• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I. PENDAHULUAN

E. Tinjauan Kepustakaan

4. Subjek-subjek Dalam Tindak Pidana Penyeludupan

Yang dapat ditindak (dituntut) karena melakukan tindak pidana penyeludupan sesuai Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi (Undang-Undang No.7 Drt th. 1995) ialah: 10

I. Seseorang yang melakukan tindak pidana ekonomi (misalnya melakukan tindak pidana penyeludupan).

Contoh : Si A memasukkan barang-barang dari luar negeri tanpa dokumen pemasukan atau dengan dokumen palsu (melanggar pasal 26 b subs pasal 25 RO jo pasal 6 Undang-Undang No.7 drt. Jo ini perlu (dapat) juga ditambahkan/dikaitkan Undang No. 21 prp 1959 atau Undang-Undang No.5 Pnps 1959 tentang memperberat ancaman hukuman terhadap

10

Prof. DR. H. Baharudin Lopa, SH. Tindak Pidana Ekonomi Pembahasan Tindak Pidana Penyeludupan. (Jakarta: Pradnya Paramita), hal. 174-184

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

tindak pidana ekonomi apabila tindak pidana itu dapat menimbulkan kekacauan ekonomi atau dapat mengganggu program Pemerintah di bidang sandang pangan.

II. Bebarapa orang yang secara bersama-sama (turut serta) melakukan tindak pidana ekonomi. Dalam hal ini mereka bersama-sama melakukan tindak pidana. Di sini disyaratkan bahwa semua pelaku telah melakukan perbuatan pelaksanaan atau melakukan elemen dari pariwisata pidana, walaupun masing-masing peserta (medepleger, deelnemer) tidak mengerjakan keseluruhan elemen.

Contoh :

i). A yang membuat dokumken palsu dan yang menyerahkan kepada pejabat Bea Cukai, sedangkan B dan C mengurus dan mendapatkan truck-truck untuk mengeluarkan bersama-sama barang-barang itu sehingga barang-barang itu lolos ke luar pelabuhan dibawa bersama-sama oleh A, B, dan C.

A, B, dan C di sini telah bersama melakukan penyeludupan sehingga antara satu terhadap yang lain secara timbal balik bertanggung jawab bagi perbuatan mereka bersama-sama (pasal 26 b subs RO jo pasal 3 dan pasal 6 Undang-Undang No.7 Drt th. 1995 jo. Undang-undang No. 21 Prp 1959 jo pasal 55 KUHP).

ii). A membujuk B supaya pada malam hadi A dapat memasukkan barang-baranbg dari luar pabean ke daerah pabean secara tidak sah yaitu didaratkan ke pantai-pantai, jadi diseludupkan, dengan janji kalu berhasil, si B akan diberikan komisi Rp.1000,- per kilo yang

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

berisi tekstil. B berhasil melakukannya, maka ia di hukum karena dipersalahkan sebagi orang yang melakukan delik, tapi A juga dihukum sama seperti B karena telah melakukan pembujukan. Adakalanya terjadi bahwa si A membujuk si B, untuk melakukan penyeludupan, permupakatan sudah jadi, tapi kemudian si B tidak jadi melakukan delik, jadi pelanggaran tidak ada, maka baik si A maupun si B tidak dapat dihukum. Lain halnya pada mislukte uitlokking (pembujukan yang gagal) terhadap kejahatan ketertiban umum seperti di uraikan pasal 163 bis KUHP, maka khusus untuk itu, si pembujuk dapat dihukum.

