• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III: METODE PENELITIAN

A. SUBJEK PENELITIAN

Penelitian ini menempatkan buku teks mata pelajaran sejarah SMA Jurusan IPS yang digunakan dalam pembelajaran pada periode 1975-2008 sebagai subjek kajian. Agar memperoleh kajian yang tajam, subjek penelitian dibatasi pada buku teks yang digunakan sebagai bahan ajar bagi siswa Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Pembatasan ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa tingkat satuan pendidikan di Indonesia dewasa ini telah begitu rincinya dipilah-pilah. Pada satuan pendidikan menengah, pemerintah membedakan antara SMA/MA dengan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Untuk masing masing jenis sekolah memiliki bahan ajar mata pelajaran Sejarah yang berbeda. Bahkan pemerintah juga membedakan bahan ajar untuk SMA/MAN jurusan IPA, IPS dan Bahasa.

Pengambilan SMA/MA jurusan IPS sebagai konsentrasi penelitian dilakukan dengan pertimbangan bahwa pada jurusan itu mata pelajaran sejarah memperoleh jumlah jam pelajaran paling banyak dibandingkan dengan pada jurusan IPA maupun Bahasa. Dengan frekuensi pembelajaran paling tinggi, dapat diambil pemahaman bahwa mata pelajaran sejarah pada jurusan IPS merupakan paling komprehensif dan mendalam.

Selain jurusan yang mengajarkan sejarah paling komprehensif dan mendalam, sesuai dengan namanya, jurusan IPS sudah seharusnya menjadi jurusan yang paling intensif mengarahkan siswanya untuk menjadi warga negara

Hieronymus Purwanta, 2013

Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme

yang baik. Hal itu terkait dengan tujuan pendidikan IPS adalah untuk membangun warga negara yang baik (Somantrie, 2005: 4). Dari sudut pandang tujuan IPS itu, salah satu unsur penting dari kebaikan warga negara adalah memiliki nasionalisme (Kartodirdjo, 2005: 114). Dengan kata lain, proses pembelajaran pada jurusan IPS sudah seharusnya mengarahkan agar dalam diri setiap siswa tumbuh dan berkembang kesadaran sebagai warga bangsa (nation) dan berperilaku sesuai dengan tata nilai dan norma yang menjadi simbol-simbol nasionalismenya.

Untuk menumbuhkan kesadaran dan perilaku sebagai warga bangsa diperlukan proses penanaman nasionalisme yang antara lain melalui mata pelajaran sejarah. Dari sudut pandang ini, sudah selayaknya buku teks mata pelajaran sejarah mewacanakan nasionalisme, sehingga siswa dapat menemukan sendiri pergumulan nenek moyangnya di masa lampau dalam usaha membangun, mengembangkan dan mempertahankan bangsa Indonesia.

Penelitian ini akan dibatasi pada uraian buku teks tentang lahir dan berkembangnya nasionalisme Indonesia. Pembatasan itu didasarkan pertimbangan bahwa pada periode itu secara bertahap mulai berkembang kesadaran untuk membangun Indonesia sebagai bangsa. Dari sudut pandang ini, pada pembahasan periode itulah uraian buku teks memiliki ruang paling luas untuk mewacanakan nasionalisme.

Dalam sejarah Indonesia, lahirnya nasionalisme ditandai dengan munculnya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908. Permasalahan yang muncul adalah penetapan batas akhir perkembangan nasionalisme, karena masing-masing

periode buku teks memiliki batas yang berbeda-beda. Oleh karena banyaknya bias subjektifitas penguasa pada periode setelah proklamasi kemerdekaan, maka pada penelitian ini perkembangan nasionalisme Indonesia dibatasi sampai dengan masa revolusi kemerdekaan.

Dengan mempertimbangkan kebermanfaatan pada pengembangan pendidikan kontemporer, penelitian buku teks pelajaran sejarah ini akan dibatasi dari tahun 1975 sampai dengan 2008. Pengambilan tahun 1975 sebagai titik awal kajian disebabkan pada tahun itu ada dua peristiwa penting terkait dengan kandungan buku teks Pendidikan Sejarah. Pertama adalah masuknya IPS dalam kurikulum nasional. Peristiwa itu secara filosofis maupun metodologis terjadi pergeseran posisi Pendidikan Sejarah dari mata pelajaran mandiri menjadi sebagai bagian dari mata pelajaran IPS. Dari sudut ini, Pendidikan Sejarah secara epistemologis sudah seharusnya mengacu pada landasan epistemologi Pendidikan IPS. Sejalan dengan itu, buku teks yang digunakan pun sudah seharusnya mengacu pada landasan epistemologi Pendidikan IPS.

