• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN

B. Analisis Struktur dan Narrative Tone

1. Subjek 1 (Rd)

a. Profil

Subjek 1 berinisial Rd. Dia adalah seorang lansia wanita berusia 74 tahun. Rd sudah tinggal di Panti Wreda Hanna selama 8 tahun. Rd memiliki perawakan kecil, kurus, berkulit sawo matang, serta memiliki rambut putih dan pendek. Rd memiliki penglihatan yang kurang baik dan menggunakan alat bantu jalan.

Menurut teman – temannya di panti, Rd adalah lansia yang ramah, periang, humoris, dan suka cerita. Hal tersebut juga dibenarkan oleh pengurus dan perawat panti. Rd sangat ramah dengan orang lain dan suka menyapa. Terlihat ketika peneliti datang, Rd selalu tersenyum dan menyapa dengan ramah.

Dari hasil wawancara, Rd menyatakan bahwa dia pindah ke panti wreda atas inisiatifnya sendiri karena tidak mau merepotkan keluarga. Sebelum tinggal di panti wreda, Rd tinggal berpindah – pindah menumpang di rumah saudaranya. Hal ini dikarenakan Rd tidak menikah dan tidak memiliki anak.

Kesehariannya Rd sering terlihat menghabiskan waktu dengan temannya. Dia suka mengobrol, menonton TV bersama, dan berdoa Rosario setiap sore. Meskipun keterbatasan kondisi fisik, namun Rd masih terlihat bersemangat. Rd juga cukup mandiri. Petugas panti

menyatakan bahwa Rd sering membersihkan kamarnya sendiri, melipat baju – bajunya, dan tidak meminta tolong petugas jika dia mampu mengerjakannya sendiri.

b. Riwayat Hidup

Rd lahir dan dibesarkan di Solo pada masa kecilnya. Rd lahir dari keluarga bangsawan yang berada. Rd merupakan anak ke-11 dari 14 bersaudara. Waktu kecil, dia bersekolah di sebuah SD homogen milik yayasan Katholik di Solo. Setelah tamat SD, orang tuanya mengirimkannya ke Semarang untuk bersekolah disana. Rd sudah tinggal jauh dari orang tua pada masa SMP dan SMAnya. Dia bersekolah di sekolah Katholik dan tinggal di asrama susteran.

Rd memiliki pengalaman yang berkesan semasa SMA. Pada masa itu dia berkenalan dengan seorang pemuda ketika program sekolahnya mengadakan pertandingan volley persahabatan dengan sekolah homogen lawan jenis. Ada seorang pemuda yang mengajaknya berkenalan. Kemudian mereka saling menyukai satu sama lain. Namun, batasan lingkungan membuat mereka jarang bertemu dan tidak bisa melanjutkan hubungan mereka.

Selulus SMA, Rd pindah ke Jogja untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Rd mengambil jurusan Sastra Inggris di Universitas Gajah Mada. Setelah lulus, Rd pulang kerumahnya dan tinggal bersama orang tuanya atas permintaan ayahnya. Sebenarnya Rd ingin

sekali bekerja, namun sebagai wujud bakti kepada orang tua akhirnya Rd menurutinya. Satu tahun kemudian ayah Rd meninggal dunia. Rd kemudian pindah bersama ibunya ke rumah saudara ibunya.

Setelah ayahnya tiada, muncul kembali keinginan Rd untuk hidup mandiri dan bekerja. Kemudian dia meminta ijin untuk bekerja kepada ibunya. Rd kemudian diterima di sebuah perusahaan perkapalan di Surabaya. Rd sangat mencintai pekerjaanya. Hal ini dibuktikan dengan masa kerjanya yang sangat lama yaitu 30 tahun.

Masa kerja adalah masa yang paling mengesankan bagi Rd. Dia mendapat sangat banyak pengalaman dan pembelajaran. Rd sering bepergian ke luar negeri, bertemu dengan banyak orang dari berbagai latar belakang budaya, dan memiliki lingkungan kerja yang akrab. Rd adalah satu – satunya wanita dalam divisi pekerjaannya. Tugas – tugas pekerjaannya berat. Hal ini membuat Rd kadang merasa sangat capek dan penat. Namun, teman – temannya membuatnya bertahan melalui semua itu. Dia juga menyatakan bahwa teman – temannya menyukainya.

