• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi pendahuluan ini merupakan penelitian awal atau tahap satu dari penelitian payung yang mengambil data dasar melalui survai. Beberapa data pada studi pendahuluan yang terkait dengan penelitian eksperimental dilaporkan di bawah ini. Adapun hasil studi pendahuluan secara lengkap dilaporkan dalam Indriani et al. (2011).

Karakteristik Sosial dan Ekonomi Pekerja Wanita

Pekerja wanita yang menjadi responden dalam penelitian pendahuluan berjumlah 338 orang yang berasal dari populasi yang berjumlah 2861. Mereka terbagi menjadi dua shift kerja yakni masuk pagi atau malam secara bergantian setiap minggu. Persentase pekerja wanita yang berasal dari shift A lebih banyak yaitu sebesar 56.8% bila dibandingkan dengan shift B sebesar 43.2%. Dalam melakukan pekerjaannya mereka mempunyai posisi kerja yang berbeda-beda.

Posisi kerja mereka ditentukan oleh baris (line) tempat mereka bekerja dan pembagian kerjanya. Berdasarkan posisi kerjanya mereka dibagi menjadi tiga yaitu pekerja dengan posisi kerja yang (1) lebih banyak duduk, (2) lebih banyak berdiri, serta (3) selalu berdiri-berjalan. Paling banyak pekerja wanita berasal dari yang posisi kerjanya banyak duduk yakni 178 orang (52.7%), diikuti oleh yang berdiri-berjalan 113 orang (33.4%) dan paling sedikit adalah yang posisi kerjanya banyak berdiri yaitu 47 orang (13.9%).

Sebagian besar pekerja wanita (98.2%) beragama Islam dan berasal dari suku Jawa sebanyak 51.2%, suku Lampung sebanyak 38.5%; sisanya tersebar pada suku Palembang, Batak, Bali, Sunda, dan Minang. Nilai rataan usia mereka 31.4±5.0 tahun dan memiliki masa kerja di perusahaan 9.9±4.9 tahun (minimal 3 bulan dan maksimal 22 tahun 10 bulan). Nilai rataan pendidikan pekerja wanita 9.9±2.1 tahun, 46.4% lulus SLTP dan 41.1% lulus SLTA. Rumah tangga mereka tergolong kecil, dengan rataan anggota rumah tangga sebanyak 4.3±1.8 jiwa.

Lebih dari separuh (53.8%) suami pekerja wanita bekerja sebagai buruh nontani dan hanya 14.8% suami pekerja wanita yang bekerja sebagai petani, sedangkan sisanya bekerja sebagai pedagang, buruh tani, PNS/ABRI, bekerja di bidang jasa, dan lain-lain. Dilihat dari jenis pekerjaan kepala rumah tangga pekerja wanita ini, dapat dikatakan bahwa meskipun mereka tinggal di perdesaan namun tidak bekerja di sektor pertanian sebagaimana kebanyakan rumah tangga perdesaan. Hal ini menunjukkan adanya pergeseran mata pencaharian rumah tangga perdesaan dari rumah tangga agraria ke non-agraria, ini membuktikan bahwa sektor pertanian mulai kurang diminati oleh rumah tangga muda.

Rumah tangga pekerja wanita termasuk sejahtera, dapat diihat dari pendapatannya. Nilai rataan pendapatan pekerja wanita adalah Rp1 377 147.00 dan rataan pendapatan rumah tangga sebesar Rp2 716 790.00. Adapun rataan kontribusi pendapatan pekerja wanita terhadap total pendapatan rumah tangga adalah 50.6%. dengan kisaran antara 13-100%. Hal ini menggambarkan bahwa pekerja wanita tersebut memiliki peranan yang cukup tinggi sebagai pencari nafkah dalam rumah tangganya. Nilai rataan pendapatan per kapita rumah tangga pekerja wanita tergolong baik yaitu Rp707 663/kapita/bulan, rataan pendapatan ini sudah di atas US $2 per hari (setara dengan Rp600 000/kapita/bulan).