Peristiwa kedua adalah diterbitkannya Sejarah Nasional Indonesia jilid I sampai dengan VI. Buku ini sangat penting peranannya, karena ditempatkan sebagai induk dari semua tulisan sejarah di Indonesia. Meski dilihat dari isinya sebenarnya lebih merupakan buku acuan mahasiswa program studi Ilmu Sejarah, tetapi dalam prakteknya buku teks Pendidikan Sejarah di tingkat pendidikan yang lebih rendah pun mengacu pada buku induk tersebut. Bahkan pada awalnya, buku teks untuk tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah

Hieronymus Purwanta, 2013

Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme

Atas (SMA) yang diterbitkan oleh pemerintah (Balai Pustaka) juga menggunakan judul sama, yaitu Sejarah Nasional Indonesia, meski jumlah jilidnya berbeda.

Penempatan tahun 2008 sebagai batas akhir pembahasan dilakukan dengan pertimbangan bahwa pemerintah, melalui Departemen Pendidikan Nasional, pada tahun itu meluncurkan buku teks baru yang dikenal sebagai Buku Sekolah Elektronik (BSE). Buku teks untuk siswa dari tingkat SD sampai dengan SMA itu berupa file pdf yang dapat diakses (dibaca dan diunduh) secara gratis melalui situs http://bse.depdiknas.go.id/ Pembaharuan tidak hanya dalam hal bentuk dan sistem aksesnya, tetapi juga sistem produksinya. Departemen pendidikan melalui Badan Standar Nasional Pendidikan menyeleksi buku teks sesuai dengan kriteria yang telah ditetapkan. Buku teks yang lolos seleksi kemudian hak ciptanya dibeli oleh pemerintah.

Sepanjang periode 1975-2008 terjadi empat kali pergantian kurikulum nasional, yaitu 1975, 1984, 1994, dan 2006 sehingga paling tidak juga terjadi empat kali pergantian buku teks. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan aspek keterwakilan, maka penelitian ini akan mengambil tiga buku teks yang dipergunakan pada proses pembelajaran untuk setiap kurikulum nasional, sehingga jumlah keseluruhan adalah dua belas buku teks.

Keduabelas buku teks yang dijadikan subjek penelitian, diurutkan berdasar tahun terbit dan kurikulum yang menaungi adalah sebagai berikut:

1. Kurikulum 1975

a. Idris, Z.H., dan Tugiyono 1979, Sejarah Untuk SMA. b. Siswojo, S.W., 1979, Sejarah Untuk SMA, jilid 1 dan

c. Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri, ed., 1981, Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA. jilid 3. Buku paket.

2. Kurikulum 1984

a. Soewarso, Ibnoe, 1986, Sejarah Nasional Indonesia dan Dunia. jilid 3. b. Moedjanto, G., dkk., 1992, Sejarah Nasional Indonesia. jilid 3.

c. Notosusanto, Nugroho dan Yusmar Basri, ed., 1992, Sejarah Nasional Indonesia Untuk SMA. jilid 3 (Buku Paket).

3. Kurikulum 1994

a. Sardiman, A.M., dan Kusriyantinah, 1996, Sejarah Nasional dan Umum untuk SMA, jilid 2b dan 2c.

b. Badrika, I Wayan, 1997, Sejarah Nasional Indonesia dan Umum untuk SMA, jilid 2.

c. Siti Waridah Q., Sukardi dan Sunarto, 2000, Sejarah Nasional dan Umum untuk SMA. jilid 2.

4. Kurikulum 2006

a. Mustopo, Habib, dkk., 2007, Sejarah SMA. jilid 2 dan 3.

b. Hapsari, Ratna dan Abdul Syukur, 2008, Eksplorasi Sejarah Indonesia dan Dunia. jilid 2 dan 3.

c. Tarunasena, 2009, Sejarah SMA/MA. jilid 2 dan 3.

