi dihubungkan dengan sebuah reaktansi 𝑋𝑡𝑖𝑒. Pemodelan

sistem AGC pada tiap area digambarkan dalam sebuah rangakian ekivalen sistem pembangkit yang tidak memperhitungkan osilasi dalam setiap mesin yang dimodelkan pada tiap area. Pemodelan linear pada sistem interkoneksi multi area didapatkan dari penggambaran suatu rangkaian ekivalen pada Gambar 3.3. Jika dilinearisasikan untuk perubahan terkecil, maka perubahan daya 𝑃12 dapat

dituliskan pada persamaan berikut.

P12 = T 𝛿12 (3.1)

Dimana 𝛿12 merupakan perubahan kecepatan sudut area satu terhadap area dua 𝛿12= 𝛿1−

𝛿2. Sedangkan T adalah koefisian torsi sinkron antar area. Sehingga dapat digambarkan sistem

(36)

Gambar 3. 4 Model Linear Interkoneksi Sistem Tenaga Listrik Dua Area

Dimana,

M1 = Momen inersia area 1

M2 = Momen inersia area 2

Tt1 = Konstanta waktu turbin area 1

Tt2 = Konstanta waktu turbin area 2

Tg1 = Konstanta waktu governor area 1

Tg2 = Konstanta waktu governor area 2

R1 = Speed droop area 1

R2 = Speed droop area 2

T = Konstanta sinkronisasi antar area Δf1 = Perubahan frekuensi area 1

ΔPm1 = Perubahan daya mekanik area 1

ΔPg1 = Perubahan level katub area 1

Δf2 = Perubahan frekuensi area 2

ΔPm2 = Perubahan daya mekanik area 2

ΔPg2 = Perubahan level katub area 2.

ΔPtie = Perubahan daya pada jaring interkoneksi

Pada kondisi ideal nilai deviasi frekuensi sama, yaitu tergantung dari perubahan beban PL .

Perubahan frekuensi dirumuskan seperti pada persamaan berikut. ∆𝑓 = ∆𝜔1= ∆𝜔2=

−∆𝑃𝐿

(1/𝑅1+1/𝑅2)+(𝐷1+𝐷2)

(3.2) Jika memperhitungkan terjadinya penambahan beban pada area 1 oleh −∆𝑃𝐿, maka untuk area 1,

(37)

∆𝑃𝑚1− ∆𝑃12− ∆𝑃𝐿1 = ∆𝑓𝐷1 (3.3)

Dan untuk area 2,

∆𝑃𝑚2+ ∆𝑃12= ∆𝑓𝐷2 (3.4)

Untuk perubahan daya mekanik area 1 dan area 2 tergantung dari regulasi. Sehingga, ∆𝑃𝑚1= − ∆𝑓 𝑅1 (3.5) ∆𝑃𝑚2= − ∆𝑓 𝑅2 (3.6) Dengan mensubstitusi persamaan (3.5) ke dalam persamaan (3.4) dan persamaan (3.6) ke dalam persamaan (3.3), maka didapatkan,

∆𝑓 (1 𝑅1 + 𝐷1) = −∆𝑃12− ∆𝑃𝐿1 (3.7) dan ∆𝑓 (1 𝑅2 + 𝐷2) = ∆𝑃12 (3.8)

Sehingga didapatkan solusi dari persamaan (3.5) dan persamaan (3.6) adalah

∆𝑓 = −∆𝑃𝐿1 (1/𝑅1+𝐷1) + (1/𝑅2+𝐷2) = −∆𝑃𝐿1 𝛽1+ 𝛽2 (3.9) dan ∆𝑃12 = −∆𝑃𝐿 (1/𝑅2+𝐷2) (1/𝑅1+𝐷1) + (1/𝑅2+𝐷2) = −∆𝑃𝐿 𝛽2 𝛽1+ 𝛽2 (3.10) Dimana, 𝛽1= ( 1 𝑅1 + 𝐷1) (3.11) 𝛽2= ( 1 𝑅2 + 𝐷2) (3.12)

β1, β2 = gabungan karakteristik respon frekuensi dari area 1 dan area 2.

Di dalam sistem AGC, sebuah pengontrol area perlu ditambahkan pada sistem, yaitu Area Control

Error (ACE) sehingga sistem dapat ditulis,

𝐴𝐶𝐸𝑖 = ∆𝑃𝑡𝑖𝑒+ 𝛽𝑖 ∆𝑓𝑖 , 𝑖 = 1,2 (3.13)

ACEi adalah kontrol error pada area i, Bi adalah frequency bias constant pada area i, Δfi adalah

perubahan frekuensi pada area i, dan ΔPtie adalah perubahan daya pada tie-line.