Dilihat dari sisi proporsi pengeluaran pangan, rumah tangga pekerja wanita sudah tergolong sejahtera. Proporsi pengeluaran pangan sebesar 47% dan proporsi pengeluaran non pangan sebesar 53 %. Hal ini menunjukkan bahwa para pekerja sudah mampu memenuhi kebutuhan pangannya dan sudah beralih perhatiannya kepada pemenuhan kebutuhan non pangan. Pengeluaran non pangan terbesar adalah untuk bahan bakar sebesar 10%, diikuti pengeluaran untuk kredit sebesar 8%, rokok sebesar 5%, dan sosial sebesar 5%. Pada Tabel 12 dapat dilihat pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pekerja wanita.

Tabel 12 Pendapatan dan pengeluaran rumah tangga pekerja wanita menurut posisi kerja (Rp)

Pendapatan Duduk

(n=147)

Berdiri (n=47)

Berdiri dan Berjalan (n=113) Rumah tangga 2 746 070±1 196 743 2 891 694±1 318 730 2 185 394±711 023 Pekerja wanita 1 395 967±449 265 1 420 623±508 910 1 201 343±283 430 Kontribusi pekerja wanita (%) 56.3±18.9 54.2±18.2 58.5±16.9 Pendapatan/kapita 725 735 ± 391 371 633 972 ± 397 874 709 846 ± 399 686 Pengeluaran/kapita Pangan 242 726 ± 110 299 230 958 ± 139 799 250 339 ± 127 081 Non-pangan 309 248 ± 201 186 313 784 ± 256 643 295 391 ± 217 746

Kesejahteraan rumah tangga pekerja wanita dapat dilihat dari kepemilikan aset, semua responden memiliki perabotan rumah tangga yang lengkap dan 50% sudah tinggal di rumahnya sendiri, 29.0% tinggal dengan orang tua dan 21.0% tinggal baik di rumah saudara, rumah milik perusahaan, dan lain-lain. Sebagian besar rumah mereka memiliki dapur (93%), memiliki sumber mata air dari sumur (89.3%) dan memiliki WC (95.6%) meskipun sebagian besar (53.9%) WC mereka berada di luar rumah. Selain perabotan rumah tangga, berbagai barang elektronik dan telepon seluler (handphone-HP) dimiliki oleh rumah tangga pekerja wanita. Selain sudah menjadi kebutuhan utama di dalam rumah tangganya, kepemilikan barang-barang ini di dalam masyarakat juga dapat menjadi salah satu simbol gaya hidup rumah tangga yang mulai mapan. Hampir semua rumah tangga pekerja wanita memiliki HP, hanya ada 6.5% yang menyatakan tidak memilikinya; namun hanya 6.5% rumah tangga yang memiliki telepon rumah, hal ini dikarenakan fungsi telepon rumah sudah digantikan denganHP.

Kebiasaan Makan Pekerja Wanita

Hampir semua pangan yang dikonsumsi oleh rumah tangga pekerja wanita diperoleh dengan cara membeli. Pada Tabel 13 dapat dilihat beberapa kebiasan makan mereka. Adapun pada Tabel 14 dapat dilihat frekuensi makan berbagai bahan makanan.

Tabel 13 Persentase pekerja wanita menurut beberapa item kebiasaan makan

No. Perilaku Gizi Posisi Kerja Total (n=338) Duduk (n=178) Berdiri (n=47) Berdiri dan Berjalan (n=113) .n % n % n % n % 1. Mengonsumsi makanan beraneka- ragam setiap hari