Dari jumlah buku teks yang dikaji serta sebarannya, kiranya dapat dipahami bahwa fokus penelitian ini adalah buku teks mata pelajaran sejarah yang

Hieronymus Purwanta, 2013

Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme

diterbitkan dan digunakan pada masa pemerintahan Presiden Suharto atau Orde Baru. Tiga buku terakhir dimaksudkan sebagai pembanding untuk memahami dinamika perkembangan yang terjadi pada masa Reformasi atau post Orde Baru.

B. PENDEKATAN PENELITIAN

Sesuai dengan rekomendasi United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) (Pingel, 2010: 68) untuk kajian kualitatif buku teks mata pelajaran sejarah, penelitian ini menggunakan pendekatan hermeneutika, yaitu menempatkan hermeneutika sebagai ilmu bantu untuk memahami dan menganalisis buku teks mata pelajaran sejarah SMA sebagai subjek kajian. Hal itu didasarkan pada pertimbangan bahwa buku teks merupakan sumber belajar utama para siswa dalam mempelajari sejarah nasional Indonesia, sehingga antar keduanya terjadi transaksi makna.

Kata hermeneutika berasal dari nama salah satu pantheon Yunani kuno, yaitu Hermes. Dewa Hermes memiliki tugas untuk menyampaikan pesan atau perintah Tuhan kepada manusia. Dalam menjalankan tugasnya, Hermes harus memahami detail perintah tersebut dan kemudian menterjemahkan dan menarasikannya ke dalam bahasa manusia. Berdasar tugas Hermes, hermeneutika kemudian digunakan untuk menamai ilmu yang bertugas untuk menafsirkan teks.

Sebagai ilmu, tanggungjawab hermeneutika adalah: (1) mengungkapkan sesuatu yang tadinya masih dalam pikiran melalui kata-kata sebagai medium penyampaian; (2) menjelaskan secara rasional sesuatu yang tadinya masih samar-samar sehingga maknanya dapat dimengerti; (3) menerjemahkan sesuatu yang

dinarasikan dalam bahasa asing ke dalam bahasa yang dipahami oleh audiences (Raharjo, 2008: 28). Oleh karena itu tidaklah salah apabila hermeneutika oleh Sumaryono (1999: 24) dipandang sebagai proses mengubah sesuatu atau situasi dari ketidaktahuan menjadi tahu, dari ketidakpahaman menjadi paham terhadap makna teks yang dikaji.

Usaha untuk memahami teks atau pintalan kata merupakan proses yang kompleks dan melahirkan berbagai aliran hermeneutika. Freidrich Ernst Daniel Schleiermacher yang kemudian dikenal sebagai bapak hermeneutika modern mengembangkan pemikiran bahwa pemahaman teks dua cara yang dikenal sebagai dua lingkaran hermenetika:

1. memahami makna teks secara gramatikal (grammatical understanding), yaitu menemukan makna melalui pencarian pengertian gramatik dari kata-kata dan kalimat yang terdapat pada teks. Pemahaman teks dalam hal ini adalah melalui penguasaan terhadap aturan-aturan sintaksis bahasa, sehingga menggunakan pendekatan linguistik. Cara ini dalam hermeneutika dikenal dengan sebutan lingkaran objektif.

2. memahami makna teks dari kondisi psikologis pembuat teks (intuitive understanding). Untuk dapat memahami sungguh-sungguh kondisi psikologis pengarang, diperlukan kajian tentang konteks budaya yang melingkupi teks, konteks historis yang mendorong munculnya teks, dan maksud pengarang ketika memproduksi teks. Dengan kata lain, pemahaman makna teks diperlukan rekonstruksi proses kelahirannya. Cara ini dalam hermeneutika dikenal dengan sebutan lingkaran subjektif.

Hieronymus Purwanta, 2013

Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme

Pandangan Schleiermacher tentang grammatical understanding atau lingkaran objektif dewasa ini telah berkembang pesat. Secara garis besar, perkembangan grammatical understanding dewasa ini tidak hanya menganalisis bahasa dari unsur-unsur pembentuknya (kalimat, frasa, kata dan sebagainya), tetapi diarahkan sampai pada bagaimana bahasa digunakan atau dimanfaatkan oleh penggunanya atau fungsi bahasa.

In the study of language, some of most interesting questions arise in connection with the way language is used, rather than what its components are. ... We were, in effect, asking how it is that language-users interpret what other language-users intend to convey. When we carry this investigation further and ask how it is that we, as language-users, make sense of what we read in text, understand what the speakers mean despite what they say, recognize connected as opposed to jumble or incoherent discourse, and successfully take part in that complex activity called conversation, we are undertaking what is known as discourse analysis (Yule, 1996: 139).