Pada usia 55 tahun Rd merasa lelah bekerja dan muncul keinginan untuk pensiun. Akhirnya Rd pensiun karena dia ingin beristirahat. Awal masa pensiun Rd dihabiskan untuk menikmati hasil kerjanya. Rd juga mengalami stress pasca pensium. Dia merasa bosan dan bingung karena tidak ada kegiatan dan pekerjaan. Tak lama

kemudian Rd terdiagnosis kanker. Ketika didiagnosis, Rd sudah tidak kaget lagi karena 6 dari 14 saudaranya terkena kanker. Rd melihatnya sebagai sebuah pembelajaran dari Tuhan. Sikap Rd adalah pasrah dan bersyukur. Namun akhirnya dia sembuh dari kanker.

Di hari tuanya Rd tinggal berpindah – pindah menumpang di rumah saudaranya. Lama kelamaan dia merasa sungkan. Rd lalu memutuskan untuk pindah ke panti wreda karena dia tidak ingin menyusahkan saudaranya. Sebelum di panti wreda Hanna, Rd pernah 3 bulan tinggal di panti lain. Akan tetapi, Rd kabur karena dia tidak betah akibat teman kamarnya sering menangis dan berteriak – teriak karena marah di kirim ke panti wreda. Kemudian Rd kembali lagi ke Jakarta bersama saudaranya dan kemudian pindah ke panti wreda Hanna.

Dia merasa senang dapat menemukan tempatnya sendiri untuk menghabiskan masa tuanya. Dia suka tinggal di panti wreda karena tenang dan memang sesuai untuk lansia. Selain itu di panti wreda dia bisa tinggal bersama teman. Secara umum dia bahagia dan senang tinggal di Panti wreda. Namun, akhir – akhir ini Rd terkadang merasa terusik ketenangannya karena penghuni panti bertambah banyak dan beberapa suka marah – marah. Akan tetapi, Rd menyadari bahwa panti wreda adalah pilihan terbaiknya dan dia bahagia tinggal disana.

Rd pernah jatuh di kamar mandi panti wreda pada tahun 2005. Hal ini menyebabkannya harus memakai alat bantu jalan. Harus memakai alat bantu jalan membuatnya merasa tidak senang dan trauma. Hal ini membuat Rd menjadi tidak bebas. Sebelumnya Rd sering mengunjungi keluarga dan teman – temannya di Jogja seminggu sekali.

c. Struktur Naratif

Awal :

Rd tidak memiliki banyak masalah dalam masa lalunya. Masa kecilnya tidak banyak digambarkan. Rd terlihat bangga dengan identitasnya sebagai keluarga bangsawan. Hal ini ditekankan berulangkali:

“saya ini keturunan bangsawan lho…”

“mami papiku kan masih keturunan bangsawan”.

Masa SMA Rd juga digambarkan sebagai masa yang menyenangkan. Pengalaman tak terlupakan adalah ketertarikannya terhadap lawan jenis. Pengalaman dekat dengan seorang pemuda menjadi bagian menarik dalam kehidupan SMAnya.

“kan namanya sekolah cewek semua, kan seneng toh waktu itu suster kepala bilang ada acara bersama SMA Kanisius. Itu kan sekolah cowok semua.”

“waktu itu ada cowok datangi saya, namanya Frans. Dia tanya namamu siapa? Rudolphin, biasa dipanggil Ruth. Oh, saya Frans. Trus kami kenalan, ngobrol, dan duduk bareng.”

“saya berharap kalau pagi papasan dengan busnya yang dari arah bruderan. Waktu itu kami papasan, saya duduk dekat jendela, dia juga. Kita ngapain coba? Tuker – tukeran surat cinta.”

Masa SMAnya juga digambarkan mengalami banyak batasan – batasan:

“di asrama kan juga ketat, tidak bisa pergi – pergi kayak anak sekarang.”

“tadinya kan pengennya kan bisa berangkat bareng, tapi kan gak mungkin.”

“Ya tapi ya sampai disitu saja, gak bisa pacaran. Kan juga memang gak bisa keluar –keluar sembarangan.”