Sehubungan apa yang dibicarakan di atas, perlu dibandingkan putusan Pengadilan Tinggi Ekonomi Jakarta tanggal 18 juli 1959 No. 3/1959 yang diperkuat oleh Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 23 Januari 1962 No. 52 K/Kr/1960 atas kasus penyeludupan impor di Ambon (Maluku) dalam tahun 1958, yang telah menghukum para terdakwa karena terbukti kesalahannya, yaitu terhadap pedagang yang atas namanya barang-barang dimasukan dinyatakan telah mencoba dengan sengaja mengimpor barang-barang tanpa surat-surat yang diperlukan sedangkan nahkoda kapal yang mangangkut barang-barang tersebut dihukum karena kesalahannya sebagai turut melakukan kejahatan mencoba dengan sengaja mengimpor barang-barang tersebut dengan tanpa surat-surat yang diperlukan. Pada kasus ini, barang-barang yang diseludupkan itu sudah ditangkap, sebelum pengejuan PPUD-nya.

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

iii). Adakalanya si otak penyeludup setelah barang-barang seludupan tiba di rumahnya/di tokonya diantar oleh orang-orang lain, pada waktu tertangkap ia berusaha mencuci tangan dengan mengatakan bahwa ia hanya membeli dari orang-orang tertentu. Maka dalam menghadapi kasus demikian, seandainya sulit di buktikan sebagai turut serta atau membantu dalam delik penyeludupan (pasal 26 b RO jo pasal 3, 4, dan pasal 6 Undang-Undang No.7 Drt tahun 1955 jo Undang-undang NO.21 Prp 1959 jo pasal 55 KUHP), namun setidak-tidaknya dapat dikenakan telah melanggar pasal 480 KUHP. (penadahan).

Pada tindak pidana penyeludupan, umumnya tindak pidana ekonomi yang dibebankan juga pertanggung jawab kepada pimpinan suatu perusahaan melakukan delik itu. Seperti kesalahan, bawahan turut dipertanggungjawabkan oleh pimpinan karena misalnya pemimpin (direkturnya), mungkin karena kesibukannya sehingga lalai memberi petunjuk atau meneliti pekerjaan bawahannya sehingga terjadilah pelanggaran. Kesalahan pemimpin di sini ialah turut serta melakukan dengan kelalaian (pasal 26 b subs RO jo pasal 3 dan 6 Undang-Undang No.7 Drt tahun 1955 jo. Undang-Undang-Undang-Undang No. 21 Prp. 1959 jo. Pasal 55 KUHP).

Mengenai ini Dr. Soepraoto (hal. 48) memberikan contoh: “Seseorang pegawai dari suatu perusahaan impor milik suatu perseroan terbatas, karena kekhilafan dalam menggunakan bahan-bahan untuk menghitung harga suatu jenis barang telah mendapatkan angka yang lebih tinggi dari pada harga yang diperkenankan oleh Jawatan Harga, sedangkan manajer dari perusahaan itu karena

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

kesibukannya dan percayanya pada bawahannya, yang pada umumnya jarang membuat kesalahan, tidak mengecek perhitungan harga tersebut dan barang-barang yang bersangkutan segera ditawarkan dan dijual kepada khalayak ramai. Bagi manajer yang bersangkutan dapat dituntut sebagai turut serta melakukan delik karena kelalaian.

Jadi jelaslah peranan badan tersebut ialah melakukan delik itu karena kelalaian, dari pada untuk menganggap badan itu telah melakukannya sendiri, karena menurut kenyataan memang bukan badan itulah yang melakukan perbuatan. Pertanggungan jawab bagi badan tersebut dianggap layak, karena ia berkuasa untuk mengangkat petugas-petugas yang tepat untuk masing-masing fungsi yang ada pada perusahaan dan begitu pula melaksanakan pengawasan baik langsung maupun tak langsung atas semua bidang pekerjaan dalam lingkungan badan tersebut.

Bahwa turut dengan kelailaian melakukan pelanggaran termasuk pemberian bantuan atau percobaan untuk melakukannya seperti yang terurai dalam pasal 4 Undang-Undang No. 7 Drt 1955 adalah dibenarkan oleh logika karena betapapun kecilnya kesalahan (misalnya karena dilakukan dengan kelalaian) namun hal tersebut perlu diminta pertanggungan jawab satu dan lain akan berguna untuk mendorong berbuat lebih berhati-hati.