3.2.2 Pemodelan Dynamic Sistem SMES

Pada pengaplikasiannya dalam sistem tenaga listrik SMES dapat digunakan sebagai kompensator untuk fluktuasi daya aktif dan reaktif yang diakibatkan oleh fluktuasi beban [17]. Untuk mengontrol secara efektif keseimbangan daya dan titik pengoperasian frekuensi pada pembangkit, maka SMES ditempatkan pada bus generator. Perancangan model sistem SMES orde satu tercantum pada Gambar 3.5 berikut.

(38)

Gambar 3. 5 Blok Digaram Orde Satu Sistem SMES [17]

Dimana,

∆𝑓 = perubahan frekuensi 𝐾𝑠𝑚= gain kontrol SMES

𝑇𝑠𝑚 = konstanta waktu SMES

∆𝑃𝑠𝑚 = daya SMES

Pemodelan sistem SMES yang digunakan merupakan diagram orde satu dengan input perubahan frekuensi. Pada penelitian ini SMES berfungsi sebagai additional control yang berfungsi untuk menginjeksi daya aktif pada area satu dan area dua, maka dari itu digunakan gain kontrol SMES dan konstanta waktu SMES untuk pengaruh dari respon daya yang dihasilkan oleh SMES untuk sistem

multi-area AGC.

3.2.3 Pemodelan IT2FLC

Pada penelitian kali ini, performansi sistem Multi-Area AGC dioptimalkan menggunakan SMES yang inputnya dioptimalkan menggunakan sistem kendali IT2FLC.Pada Gambar 3.7 berikut dideskripsikan IT2FLC yang akan digunakan sebagai pengontrol sistem SMES.

Gambar 3. 6 Blok Diagram Sistem IT2FLC

Pada perancangan sistem fuzzy, digunakan dua input dan satu ouput. Input yang digunakan, yaitu berasal dari deviasi frekuensi sistem Automatic Generation Control (AGC) pada masing-masing area. Output dari fuzzy merupakan u yang nantinya akan digunakan sebagai input SMES. Tipe fuzzy yang digunakan, yaitu tipe Mamdani.

1. Fuzzyfikasi

Untuk desain IT2FLC menggunakan tiga membership function pada output dan kedua input f dan df . Membership function didesain berdasarkan respon frekuensi pada sistem AGC. Untuk mendesain

membership function IT2FLC, diperlukan membership function fuzzy type 1 sebagai acuan agar range

(39)

Membership function pada input dan output menggunakan 1 tipe segitiga dan dua tipe trapesium.

Pada input (f) digunakan tiga membership function dengan kriteria Negative Big (NB), Negative

Small (NS), dan Zero (Z). Lalu untuk input (df) digunakan tiga membership function dengan kriteria Negative (N), Zero (Z), dan Positive (P). Sedangkan pada output (u) tiga membership function juga

dengan kriteria Negative (N), Zero (Z), dan Positive (P). Proses menentukan range membership

function didasarkan pada sinyal respon yang diambil dari input f dan df pada fuzzy. Untuk membership function output u didesain berdasarkan output dari respon SMES tanpa kontroller.

Berikut merupakan sinyal respon yang diambil digunakan sebagai acuan.

Gambar 3. 7 Respon Input 1 Fuzzy (f)

(40)

Gambar 3. 9 Respon Output Fuzzy (u)

Dari respon pada Gambar 3.7 didapatkan range membership function untuk input 1 (f), yaitu [-0.001 0]. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.7, respon sinyal input 1 (f) terlihat memiliki nilai maksimal 0 dan nilai minimum -0.0008 yang masuk dalam rentang 0.001 0]. Dari rentang [-0.001 0] dapat dibagi menjadi tiga membership function seperti pada Gambar 3.7 dengan kriteria yang tercantum pada Tabel 3.1 berikut.

