• Tidak ada hasil yang ditemukan

Substansi Konflik Papua

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KONFLIK PAPUA DAN

2. Substansi Konflik Papua

Konflik telah mewarnai perjalanan Papua sebelum bergabung dengan NKRI. Sejak lahirnya masa Orde Baru di tahun 1965, militer Indonesia di bawah sandi operasi Wisnumurti I dan III semakin meningkatkan serangannya untuk memaksa orang Papua berintegrasi dengan NKRI. Sejak itu pula rangkaian kekerasan oleh militer terus meningkat. Pada tahun-tahun sebelum Soeharto berkuasa, tercatat 23 orang ditembak mati di Kebar dan Monokwari dalam kurun waktu Juli hingga Agustus 1965.52 Sementara itu, pada bulan Agustus 1966 hingga

1967 sekitar 500 orang ditahan dan 3 orang masyarakat Papua di eksekusi

51 Neles tebay, Op. Cit, hal. 11-12

oleh TNI di Teminabuan.53 Hingga akhirnya tiba penyelenggaraan

Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969, dimana sekitar seribu orang Papua dipaksa memilih integrasi dengan Indonesia.54

Pelaksanaan Pepera yang bermasalah dan hasilnya yang menipulatif memunculkan aksi penentangan oleh masyarakat Papua yang tidak terlibat dalam proses tersebut. Aksi penentangan ini ditandai dengan berbagai peristiwa lanjutan perlawanan di bawah organisasi Papua Merdeka (OPM). Tercatat ada beberapa peristiwa pasca Pepera seperti peristiwa Merauke pada tahun 1972 yang beraktivitas utama menanamkan ideologi OPM kepada rakyat, melakukan pengacauan dan menyebarkan rasa permusuhan dengan Indonesia. Selanjutnya peristiwa di Nabire tahun 1971, peristiwa di Jayawijaya tahun 1977 dan peristiwa di Jayapura tahun 1978 yang semuanya beraktifitas melakukan penyerangan ke pos-pos TNI yang ada.55

Namun perlawanan ini justru menigkatkan operasi-operasi militer di Papua untuk menumpas separatism. Di antaranya tahun 1970-1985 dilaksanakan Operasi Tumpas oleh TNI dengan target menggempur daerah yang dianggap basis OPM. Tahun 1977 dikerahkan pesawat pembom, helicopter dan pasukan darat ke wilayah Jayawijaya yang menghancurkan 17 desa.56

Konflik terus berlangsung antara pihak pro kemerdekaan Papua dengan pihak pemerintah hingga tahun 1990-an. Sebagai hasil, pemerintah melakukan operasi militer yang berakhir dengan pembunuhan dan

53 Ibid

54 Hilmar Farid dan Rikardo Simarmata, Transnational Justice di Indonesia: Sebuah Laporan Pemetaan, draft final, April 2003

55 Paskalis Kossay, Op. Cit, hal. 58-61 56 Sampari, Op. Cit, hal.9

pembantaian yang mengakibatkan korban terus berjatuhan. Akibat penerapan operasi militer selama kurun waktu di bawah rezim Orde Baru, setidaknya telah 100 ribu lebih penduduk asli Papua terbunuh.57

Perubahan politik negara yang terjadi pada tahun 1998 belum membawa perubahan yang cukup berarti pada kondisi hak asasi manusia di Papua. Aksi demonstrasi dan tuntutan kemerdekaan serta pengibaran Bintang Kejora melegitimasi keberlanjutan operasi-operasi penumpasan separatism di tahun-tahun sebelum era reformasi. Akibatnya, operasi pembunuhan, penyisiran penculikan, penyergapan ke kampung-kampung dan asrama mahasiswa serta bentuk-bentuk pelanggaran hak asasi manusia lainnya masih kerap terjadi.