Mengapa badan KUHP berkenaan dengan turut melakukan (medeplegen) tidak ditemukan bahwa pemberian bantuan pada pelanggaran dapat dihukum dan mengapa dalam delik khusus (delik ekonomi) dihukum, kiranya pertimbangan perlunya memantapkan kesejahteraan rakyat merupakan pula pertimbangan pokok, karena dengan banyaknya dilanggar delik ekonomi berarti dapatnya

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

mengganggu tujuan pemerintah dalam memantapkan kehidupan ekonomi rakyat menuju kesejahteraan rakyat. Adapun kelalaian seseorang dapat mengakibatkan pelanggaran, bagi orang yang bersangkutan telah kita ketahui dalam hal

pelanggaran-pelanggaran atau kejahatan-kejahatan dengan kelalaian (culpoze misdrijven), sehingga beberapa orang yang lalai dapat turut melakukan

suatu pelanggaran.

Bandingkan putusan yang pernah diambil oleh Read van Justitie Batavia (T. IV. 164), bahwa pertanggung jawaban pidana dari seseorang yang melakukan pemberitahuan salah atas barang-barang yang diimpornya, maka kecuali ia sendiri dihukum, juga pemimpinnya (direkturnya) dapat juga dilakukan tuntutan terhadapnya (De Nederlandsch’ Indische Rechtspraak en Rechtsliteratuur van 1908 to 1917, oleh Mr. J.H. Abendanon. Hal. 176).11

Selain itu perlu juga diperhatikan pasal 15 ayat 2 Undang-Undang No. 7 Drt tahun 1955 yang menganggap bahwa perbuatan pidana, dalam hal ini termasuk yang melakukan dengan sengaja maupun dengan kelalaian, yang dilakukan oleh orang-orang yang berdasarkan hubungan kerja lain bertindak dalam lingkungan suatu badan yang dimaksudkan itu, sebagai perbuatan yang dilakukan oleh badan itu sendiri. Sebelumnya pendiri di atas didukung oleh Hoog Gerechtshof, melalui putusannya yang pernah diambil dalam suatu kasus yang berhubungan pasal 28 RO, di mana telah ditetapkan bahwa seseorang yang berkedudukan selaku kuasa dari salah satu firma yang menyerahkan dokumen yang tidak benar isinya, maka kecuali orang yang dikuasakan itu dapat dihukum, juga Firma itu sendiri tidak lepas dari tututan. 12

11

Mr. J.H. Abendanon, hal.176

12

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

III. Seseorang yang memberikan bantuan pada atau untuk melakukan tindak pidana (pasal 26b RO jo pasal 4 dan 6 Undang-Undang No. 7 Drt 1955 jo pasal 56 KUHP).

Contoh:

A berdiri di pantai mengamat-amati petugas guna memberikan kode kepada B dan C kalau petugas-petugas sedang datang, untuk menjamin amannya pemuatan/pembongkaran barang-barang seludupan yang sedang dilakukan oleh B dan C, A di sini berstatus pembantu.

Contoh lain, petugas-petugas Bea dan Cukai tinggal diam (tidak memeriksa) barang-barang yang dimuat/dibongkar, padahal berdasarkan kewajibannya, seharusnya mereka periksa, di mana kemudian ternyata barang-barang yang dimuat/dibongkar itu tidak dilindungi dokumen-dokumen yang diperlukan. Maka petugas Bea dan Cukai yang bersikap tinggal diam itu, telah melakukan juga ”perbuatan membantu”. Apabila ia sendiri misalnya turut memalsukan dokumen, maka ia bukan pembantu, tetapi turut serta. Selanjutnya dapat juga terjadi, si A (seseorang buruh pelabuhan) yang mengetahui betul situasi penjagaan di pelebuhan, tiba-tiba bertemu si B dan kepada si B diceritakanlah hari-hari tertentu di mana penjagaan di pelabuhan tidak ada, sehingga mudah melakukan penyeludupan-penyeludupan. Si B yang mula-mula tidak ada niat menyeludup, setelah memeperoleh keterangan dari si A sehingga ia melakukan penyeludupan-penyeludupan. Perbuatan si A sini,