78 43.8 0 0.0 47 41.6 125 37.0 2. Menggunakan garam

beryodium ketika memasak

164 92.1 43 91.5 107 94.7 314 92.9 3. Biasa sarapan pagi 129 72.5 34 72.3 76 67.3 239 70.7 4. Mencuci tangan

dengan sabun sebelum makan

118 66.3 34 72.3 72 63.7 224 66.3 5. Melakukan olahraga

secara teratur 13 7.3 1 2.1 3 2.7 17 5.0

6. Mencuci dan merebus sayuran sebelum dimakan

145 81.5 37 78.7 90 79.7 272 80.5 7. Membaca label gizi

dan tanggal kadaluarsa pada makanan

kemasan

144 80.9 40 85.1 79 70.0 263 77.8 8. Makan 3 kali per hari 0 0.0 0 0.0 77 68.1 77 22.8 9. Setiap hari makan

sumber karbohidrat (nasi, mie, umbi- umbian, roti)

173 97.2 46 97.9 113 100.0 332 98.2 10. Setiap hari makan

sumber protein hewani 115 64.6 13 27.7 81 71.7 209 61.8 11. Setiap hari makan

sumber protein nabati 157 88.2 41 87.2 102 90.3 300 88.8 12. Setiap hari makan

sayuran 159 89.3 41 87.2 96 85.0 296 87.6 13. Setiap hari makan

Tabel 14 Frekuensi konsumsi makanan (kali/minggu) pekerja wanita menurut posisi kerja Jenis Makanan Posisi Kerja Total (n=338) Duduk (n=178) Berdiri (n=47)

Berdiri dan Berjalan (n=113) sumber karbohidrat Beras 19.4 ± 3.4 19.6 ± 2.8 19.3 ± 3.4 19.4 ± 3.3 Kerupuk 19.4 ± 3.4 19.6 ± 2.8 19.3 ± 3.4 19.4 ± 3.3 Gula Pasir 8.9 ± 8.0 8.7 ± 7.6 9.6 ± 8.0 9.1 ± 7.9 Terigu 5.2 ± 4.7 5.7 ± 4.9 6.0 ± 5.4 5.5 ± 5.0 Tahu 5.8 ± 5.0 6.0 ± 5.0 6.1 ± 5.7 6.0 ± 5.2 Sumber protein Tempe 7.3 ± 5.9 7.7 ± 6.0 7.9 ± 6.4 7.6 ± 6.1 Telur 6.4 ± 5.7 6.0 ± 4.8 6.3 ± 5.1 6.3 ± 5.4 Ikan asin 3.0 ± 3.2 3.0 ± 3.7 3.4 ± 4.2 3.1 ± 3.7 Ikan tawar segar 3.3 ± 4.2 2.8 ± 3.2 2.8 ± 3.1 3.1 ± 3.8 Ikan laut 1.8 ± 2.9 1.6 ± 1.9 1.9 ± 2.5 1.8 ± 2.6

Ayam 1.4 ± 2.2 1.3 ± 1.6 1.3 ± 1.5 1.4 ± 1.9

Daging sapi 0.3 ± 0.9 0.3 ± 0.8 0.3 ± 0.7 0.3 ± 0.8 Kacang2an 1.4 ± 2.1 1.9 ± 2.8 1.3 ± 2.4 1.5 ± 2.3

