BAB II LANDASAN TEORI
B. Definisi Professional Qualtiy Of Life (ProQOL)
2. Subskala ProQOL
Professional Quality Of Life (ProQOL) terdiri dari tiga skala terpisah yang
belum memiliki skor gabungan ataupun kombinasi. Hal ini karena penelitian Stamm
(2005) belum menemukan adanya kombinasi skor tinggi compassion satisfaction
sekaligus skor tinggi pada burnout ataupun compassion fatigue dalam diri seseorang.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa setiap subskala ProQOL memiliki keunikan
psikometri masing-masing. Berikut ini subskala dari professional quality of life :
a. Compassion Satisfaction
a. 1. Pengertian Compassion Satisfaction
Compassion satisfaction adalah kepuasan yang diarahkan pada kemampuan
melakukan pekerjaan dengan baik (Stamm, 2005). Compassion memiliki pengertian
yang lebih dari sekadar empati (Wikipedia, tanpa tahun). Akan tetapi, belum ada
literatur yang mengungkapkan anteseden compassion satisfaction.
b. Burnout
b.1. Pengertian Burnout
Burnout adalah perasaan putus asa berkelanjutan yang diasosiasikan dengan beban kerja yang berlebih namun tidak ada perubahan yang berarti melalui
karena kurang adanya dukungan (Stamm, 2005). Stamm mengungkapkan bahwa burnout
juga merepresentasikan mood (suasana hati) yang negatif. Tokoh Freundenburger (Mitra riset, 2008) memberikan istilah burnout untuk pertama kalinya dan mendefinisikannya sebagai kelelahan atau frustasi karena yang diharapkan tidak tercapai atau sekuat tenaga mencapai tujuan namun mengalami kesulitan untuk mencapainya atau jauh dari kenyataan. Selanjutnya Frith dan Britton (Mitra riset, 2008) mendefinisikan burnout sebagai keadaan internal negatif meliputi pengalaman psikologis yang menunjukkan kelelahan atau kehabisan tenaga serta turunnya motivasi bekerja. Pines dan Aronson (Mitra riset, 2008) menambahkan bahwa burnout merupakan keadaan lelah secara fisik, emosi dan mental. Konsep burnout hanya dipergunakan dalam kaitannya dengan pekerjaan (Mitra riset, 2008).
Pada penelitian ini peneliti memilih konseptual burnout dari Stamm yang dalam penjelasannya burnout tidak diklasifikasikan ke dalam dimensi-dimensi.
b.2. Faktor Yang Mempengaruhi Burnout • Gender
Gibson, Ivancevich dan Donnely serta Schultz (Sihotang, 2004) mengungkapkan hal yang berlainan terhadap burnout berdasarkan gender. Gibson, Ivancevich dan Donnely (Sihotang, 2004) mengungkapkan bahwa secara umum wanita tidak mudah mengalami burnout daripada pria. Hal ini disebabkan adanya tekanan sosial terhadap peran gender. Bagi pria, ‘bekerja’ adalah suatu hal yang mutlak untuk menghidupi keluarga. Sedangkan bagi wanita, boleh ataupun tidak boleh bekerja, bukan merupakan keharusan. Di sisi lain, Schultz (Sihotang, 2004) menyimpulkan bahwa wanita memiliki resiko lebih besar mengalami burnout daripada pria karena wanita lebih sering merasakan kelelahan emosional. Perbedaan fisik, sosial dan psikologis serta cara menghadapi masalah antara pria dan wanita juga menjadi dasar pertimbangannya.
• Kepercayaan Diri (self-confidence)
Gil Monte mengungkapkan bahwa kepercayaaan diri (Peiró & Gil-Monte, 1998) merupakan anteseden
burnout. Kepercayaan diri yang dimaksud yaitu kepercayaan individu untuk memiliki kepastian terhadap
kesuksesan karena kemampuannya. Seseorang yang tidak memiliki kepercayaan diri memiliki kesulitan menghadapi lingkungan sehingga dapat menyebabkan burnout.
• Lingkungan fisik
Caputo (Sedjo, 2005) menngungkapkan bahwa lingkungan fisik berpengaruh terhadap
burnout. Lingkungan fisik yang dimaksud tersebut yaitu : ¾ Kurangnya otonomi profesional
Perasaan kurang mampu melakukan kontrol dalam pekerjaan dapat menyebabkan burnout.