Pada kutipan itu Yule menjelaskan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang paling menarik dalam studi bahasa adalah bagaimana bahasa tersebut digunakan, dari pada komponen-komponen apa saja yang membentuk bahasa. Pada dasarnya, pertanyaan mengarah ke bagaimana pengguna bahasa menginterpretasi apa yang disampaikan oleh pengguna bahasa lainnya. Dari penelitian ini tentang bagaimana, sebagai pengguna bahasa, menjadikan masuk akal apa yang dibaca dalam teks, memahami maksud pembicara meskipun disampaikan secara verbal, akan diperoleh pemahaman akan keterkaitan sebagai lawan terhadap wacana yang campur aduk atau tidak koheren, serta berhasil mengambil bagian dalam aktivitas kompleks yang disebut perbincangan, inilah yang dikenal sebagai analisis wacana.

Salah satu pendekatan yang dipandang mampu mencapai grammatical understanding secara komprehensif adalah Discourse Analysis (DA) yang secara sederhana dapat dikatakan sebagai kajian terhadap unsur bahasa di atas kalimat. Discourse Analysis memiliki tiga aliran, salah satunya adalah analisis wacana kritis (critical discourse analysis/CDA) yang menekankan perhatian pada unsur kepentingan dan kekuasaan sebagai konteks dalam produksi dan reproduksi wacana (Wodak and Meyer, 2001: 24).

Pandangan Schleiermacher tentang kondisi psikologis pembuat teks (intuitive understanding) atau lingkaran subjektif juga sangat menarik, karena akan mampu menemukan genetika historis dari suatu teks. Metode itu membuka peluang untuk dapat memahami teks sesuai dengan makna saat teks tersebut diproduksi, serta kondisi sosio-kultural yang melingkupinya. Meminjam pandangan dari New Historicism, bahwa untuk memahami perkembangan wacana atau discourse harus melalui pengkajian terhadap “the historicity of text”. Dengan melacak historisitas makna, akan ditemukan berbagai makna subjektif yang berbeda dalam setiap zaman. Foucault (2006: xvii), salah satu tokoh terkemuka New Historicism, ketika mengkaji konsep kegilaan menjelaskan:

We need a history of that other trick that madness plays – that other trick through which men, in the gesture of sovereign reason that locks up their neighbour, communicate and recognize each other in the merciless language of non-madness; we need to identify the moment of that expulsion, before it was definitely established in the reign of truth.

Dari kutipan di atas Foulcault memandang bahwa sejarah dibutuhkan untuk mengkaji maksud lain yang berada di balik istilah kegilaan, dimana orang dengan sikap sebagai pemilik alasan yang sah, mengunci tetangganya. Sejarah

Hieronymus Purwanta, 2013

Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme

dibutuhkan untuk mengidentifikasi saat peristiwa pengusiran terjadi, sebelum sungguh-sungguh dimapankan melalui kekuasaan kebenaran.

Pemikiran Schleiermacher kemudian dikembangkan oleh Wilhelm Dilthey (1833-1911) yang menggunakan hermeneutika tidak hanya untuk teks kitab suci, tetapi juga untuk teks ilmu-ilmu humaniora pada umumnya (Geisteswissenschaften). Dilthey dengan tegas menjelaskan bahwa ilmu humaniora bertugas untuk memahami (verstehen), sedang ilmu-ilmu alam (Naturwissenschaften) bertugas untuk menjelaskan (enklaren).

Pemikiran Dilthey tentang hermeneutika berpusat pada tiga unsur, yaitu erlebnis (dunia pengalaman batin) dan Ausdruck (ekspresi hidup) dan verstehen (memahami). Ketiga unsur tersebut saling berkaitan. Erlebnis adalah kenyataan sadar keberadaan manusia dan merupakan kenyataan dasar hidup dari mana segala kenyataan dieksplisitkan. Dalam erlebnis hidup merupakan realitas fundamental yang teralami secara langsung, sehingga belum memunculkan pembedaan subjek dan objek. Erlebnis adalah basis kenyataan bagi munculnya imaginasi, ingatan dan pikiran.