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

bukanlah membantu, tetapi adalah pembujukan (pasal 55 KUHP). Jadi dalam hal ini walaupun si A, sesuai kedudukan sosialnya biasanya berperan sebagai pembantu, tetapi karena ia yang mula-mula berinisiatif menceritakan yang bersifat mendorong kepada si A dapat menjadi bukan pembantu tetapi adalah membujuk (hukuman bagi pembujuk lebih berat dari pada pembantu). Perberian bantuan terhadap delik kejahatan maupun pelanggaran dalam tindak pidana ekonomi, dihukum.

IV. Percobaan melakukan tindak pidana

Mengenai persoalan ini, cukup kiranya apa yang telah diuaraikan di bagian muka.

Salah satu perbedaan yang menonjol antara sisten KUHP dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi ini, ialah bahwa dalam KUHP pasal 54 dan 60 ditetapkan ”membantu melakukan pelanggaran tidak dihukum”, sedangkan dalam Undang-Undang No.7 Drt tahun 1955 pasal 4 berbunyi ”jika dalam Undang-Undang Darurat ini tersebut tindak pidana ekonomi pada umunya atau tindak pidana pada khususnya, maka di dalamnya termasuk pemberian bantuan atau untuk melakukan tindak pidana itu dan percobaan untuk menetapkan sebaliknya.

Dan oleh karena dalam Rechten Ordonnantie tidak ada ketentuan yang menetapkan sebaliknya, maka berlakulah pasal 4 Undang-Undang NO. 7 Drt tahun 1955 tersebut.

Dalam mempersoalkan siapa-siapa yang dapat ditentukan dalam peristiwa tindak pidana penyeludupan ini, perlu diperhatikan edaran Dirjen Bea Cukai tanggal 5 Januari 1972 No. KBT/SK/DDBT/72/4 sehubungan dengan berlakunya Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Menteri Perhubungan tanggal 9 Juni 1971 No Kep-425/MK/III/6/1971/ SK.168/M/1971 yang kami kutip isinya sebagai berikut:

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

Dalam Ordinansi Bea sehubungan pengematan hak-hak cq. pungutan-pungutan Negara atas barang-barang impor pada dasarnya diletakkan kewajiban/tanggung jawab kepada:

i). Pengangkut barang-barang tersebut dari luar daerah Pabean ke Pelabuhan tujuan dalam daerah Pabean;

Tanggung jawab ini dibebankan kepada nahkoda kapal dan mulai berlaku sejak ia menerima barang-barang tersebut sebagai muatan kapal, tetapi baru mulai terkena dangan ketentuan dalam Ordonansi Bea setelah memasuki Perairan Wilayah Indonesia cq. daerah Pabean Indonesia. Dalam Surat Keputusan Bersama ini lebih dipertegas atau diatur lebih lanjut cara-cara nahkoda mempertanggungjawabkan muatanya dalam rangka pandapatan negara dimaksud, yakni dalam pasal 1 kewajiban untuk mencantumkan semua barang dagangan yang berada di kapalnya dalam menifest ruangan yang dicantumkan dalam Bill of Loading (konosemen) barang-barang bersangkutan.

ii). Pemilik barang :

Tanggung jawab mulai dibebankan kepanya segera setelah tanggung jawab nahkoda berakhir yakni dengan pembongkaran barang-barang bersangkutan di pelabuhan tujuan. Tanggung jawab terhadap barang-barang impor oleh pemiliknya, menjadi nyata dalam bentuk kewajiban pemberitahuan barang-barang bersangkutan kepada Bea dan Cukai dengan perbuatan invoerpas di mana diwajibkan memberitahukannya sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Ordonensi Bea.