¾ Berhadapan dengan publik
Pekerjaan yang melibatkan interaksi dengan orang dapat menyebabkan burnout. Interaksi
dengan publik menuntut kesabaran sehingga mampu menunjukkan keterampilan sosial bahkan tanpa menghiraukan perasaannya sendiri.
¾ Konflik peran
Ada dua jenis konflik peran yang menyebabkan terjadinya burnout. Pertama, yaitu konflik
peran mengenai ketidakcocokan individu dengan pekerjaannya. Kedua, yaitu pertentangan antara nilai-nilai yang dimiliki individu dengan kecenderungan dari pekerjaan.
¾ Peran ambigu
Peran ambigu adalah kekaburan tanggung jawab dalam pekerjaan. Dalam hal ini, terdapat ketidakjelasan parameter dan ruang lingkup pekerjaan sehingga tujuan organisasi dan individu mengalami kekaburan.
¾ Beban kerja berlebihan yang terus menerus
Lamanya jam kerja dan banyaknya tanggung jawab atau tuntutan pekerjaan yang berulang-ulang diidentifikasi sebagai penyebab terjadinya burnout.
¾ Stressor Lingkungan fisik
Ketiadaan atau kurangnya fasilitas yang mendukung kinerja dalam organisasi dapat menyebabkan burnout.
• Personal
Caputo (Sedjo, 2005) juga mengungkapkan bahwa faktor personal berpengaruh terhadap
burnout. Faktor personal tersebut yaitu :
Berdasarkan penelitian bahwa burnout banyak ditemukan pada orang yang memiliki
idealisme dan antusiasme tinggi.
¾ Perfeksionis
Orang dengan sifat perfeksionis selalu mengerjakan sesuatu dengan sempurna. Namun kebutuhan untuk selalu sempurna dapat menyebabkan frustasi yang berakhir dengan burnout.
¾ Berkomitmen terlalu tinggi (Overcommitment)
Rasa sulit untuk mengatakan ‘tidak’ pada pekerjaan serta kompetisi yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya burnout.
¾ Pekerjaan sebagai yang sangat bernilai dan berharga (Single mindedness)
Seseorang yang menganggap pekerjaan adalah suatu yang berharga, bernilai sehingga sangat penting bagi hidupnya akan berusaha mencapai kesuksesan. Namun jika karena sesuatu hal kesuksesan menurun maka dapat menyebabkan terjadinya burnout.
¾ Kurangnya dukungan
Kurangnya dukungan sosial di tempat kerja yaitu dari rekan kerja, supervisor, atasan, keluarga, teman-teman, dll. dapat menimbulkan burnout.
c. Compassion Fatigue
c.1. Pengertian Compassion Fatigue
Compassion Fatigue (CF) adalah trauma yang tidak secara langsung dialami
oleh seseorang (Stamm, 2005). Compassion Fatigue (CF) disebut juga sebagai
Secondary Traumatic Stress (STS) ataupun Vicarious Trauma (VT). Istilah awalnya
dicetuskan oleh Figley (Huggard, Peter. & Huggard, Jayne., 2008) yaitu secondary victimization.Figley (1995) mengungkapkan bahwa compassion fatigue adalah stress yang dihasilkan dari usaha memberikan pertolongan bagi orang – orang yang
mengalami trauma Hal ini menegaskan pengertian compassion fatigue sebagai
“harga yang harus dibayar” untuk penderitaan secara emosional ataupun fisik dari
c.2. Faktor Yang Mempengaruhi Compassion Fatigue
Berikut ini ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi Compassion
Fatigue :
• Riwayat Hidup
Peneliti menemukan bahwa riwayat hidup seseorang dapat
mengkontribusikan compassion fatigue (Meyers & Cornille, 2002 ; periksa juga
Mathieu, 2007). Miller (Huggard, 2003) mengungkapkan bahwa compassion fatigue
merupakan konsekuensi dari ‘terkurasnya’ sumber emosi internal seseorang.
Konsekuensi ini dapat dialami oleh seseorang yang melibatkan dirinya pada
kepedulian terhadap orang lain, khususnya dalam peristiwa yang sifatnya darurat.
