• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

C. Subjek II

1. Deskripsi Subjek

P merupakan seorang lelaki yang berusia 54 tahun. Pertama

kali P memutuskan untuk tidak memiliki anak ketika P masih berumur

16 tahun. Saat itu P memiliki keinginan untuk hidup selibat sehingga P

memutuskan untuk masuk seminari. P memilih untuk masuk seminari

karena P ingin dapat meolong orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat

oleh anak dan istri. Namun, keinginan P untuk hidup selibat pun

terhenti karena P merasa bahwa hal tersebut bukan panggilan

hidupnya. Dengan demikian, P memutuskan untuk keluar dari seminari

sebanyak-dan IKIP Negeri Semarang, fakultas ilmu kimia sebanyak-dan fakultas hukum.

Ketika P masih muda, P bergabung dengan organisasi yang membela

para buruh. Selain itu, dulu B juga bekerja sebagai dosen. Berhubung

saat ini P sudah menginjak usia 54 tahun, P merasa bahwa dirinya

sudah tua dan tidak ada perusahaan yang ingin menerimanya untuk

bekerja. Oleh sebab itu, P sekarang hanya bergabung dalam kegiatan di

masyarakat dan gereja serta berjualan makanan ringan untuk

menambah biaya hidup keluarganya. P telah menikah dengan seorang

perempuan yang kebetulan rahimnya telah diangkat. P merasa bahwa

dengan mendapatkan istri yang tidak memiliki Rahim tersebut justru

mendukung obsesinya untuk menolong orang lain

sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak.

2. Analisis Deskriptif a. Awal

P memutuskan untuk tidak memiliki anak karena P ingin

melayani orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak dan

istri sehingga P memilih untuk menjadi seorang Romo. Keinginan

P untuk melayani ini muncul karena ayah P sering berpesan untuk

selalu menolong orang lain. Setelah menjalani kehidupannya di

seminari, keinginan P untuk menjadi Romo tidak tercapai karena P

merasa bahwa panggilan hidup untuk menjadi Romo telah hilang.

bertemu dengan seorang perempuan yang rahimnya telah diangkat.

“Bulek kan bicara gini „Pak. Bapak. Tapi aku udah diangkat loh rahimnya. Dak kecewa toh dapet aku?‟. Nggak. Malah kebetulan. Jadi, mendukung obsesi om toh”. P tidak mempermasalahkan hal

tersebut karena P sudah dari awal memutuskan untuk tidak

memiliki anak demi menjalankan keinginannya, yaitu melayani

orang sebanyak-banyaknya tanpa terikat oleh anak. P menyatakan

bahwa biaya kebutuhan anak saat ini tergolong mahal. P menyadari

bahwa apabila P memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat

digunakan untuk melayani melainkan untuk memenuhi kebutuhan

sang anak.

b. Tengah

Setelah menjalani kehidupannya sebagai voluntary

childlessness, P sering mendapatkan pertanyaan mengenai anak

dari beberapa orang yang P temui, terutama dari lingkungan tempat

tinggalnya. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan tersebut

dirasakan P cukup mengganggu. “Yang halangannya kalo ada

orang tidak seiman, trus kok udah married lama nggak dikasih

anak?”. Untuk mengatasi hal tersebut, P akan memberikan jawaban

yang dapat mencegah pembicaraan tersebut terus mengalir, seperti

belum dikaruniai anak. Meskipun demikian, P menyatakan bahwa

tersebut. Untuk bertahan pada situasi tersebut, P selalu berserah,

bersyukur kepada Tuhan dan berusaha menolong sesama dengan

sebaik-baiknya. “Ya udahlah nanti masa tua kan mengalir. Hidup ini mengalir. Bersyukur pada Tuhan, sesuai dengan

penyelenggaraan Allah, penyelenggaraan Tuhan, hidup mengalir

berusaha menolong melayani sesama dengan sebaik-baiknya. Nanti

Tuhan selalu memberikan jalan yang terbaik buat om dan bulek”.

Kerabat serta orang-orang seiman tidak pernah mempermasalahkan

pilihan hidup P untuk tidak memiliki anak. Dari menjalani

hidupnya sebagai voluntary childlessness, P menunjukkan pada

masyarakat sekitar bahwa dirinya merupakan individu yang ringan

tangan sehingga P menjadi salah satu orang yang diperhatikan dan

dipandang oleh masyarakat.

c. Akhir

Akhir cerita, P tetap menjalankan kehidupannya sebagai

voluntary childlessness hingga saat ini. Hal ini dikarenakan P

merasakan adanya keuntungan dari tidak memiliki anak, yaitu P

bebas dalam menggunakan waktunya. Dengan demikian, P merasa

sangat bahagia karena P mendapatkan apa yang diinginkannya,

yaitu melayani orang sebanyak-banyaknya. “Secara psikis om bahagia sekali”.