Surat Keputusan Bersama termaksud menekankan pada pengaturan tentang kewajiban-kewajiban dan tanggung jawab nahkoda, jadi sejak

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

kapalnya memasuki sampai pada penyerahan pemberitahuan umum dan pembongkaran barang-barang bersangkutan di pelabuhan tujuan. Dalam surat keputusan bersama ini diatur atau ditegaskan lebih lanjut

bahwa jika pada pemeriksaan di laut atau di pelabuhan singgah ternyata ada barang-barang yang tidak dimasukkan dalam manifest, maka perbuatan ini dianggap sebagai usaha/percobaan penyeludupan sesuai dengan ketentuan dalam pasal 26b Ordonansi Bea, demikian pun juga apabila ditemukan kekurangan atau kelebihan jumlah kilo pada pemberitahuan umum. Sekalipun dalam surat keputusan bersama bahwa nahkoda wajib juga memberitahukan jenis barang secara umum, sehingga jika pemeriksaan di laut/pelabuhan singgah ternyata bahwa isi muatan yang diberitahukan tidak sesuai, maka nahkoda tersebut bertanggung jawab pada jumlah, jenis merk dan nomor muatan.

Tanggung jawab tentang jenis dan jumlah barang di dalam muatan dibebankan kepada pemilik barang yang ia berkewajiban memberitahukan dalam invoerpas. Benar tidaknya pemberitahuan pada invoerpas bersangkutan, baru dapat diketahui pada waktu pemeriksaan barang di gudang-gudang di pelabuhan tujuan.

Dalam hal ternyata bahwa isinya tidak sesuai dengan pemberitahuan dalam invoerpas dan mungkin juga tidak sesuai dengan manifes atau pemberitahuan umum maka nahkoda tetap tidak ditutut karena kesalahan ini, melainkan hanya pemiliknyalah yang dikenakan tuntutan sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Ordonansi Bea, yakni ditutut karena pemberitahuan yang tidak benar.

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

Dalam hal-hal pada pemeriksaan di laut/di pelabuhan singgah kedapatan isi kilo yang tidak sesuai dengan yang disebut pada manifest, maka wajib diambil tindakan-tindakan pengamatan di pelabuhan tujuan segera diberitahukan tentang hal itu.

Kalau melihat petunjuk Dirjen Bea Cukai yang diberikan secara umum ini, diakui berguna untuk memudahkan dalam menetapkan secara cepat siapa-siapa yang akan dituntut dalam hubungan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi atas ketentuan-ketentuan dalam surat keputusan bersama yang disebut di atas. Asal saja penerapannya selalu disesuaikan dengan perbuatan-perbuatan yang terjadi secara konkrit, sehingga tidak selamanya selalu harus diadakan pemisahan tanggung jawab antara nahkoda dengan pemilik barang atau dengan pihak-pihak lain sebagaimana lazimnya terjadi. Karena lazim terjadi adanya kerja sama, maka tidaklah tepat kalau selamanya dapat dipisahkan pertanggung jawab antara nahkoda dengan pemilik barang. Sesungguhnya mulai dari pelanggaran AA, pemilik barang sudah dapat turut dimintai pertanggung jawab, misalnya kalau si pemilik barang sejak semula membujuk melebihkan dimuat(jumlah koli atau isi koli berbeda dengan yang diuraikan dalam manifest dan/atau AA). Bahkan dalam praktek sulit diyakini bahwa tidak mungkin pemilik barang tidak mengetahui adanya kelebihan-kelebihan atau menipulasi-manipulasi kecuali barang yang menjadi obyek manipulasi itu, bukan miliknya mengadakan manipulasi-manipulasi tersebut.