Selanjutnya, bergantinya presiden setelah Pemilu 2004 belum merubah kondisi Papua. Rangkaian kekerasan masih terjadi, di antaranya pada bulan Desember 2004 aparat polisi membubarkan aksi ratusan warga Papua yang enamakan diri Parlemen Jalanan Rakyat Sipil untuk poltik di Papua saat mengibarkan bendera Bintang Kejora di Lapangan Trikora, Jayapura. Beberapa hari sebelumnya, aparat kepolisian telah mengeluarkan larangan resmi.58 Operasi penumpasan terus terjadi sepanjang tahun 2005

dan awal 2006. Situasi yang buruk selama reformasi menjadi alasan bagi 43 warga Papua meminta suaka di Australia di awal bulan Januari 2006.59

Situasi Papua juga memanas pada tahun 2008, sedikit saja gerakan massa sudah cukup untuk membuat aparat keamanan bertindak tegas. Kapolresta Jayapura, bahkan mengerahkan 10 satuan setingkat kompi

57 Ibid

58 Koran Tempo, Kamis, 2 Desember 2004, “Polisi dan Warga Papua Bentrok Saat peringati 1 Desember”

59 Kompas, “Visa Australia dan Penanganan Papua”, 24 Maret 2006,

(SSK) atau sekitar 1000 personel gabungan Polri/TNI untuk mengamankan Kota Jayapura.60 Pasukan gabungan tersebut membubarkan

setiap kumpulan warga, kendati hanya dalam kelompok kecil berjumlah 4- 5 orang. Situasi tersebut menyebabkan sejumlah pertokoan di kota Jayapura terpaksa tutup karena khawatir terjadi tindakan yang mengganggu stabilitas keamanan setempat.

Konflkik aparat keamanan dengan OPM tidak kunjung selesai. Pada tanggal 7 Januari 2009, terjadi penyerangan yang dipimpin oleh Dekilas Tabuni terhadap pos polisi di Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya.61 Dari laporan yang diterima Kapolda Papua Irjen pol Bagus Eko

Danto terungkap saat peristiwa terjadi sekitar 20-an warga menonton televisi di pos polisi sedang anggota makan di ruang lain. Situasi tersebut dimanfaatkan anggota OPM dengan menyerang dan mengambil empat pucuk senjata dan 60 butir peluru. Para penyerang yang diduga kelompok OPM pimpinan Goliat Tabuti itu juga mencederai Ny Irene Helen (21) istri Bripda Ayub Ayer. Tingginambut merupakan salah satu daerah di pedalaman Papua yang rawan terutama gangguan dari kelompok separatis.

Tembak menembak antara OPM dengan aparat keamanan TNI juga terjadi di sekitar “Puncak Senyum” Distrik Mulia, Kabupaten Punck Jaya, selasa dini hari, tanggal 23 Maret 2010.62Peristiwa penembakan tersebut

berawal ketika mobil aparat keamanan dari Yon 753 Nabire, Senin petang dicegat OPM saat hendak kembali ke pos mereka di Puncak Senyum.63

60 Jayapura, PAB-Online, Selasa, 21 Oktober 2008, “Situasi Papua semakin memanas

61 Kompas, 12 Januari 2009, “Kapolda Papua: Penyerangan akibat Anggota Lengah

62 Suara Papua Merdeka, 24 Maret 2010, “TNI dan OPM Kontak Senjata” 63 Ibid

Aparat keamanan yang berjumlah 13 orang di pimpin Lettu Inf.Syahputra ketika berkendaraan dari Mulia menuju pos mereka di Puncak Senyum yang berjarak sekitar 7000 meter dihadang kelompok OPM, sehingga terjadi baku tembak.64 Orang tak dikenal yang di duga kelompok OPM

melakukan penghadangan gterhadap anggota dengan menembaki kearah mobil hingga serpihan peluru mengenai korban di bagian pinggangb. Akibat baku tembak itu, salah seorang anggota TNI dari Yon 753 mengalami luka ringan di pinggang terkena serpihan peluru.

Pada 14 Januari 2011 penembakan terhadap Klemens Basik-Basik dan anaknya di Merauke oleh anggota TNI penugasan perbatasan. Peristiwa ini diisolir sedemikian rupa untuk tidak diketahui masyarakat luas dan buru-buru menuduh korban sebagai anggota OPM yang menyerang Pos Tentar penjaga perbatasan.65 Dan puncak konflik terjadi

pada 16-19 Oktober 2011 ketika rakyat Papua menyelenggarakan Kongres Papua III yang mendeklarasikan pembentukan pemerintahan transisi dengan struktur presiden dan perdana menteri. Hal ini menimbulkan konflik antara aparat TNI/ Polri dengan peserta kongres rakyat Papua yang berujung pada pembunuhan tiga orang warga Papua dan penahanan enam orang pimpinan kongres.66

Dokumen terkait