Hasil wawancara juga diketahui sedikit mengenai relasi subjek dengan orang tuanya. Sebagai seorang anak, subjek memiliki nilai penting akan kepatuhan kepada orang tua sebagai wujud baktinya:

“Lulus saya gak langsung kerja. Saya balik ke rumah dengan papi mami. Papiku malah bilang aku gak usah kerja dulu. Kan namanya anak kan sama orang tua kan harus berbakti ya.” “Ya namanya anak sebenarnya gak tega kasihan juga ninggalin orang tua, tapi ya bagaimana? Saya pengen kerja.. pengen mandiri. Terus saya ijin ke mamiku.”

Masa dewasanya banyak bercerita mengenai karirnya. Subjek bangga dengan pencapaian kerja dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya:

“ Jarang ada perempuan bisa dapat pekerjaan dan jabatan seperti saya.”

“kan orang perempuan dulu susah to kalau mau sekolah sampai tingkat tinggi. Apalagi bisa berbahasa Inggris dan Jerman lancar.”

Masa kerja merupakan masa yang paling mengesankan bagi Rd: Peneliti: “Pengalaman apa yang paling menarik dalam hidup ibu?”

Rd : “Ya waktu saya bekerja itu. Kan senang banyak yang dialami.”

Muncul tema kebutuhan berafiliasi subjek pada masa kerjanya: “Menyenangkan lho saya jadipunya banyak teman.” “Senangnya ya temannya banyak.”

“Kalau kemana – mana ada kenalan. Kalau ketemu saya disapa dipanggil gitu. Kan seneng ya rasanya.”

Peran teman dalam mengatasi stress kerjanya juga dirasa sangat penting pada masa itu:

“Kerjaan saya itu kan menyenangkan tapi kan itu tanggung jawabnya besar. Kalau tidak ada teman kita tidak bisa jalan.” “Waktu itu coba kalau saya tidak punya teman, pasti sudah

stress dan tidak betah.”

Tengah

Pada usia 55 tahun Rd merasa capek bekerja dan ingin pensiun supaya bisa beristirahat:

“sudah tua ya, sudah capek, pingin istirahat.”

Setelah pensiun subjek sempat tinggal dirumahnya sendiri. Tak lama kemudian dia memilih untuk menjualnya dan tinggal di Bali dengan keluarganya. Pada awal masa pensiunnya, Rd mengalami stress pasca pensiun. Rd merasa bingung dan bosan karena tidak ada yang bisa dikerjakan dan kegiatan. Kebingungan tersebut juga menimbulkan kegelisahan pada diri Rd.

“ Bingung ya rasanya, tidak ada yang dikerjakan, sekarang hanya di rumah saja.”

“Bingung mau ngapain, rasanya mau tenang mau istirahat tapi kok rasanya gak bisa. Gak tenang. Kayak stress gitu ya soalnya gak bisa ngapa –ngapain.”

Rd sempat mendapat pengalaman mengagetkan karena didiagnosis penyakit kanker setelahnya. Tapi akhirnya subjek menerima dan pasrah karena menganggap kejadian itu sebagai suatu hal yang diluar kemampuannya. Peran religius dimunculkan sebagai upaya untuk memahami dan menerima diagnosa. Hal ini mengarahkan Rd kepada perasan syukur atas hidup yang telah diberikan.

“Waktu tau itu kanker ya saya kaget, namanya juga penyakit berat ya. Tapi saya kemudian menerima. Kan mau bagaimana lagi?.”

“hidup dan mati itu ada di tangan Tuhan. Tuhan yang memberi.”

“Saya sudah diberi hidup cukup panjang. Kalau waktu itu saya dipanggil saya menerima. Saya sudah diberi hidup yang cukup panjang, rejeki, pengalaman, dan hidup yang baik.” Kesembuahan dari penyakit kanker tersebut dianggap sebagai mukjizat dari Tuhan. Selain itu fenomena itu dianggap sebagai bukti kebesaran Tuhan dan cinta Tuhan terhadap dirinya. Hal tersebut membuatnya lebih bersyukur.

“Tuhan masih menghendaki saya hidup. Saya bersyukur. Tuhan masih sayang sama saya. Itu adalah mukjuzatnya bukti kebesarannya.”

Setelah itu Rd pindah ke Jakarta untuk tinggal bersama saudaranya. Kemudian Rd tidak tinggal menetap di Jakarta. Dia tinggal berpindah – pindah menumpang di rumah saudaranya. Lama kelamaan Rd merasa tidak nyaman. Ada juga perasaan merepotkan saudaranya.