Andaikata misalnya dengan berpegangan pada pasal 25 Ib RO yang secara terbatas menguraikan bahwa hanya nahkoda dapat dipidana, atau hanya pemilik barang yang dapat dipidana pada pelanggaran pasal 25 IIc, begitupun sebaliknya

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

yaitu pemilik barang membujuk nahkoda agar membuat manifest atai AA yang salah? Maka dalam hal ini berdasarkan alasan yang kami kemukakan di atas, apabila terjadi demikian maka nahkoda dapat dikenakan juga tuduhan malanggar pasal 25 IIc yo pasal 55, 56 KUHP, demikian pula pemilik barang dapat dikenakan melanggar pasal 25 Ib yo pasal 55, 56 KUHP.

Jadi pada keadaaan-keadaan demikian, masing-masing dapat menjadi medepleger yaitu pemilik sebagai medepleger dan nahkoda menjadi dader ex pasal 25 Ib RO; sedangkan yang lainnya nahkoda sebagai medepleger dan pemilik adalah dader ex pasal 25 IIc. (Perhatikan pula pasal 4 UU No.7 Drt 1955).

Selanjutnya nahkoda dikategorikan sebagai turut serta melakukan percobaan penyeludupan (pasal 26b) berdasarkan Skep Bersama atau pasal 25 Ia, b dalam hal ini di luar ketentuan Skep Bersama tersebut, apabila telah membongkar keseluruhan (sebagai barang-barang) yang dimuat dalam kapal tanpa lebih dahulu menyerahkan dokumen AA atau AA-nya tidak cocok dengan barang yang dobongkar. Sedangkan apabila pemilik barang membiarkan (dikehendaki) terjadinya pembongkaran itu namun ia tidak mencegahnya, maka pemilik barang (importir) tersebut dapat dituduh bekerja sama dengan nahkoda (mungkin) sebagai uitlokker) atau bentuk-bentuk lain dalam penyertaan.

Kemudian bagaimana kalau sejumlah barang-barang impor yang menjadi barang-barang bukti dari suatu delik pelanggaran AA dan Nahkodanya sudah selesai dikenakan hukuman, apakah dimungkinkan lagi terjadi delik lain atas pengimporan barang-barang tersebut tadi?.

1

Melani Sari Nasution : Pertanggung Jawaban Pidana Terhadap Tindak Pidana Penyeludupan (Studi Komperasi UU NO. 10 Tahun 1995 Dan UU NO. 17 Tahun 2006), 2008.

USU Repository © 2009

Menurut hemat penulis sewaktu-waktu dapat terjadi delik lain, misalnya kalau pada waktu mengajukan PPUD-nya terjadi lagi manipulasi yaitu PPUD tidak cocok dengan kenyataan barang yang diberitahukan. Sebab, adapun delik yang terjadi pertaman tadi adalah khusus pelanggaran atas AA-nya yang nahkoda kapallah yang mempertanggung jawabkan (pasal 25 Ib), sedangkan delik yang terjadi pada PPUD dipertanggungjawabkan oleh pemilik barangnya (pasal 25 IIc) dengan tidak mengensampingkan sewaktu-waktu adanya bentuk kerja sama atas terjadinya sesuatu delik sebagaimana yang kami uraikan di atas. Hanya saja dalam praktik umumnya barang-barang impor yang sudah diselesaikan secara hukum karena barang-barang impor yang sudah diselesaiakan secara hukum karena melanggar syarat-syarat AA, biasanya sudah sedikit kemungkinan terjadinya lagi delik pada waktu pengejuan PPUD-nya, karena pada waktu menyelesaikan pelanggaran AA-nya barang-barang tersebut telah selesai diperiksa keseluruhannya sehingga petugas-petugas Bea Cukai dapat mengetahui dengan pasti perincian dan jenis barang-barang tersebut yang menyebabkan pula pemilik barang tidak akan berani lagi memanipulasikannya pada waktu pengajuan PPUD.

Dokumen terkait