Sumber vitamin dan mineral

Tomat kecil 10.3 ± 7.8 9.6 ± 7.7 10.1 ± 8.0 10.1 ± 7.8 D singkong 3.3 ± 4.3 3.2 ± 3.3 3.3 ± 4.1 3.3 ± 4.1 Kc panjang 3.4 ± 3.0 3.8 ± 3.8 3.4 ± 3.2 3.4 ± 3.2 Wortel 3.0 ± 3.3 3.3 ± 3.3 3.0 ± 3.3 3.0 ± 3.3 Terung 2.5 ± 3.0 2.6 ± 2.4 2.5 ± 3.6 2.5 ± 3.2 Bayam 2.5 ± 2.7 2.1 ± 1.9 2.6 ± 3.4 2.5 ± 2.9 kubis/kol 2.1 ± 2.7 2.8 ± 3.0 2.6 ± 3.0 2.4 ± 2.9 Buncis 2.2 ± 3.4 2.5 ± 2.5 2.2 ± 3.0 2.3 ± 3.1 Kangkung 2.5 ± 2.5 1.8 ± 1.7 1.9 ± 2.7 2.2 ± 2.5 Nanas 3.2 ± 5.2 4.1 ± 6.0 3.2 ± 5.7 3.4 ± 5.5 Pisang 2.5 ± 3.3 1.7 ± 2.1 3.3 ± 4.5 2.7 ± 3.6 Jeruk 1.6 ± 2.2 1.6 ± 2.1 1.8 ± 2.5 1.7 ± 2.3 Jambu 1.1 ± 2.5 1.0 ± 1.8 1.1 ± 2.4 1.1 ± 2.4 Lain-lain Teh/kopi 5.0 ± 5.1 5.4 ± 5.1 5.9 ± 6.0 5.4 ± 5.4 Saos 1.2 ± 2.1 1.1 ± 1.4 1.0 ± 1.7 1.1 ± 1.9 Vetsin/MSG 18.1 ± 5.4 18.9 ± 4.8 16.9 ± 7.1 17.8 ± 5.9 Garam beryodium 18.4 ± 5.2 18.3 ± 5.8 19.1 ± 4.2 18.6 ± 5.0 Pada pada Tabel 13 di atas dapat dilihat hanya 37.0% yang memiliki kebiasaan mengonsumsi makanan beranekaragam (nasi, lauk pauk, sayur, dan buah-buahan) setiap hari. Kebiasaan makan 3 kali sehari hanya dilakukan oleh 22.8% dari seluruh pekerja wanita, selebihnya hanya makan dua kali sehari. Frekuensi makan 2 kali sehari ini sudah merupakan kebiasaan penduduk

perdesaan karena mereka jarang sarapan. Frekuensi makan yang hanya 2 kali sehari ini dapat mengurangi peluang seseorang untuk tercukupi kebutuhan gizinya.

Nilai rataan porsi konsumsi nasi, sumber karbohidrat, per hari adalah 2.6 piring. Beras, gula, kerupuk dan terigu adalah makanan yang paling sering dikonsumsi, yaitu masing-masing sekitar 19, 9, 8 dan 5 kali per minggu. Nilai rataan porsi konsumsi pangan hewani masih rendah yaitu hanya 1.3 potong per hari sebaliknya porsi pangan nabati hampir mencapai 2 kali lipatnya yaitu 2.5 potong per hari. Hal tersebut dapat dimaklumi karena harga bahan pangan nabati lebih murah dibandingkan sumber pangan hewani. Tempe, telur, dan tahu sebagai sumber protein adalah makanan yang paling sering dikonsumsi, yaitu masing- masing sekitar 7, 6, dan 5 kali per minggu. Ikan asin dan ikan air tawar juga sering dikonsumsi yaitu sekitar 3 kali per minggu, sedangkan ikan laut, ayam dan kacang-kacangan kurang sering dikonsumsi yaitu hanya sekitar 1 kali per minggu. Daging sapi sangat jarang dikonsumsi yaitu hanya 0.33 kali per minggu. Porsi konsumsi sayuran dan buah masih sangat rendah dari yang dianjurkan yaitu hanya 1.4 mangkuk dan 0.6 porsi per hari, padahal kebutuhan sayur adalah 3 porsi dan buah 2 porsi per hari (Soekirman dan Atmawikarta 2004)