Terkait dengan kesadaran eksistensi manusia, Sastrapratedja (2008) menjelaskan implikasi pandangan Dilthey sebagai berikut:

Dilthey mengatakan bahwa manusia adalah suatu "geschichtliches wesen", suatu "wujud historis". Pandangan ini menjadi penting bagi pengertian mengenai hermeneutika dan juga berpengaruh bagi teori hermeneutika selanjutnya. Historikalitas, sebagaimana disarikan oleh Richard E. Palmer mempunyai dua arti:

(1) Manusia memahami dirinya tidak melalui introspeksi, tetapi melalui objektifikasi kehidupan. Pengertian-diri manusia tidak langsung, tetapi melalui detour hermeneutik, yaitu melalui ekspresi yang berasal dari masa lampau. Artinya untuk memahami siapakah diri kita, kita harus menafsirkan sejarah sebagai ekspresi diri atau objektifikasi diri manusia.

(2) Hakekat manusia bukan esensi tetap., seperti dikatakan Nietzsche "manusia adalah hewan yang-belum-ditentukan" (noch nicht festgestellte Tier). Akan menjadi apakah manusia, menunggu keputusan sejarah. Memahami masa lalunya, bukanlah bentuk perbudakan, tetapi kebebasan, kebebasan pemahaman-diri yang lebih penuh dan kesadaran bahwa ia mampu menghendaki ia mau penjadi apa.. Lebih jauh lagi bagi Dilthey pemahaman manusia juga bersifat historis. Temporalitas intrinsik dalam pemahaman manusia, membentang dari masa lampau ke masa depan. Dalam hal ini makna selalu bersifat historis juga.

Ausdruck atau ekspresi adalah ungkapan kegiatan jiwa. Ekspresi muncul dalam berbagai bentuk, antara lain ekspresi yang isinya telah tetap dan identik, seperti, rambu-rambu lalu lintas. Pada ekspresi yang berupa tingkah laku manusia, wujudnya dapat tunggal maupun dalam bentuk serangkaian tindakan yang panjang. Wujud ketiga adalah ekspresi spontan, seperti tersenyum, tertawa, kagum dan seterusnya. Ekspresi ini merupakan ungkapan perasaan yang kadang dangkal, dan kadang sangat dalam.

Verstehen atau pemahaman adalah suatu proses mengetahui kehidupan kejiwaan lewat ekspresi-ekspresinya yang diberikan pada indera. Memahami adalah mengetahui yang dialami orang lain, lewat suatu tiruan pengalamannya. Dengan kata lain verstehen adalah menghidupkan kembali atau mewujudkan kembali pengalaman seseorang dalam diriku (Anskersmit,1987: 162).

Pemikiran Dilthey memperluas objek kajian dan sekaligus memperkokoh pandangan Schleiermacher, yaitu dengan menempatkan hermeneutika sebagai metode untuk memahami ekspresi manusia masa lampau tentang kehidupan mereka yang termanifestasi melalui teks atau tulisan. Oleh karena itu, untuk dapat memahami ekspresi tersebut sesuai dengan maksud subjektif pengarangnya, diperlukan konteks historis (Raharjo, 2008: 61). Linge (dalam Gadamer, 1977: xiii-xiv) menjelaskan:

Hieronymus Purwanta, 2013

Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme

The far-reaching implications of this identification of understanding with scientific understanding can be seen most clearly in the work of Wilhelm Dilthey, whose aim was to establish hermeneutics as the universal methodological basis of the Geisteswissenschaften. Insofar as they adhered to the guidelines of methodical interpretation, the human studies could lay claim to a knowledge of the human world that would be every bit as rigorous as the natural sciences' knowledge of nature. Like Schleiermacher, Dilthey identified the meaning of the text or action with the subjective intention of its author. Starting from the documents, artifacts, actions, and so on that are the content of the historical world, the task of understanding is to recover the original life-world they betoken and to understand the other person (the author or historical agent) as he understood himself.

Pada kutipan tersebut Linge menjelaskan bahwa Dilthey bermaksud membangun hermeneutika sebagai landasan metodologis ilmu-ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften). Dengan mengikuti panduan metode interpretasi, ilmu-ilmu kemanusiaan akan dapat memperoleh kedudukan sebagai ilmu-ilmu yang mengkaji dunia manusia seperti halnya kedudukan ilmu-ilmu alam yang mengkaji semesta alam. Dilthey mengidentifikasi makna dari teks atau tindakan adalah maksud subjektif dari pengarangnya. Memahami merupakan usaha untuk mengungkap dunia hidup asli yang ternyatakan dan pemahaman terhadap orang lain (pengarang atau aktor sejarah) sebagaimana orang itu memahami dirinya.