“Saya kan tidak berkeluarga. Saya ya menumpang di tempat kakak adik saya. Ke Surabaya, Jakarta, Jogja, ke Bali lagi. Gitu terus. Kok lama – lama saya kepingin nyari tempat saya sendiri.”

“gak enak juga lama – lama pindah – pindah terus. Rasanya tidak punya tempat sendiri.”

“pengen ya cari tempat sendiri, itu sudah keinginan saya, saya tidak mau merepotkan saudara.”

Akhir :

Setelah merasa tidak nyaman tinggal berpindah – pindah itu akhirnya muncul ide untuk pindah ke panti wreda. Rd menggambarkan bahwa kehidupannya bahagia dan dia merasa senang dengan keputusannya itu. Perasaan tidak senang akibat konflik intrapersonal atau gangguan dari lingkungannya dianggap suatu hal yang biasa dan tidak menimbulkan penyesalan.

“saya lebih senang disini kok walaupun kadang ada masanya gak betah sekali.”

“saya juga sudah mempertimbangkan, memang disini tempat yang saya cari, yang memang terbaik buat saya.”

“masalah itu kan biasa, namanya juga tinggal dengan orang lain, kalo disikapi dengan bijaksana nanti lama – lama hilang sendiri.”

Masa tuanya setelah tinggal di panti dimaknai secara positif oleh nilai – nilai pertemanan dan religius. Subjek merasa bahwa senang tinggal bersama teman – temannya dan bisa memiliki banyak teman:

“Senangnya ya kalau disini walaupun saya sudah tua saya punya banyak teman.”

Nilai pertemanan dianggap sangat penting hingga ditekankan berulang – ulang:

“Kalau tidak punya teman itu hidup kita tidak akan bisa bahagia, mau sekaya apapun, setinggi apapun jabatannya, yang membuat hidup kita semakin kaya adalah teman.”

“Kita ini kan tidak hidup sendiri, kita harus setia kawan, pertemanan itu penting.”

Nilai religius juga muncul dalam prinsip hidup subjek. “Hidup itu yang penting ya lurus –lurus saja.”

“selalu ingat dengan Tuhan yang telah memberi kita hidup, bersyukur, dan kita itu hidup juga harus ingat pada orang lain.”

d. Narrative Tone

Narrative tone pada narasi hidup Rd adalah Stable

Optimistic. Smith (2008), menyatakan bahwa orang – orang yang

memiliki narasi yang stabil berpikir bahwa hidup itu berubah namun tetap berjalan. Selain itu biasanya pada narasi stabil, orang cenderung menyampaikan serangkaian sejarah atau sebuah kejadian yang pernah dialami. Hal ini sesuai dengan narasi hidup Rd. Rd menyajikan ceritanya dengan menceritakan rentetan kejadian – kejadian dalam hidupnya, dan cenderung lengkap dan dapat dikonfirmasikan.

Beberapa hal juga mendukung bahwa narasi Rd adalah stabil. Rd menghadapi beberapa masalah dalam hidupnya. Akan tetapi, masalah – masalah tersebut tidak menjadikan Rd menjadi regresif. Kisah hidup Rd cenderung stabil, tidak banyak perubahan. Serangkaian kisah hidupnya di gambarkan positif dan membahagiakan. Respon Rd terhadap masalah – masalah yang

dihadapinya juga cenderung sama. Rd cenderung memaknai secara lebih positif akan masalah yang dialaminya. Kisah hidupnya yang membahagiakan ditengarai oleh kuatnya nilai pertemanan pada diri Rd, hal tersebut juga sekaligus membuat Rd mampu bertahan melalui masalah – masalahnya.

Selain itu narasi dari kisah hidup Rd cenderung diwarnai tema – tema optimistik. Meskipun Rd beberapa kali menghadapi masalah dalam kehidupannya, namun Rd cenderung melihat masalahnya sebagai sebuah tantangan yang akan memberikannya warna dalam kehidupanya. Smith (2008) menyatakan bahwa narasi yang bersifat optimistik dimiliki oleh orang – orang yang menganggap sebuah penyakit atau permasalahan akan memberikan kesempatan baru.