Sebagian besar pekerja wanita telah mengonsumsi sayur setiap hari (87.6%) namun masih dalam jumlah yang sangat rendah. Buah dibandingkan sayuran harganya lebih mahal sehingga wajar bila sebagian besar pekerja wanita di perusahaan ini tidak mengonsumsi buah setiap hari (68.0%), hanya sepertiga (32.0%) dari mereka yang mampu mengonsumsi buah setiap hari. Tomat adalah sayur yang paling sering dikonsumsi yaitu 10 kali per minggu. Makanan lain yang merupakan sumber vitamin dan mineral yang relatif sering dikonsumsi yaitu daun singkong, kangkung, kacang panjang, bayam, wortel, buncis dan terung dengan frekuensi konsumsi sebanyak 2 atau 3 kali per minggu. Jenis buah- buahan yang biasa dikonsumsi oleh para pekerja ada sebanyak 10 jenis yaitu jeruk, pisang, pepaya, bengkoang, semangka, mangga, nangka, nenas, durian dan jambu batu. Nanas dan pisang adalah buah yang paling sering dikonsumsi yaitu sekitar 3 kali per minggu. Jeruk dan jambu batu menempati urutan kedua yaitu dikonsumsi 1.6 dan sekitar 1 kali per minggu. Buah-buahan lainnya tergolong

jarang dikonsumsi karena frekuensi konsumsinya kurang dari 1 kali per minggu. Konsumsi air per hari pekerja wanita masih kurang dari yang dianjurkan, yaitu hanya 6.6 gelas per hari. Kebutuhan air minum yang dianjurkan adalah ± 2 liter sehari atau setara dengan delapan gelas air sehari, Air minum harus bersih dan aman (bebas dari kuman). Tercukupinya air minum dapat mencegah terjadinya dehidrasi dan menurunkan risiko batu ginjal.

Asupan dan Tingkat Kecukupan Gizi Pekerja Wanita

Nilai rataan asupan energi dan zat gizi yang diukur pada pekerja wanita untuk protein, vitamin A, vitamin C, kalsium dan zat besi dapat dilihat pada Tabel 15. Asupan energi, vitamin C dan zat besi tersebut lebih rendah; sedangkan asupan vitamin A, kalsium dan fosfor lebih tinggi dibandingkan dengan angka kecukupan gizi yang dianjurkan. Angka kecukupan gizi yang dianjurkan untuk ketujuh macam zat gizi tersebut reratanya adalah energi 2 016 kkal, protein 44.0 g, vitamin A 500 RE, vitamin C 60 mg, kalsium 500 mg, fosfor 450 mg, dan zat besi 26 mg. Berdasarkan hasil Riskesdas 2007 (BPPK Depkes RI 2008), jika dibandingkan dengan rataan asupan energi dan protein untuk Provinsi Lampung sebesar 1 376 kkal dan 47.7 gram, rataan asupan energi pekerja wanita tersebut sudah lebih tinggi; sedangkan asupan proteinnya sedikit lebih rendah. Namun demikian asupan energi dan protein tersebut lebih rendah dibandingkan dengan rataan asupan energi dan protein untuk nasional yang mencapai 1 736 kkal dan 55.5 g.

Tabel 15 Asupan zat gizi dan tingkat kecukupan gizi (%AKG) pekerja wanita (n=338) Deskripsi Energi (kka) Protein (g) Vit.A (RE) Vit.C (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Asupan Rataan 1680 47.1 1330 44 543 1423 15 SD 541 21.1 1130 80 959 3171 10 %AKG Rataan 84 107 266 73 109 316 59 SD 27 48 226 134 192 705 37

Persentase perbandingan antara asupan zat gizi dengan angka kecukupan zat gizi (AKG) yang dianjurkan menghasilkan tingkat kecukupan gizi atau