Schawm (Huggard, Peter. & Huggard, Jayne., 2008) menambahkan bahwa compassion fatigue tidak hanya terjadi di kalangan orang-orang yang secara profesional
membantu orang lain (professional helpers) dan para pemerhati (carers) melainkan
juga para sukarelawan (volunteers). Hal ini karena keterlibatan tersebut dapat memunculkan
trauma sekunder atau trauma yang dialami secara tidak langsung oleh seseorang. Picket (Figgley, 1995) mengungkapkan ratusan penelitian yang menyatakan bahwa individu yang
mengalami trauma bukan hanya korban trauma melainkan juga yang tidak secara
langsung terlibat trauma. Stamm (2005) menambahkan bahwa hanya mendengar
peristiwa traumatik dapat berpotensi trauma pada diri seseorang. Di sisi lain, Peter
Huggard dan Jayne Huggrard (2008) menambahkan bahwa compassion fatigue dapat
terjadi pada siapapun termasuk mereka yang bukan bekerja di kalangan profesional
• Strategi coping
Stamm (2002) mengungkapkan bahwa tidak semua orang yang memberikan
perhatian terhadap orang lain terpengaruh hanya oleh hal-hal yang negatif saja.
Dalam hal ini, strategi coping menjadi penting sebagai penentu kontribusi
compassion fatigue seseorang. Seseorang yang puas karena telah mengkontribusikan
kemampuannya pada orang yang membutuhkan pertolongan akan lebih kecil
kemungkinan terkena resiko compassion fatigue.
• Mempedulikan diri sendiri (self care)
Menurut Stamm (2002) seseorang yang tidak cukup mempedulikan atau
memperhatikan dirinya sendiri, dalam hal ini kebutuhan ataupun kepentingannya,
ketika berbelas kasih meringankan beban orang lain dapat berpotensi compassion
fatigue.
3. Peran Professsional Quality Of Life (ProQOL)
Di era globalisasi keunggulan yang kompetitif sangat dibutuhkan. Hal ini
ditentukan oleh sumber daya manusia yang unggul untuk mempertahankan eksistensi
organisasi menghadapi era globalisasi. Keunggulan yang dimiliki terkait dengan
kualitas organisasi. Oleh karena itu, organisasi membutuhkan sumber daya manusia
yang berkualitas dan profesional.
Organisasi yang berkualitas berarti harus profesional dalam kinerjanya. Oleh
karena itu, melalui skala Profesional Quality Of Life (ProQOL) dapat diketahui
kualitas kehidupan karyawan yang profesional di tempat kerja. Hal ini karena
yang mendukung perubahan positif (Stamm, 2005). Stamm (2005) mengungkapkan
bahwa melalui skala ProQOL dapat diketahui gambaran compassion satisfaction,
burnout, dan compassion fatigue yang dimiliki karyawan di tempat kerja. ProQOL
dapat menjadi pedoman bagi karyawan ataupun keseimbangan organisasi, dalam hal
ini meliputi pengalaman positif yaitu compassion satisfaction ataupun negatif yaitu
burnout dan compassion fatigue di organisasi.
Stamm (2005) mengungkapkan bahwa ProQOL berperan untuk mengetahui
keseimbangan dalam organisasi serta dapat memberikan pertimbangan bagi
kehidupan karyawan di organisasi. Hal ini ditunjukkan melalui berbagai kombinasi
skor ProQOL. Apabila skor compassion satisfaction lebih tinggi dibandingkan skor
burnout dan compassion fatigue ataupun jika diperoleh lebih tingginya skor
compassion fatigue dibandingkan skor compassion satisfaction dan burnout , atau
berbagai kombinasi skor lainnya. Hal ini dapat memberikan masukan yang berarti
bagi organisasi untuk meningkatkan atau lebih memperhatikan kehidupan
profesionalisme karyawannya.
C. Karakteristik Pekerjaan
1. Pengertian Karakteristik Pekerjaan
Karakteristik pekerjaan adalah dimensi inti atau persamaan sifat dari berbagai
pekerjaan (Suhartanto, 2006). Heads (Stevens, 2006) mengungkapkan bahwa
karakteristik pekerjaan merupakan pemenuhan kondisi psikologis seseorang ketika
meaningfulness), pengalaman bertanggung jawab dalam kerja (experienced
responsibility), pengetahuan atas hasil pekerjaan (knowledge of Results).
Oldham (Nogradi, Yardley, Kanters, 1993) mengungkapkan bahwa karakteristik
pekerjaan berinteraksi atau mempengaruhi beberapa variabel perbedaan-perbedaan individu dalam menentukan hasil-hasil kerja yang efektif melalui potensi motivasi pekerjaan.