2. Subjek 2 (Sn)

a. Profil

Subjek ke 2 berinisial Sn. Sn adalah lansia wanita berusia 74 tahun. Sn sudah 7 tahun tinggal di panti wreda Hanna. Sn berperawakan tinggi, agak gemuk, berkulit putih, memiliki rambut dengan panjang sebahu dan berwarna hitam. Meskipun sudah berusia 74 tahun, namun Sn masih bugar dan cukup aktif.

Sn sering berjalan – jalan di sekitar panti untuk membeli kue atau pergi ke gereja pada sore hari. Menurut keterangan pengurus, Sn agak tertutup dan paling rajin mengikuti kegiatan keagamaan di panti.

Sn sering berada di kamarnya untuk menonton tv atau mengobrol dengan seorang teman baiknya. Sn memiliki seorang teman baik di panti. Sn dikatakan ramah oleh petugas dan beberapa lansia lain, namun agak tertutup.

Ibu Sn tinggal sendiri di sebuah kamar di panti wreda Hanna. Dia memiliki sebuah televisi dan lemari es kecil di kamarnya. Kamarnya cukup luas karena ditinggali sendiri. Selain itu ibu Sn juga memiliki cukup ruang untuk privasinya. Biasannya Sn sering mengunci kamarnya ketika ingin meninggalkan ruangan atau berada didalam. Hal ini dilakukan karena Sn mengaku bahwa makanannya sering di curi oleh orang lain.

Dari hasil wawancara, Sn pindah ke panti wreda atas kemauannya sendiri. Sn tidak menikah. Setelah pensiun dia sempat tinggal dirumahnya sendiri bersama saudaranya yang juga tidak menikah. Namun akhirnya mereka berdiskusi, dan memutuskan untuk pindah ke panti wreda sebagai pilihan terbaik.

b. Riwayat Hidup

Sn lahir dan di besarkan di Solo. Semasa SD, SMP, dan SMA dia habiskan di Solo Sn selalu disekolahkan oleh orang tuanya di sekolah homogen milik yayasan Katholik. Sn menyatakan bahwa orang tuanya mendidiknya dengan sangat disiplin, keras, dan kolot. Subjek tidak boleh bermain, sepulang sekolah harus segera bekerja,

dan tidak diijinkan untuk bergaul dengan pribumi. Dalam kesehariannya Sn juga lebih banyak menggunakan bahasa mandarin dan hokkian.

Selulus SMA subjek pindah ke Jogja untuk melanjutkan studinya ke perguruan tinggi. Di perguruan tinggi Sn mengalami kesulitan dalam masa penyesuaian. hal ini terutama dalam penyesuaian bahasa dan pergaulan. Biasanya Sn banyak menggunakan bahasa mandarin namun di perguruan tinggi Sn dituntut mampu menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan baku. Selain itu Sn juga tidak pernah bergaul dengan teman lawan jenis. Hal ini menyebabkan Sn sulit membangun relasi dengan lawan jenis.

Setelah lulus kuliah kemudian Sn pindah ke Semarang untuk bekerja. Sn sempat beberapa kali berganti pekerjaan. Pertama kali Sn membuka bisnis toko obat cina di semarang, kemudia beralih ke bisnis konveksi, dan pekerjaan terakhir Sn adalah sebagai akuntan keuangan di bagian bisnis berlian.

Masa ketika bekerja adalah pengalaman menarik Sn. Hal yang paling dia senangi adalah kekompakan tim kerja dan atasan yang baik hati. Namun Sn juga mendapatkan persaingan tidak sehat dari rekan kerjanya yang iri. Bagi Sn yang terpenting adalah menyelesaikan tanggung jawab pekerjaan sebaik – baiknya dan tetap bersikap baik dengan orang lain. Jika ada ketidakcocokan lebih baik mengalah dan

mengambil jarak. Masalah interpersonal harus dihindari karena tidak baik untuk hubungan kedepannya dan tabu jika diketahui orang lain.

Setelah pensiun Sn tinggal bersama kedua saudaranya. Mereka sama – sama tidak menikah pada waktu itu. Mereka saling berjanji untuk saling bantu sampai akhir hayat. Namun akhirnya kakaknya menikah dengan karyawannya yang usianya jauh dibawahnya. Sn tidak cocok dengan istri kakaknya. Dia dan adiknya berdiskusi mengenai hari tua mereka. Akhirnya Sn memutuskan untuk pindah ke panti wreda.