%AKG. Hasil perhitungan %AKG makro pada pekerja wanita untuk energi dan protein sebesar 83.6% dan 107.5% termasuk kategori cukup dan normal. Adapun %AKG mikronya, untuk vitamin A 266.1% atau melebihi normal, sedangkan vitamin C yaitu 73.0% meskipun ini termasuk dalam kategori tidak defisit namun relatif rendah. Pada kelompok mineral, %AKG kalsium 108.6% (normal), fosfor 316.2% (melebihi normal) dan zat besi 59.2% (defisit). Dari ketujuh macam %AKG di atas dapat dilihat bahwa yang tidak mencapai kategori normal atau lebih adalah energi, vitamin C dan zat besi. Ada keterkaitan antara vitamin C dengan zat besi di dalam tubuh. Vitamin C selain merupakan vitamin anti skorbut, pencegah dan penyembuh skurvi, juga sebagai koenzim maupun kofaktor dan diperlukan untuk membantu mereduksi besi dari bentuk feri menjadi fero di dalam sel usus untuk memudahkan penyerapan dan pengangkutan besi dari plasma transferin ke feritin di hati (Almatsier, 2002). Terjadinya anemia gizi besi, selain disebabkan oleh kekurangan asupan zat besi bisa jadi juga akibat kurang mencukupinya asupan vitamin C. Hal ini terjadi karena sebagian besar pekerja WUS jarang mengonsumsi buah-buahan sebagai sumber vitamin C dan meskipun sering mengonsumsi pangan hewani dan sayuran sebagai sumber Fe namun masih dalam jumlah yang sedikit (Tabel 13 dan 14).

Status Gizi Antropometri

Status gizi antropometri pekerja wanita yang diukur adalah berat badan, tinggi badan, IMT, lingkar lengan atas dan rasio pinggang pinggul. Pada Tabel 16 dapat dilihat hasl pengukuran tersebut.

Tabel 16 Karakteristik antropometri pekerja wanita menurut posisi kerja Diskripsi Posisi Kerja Total (n=338) Duduk (n=178) Berdiri (n=47)

Berdiri dan Berjalan (n=113)

Usia (tahun) 31.4 ± 4.4 32.3 ± 6.2 30.9 ± 5.4 31.4 ± 5.0 Berat Badan (kg) 52.7 ± 8.7 51.4 ± 8.9 52.4 ± 9.0 52.4 ± 8.8 Tinggi badan (cm) 150.9 ± 5.0 148.9 ± 4.6 151.2 ± 5.5 150.7 ± 5.2 Indeks Massa Tubuh (kg/m2) 23.2 ± 3.9 23.2 ± 4.3 22.9 ± 3.7 23.1 ± 3.9 Lingkar Pinggang (cm) 74.3 ± 8.9 73.9 ± 8.9 73.8 ± 8.5 74.1 ± 8.9 Lingkar Pinggul (cm) 91.2 ± 8.3 90.1 ± 8.6 90.6 ± 9.1 90.8 ± 8.6 Lingkar lengan atas LILA (cm) 27.6 ± 8.8 27.0 ± 3.4 27.0 ± 3.3 27.3 ± 6.8

Nilai rataan berat badan pekerja wanita adalah 52.4 kg, dengan berat badan terendah 31 kg dan tertinggi 78 kg. Nilai rataan tinggi badan pekerja wanita adalah 150.7 cm, dengan tinggi badan terendah 140.8 cm dan tertinggi 170.0 cm. Nilai rataan indeks massa tubuh (IMT) adalah 23.1 kg/m2, dengan IMT terendah 14.7 kg/m2 dan tertinggi 36.2 kg/m2.

Nilai rataan lingkar pinggang (waist) pekerja wanita adalah 75.6 cm, dengan lingkar pinggang terendah 55.0 cm dan tertinggi 102.3 cm. Nilai rataan lingkar pinggul (hip) adalah 90.8 cm, dengan lingkar pinggul terendah 55.0 cm dan tertinggi 114.7 cm. Ukuran rasio lingkar pinggang pinggul (RPP) merupakan indikator status gizi penduduk usia dewasa untuk mengetahui adanya obesitas abdomen. Ukuran RPP memberikan pendugaan akumulasi lemak abdomin, karena peningkatan RPP dapat memprediksi peningkatan resiko penyakit jantung, diabetes dan penyakit kronis lainnya yang berkaitan dengan obesitas (Lau et al. 2007). Ukuran RPP yang ideal untuk wanita adalah di bawah 0.80. Berdasarkan analisis didapatkan prevalensi RPP di atas 0.8 (tidak ideal) pada pekerja wanita adalah 57%. Nilai rataan (RPP) pekerja wanita sebesar 0.82, dengan selang terendah 0.66 dan tertinggi 1.40. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan hasil Survai Kesehatan Nasional (SURKESNAS) 2001 yang mendapatkan bahwa RPP wanita usia subur yang anemia sebesar 0.83±0.07 tidak berbeda nyata dengan yang nonanemia sebesar 0.82±0.07 (Briawan & Hardinsyah 2010).