Tabel 3. 1 Membership Function Input 1 (f) Fuzzy

Input 1 (f)

NB (Negative Big) tipe trapesium [-1, -1, -0.684, -0.4934] × 10−3

NS (Negative Small) tipe segitiga [-0.594, -0.401, -0.1839] × 10−3

Z (Zero) tipe trapezium [-0.298, -0.161, 0, 0] × 10−3

Lalu untuk respon pada Gambar 3.8 didapatkan range membership function untuk input 2 (df), yaitu [-0.02 0.008]. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.8, respon sinyal input 2 (df) terlihat memiliki nilai maksimal sekitar 0.005 dan nilai minimum -0.02 yang masuk dalam rentang [-0.02 0.008]. Dari rentang [-0.02 0.008] dapat dibagi menjadi tiga membership function seperti pada Gambar 3.8 dengan kriteria yang tercantum pada Tabel 3.2 berikut.

Tabel 3. 2Membership Function Input 2 (df) Fuzzy

Input 2 (f)

N (Negative) tipe trapesium [-20, -20, -9.07, -1.963] × 10−3 Z (Zero) tipe segitiga [-5.074, 0, 2.26] × 10−3 P (Positive) tipe trapesium [0, 4.073, 8, 8] × 10−3

Untuk respon pada Gambar 3.9 didapatkan range membership function untuk output (u), yaitu [-0.05 0.02]. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 3.9, respon sinyal output (u) terlihat memiliki nilai maksimal sekitar 0.01 dan nilai minimum -0.05 yang masuk dalam rentang [-0.05 0.01]. Dari rentang [-0.05 0.01] dapat dibagi menjadi tiga membership function seperti pada Gambar 3.9 dengan kriteria yang tercantum pada Tabel 3.3 berikut.

(41)

Tabel 3. 3 Membership Function Output (u) Fuzzy

Output (u)

N (Negative) tipe trapesium [-5, -5, -2.9, -0.3796] × 10−2

Z (Zero) tipe segitiga [-1.213, 0, 0.7] × 10−2

P (Positive) tipe trapesium [0.0356, 1.028, 2, 2] × 10−2

Range yang ditentukan sedikit disesuaikan dengan metode trial and error. Karena titik

maksimum overshoot dan undershoot pada respon memiliki nilai yang tidak balance sehingga nilai

membership function yang dibentuk memiliki struktur yang unbalance.

Pada Gambar 3.10 sampai Gamabr 3.12 dicantumkan model membership function fuzzy type 1.

Gambar 3. 10Membership Function Fuzzt Type 1 Input (f)

(42)

Gambar 3. 12 Membership Function Fuzzt Type 1 Output (u)

Dari membership function fuzzy type 1 kemudian diberikan range FOU pada masing-masing

input dan output. Untuk membership function input (f) pada IT2FLC diberikan nilai LMF dan UMF

masing-masing sebesar -0.00001 dan +0.00001. Lalu untuk membership function input (df) pada IT2FLC diberikan nilai LMF dan UMF masing-masing sebesar -0.0003 dan +0.0003. Sedangkan untuk membership function output (u) pada IT2FLC diberikan nilai LMF dan UMF masing-masing sebesar -0.0008 dan +0.0008. Setelah diberikan FOU model membership function pada IT2FLC dapat dilihat pada Gambar 3.13 sampai Gambar 3.15 berikut.

(43)

Gambar 3. 14 Membership Function Type 2 Fuzzy Logic Input (df)

Gambar 3. 15Membership Function Type 2 Fuzzy Logic Output (u)

2. Rules Fuzzy

Tahap berikutnya, yaitu menentukan rule base yang akan digunakan pada sistem. Pada Tugas Akhir ini digunakan empat rule base yang tercantum pada Tabel 3.4 berikut.

Tabel 3. 4 Rules Fuzzy Logic Control df N Z P f Z Z P P NS N Z P NB N N Z

Aturan kontrol yang dibuat berdasarkan pada statement IF input 1 AND input 2 THEN output 1. Misal IF f adalah Z AND df adalah N THEN u adalah Z. Karena menggunakan AND, maka proses implikasi menggunakan fungsi persamaan berikut.

(44)

3. Contoh Perhitungan Interval Type-2 Fuzzy Logic Control

Seperti yang tercantum pada dasar teori pada Bab II, bahwa terdapat lima proses yang terdapat pada mekanisme kontrol IT2FLC yang penggunaannya akan dijelaskan sebagai berikut.

Sebagai contoh, jika input 1 (f) sebesar -0.000229 dan input 2 (df) sebesar -0.00107, maka berapa nilai output yang dikeluarkan sistem IT2FLC adalah sebegai berikut.

a. Proses fuzzyfikasi

Pada proses fuzzifikasi yang terdapat pada IT2FLC, terdapat dua memembership function, yaitu

upper membership function (UMF) dan lower membership function (LMF) yang dapat dilihat pada

Gambar 3.13 sampai Gambar 3.15 yang jika digambarkan secara independen dapat dilihat pada Gambar 3.16 sampai Gambar 3.18 untuk LMF, sedangkan pada Gambar 3.19 sampai Gambar 3.21 untuk UMF.