Panti wreda dirasa sebagai keputusan terbaik bagi Sn. Dia senang tinggal disana. Meskipun sempat terjadi konflik interpersonal yang besar karena Sn di fitnah oleh orang lain. Sikap Sn adalah mengalah, tetap bersabar, memaafkan, akan tetapi mengambil jarak agar menghindari masalah. Dia memiliki seorang teman baik yang cocok dengannya. Dia mampu bersosialisasi dengan warga panti lainnya meskipun hubungannya tidak dekat. Sn merasa bersyukur karena hidupnya dirasa lebih beruntung dari pada para lansia lain yang tinggal di panti wreda. Sesekali Sn suka berbagi makanan dan ikut menyumbang bagi lansia panti yang diterlantarkan keluarganya.

c. Struktur Naratif

Masa kecil Sn digambarkan penuh dengan batasan – batasan dari orang tua maupun dari lingkungan sekolah. Sn diawasi secara ketat, tidak diijinkan bermain, dan tidak diijinkan untuk bergaul dengan pribumi. Sedangkan di sekolah lingkungan pertemanannya dibatasi hanya pada sekolah homogen saja. Gaya pengasuhan orang tuanya dimaknai secara positif dengan memahami bahwa segala sesuatu memiliki sisi positif dan negatif.

“Tapi kan niat orang tua sebenarnya itu mau meluruskan kita ya. Tapi caranya saja yang berbeda dengan orang tua jaman sekarang, yang lebih modern.”

“tapi semuanya itu ada sisi baik dan buruknya ya.”

Ketika memasuki perguruan tinggi, Sn mendapat kesulitan dalam proses adaptasi. Terutama masalah penggunaan bahasa dan kehidupan sosial. Sn membutuhkan penyesuaian bahasa selama satu tahun karena di perguruan tinggi dia dituntut untuk menggunakan bahasa Indonesia yang baku. Padahal dalam kesehariaannya subjek lebih banyak menggunakan bahasa hokkian, mandarin, dan campuran jawa – Indonesia.

“saya juga dulu masuk kuliahnya terlambat. Kan penyesuaian, sejak kecil kan sekolahnya bahasa mandarin ya, tapi kan waktu kuliah bahasa Indonesia. Buku – buku pelajaran juga bahasa Indonesia.”

Masalah kedua adalah masalah menjalin relasi pertemanan dengan lawan jenis. Sn merasa tidak terbiasa dan kurang nyaman untuk berinteraksi dengan lawan jenis:

“Dulu kan sekolahnya perempuan semua ya, jadi waktu kuliah ya susah ya. Soalnya kalo kuliah kan campur ya, cewek dan cowok.”

“Ada rasa kurang terbiasa ya, jadi susah juga mau cari teman laki –laki.”

Bagi Sn yang paling mengesankan adalah masa ketika dia bekerja di perusahaan yang bergerak di penjualan dan pembelian berlian. Pengalaman menyenangkan adalah ketika memiliki tim kerja yang kompak:

“ Yang paling berkesan ya waktu bekerja ya.”

“Kan senang disana teman – temannya kompak ya. Kita saling membantu.”

“saya senang waktu bekerja.”

Akan tetapi, ada pengalaman tidak menyenangkan ketika bekerja yaitu adanya persaiangan tidak sehat. Hal ini dianggap Sn karena adanya ketidak cocokan dan perasaan iri terhadap dirinya.

“Biasa orang ka nada yang tidak suka, ada yang sifatnya buruk juga.”

“Ada orang yang iri, ingin menjatuhkan, persaingan, tidak suka melihat kita sukses begitu.”

Sn melihat bahwa persaingan di dunia kerja itu pasti ada, dan ada kalanya kita tidak cocok dengan orang lain. Bagi Sn yang paling

penting adalah mengontrol agar tidak terjadi perselisihan dengan orang lain dengan cara mengambil jarak, tetap bersikap baik, dan menghargai jika terjadi perbedaan pandangan.

“Tapi persaingan ya kalo kerja.”

“Dimanapun begitu. Apalagi ya nanti kalo sudah terjun di dunia pekerjaan nanti kamu akan merasakan. Ada persaingan.” “Orang yang tidak cocok itu kalau terlalu dekat itu malah

Dokumen terkait