Semakin kesini, nggak punya anak semakin lebih bisa melayani”. Keputusan P untuk tidak memiliki anak juga

diperkuat oleh kesepakatan P dengan sang istri untuk tidak

mengadopsi anak.

d. Kesimpulan dan Isu yang Terkait

Kisah hidup P bersifat progresif. Melalui usahanya untuk

tetap mempertahankan keputusannya sebagai seorang voluntary

childlessness di tengah masyarakat Pronatal, P saat ini merasa

sangat bahagia. Selain itu, pengalaman religiusitas P semakin

diperkuat setelah menjalani keputusannya untuk tidak memiliki

anak. P terus berserah dan bersyukur kepada Tuhan atas apa yang

telah Tuhan berikan kepadanya.

3. Analisis Interpretatif a. Generativitas

P memiliki skor yang tergolong normal pada skor

generativitas yang diukur menggunakan Skala Generativitas

Loyola. Dari skala tersebut, dapat dilihat bahwa P mewariskan atau

meneruskan ilmu pengetahuan yang ia miliki, kemampuan, dan

lain-lain; berkontribusi pada kebaikan komunitas, masyarakat, dan

lain-lain; melakukan sesuatu yang akan selalu diingat dan

diwariskan; menjadi kreatif dan produktif serta merawat dan

Generativitas Parental

Salah satu cara yang dilakukan P untuk menyalurkan

dorongan generativitas, yaitu melalui generativitas parental. P

memiliki keinginan untuk membantu orang lain.

“... supaya bisa melayani orang sebanyak-banyaknya, ikut berbagi dengan banyak orang.

“Kepengennya ya melayani itu tok.”

P melakukan hal yang bermanfaat bagi masyarakat

untuk menyalurkan dorongan tersebut.

“Masalah kenaikan gaji, upah berkala, tunjangan kesehatan, jaminan sosial, jaminan tenaga kerja, trus kenaikan eee.. UMR, upah minimal regional. Udah masuk dua tahun, gaji belum sesuai dengan UMR daerah itu, harus diperjuangkan.”

“Melayani itu misalnya ya, misalnya melayani itu ada melayani untuk gereja, itu kan juga pelayanan. Kegiatan gereja, aktivis gereja kan pelayanan juga. Belum di RT RW kan banyak kegiatan. Belum di karang taruna, belum di masyarakat.”

“Ya masyarakat sini, lingkungan sini ada masalah, tanya om.”Generativitas Kultural

P juga menyalurkan dorongan generativitas melalui

generativitas kultural, dimana P menanamkan nilai-nilai pada

mahasiswanya ketika P menjadi seorang dosen.

Anak-anak itu kalo trisakti nakal-nakal anaknya. Kalo masuk kuliah tu, dosennya udah masuk, satu jam sesudahnya baru masuk.

Jangan main-main ya sama bapak. Bapak kuliah ja m tujuh ya, stengah tujuh udah masuk ruangan. Buka, bapak duduk di kursi dosen nunggu anak-anak itu. Nanti, bapak udah dateng loh. Udah di dalam ruangan loh.‟. Wuah langsung cepet-cepetan. Paling nggak ada lima menit udah selesai masuk. Kan ngajari disiplin.

Generativitas Teknis

P meneruskan ilmu pengetahuan yang P miliki pada

generasi muda melalui perannya sebagai seorang dosen. P juga

menanamkan nilai-nilai pada generasi muda.

Om ngajar, ngajar PMP sama hukum itu, ya mata kuliahnya om, tak ajarkan.

b. Motif-motif Ekonomi

Salah satu alasan P memilih untuk tidak memiliki anak adalah

alasan ekonomi. P menyatakan bahwa biaya kebutuhan anak

saat ini tergolong mahal. P menyadari bahwa apabila P

memiliki anak, uang yang P dapatkan tidak dapat digunakan

untuk melayani melainkan untuk memenuhi kebutuhan sang

anak.

“... coba kalo punya istri dan anak, kan gajinya kan untuk anak istri. Untuk anak biaya anak kan mahal sekarang.”(231-237)

Pengalaman hidup

Ketika P masih anak-anak, ayah P sering menasihati untuk

selalu menolong sesama. Hal ini secara tidak langsung

mempengaruhi P dalam mengambil keputusan untuk tidak

memiliki anak. P ingin melayani orang sebanyak-banyaknya

tanpa terikat oleh anak. Oleh sebab itu, P memilih untuk tidak

memiliki anak.

“Dulu bapak sering berpesan „gemar-gemarlah menolong orang lain‟.”

Manfaat yang dirasakan

Adanya manfaat yang P rasakan setelah menjalani

keputusannya, membuat P semakin kuat pada pendiriannya

untuk tidak memiliki anak. P saat ini merasa sangat bahagia

karena P dapat menolong orang lain tanpa terikat oleh waktu.

“... ndak punya anak, jadi lebih leluasa lah kemana -mana. Nggak jam sembilan bapak-bapak pulang nidurin anaknya. Lah om kan sampe jam 12, 1 ada kebaktian ato ada apa kan, sampe pagi pun tak ladeni.

Semakin kesini, nggak punya anak semakin lebih bisa melayani.

Dokumen terkait