Gambar 3. 16LMF Input 1 IT2FLC

(45)

Gambar 3. 18 LMF Output IT2FLC

Gambar 3. 19 UMF Input 1 IT2FLC

(46)

Gambar 3. 21 UMF Output IT2FLC

b. Proses implikasi

Pada proses implikasi, digunakan metode MIN berdasarkan pada persamaan (3.7). Sebelum melakukan proses implikasi, dicari terlebih dahulu derajat keanggotaan fuzzy berdasarkan input yang diberikan, Untuk input f senilai -0.000229 dan untuk input df senilai -0.00107. Sehingga didapatkan derajat keanggotaan LMF yang dapat dilihat pada Gambar 3.22 dan Gambar 3.23.

(47)

Gambar 3. 23 Derajat Keanggotaan Input 2 LMF

Nilai derajat keanggotaan fuzzy LMF dapat ditentukan dengan perbandingan segitiga. Untuk nilai derajat keanggotaan fuzzy input 1 didapatkan sebagai berikut.

𝜇𝐴(𝑁𝑆) = −0.1939 − (−0.2295) −0.1939 − (−0.411) 𝜇𝐴(𝑁𝑆)= 0.0356 0.2171 𝜇𝐴(𝑁𝑆)= 0.163 𝜇𝐴(𝑍) = −0.2295 − (−0.308) −0.1701 − (−0.308) 𝜇𝐴(𝑍)= 0.0785 0.1379 𝜇𝐴(𝑍)= 0.569

Untuk nilai derajat keanggotaan fuzzy input 2 didapatkan sebagai berikut. 𝜇𝐵(𝑍) = −1.071 − (−5.374) −0.3 − (−5.374) 𝜇𝐵(𝑍) = 4.303 5.074 𝜇𝐵(𝑍) = 0.848

Sehingga didapatkan nilai implikasi berdasarkan pada rules 2 dan rules 5 yang terdapat pada Tabel 3.4, yaitu :

Rules 2 : IF Input f is “Zero” AND Input df is “Zero”, THEN Output u is “Positive”, jika

diimplikasikan, maka Min 𝜇𝐴∩𝐵= 𝑀𝑖𝑛 (0.569 , 0.84) = 0.569 = 𝛼𝑃

Rules 5 : IF Input f is “Negative Small” AND Input df is “Zero”, THEN Output u is “Zero”, jika

diimplikasikan, maka Min 𝜇𝐴∩𝐵= 𝑀𝑖𝑛 (0.163 , 0.84) = 0.163 = 𝛼𝑍

(48)

Gambar 3. 24 Derajat Keanggotaan Input 1 UMF

Gambar 3. 25 Derajat Keanggotaan Input 2 UMF

ilai derajat keanggotaan fuzzy UMF dapat ditentukan dengan perbandingan segitiga. Untuk nilai derajat keanggotaan fuzzy input 1 didapatkan sebagai berikut.

𝜇𝐴(𝑁𝑆) = −0.1739 − (−0.2295) −0.1739 − (−0.391) 𝜇𝐴(𝑁𝑆)= 0.0556 0.2171 𝜇𝐴(𝑁𝑆)= 0.256 𝜇𝐴(𝑍) = −0.2295 − (−0.288) −0.1501 − (−0.288) 𝜇𝐴(𝑍)= 0.0585 0.1379 𝜇𝐴(𝑍)= 0.424

(49)

𝜇𝐵(𝑍) = −1.071 − (−4.774) 0.3 − (−4.774) 𝜇𝐵(𝑍) = 3.703 5.074 𝜇𝐵(𝑍) = 0,729

Sehingga didapatkan nilai implikasi berdasarkan pada rules 2 dan rules 5 yang terdapat pada Tabel 3.4, yaitu :