Pemikiran Schleiermacher dan Dilthey tentang konteks budaya dan konteks historis sangat mungkin untuk diterapkan sebagai pendekatan dalam penelitian ini. Buku teks mata pelajaran sejarah untuk SMA Jurusan IPS ditempatkan sebagai simbol kehadiran pengarang yang dilingkupi oleh jiwa jaman ketika teks tersebut diproduksi. Dari sudut pandang ini, pemahaman tentang dinamika budaya Indonesia pada masa Orde Baru, seperti perkembangan ideologi, politik dan budaya, merupakan sebuah keharusan untuk dilakukan agar mampu memahami konteks budaya dari produksi buku teks mata pelajaran sejarah untuk

SMA Jurusan IPS. Dinamika pendidikan Indonesia pada umumnya dan dinamika pendidikan sejarah khususnya, ditempatkan sebagai konteks historis dari lahirnya buku teks mata pelajaran sejarah untuk SMA Jurusan IPS.

Pandangan Schleiermacher dan Dilthey kemudian dikembangkan oleh Heidegger. Di tangan Heidegger, hermeneutika tidak hanya sekedar metode, tetapi digali lebih mendalam sampai pada tataran hermeneutika filosofis. Ricoeur (2009: 73) menjelaskan:

...yang dipertaruhkan oleh hermeneutika filosofis adalah “bagaimana menjelaskan segala „yang ada‟ berdasarkan keadaan dasar „ke -ber-ada-an-nya‟. Penjelasan ini tidak akan menyumbangkan apapun bagi metodologi ilmu-ilmu kemanusiaan; namun ia justru akan menggali metodologi ini lebih dalam lagi untuk memperlihatkan landasannya... Hermeneutika bukanlah refleksi tentang ilmu-ilmu kemanusiaan, akan tetapi penjelasan tentang landasan ontologis yang bisa dijadikan sebagai dasar untuk menciptakan ilmu-ilmu ini.

Pemikiran Heidegger antara lain adalah tentang pemahaman bahwa teks bukan sekedar ekspresi atau ausdruck yang terpisah dari pengarangnya, tetapi teks harus dimaknai sebagai simbol kehadiran pengarang tersebut:

Dalam berbagai tulisannya pada tahun 1950-an Heidegger bermaksud mengoreksi pengertian tradisional mengenai bahasa sebagai instrumen untuk ekspresi gerak batin atau perasaan serta pandangan dunia. "Bahasa pada hakekatnya bukanlah ekspresi dan bukan aktivitas manusia. Bahasa berbicara. Hakekat bahasa adalah berbicara atau mengatakan. Mengatakan berarti menunjukkan. Terkait dengan "mengatakan" adalah "kemampuan mendengarkan", sehingga apa yang harus dikatakan dapat menunjukkan diri.. Itulah "peristiwa bahasa" (Spracherreignis). Sebagaimana diungkapkan Palmer: "Language is not an expression but an appearance of being. Thinking does not express man, it lets being happen as language event. In this letting-happen lies the fate of man and also the fate of truth, and ultimately the fate of being". Pandangan itu sangat penting dalam teori hermeneutik.. Hakekat bahasa adalah fungsi hermeneutiknya untuk membawa realitas menampilkan dirinya (Sastrapratedja, 2008).

Hieronymus Purwanta, 2013

Buku Teks Pelajaran Sejarah : Analisis Isi Dan Wacana Nasionalisme

Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa fungsi utama bahasa adalah bukan untuk berkomunikasi dengan pihak lain, tetapi untuk „menunjukkan‟, „memperlihatkan‟ dan „menyatakan‟. Fungsi tersebut menjadikan bahasa sebagai media untuk mengejawantahkan karakter eksistensial. Dengan menempatkan bahasa sebagai media untuk „menunjukkan‟, „memperlihatkan‟ dan „menyatakan‟, maka uraian dalam konten atau isi buku teks pelajaran sejarah tidak semata-mata hanya untuk menjelaskan fenomena historis, tetapi juga untuk merepresentasikan kepentingan pengarang.