• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suasana Belajar di Jepang Pada Saat Perang Pasifik

Menjelang akhir 1944 keadaan perang makin hari makin lebih tidak menguntungkan Jepang. Di antara berita kemenangan juga terselip berita-berita kekalahan di berbagai pulau di Lautan Teduh.

Dalam musim dingin tahun 1944, serangan sekutu terhadap Jepang semakin dahsyat siang dan malam, membuat tentara Jepang tak berdaya sama sekali. Serangan demi serangan datang datang dengan sangat gencar sehingga membuat pelajar-pelajar bertekad bulat utntuk mempertahan kan asrama dari amukan api. Pelajar-pelajar berkumpul menurut Negara masing-masing serta berdoa menurut kepercayaannya masing-masing, memohon kepada yang Maha Kuasa agar di selamatkan dan di lindungi dari malapetaka.

Pada tanggal 6 Agustus, kota Hiroshima di lenyapkan dari muka bumi oleh sebuah bom. Dari ujung ke ujung bekas kota tampak kosong. Gedung-gedung bertingkat semuanya lengkap dari pandangan. Jembatan yang mebentang di atas sungai yang membelah kota Hiroshima juga meleleh. Meskipun demikian ada terjadi suatu keanehan. Satu-satu nya gereja katedral di tengah kota, dan tidak jauh dari episentrum ledakan bom tersebut masih meninggalkan bekas bangunan itu dengan kerangka kupel-kupel dan salib besi di atas nya. Rumah Tuhan di lindungi dan tidak Roboh. Di samping itu salah seorang pelajar Indonesia bernama Sagala secara kebetulan pagi hari itupada jam 7:00 ke ruangan bawah

tanah tempat perpustakaan untuk mengambil buku pelajaran nya. Karena melihat ada nya suatu kilatan menyilaukan dari luar, kemudian keningnya terkena sinar atom. Betapa ajaib nya ia masih di beri panjang umur dan dapat sembuh. Tiga hari kemudian Nagasaki di Pulau Kyushu mengalami nasib yang sama.

Tokyo, Yokohama dan sekitarnya siang-malam di hujani Bom oleh pesawat pembom B-29, Angkatan Udara serta pertahanan udara Jepang suda tak mampu lagi membendung penyerbuan pesawat-pesawat itu. Rumah-rumah dan bangunan di kota Tokyo sebagian besar sudah hampir menjadi rata dengan tanah dan menjadi puing-puing sebagai akibat dari pemboman pesawat B-29 dari Tentara Amerika Serikat. Hampir setiap hari secara berulang-ulang pesawat B-29 yang dikawal oleh berbagai jenis pesawat pemburu mengadakan pemboman dan penembakan terhadap bangunan-bangunan maupun instalasi-instalai yang ada di kota Tokyo. Ryugakusei yang saat itu tinggal di Tokyo mengalami dan melihat dengan mata dan kepala sendiri serangan-serangan pesawat udara Amerika. Banyak korban manusia selain kehancuran bangunan-bangunan di kota Tokyo. Bagi pelajar-pelajar Indonesia di Jepang saat-saat ini merupakan saat yang penuh tantangan. Kurang makan dan tidak tenang, merupakan hambatan untuk mengikuti pelajaran secara total. Bahaya serangan udara pesawat pembom B-29 berdengung setiap hari, siang dan malam. Mula-mula menjatuhkan bom pembakar. Kemudian di selingi dengan bom-bom lainnya. Di sekolah sejak memuncaknya peperangan pada awal tahun 1944, hamper tidak ada kuliah. Pelajar-pelajar di perkerjakan di pabrik senjata. Juga untuk latihan ketentaraan, banyak pelajar yang di kirim ke medan perang.

Amerika selanjutnya mengancam Jepang akan menjatuhkan bom atom di atas kota kebudayaan dan ibu kota, Kyoto. Mengingat kota itu masih mempertahan kan bentuk arsitektur kuno serta adat aslinya, maka pimpinan Jepang menjadi goyah dan berfikir sejuta kali. Dan tibalah hari yang sangat menentukan bagi rakyat Jepang pada khusus nya dan dunia pada umumnya. Kemudian datang lah utusan Kokusai Gakuyukai yang terdiri dari beberapa orang untuk mengumpulkan para pelajar kembali ke kota Tokyo. Pada tanggal 15 Agustus 1945 semua kadet di perintah kan berseragam lengkap berbaris di lapangan kampus untuk suatu upacara yang di katakan sangat penting. Pelajar mengira ada pemeriksaan oleh pembesa militer. Kemudian Tenno Heika memberikan pidato singkat mengatakan bahwa Pemerintah Jepang telah menerima Deklarasi Postdam serta menyerah tanpa syarat kepada sekutu. Maka dengan pernyataan ini berakhir lah Dai Toa Senso yang di mulai dengan rentetan kemenangan tentara Jepang di seluruh medan pertempuran setelah melumpuhkan kekuatan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbor, Hawaii, tanggal 8 Desember 1941.