Rules 2 : IF Input f is “Zero” AND Input df is “Zero”, THEN Output u is “Positive”, jika

diimplikasikan, maka Min 𝜇𝐴∩𝐵= 𝑀𝑖𝑛 (0.424 , 0.729) = 0.424 = 𝛼𝑃

Rules 5 : IF Input f is “Negative Small” AND Input df is “Zero”, THEN Output u is “Zero”, jika

diimplikasikan, maka Min 𝜇𝐴∩𝐵= 𝑀𝑖𝑛 (0.256 , 0.729) = 0.256 = 𝛼𝑍

c. Proses inferensi

Pada proses inferensi dilakukan penentuan nilai derajat keanggotaan yang akan digunakan pada

output fuzzy. Pada proses ini digunakan metode MAX, dimana ketika terdapat lebih dari satu nilai

derajat keanggotaan yang menyentuh satu membership function output, maka diambil nilai yang paling besar, namun pada kasus kali ini tidak terdapat lebih dari satu derajat keanggotaan yang menyentuh satu membership function pada output. Pada Gambar 3.26 menunjukkan hasil proses inferensi untuk LMF.

Gambar 3. 26Inferensi Output LMF fuzzy

Agar mempermudah perhitungan ketika proses berikutnya, yaitu tipe reduksi, diperlukan nilai m, n, dan p yang didapatkan menggunakan perbandingan segitiga sebagi berikut.

𝛼𝑍 = 𝑚 − (−1.293) −0.08 − (−1.293) 0.163 = 𝑚 − (−1.293) −0.08 − (−1.293) 𝑚 = −1.095

(50)

𝛼𝑍 = 𝑛 − (−0.0444) 0.942 − (−0.0444) 0.163 = 𝑛 − (−0.0444) 0.942 − (−0.0444) 𝑛 = 0.116 𝛼𝑃 = 𝑝 − (−0.0444) 0.942 − (−0.0444) 0.569 = 𝑛 − (−0.0444) 0.942 − (−0.0444) 𝑝 = 0.516

Sedangkan pada Gambar 3.27 menunjukkan hasil proses inferensi untuk UMF.

Gambar 3. 27Inferensi Output UMF fuzzy

Agar mempermudah perhitungan ketika proses berikutnya, yaitu tipe reduksi, diperlukan nilai m, n, dan p yang didapatkan menggunakan perbandingan segitiga sebagi berikut.

𝛼𝑍 = 𝑚 − (−1.133) 0.08 − (−1.133) 0.256 = 𝑚 − (−1.133) 0.08 − (−1.133) 𝑚 = −0.822 𝛼𝑍 = 𝑛 − (0.1156) 1.102 − (0.1156) 0.256 = 𝑛 − (0.1156) 1.102 − (0.1156) 𝑛 = 0.368

Gambar

Gambar 2. 6 Mekanisme Governor pada Sistem Pembangkit  Dimana
Gambar 3. 1 Flowchart Perencanaan Optimal SMES Berbasis IT2FPID untuk Multi-Area AGC  Pada perancangan ini diharapkan sistem Multi-Area AGC dapat mempertahankan nilai frekuensi  pada titik operasi dan mengontrol penjadwalan daya tie-line
Gambar 3. 4 Model Linear Interkoneksi Sistem Tenaga Listrik Dua Area  Dimana,
Tabel 3. 3 Membership Function Output (u) Fuzzy  Output (u)
+7

Referensi

Dokumen terkait

4.3.1 Menentukan sumber belajar yang sesuai dengan tujuan pembelajaran dalam mata pelajaran Konstruksi Rangka Pesawat Udara5. 4.3.2 Menentukan media pembela- jaran yang

Sumber : Bengkel Servis Mobil Prima di Sidoarjo.. Tidak semua keluhan pelanggan terungkap dengan jelas. Keluhan tersebut ada yang berdampak langsung dan ada yang tidak

Hal ini menunjukkan bahwa pengujian dengan molish sangat spesifik untuk menunjukkan adanya golongan monosakarida (glukosa dan fruktosa), disakarida (sukrosa dan

Isolasi dan identifikasi bakteri yang berpotensi sebagai penghasil enzim protease pada industri penyamakan kulit di PT.. Adi Satria Abadi (ASA)

Meskipun ada penurunan performa pada sistem dengan menggunakan metode fuzzy logic controller ketika penggunaan 2 buah motor secara bersamaan, seperti yang telah

Dalam menentukan derajat ini kita harus memperhitungkan pangkat dari peubah dan turunannya; misal y(dy/dx) adalah berderajat dua karena y dan dy/dx masing-masing

Jika setiap kolom pada bentuk eselon baris dari matriks koefisien memuat 1 utama dari suatu baris, maka sistem linear tidak akan pernah mempunyai lebih dari

Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan yang telah diuraikan sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1) Pembelajaran menggunakan model pembelajaran PBL