Nilai rataan lingkar lengan atas (LILA) adalah 27.0 cm, dengan LILA terendah 19.5 cm dan tertinggi 38.0 cm. Sebanyak 9% pekerja wanita diduga mengalami malnutrisi (thinness) dengan IMT<18.5 kg/m2, 44% normal (IMT 18.5-22.9 kg/m2), 21% beresiko gemuk (IMT 23-24.9 kg/m2) dan 26% mengalami kegemukan (IMT 25-29.9 kg/m2) atau overweight (obes) (IMT≥30 kg/m2). Prevalensi thinnes tersebut lebih rendah dibandingkan dengan prevalensi thinnes

pada orang dewasa (laki-laki dan perempuan) hasil riskesdas 2007 di Provinsi Lampung yang besarnya, yaitu 14.7%. Berdasarkan klasifikasi masalah kesehatan masyarakat (public health problem) dari IMT rendah (thinness) pada wanita dewasa maka prevalensi sembilan persen tersebut tergolong prevalensi rendah (low prevalence) yang merupakan isyarat waspada (warning sign) yang perlu selalu dimonitor (WHO, 1995). Prevalensi kegemukan tersebut jauh lebih tinggi

daripada prevalensi kegemukan pada wanita dewasa (15 tahun ke atas) hasil Riskesdas tahun 2007, yang hanya 20.3%. Banyak penelitian menunjukkan bahwa terdapat kaitan erat antara kegemukan dengan morbiditas dan mortalitas (WHO 1995; Eckel 2010). Penelitian Riskesdas di Lampung menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat pendapatan dan tingkat pendidikan maka semakin tinggi juga prevalensi kegemukan. Masalah kegemukan pada wanita pekerja ini dikhawatirkan akan meningkatkan risiko masalah kesehatan, sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi kapasitas dan produktivitas kerjanya. Berdasarkan analisis statistik, usia pekerja wanita nyata berhubungan positif dengan IMT dan LILA (p=0.00). Hal ini berarti semakin bertambah usia, pekerja wanita semakin gemuk dan memiliki LILA yang semakin besar.

Status Anemia dan Kebugaran Fisik Pekerja Wanita

Nilai rataan kadar hemoglobin (Hb) pekerja wanita 129±12.0 g/l atau tergolong normal. Prevalensi anemia (HB<120 g/l) ditemukan sebesar 16.9%, dan yang ambang batas anemia (Hb 120-125 g/l) sebesar 16.0%. Kadar Hematokrit (Ht) pekerja wanita reratanya juga tergolong normal, sekitar tiga kali kadar Hb. Prevalensi pekerja wanita dengan kadar hematokrit kurang dari 36% tergolong rendah yaitu hanya 7.4%, selebihnya (92.6%) memiliki kadar hematokrit normal (≥36%). Pada Tabel 17 dapat dilihat prevalensi anemia pekerja wanita. Tidak ada perbedaan yang nyata antara kadar Hb dan Ht pekerja wanita menurut posisi kerjanya. Artinya dalam melaksanakan kerja fisik, kadar Hb dan Ht pekerja wanita tidak menjadi pembatas. Berdasarkan analisis statistik, kadar hemoglobin nyata berhubungan positif dengan IMT (r=0.153, p= 0.005) dan sekaligus juga nyata berhubungan dengan LILA (r=0.191, p=0.000).

Berdasarkan hasil riset kesehatan dasar (Riskedas) 2007, rataan Hb dan prevalensi anemia khusus untuk wanita dewasa di Provinsi Lampung adalah 128.2 g/l dan 25.9%; sedangkan rataan nasional adalah 130 g/l dan 19.7% (BPPK Depkes 2008). Hal ini berarti rataan Hb pekerja wanita sedikit lebih tinggi dan prevalensi anemianya lebih rendah dibandingkan dengan rataan untuk Provinsi Lampung. Jika dibandingkan dengan angka nasional rataan Hb pekerja wanita hampir sama dan prevalensi anemianya lebih rendah dari rataan nasional. Hal ini mengkan bahwa pekerja wanita yang kesejahteraan rumah tangganya sudah baik

memiliki status anemia yang lebih baik dibandingkan dengan rataan Provinsi maupun nasional.

Tabel 17 Prevalensi anemia pekerja wanita menurut kadar Hb dan posisi kerja Kategori anemia Kadar Hb (g/l) Posisi Kerja Total (n=338) Duduk (n=178) Berdiri (n=47) Berdiri dan

Berjalan (n=113) n % n % .n % n % Normal (Tidak ≥125 115 64.6 26 55.3 86 76.2 227 67.1 Anemia) 120-125 31 17.4 19 40.4 4 3.5 54 16.0 Anemia Ringan 100-119 28 15.7 0 0.0 21 18.6 49 14.5 Sedang 80-99 4 2.2 1 2.1 2 1.8 7 2.1 Berat ≤ 80 0 0.0 1 2.1 0 0 1 0.3

Kebugaran fisik sebagian besar pekerja wanita tergolong baik, ini ditandai dengan rataan denyut jantung pasca pemulihan setelah uji bangku selama lima menit sebanyak 36.8 kali per 15 detik (22.0-55.0x/15"). Nilai rataan VO2maks mereka sebesar 40.3 ml/kg/menit dengan selang VO2maks terendah 28.0 ml/kg/menit dan tertinggi 72.5 (Tabel 18). Nilai rataan VO2max pada pekerja wania dengan posisi duduk cenderung lebih rendah dibandingkan VO2max pada posisi lainnya. Rendahnya VO2max tersebut mungkin terkait dengan pola aktivitasnya yang cenderung lebih ringan pada posisi duduk.

Tabel 18 Kebugaran fisik pekerja wanita berdasarkan denyut jantung dan VO2maks menurut posisi kerja

Deskripsi Posisi Kerja Total (n=338) Duduk (n=178) Berdiri (n=47)

Berdiri dan Berjalan (n=113)

Denyut jantung/15 detik 37.3 ± 5.2 36.0 ± 4.7 36.4 ± 4.8 36.8 ± 5.0 VO2maks (ml/kg/menit) 39.7 ± 6.4 41.1 ± 6.0 40.8 ± 7.6 40.3 ± 6.8

Nilai rataan VO2maks di atas tergolong sangat baik. Berdasarkan RHSFNS (2008) distribusi pekerja wanita menurut kategori VO2maks adalah sebagai berikut: 46.4% superior, 28.1% sangat baik, 15.1% baik, 10.1% sedang, dan 0.3% buruk. Nilai rataan VO2maks yang baik pada pekerja wanita ini membuktikan bahwa aktivitas sedang sampai aktif yang mereka lakukan secara rutin pada kondisi ruangan yang cukup panas dan bising dapat menjadikan

jantung-paru menjadi terlatih sehingga bekerja semakin efisien. Kalau dibandingkan sebaran antar ketiga posisi kerja, maka wanita pada posisi kerja duduk memiliki proporsi yang paling rendah pada kategori superior dan memiliki proporsi yang paling tinggi pada kategori sedang. Keadaan ini mengindikasikan bahwa kebugaran fisik wanita pada posisi kerja duduk cenderung lebih rendah dibandingkan posisi lainnya. Hal ini juga membuktikan bahwa aktivitas fisik yang lebih aktif (berdiri dan atau berjalan) menghasilkan kerja jantung-paru yang lebih efisien dibandingkan dengan aktivitas fisik yang ringan (duduk).

Dokumen terkait