Tantangan baru yang harus di hadapi para pelajar Indonesia, dan di hadapkan kepada 2 macam pilihan, yaitu :

1. Kembali ke Indonesia

2. Tetap tinggal di Jepang, meneruskan cita-cita meneruskan studi, dengan konsekuensi siap menghadapi segala macampenderitaan, karena sejak saat itu soal Survival sudah menjadi tanggung jawab masing-masing.

Setelah mempertimbangkan segala sesuatu, para pelajar akhirnya memilih tetap tinggal di Jepang dengan tekad tidak akan kembali ke tanah air sebelum berhasil menyelesai kan study. Dan ada juga pelajar yang kembali ke Indonesia.

Kemudian para pelajar yang tetap tinggal di Jepang di tampung di asrama yang bernama Shoshukan, Gifu. Tempatnya di dekat Nagara Gawa (Sungai Nagara). Indah sekali dan terkenal dengan commorants fishing-nya. Di Gifu para pelajar juga tidak luput dari serangan-serangan udara Sekutu, Amerika. Di Gifu ada suatu pengalaman yang pahit bagi pelajar-pelajar dengan adanya pemuda-pemuda Jepang yang menyerbu asrama Shoshukan yaitu pada tanggal 15 Agustus 1945, pada sore hari sekitar jam 4 sore. Pemuda-pemuda Jepang mendatangi asrama dengan menggunakan kekerasan, memukuli para pelajar yang sedang menikmati keindahan alam di situ dan dengan suara keras berkata : “ Kimi tachi kyoryoku shinai kara, Nihon maketanda” yang arti nya : “Jepang kalah perang karena kamu sekalian tidak membantu”. Kejadian yang perlu di sesalkan, tetapi di dalam suasana yang sedih bagi rakyat Jepang seluruhnya, hal ini, bagi pemuda-pemuda yang belum sadar, dapat di maklumi. Suasana dapat di kendalikan dan menjadi tenteram setelah pemuda-pemuda itu di persilah kan berunding di ruang atas shosukan, dan setelah berbicara dengan semua pelajar yang hadir di situ, keadaan yang semula hangat dapat di tertibkan.

Kemudian para pelajar di pindahkan ke bekas Sekolah Internasional (Kokusai Gakuyukai) tempat pertama kali belajar bahasa Jepang yang berlokasi di Shinjuku, Kashiwagi-Cho. Mungkin satu mukjizat bahwa asrama tersebut tidak

ikut terbakar, walau pun daerah sekeliling nya hangus dengan api. Dan selanjut nya pelajar-pelajar menetap di asrama Meguro, Tokyo.

Kehidupan orang-orang Indonesia di Jepang, khususnya para pelajar dan mahasiswa di Jepang boleh dikatakan cukup payah. Para mahasiswa sering sekali pergi ke desa-desa di sekitar Tokyo untk kaidashi (pergi beli bahan makanan). Para pelajar biasa membawa dua rugzak (ransel) dan mengunjungi para petani dan mendapat bermacam-macam tanaman seperti terong, labu, tomat, kol, lobak dan lain-lain. Pulang ke asrama dan hasilnya dimakan bersama-sama dengan para pelajar lainnya. Kereta api biasanya penuh sesak dan kondisi orang-orang Jepang sendiri pada waktu itu masih buruk karena banyak yang baru kembali dari daerah-daerah jajahan mereka karena kekalahan dalam perang dunia kedua. Setelah Jepang menyerah tanpa syarat pada tahun 1945 di bulan agustus, kuliah sedikit demi sedikit di mulai lagi pada tahun 1946. Akhirnya setelah bergelut dengan suka duka dan derita, selama 4 tahun menjadi pelajar asing, pada tahun 1951 pelajar berhasil lulus sebagai mahasiswa Indonesia dari perguruan tinggi yang ada di Jepang. Empat tahun selama belajar di Jepang merupakan hal yang paling indah bagi pelajar-pelajar, pengalaman yang sangat akrab dengan pelajar-pelajar lainnya, hubungan yang harmonis dan menyenangkan dengan dosen pengajar serta pelajar lain nya. Setelah lulus dari akademi di perguruan, ada pelajar yang melanjutkan studi di Jepang, bekerja di Jepang, pulang ke Indonesia.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait