• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASALAH PAPUA DALAM KONTEKS HUBUNGAN IND (3)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MASALAH PAPUA DALAM KONTEKS HUBUNGAN IND (3)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

MASALAH PAPUA DALAM KONTEKS HUBUNGAN

INDONESIA – AUSTRALIA

SARTIKA MANGGABARANI

E 131 08 103

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

(2)

KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis penulis panjatkan

kehadirat Allah SWT, yang telah menganugerahkan begitu banyak karunia dan

telah memberikan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Tak

lupa pula shalawat terhatur bagi Rasulullah SAW beserta sahabat-sahabatnya yang

telah menjadi suri teladan bagi seluruh umatnya selama ini.

Skripsi ini penulis persembahkan untuk kedua orangtua penulis, Ayahanda

Sjam Ingmar Manggabarani he helped me to see that by trying hard, I was doing my best. Thanks, dad. Ibunda Yuni Ramli who always been understanding and patient with me. Tidak lupa pula untuk saudara-saudaraku Soraya, Jaluh, Reyhan, Nabila dan Khalil, yang selama pengerjaan skripsi sering memberikan

support dan menghibur dikala mood drop.

Penulisan skripsi ini mengalami begitu banyak kendala dan halangan

hingga penulisan diselesaikan. Oleh karena itu, penulis menghaturkan banyak

terimakasih kepada pihak-pihak yang telah member bantuan dan motivasi hingga

skripsi ini dapat dirampungkan.

1. Bapak Rektor Universitas Hasanuddin beserta jajarannya.

2. Bapak Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UNHAS beserta

jajarannya.

3. Bapak Ketua Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Dr. Adi Suryadi

Culla, MA

4. Bapak Prof. Dr. H. Mappa Nasrun, MA sebagai pembimbing I dan

(3)

5. Seluruh staf pengajar Jurusan Ilmu Hubungan Internasional atas segala

ilmu yang telah diberikan dari semester awal hingga akhir.

6. Bunda dan Kak Rahma atas semua bantuan dan nasehatnya

7. Kantor Kementerian Luar Negeri khususnya Directorate of ASEAN Political and Security Cooperation Bapak Dupito D. Simamora dan juga bagian Directorate of Public Diplomacy Bapak Ari Wardhana dan Kak Elvis Napitupulu atas bantuannya selama penulis melakukan

penelitian di sana. Serta Kantor Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia

yang telah terbuka memberikan informasi berupa data-data yang

penulis butuhkan selama proses penulisan skripsi.

8. Keluarga besarku di Makassar: Mama Indri my guardian angel yang selalu ada ketika saya stuck and trapped in the hardest situation, Om Dani, Tante Ani, Om Fitro, Furqan (my brother in crime) dan my kiddosss Daril, Drifki, dan Fadlan yang selalu membuat weekend ku rame dengan keberisikan-keberisikan dan permainan ajaibnya.

9. Keluarga besarku di Jakarta dan Kendari yang selalu memberikan

dukungannya lewat bbm dan telepon.

10.All my closest cousins yang jauh di brissy Kak Cher dan Kak Umar, Derian si bappolo untuk dukungan lewat video chat nya dan Andru

Adiguna (partner makan eskrim dan salad terbaik!) for accompany me

dikala galau skripsi and period attack :’)

11. All my sisters from another mother: Clarissa Gabriella a.k.a Poeng

(4)

geng kepo yang tidak pernah meninggalkanku dan selalu memberikan

support serta guyonan penyemangat hidup sejak SMA.

12.Big brother-bestie-exboyf. Andi Rusmin, thanks for indirectly taught me how to keep my head up after the worst disaster in between this thesis making and thanks for your inspiring quoteIt’s good to be underestimated sometimes because we can prove people wrong later”. 13.HEGEMONY ’08 : Dirga my monkey kesayangan, anggota geng uno

ku Pulu dan Acong, Freddy dan Andi genduk informan terbaikku

tentang kampus, ketua angkatan yang paling saya banggakan Gilang,

the most intelligent boy Biondi who always inspired me to birth a son like him in the future haha ;) Dua wanita ajaib nan sexy Ade dan Farah, Wanita-wanita K-pop lovers Ayu, Kiko, Imel, Nilam. Wanita lainnya Dede, Ayu monica, Maya, Yana, Weny, Chea, Nia, Deta,

Rara, Riri, Icha, Idha, Eka. Penghuni front row kelas yang kontroversial dan berotak baja Nely, Marwah, Husnul, Muji, Tuti,

Riva. Para masbro Agung, Sabir, Iccank, Aci, Fathun, Irsum,

Memet. Keep our spirit and do not ever forget each other guys!

14. Senior-senior dan junior-junior yang baik hati, Kak Muchtar botak,

Ka Lala, Kak awal, Kak Ewing, Kak Cucam, Kak Syifa, Chalik, Fitri,

Muspid, dan yang lainnya. Terimakasih untuk saran-saran dan infonya

selama ini

15. Teman-teman se-ekskul KTI jilid I dan II yang tidak bisa saya sebut

(5)

16.Kawan-kawan sepergaulan yang juga tiada henti-hentinya mendukung

ku (Chabot, Ega, Tiwi, Apre, Mario dan Iky)

17.And the last but not least, my little lion Dody Endrayatna Siloy, you are my biggest motivator, huge lover, and the best-est partner ever.

Anh yeu em, honey boo boo :*

Makassar, 17 Desember 2012

(6)

ABSTRAKSI

Skripsi yang berjudul “Konflik Papua dalam Konteks Hubungan Indonesia-Australia” yang disusun oleh Sartika Manggabarani (E 131 08 103) dibawah bimbingan Mappa Nasrun sebagai pembimbing I dan Nur Isdah sebagai pembimbing II, pada jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin.

Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan konflik Papua dalam konteks hubungan Indonesia Australia. Secara spesifik penelitian ini bertujuan untuk mengetahui (1) bentuk kepentingan-kepentingan Australia di Papua (2) implikasi politis, keamanan, dan ekonomi konflik papua bagi hubungan Indonesia – Australia.

Untuk mencapai tujuan penelitian tersebut, maka metode penelitian yang penulis gunakan adalah tipe penelitian deskriptif dengan teknik pengumpulan data melalui studi pustaka (library research) yang bersumber dari buku, jurnal, dokumen dan website yang valid. Sedangkan untuk menganalisis data penulis menggunakan teknik analisis kualitatif dengan teknik penulisan deduktif.

Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa, bentuk kepentingan-kepentingan Australia terhadap Papua berdasarkan nilai strategis geografis yaitu Papua yang berada di wilayah utara Australia dapat menjadi buffer zone bagi wilayahnya. Sementara berdasarkan nilai strategis ekonomi, Papua memiliki sumber daya alam melimpah seperti logam dan minyak yang menjadi daya tarik Australia.

(7)

DAFTAR ISI

BAB III GAMBARAN UMUM TENTANG KONFLIK PAPUA DAN HUBUNGAN INDONESIA AUSTRALIA A. Masalah Papua 1. Sejarah Konflik Papua... 32

2. Substansi Konflik Papua... 43

B. Hubungan Indonesia – Australia 1. Sejarah Hubungan Indonesia – Australia... 48

2. Perkembangan Hubungan Indonesia – Australia dalam Kaitan dengan Konflik Papua... 55

BAB IV BENTUK KEPENTINGAN AUSTRALIA DI PAPUA DAN IMPLIKASI-IMPLIKASI KONFLIK PAPUA DALAM HUBUNGAN INDONESIA – AUSTRALIA A. Kepentingan Australia terhadap Papua... 58

B. Implikasi-Implikasi Konflik Papua dalam Hubungan Indonesia – Australia... 63

1. Implikasi Politis... 63

2. Implikasi Keamanan... 67

(8)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN-SARAN

A. Kesimpulan... 73 B. Saran-saran... 74

(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Papua yang terletak di wilayah paling timur dari kesatuan Republik

Indonesia masuk dalam NKRI pada tanggal 19 November 1969 melalui

resolusi PBB No. 2504. Hal ini sekaligus menjadi pengakuan atas integrasi

Papua ke Indonesia menurut hukum internasional. Selanjutnya, Papua

menjadi daerah otonom yang absah bagi Indonesia pada tahun yang sama

melalui UU No.12 Tahun 1969 tentang pembentukan Daerah Otonom Irian

Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Propinsi Irian Barat.1

Akan tetapi sejak menjadi bagian NKRI, sebagian penduduk Papua

merasa kurang puas karena secara fakta mereka masih marginal dan

miskin. Papua yang luasnya empat kali lipat pulau Jawa dan memiliki

sumber daya alam yang sangat besar seharusnya mempu membuat

rakyatnya hidup sejahtera. Namun kenyataanya kekayaan alam Papua

tidak sebanding dengan kesejahteraan masyarakatnya.

Ketidakpuasan secara ekonomis itulah yang menjadi salah satu

penyebab yang memunculkan semangat untuk memerdekakan diri.

Pemerintah pusat dinilai gagal dalam membangun kesejahteraan di Papua,

apalagi dengan diadakannya Operasi Militer oleh pemerintah pusat untuk

mengatasi pemberontakan separatisme di Papua yang dalam faktanya

1Yan Pieter Rumbiak, 2005, Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua,

(10)

justru banyak menimbulkan pelanggaran HAM. Hal ini memperkuat

rakyat Papua berkeinginan untuk melepaskan diri dari dari NKRI.

Selain aspek ekonomis, separatisme di Papua juga dipicu juga oleh

konflik yang berakar dari kekecewaan historis, peminggiran sosial budaya,

nasionalisme Papua dan dan diskriminasi politik dan hukum. Dalam

perspektif kekecewaan historis, Ferry Kareth (2000) mempersoalkan

keabsahan Pepera. Ia berpendapat bahwa Pepera itu tidak sah, sebab

dilaksanakan dibawah tekanan. Pepera yang dilaksanakan tahun 1969 itu,

dilaksanakan dengan perwakilan, bukan one man one vote sesuai New York Agreement. Sejarah mencatat bahwa masuknya Papua ke NKRI karena direbut bukan atas dasar keinginan rakyat sendiri2. Masalah

tersebut berakibat pada keluhan-keluhan yang bersejarah yang berakar dari

perbedaan persepsi mengenai integrasi Papua ke dalam NKRI. Hal ini

menjadikan penduduk Papua merasa tidak memiliki hubungan sejarah

dengan bagian Indonesia yang lain.

Beberapa kebijakan yang di ambil oleh pemerintah pusat juga

nampaknya hingga saat ini tidak menunjukkan adanya manfaat yang dapat

dirasakan oleh rakyat Papua sehingga mendorong timbulnya

ketidakpuasan dan menghasilkan sebuah tuntutan kemerdekaan.

Separatisme di Papua dimotori oleh Organisasi Papua Merdeka (OPM)

yang kemudian disusul pembentukan Presidium Dewan Papua (PDP).

Gerakan ini telah ada sejak 1965 dengan melakukan gerakan secara

(11)

sporadis dalam gerakan militer yang melibatkan masyarakat. Perlawanan

yang dilakukan OPM ditandai dengan penyanderaan, demonstrasi massa,

pengibaran bendera, penempelan pamphlet, serta beberapa aksi perusakan.

Kompleksitas sumber konflik Papua menyebabkan pemerintah sulit

mencari model penyelesaian yang tepat untuk menyelesaikan konflik di

Papua. Hal ini diperparah dengan kalangan pemimpin Papua, baik di

lembaga negara maupun di tengah masyarakat sipil, tidak memiliki daya

tawar yang memadai untuk secara strategis memepengaruhi bentuk dan

arah kebijakan Jakarta yang sesuai dengan aspirasi masyarakat Papua. Hal

ini menjadikan suasana politik didominasi oleh hubungan yang tidak sehat

antara nasionalis Indonesia yang menonjolkan “NKRI sebagai harga mati”

dan kelompok nasionalis Papua juga menekankan “Papua Merdeka

sebagai harga mati.”3

Sementara, kondisi sosial dan politik yang tidak kondusif di dalam

Papua memaksa beberapa warga Papua keluar meninggalkan negaranya.

Inilah yang menjadi alasan utama 42 warga Papua meminta suaka Politik

ke pemerintahan Australia pada tahun 2006. Mereka keluar dari Papua

menggunakan perahu dan memanfaatkan kelemahan pengawasan perairan

di Indonesia. Mereka bertolak dari Merauke, berlayar selama lima hari dan

akhirnya mendarat di tepi pantai terpencil Cape York Australia.4

Selanjutnya pada bulan Maret 2006, Departemen Imigrasi dan

masalah-masalah penduduk asli Australia (DIMIA) memberikan Temporary

3 Adriana Elisabeth, dkk., 2008, Papua Road Map; Negotiating the Past, Improving the Present and Securing the Future, Jakarta, LIPI Press, hal.4 4 Kompas, “Visa Australia dan Penanganan Papua”, 24 Maret 2006,

(12)

Protection Visa (visa tinggal sementara) kepada 42 dari 43 warga Papua

yang mencari suaka. Dengan demikian keputusan Australia di atas sangat

melecehkan Papua dalam integritas NKRI.

Keputusan yang diambil oleh pemerintah Australia tersebut bukan

tanpa alasan, karena Papua dalam kacamata Australia memiliki nilai

strategis sebagai buffer zone bagi pertahanan keamanannya. Oleh karena itu Australia merasa lebih aman jika Papua menjadi merdeka dan berada

dalam pengaruhnya untuk menjamin stabilitas pertahanan dan

keamanannya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Papua lebih baik berada

dalam pengaruh Australia daripada menjadi bagian NKRI yang sedang

mengalami krisis politik.

Selain itu, keberadaan Papua yang begitu dekat dengan Australia

ini membuat Australia sangat tertarik dengan potensi-potensi yang ada di

Pulau tersebut contohnya seperti Sumber Daya Alamnya sendiri sangat

berlimpah akan emas, tembaga, minyak, perak, dan juga biji besi. Hal-hal

tersebut begitu bernilai tinggi bagi Australia dan apabila dilihat secara

kinerja perkembangan pemerintah Indonesia yang sepertinya selalu

mengabaikan dalam hal ini mengenai perkembangan daerah bagian Timur

Indonesia yang bisa dilihat cukup lamban.

Pada tanggal 13 November 2006, pemerintah Indonesia dan

Australia menandatangani sebuah perjanjian kerjasama keamanan baru

(13)

Hukum, pemberantasan terorisme, kerjasama intelijen, kerjasama maritim,

keselamatan dan keamanan penerbangan, penyebaran senjata pemusnah

massal, tanggap darurat bencana alam, dan pengertian antar masyarakat

dan manusia (people to people link).5

Lebih lanjut, perjanjian kerjasama keamanan Indonesia dan

Australia tahun 2006 (The Lombok Treaty), sebagian isi perjanjiannya menyebutkan butir larangan territorial Australia menjadi basis perjuangan

separatisme Papua. Perjanjian ini sebagian merupakan respon Indonesia

atas intervensi Australia terhadap gerakan separatisme di Papua dengan

memberikan ijin tinggal 42 orang warga Papua.

Meskipun secara resmi pemerintah Australia secara resmi

mengakui integritas Papua dalam NKRI semenjak disahkannya Resolusi

PBB No.2504 (XXIV) pada tanggal 19 November 1969, tentang status

Papua yang sah menurut hukum internasional menjadi bagian integral

NKRI.6

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Pemerintah Australia secara legal formal mendukung integritas

Papua dalam NKRI, tetapi di sisi lain terdapat bukti tindakan-tindakan

yang dilakukan oleh aktor negara (state actor) dan aktor non negara ( non-state actor) dalam bentuk intervensi dan stimulasi gerakan-gerakan separatisme di Papua. Dalam hal ini pemerintah Indonesia harus

5 “ Kerjasama Kerangka Keamanan Indonesia-Australia Ditandatangani” dalam

http://lomboknews.wordpress.com/2006/11/13/kerja-sama-kerangka-keamanan-indonesia-australia-ditanda-tangani/

(14)

mengambil kebijakan yang signifikan untuk menghentikan dinamika

tenatang Papua di Australia, mengingat kedekatan posisi geografis

Indonesia yang sangat berpengaruh dan penting bagi Australia.

Hal ini dipertegas oleh Hilman Adil (1997), yang menyatakan

bahwa politik luar negeri suatu negara harus senantiasa memperhatikan

kepentingan nasional dan posisi geografis negara bersangkutan, utamanya

adalah bagaimana mengamankan wilayah teritorialnya untuk menjaga

perdamaian di kawasan, yang secara geografis melingkupi negara

bersangkutan.7

Berangkat dari latar belakang masalah di atas, maka dirumuskan

masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk kepentingan-kepentingan Australia terhadap Papua? 2. Bagaimana Implikasi politis, keamanan, dan ekonomi konflik Papua

dalam hubungan Indonesia-Australia?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dari pertanyaan penelitian yang dikemukakan di atas, maka tujuan

dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kepentingan Australia terhadap

Papua

2. Untuk mengetahui implikasi politis, keamanan, dan ekonomi konflik

Papua dalam hubungan Indonesia-Australia

2. Kegunaan Penelitian

Adapun kegunaan yang diharapkan dapat diperoleh daripada

penelitian tersebut adalah sebagai berikut:

(15)

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi

pengembangan studi Hubungan Internasional di masa mendatang. 2. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menjadi

bahan kajian para mahasiswa, khususnya studi Hubungan Internasional

serta pemerhati masalah-masalah internasional.

3. Penelitian ini diharapkan pula dapat menjadi masukan bagi berbagai

pihak dan para pengambil kebijakan, terutama dalam menangani suatu

masalah/konflik.

D. Kerangka Konseptual

Mempertahankan wilayah dalam sebuah negara kesatuan

merupakan salah satu kepentingan nasional yang harus di penuhi.

Kepentingan nasional adalah sasaran kebijaan politik luar negeri. Konsep

kepentingan nasional yang dikemukakan oleh Wolfers (1952), sebagai

berikut:

Secara minimum, kepentingan nasional mencakup keutuhan wilayah suatu bangsa, kemerdekaan dan kelangsungan hidup nasional itu sendiri diberi bermacam-macam interpretasi oleh bermacam-macam negara yang menghadapi kondisi yang berlain-lainan.8

Dalam interaksi dengan negara atau aktor hubungan internasional,

suatu negara akan selalu berlandaskan pada pencapaian kepentingan

nasional. Kepentingan nasional dewasa ini mengarah pada perhatian

terhadap masalah internal dari suatu bangsa. Yusuf (1989), menjelaskan

mengenai kepentingan nasional yaitu:

Kepentingan nasional termasuk dalam visium dan diperjuangkan oleh suatu bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka ketertiban internasional. Konsep ini adalah buatan manusia yang

8 Arnold Wolfers, dalam Robert L.Pfatzgraff, Jr dan James E. Doughtery, 1997,

(16)

dirumuskan oleh para ahli teori politik dan dipatuhi oleh kepentingan golongan dan juga kepentingan para perumusnya.9

Kepentingan nasional erat kaitannya dengan masalah keamanan,

integritas dan posisi negara melalui perimbangan kekuatan. Apabila

tercipta keamanan nasional maka kepentingan nasional akan mudah

terwujud. Keamanan nasional adalah bagian dari kepentingan nasional

yang tidak dapat dipisahkan. Bahkan tujuan politik luar negeri untuk

mempertahankan kepentingan nasional berkaitan dengan upaya

mempertahankan keamanan nasional.

Di dalam konsep ini, terdapat tiga kepentingan inti yang secara

mendasar dapat mendapatkan ancaman dari luar, yaitu; pertama, adalah

physical security atau keamanan fisik dari masyarakat suatu negara dan

hak milik pribadi mereka; yang kedua adalah rules and institution yang

dilaksanakan suatu masyarakat negara, khususnya konstitusi dan aturan

formal lainnya; ketiga adalah prosperity yaitu sumber modal, barang

mentah, sistem keuangan dan lain-lain10. Gerakan Separatisme adalah

suatu paham yang mencari keuntungan dengan pemecah belahan suatu

golongan atau bangsa dengan tujuan untuk memperoleh dukungan.11

Meningkatnya aksi separatisme dan etnis sebagian karena kenyataan

bahwa, berlawanan dengan keyakinan umum, prinsip penciptaan negara

tidak berhubungan dengan penentuan nasib sendiri.

9 Sufri Yusuf, 1989, Hubungan Internasional & Politik Luar Negeri, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, hal.10

10 T May Rudy, 2002, Studi Strategis, Dalam Transformasi Sistem Internasional Pasca Perang Dingin, Bandung, PT.Refika Aditama, hal.65

11 Tim Penyusun Kamus Pusat Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar

(17)

Kompleksitas masalah yang terjadi di Papua mengundang reaksi

dari penduduk setempat. Penduduk Papua merasa asing di negeri sendiri

karena pemerintah kelihatannya tidak mendukung kesejahteraan bagi

penduduk setempat. Sejak melakukan perlawanan terhadap pemerintah

Indonesia melalui Organisasi Papua Merdeka, penduduk Papua

menciptakan konflik yang berkepanjangan dengan aparat TNI dan POLRI.

Dalam beberpa kasus OPM menyerang pos TNI dan POLRI serta

menimbulkan ketakutan bagi masyarakat. Hal ini membuat kondisi

keamanan di Papua rawan konflik bersenjata dan menimbulkan keresahan

bagi pemerintahan Indonesia baik yang berasa di Papua maupun pusat.

Menurut Abdul-Monem (1985) definisi mengenai keamanan

terbagi atas dua yaitu:

Defenisi yang pertama umumnya menempatkan “keamanan” sebagai nilai abstrak terfokus pada upaya mempertahankan independensi dan kedaulatan negara, dan umumnya berdimensi militer. Sementara definisi kedua terfokus pada penjagaan terhadap sumber-sumber ekonomi dan aspek non-militer dari fungsi negara.12

Sementara itu Barry Buzan (1998) menjelaskan bahwa, Keamanan

sering juga dipahami sebagai upaya negara untuk mencegah perang,

terutama melalui strategi pembangunan kekuatan militer yang memberikan

kemampuan penangkal (detterent).13

12 Abdul Monem M. Al-Mashat , 1985, National Security in the Third World Boulder Col, Westview Press, hal. 19

(18)

Dari dua definisi di atas menunjukkan persamaan dalam hal

kebebasan terhadap ancaman militer, namun konsepsi di atas juga secara

jelas mengindikasikan perbedaan atau aktor keamanan (individual,

nasional, atau internasional). Secara tradisional, konsep keamanan selama

ini memang hanya merujuk pada persoalan militer semata dan

memfokuskan pada aspek negara.

Teori Protracted Social Conflict (PSC) yang dikemukakan oleh

Edwar Azar (2008)

……..konteks internasional dari konflik yang terjadi sehingga baik variable domestic maupun internasional saling berkaitan. Faktor domestik dan internasional saling berinteraksi dalam menciptakan konflik-konflik yang sulit diselesaikan.14

Setidaknya ada beberapa kondisi yang mengarah pada terjadinya

konflik internal. Pertama, pemicu konflik adalah ketidakharmonisan

kelompok identitas seperti suku, agama, dan budaya tertentu dengan

negara Negara cenderung mengeliminasinya demi kepentingan eksistensi

dan keutuhan negara. Akibatnya terjadi dorongan kelompok identitas

tertentu untuk melawan kekuasaan negara atau lembaga-lembaga yang

mempresentasekannya.

Kedua, konflik dikaitkan dengan kegagalan pemerintah dalam

pemenuhan kebutuhan dasar kemanusiaan sehingga terjadi kemiskinan

secara sistematis. Proses tersebut telah melahirkan kantong-kantong

kemiskinan sementara kekuatan ekonomi dan politik dari pusat menikmati

surplus ekonomi sebagai hasil eksploitasi sumber daya alam daerah-daerah

(19)

yang dilnda konflik. Tetapi kebutuhan tidak hanya mencakup ekonomi

juga rasa aman dan pengakuan dalam proses penyelenggaraan kekuasaan

pemerintahan. Pengingkaran terhadap kebutuhan dasar rakyat Papua

melahirkan gerakan untuk memisahkan diri dari negara Indonesia.

Ketiga, karakteristik pemeritahan yang otoriter dan mengakibatkan

penekanan pada stabilitas politik dan keamanan yang kaku yang telah

mengabaikan hak sipil dan politik dari kelompok identitas tertentu

sehinggan mereka memendam rasa tidak puas dan frustasi yang

mendalam.

Keempat, sistem ketergantungan yang terjadi antara suatu negara

dengan sistem ekonomi global dimana pemerintah mengeluarkan

kebijakan yang lebih memihak kekuatan modal asing daripada

kepentingan penduduk lokal. Misalnya, dalam melindungi kepentingan

investor asing, negara rela menindas rakyatnya sendiri dan mengabaikan

hak-hak dasar sebagai manusia.

Dengan berbagai kompleksitas masalah Papua tentunya juga

menyita perhatian dunia Internasional dan terkhusus salah satu negara

tetangga Indonesia yakni Australia yang terbukti telah mengeluarkan

Temporary Protection Visa (visa tinggal sementara) kepada 42 dari 43 warga Papua yang mencari suaka beberapa tahun yang lalu. Dengan

adanya kasus lintas negara semacam ini tentunya akan menimbulkan

(20)

Dilihat dalam jumlah negara yang melakukan interaksi maka

hubungan bilateral merupakan hubungan merupakan hubungan yang

paling sederhana karena hanya menyangkut dua negara. Hubungan

bilateral ini terjadi karena beberapa hal diantaranya letak geografis,

sumber-sumber kekayaan alam, kependudukan dan tenaga kerja, politik,

ekonomi dan juga militer. Namun dari seluruh kepentingan di atas

segalanya tetap bermuara kepada kepentingan nasional diperjuangkan oleh

suatu bangsa atau negara untuk dipergunakan dalam rangka kepentingan

nasional.

Istilah hubungan bilateral biasanya digunakan untuk

mendeskripsikan hubungan yang terjadi antara kedua negara baik yang

secara geografis berdekatan ataupun yang berjauhan. Kusumohamidjojo

(1993) lebih lanjut lebih lanjut menjelaskan mengenai hubungan bilateral

yaitu:

Hubungan bilateral adalah suatu bentuk kerjasama diantara kedua negara baik yang berdekatan secara geografis ataupun yang jauh diseberang lautan dengan sasaran utama untuk menciptakan perdamaian dengan memeperhatikan kesamaan politik, kebudayaan dan struktur ekonomi.15

Dalam hubungan bilateral Indonesia dan Australia sangat

diperlukan sikap yang saling percaya diantara kedua negara untuk

mencapai kesepakatan di berbagai bidang. Menyangkut kepentingan kedua

negara serta berusaha mengurangi perbedaan pendapat yang dapat

dilakukan melalui dialog. Dengan adanya dialog akan mempertebal saling

pengertian dan kepercayaan sehingga dapat menghilangkan kecurigaan

(21)

diantara kedua belah pihak dan dapat mengubah persepsi yang berbeda

dan mencegah konflik yang lebih luas.

Tujuan untuk dilaksanakannya hubungan bilateral itu sendiri yakni

untuk semakin mempererat tali persahabatan dan kerjasama antar negara

serta menciptakan hubungan yang harmonis dan hidup berdampingan

secara damai. Dalam melakukan hubungan bilateral itu enderunag saling

mempengaruhi sebagaimana yang dijelaskan dalam kamus politik

internasional yaitu: “hubungan bilateral adalah keadaan yang

menggambarkan adanaya hubungan yang saling mempengaruhi atau

terjadi hubungan timbal-balik diantara kedua belah pihak atau kedua

negara16. Suatu negara dalam melakukan hubungan bilateral dengan negara

lain didasarkan pada pertimbangan bahwa dengan melakukan hubungan

tersebut akan mendatangkan suatu keuntungan dan terutama dalam rangka

mewujudkan pencapaian kepentingan nasional dan tujuan internasional

suatu negara.

E. Definisi Operasional

Untuk menghindari salah penafsiran terhadap berbagai istilah atau

konsep yang digunakan dalam penelitian ini, maka beberapa istilah atau

konsep diberi batasan pengertian dalam bentuk definisi operasional:

 Pertama, Konflik merupakan suatu perbedaan cara pandang.

Bentuknya bisa berupa keluhan saja sampai pada tingkat kekerasan

dan perang.

(22)

 Kedua, Papua merupakan pulau terbesar ke dua di dunia yang

terletak di sebelah utara Australia. Pulau ini dibagi menjadi dua

wilayah yang bagian baratnya dikuasai oleh Indonesia dan bagian

timurnya merupakan negara Papua Nugini.

 Ketiga, Indonesia adalah negara di Asia Tenggara yang dilintasi

garis khatulistiwa dan berada diantara benua Asia dan Australia

serta antara Samudera Pasifik dan Samudera Indonesia.

 Keempat, Australia merupakan negara persemakmuran yang

terletak belahan bumi bagian selatan yang terdiri dari daratan

utama benua Australia, Pulau Tasmania dan beberapa pulau kecil di

Samudera Hindia dan Samudera Pasifik

F. METODE PENELITIAN 1. Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif yang bertujuan

untuk menggambarkan bagaimana masalah yang terjadi di Papua

dalam kaitannya dengan hubungan antara Indonesia Australia 2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang akan digunakan oleh penulis

adalah telaah pustaka (library research) yaitu pengumpulan data

dengan menelaah sejumlah literature baik berupa buku-buku, jurnal,

dokumen, surat kabar, makalah dan artikel yang berkaitan dengan

(23)

Adapun tempat-tempat yang diharapkan dapat menjadi sumber

informasi dan data dalam penelitian, yakni:

a. Perpustakaan Pusat Universitas Hasanuddin Makassar. b. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia di Jakarta c. Departemen Pertahanan Republik Indonesia di Jakarta

d. Pusat Politik LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di

Jakarta

e. CSIS (Centre for Strategic and International Studies) di

Jakarta 3. Jenis Data

Data yang penulis gunakan dalam penulisan proposal ini adalah

data sekunder, yang bersumber dari pengumpulan data lapangan yang

penulis lakukan selama penelitian, yaitu dari berbagai sumber tertulis.

4. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang penulis gunakan adalah bersifat

kualitatif yaitu data yang penulis dapatkan bukan berbentuk numeric

atau data-data yang berbentuk angka melalui beberapa faktor-faktor

yang relevan dengan penelitian ini. Yakni menjelaskan dan

menganalisis data dengan cara menggambarkan hasil penelitian

melalui sejumlah data yang berhasil penulis temukan. Kemudian

(24)
(25)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Tentang Konflik

Manusia yang sejatinya merupakan makhluk sosial tentunya

senantiasa memerlukan interaksi dengan manusia lainnya. Bentuk interaksi

yang terjadi diantara manusia tentunya tidak selalu bersifat positif, ada

kalanya dimana kepentingan antara satu pihak dengan pihak yang lainnya

saling berbenturan. Baik itu antara individu dengan individu lainnya,

individu dan kelompok, bahkan antara kelompok dengan kelompok.

Benturan kepentingan inilah yang kemudian menghasilkan perselisihan

yang dapat berujung dengan terciptanya konflik.

Konflik merupakan suatu kepastian dalam kehidupan manusia di

dunia. Tidak dapat kita bayangkan jika suatu saat dunia akan menjadi

tempat yang damai dan bebas dari konflik. Kenyataan mengenai

konflik-konflik yang terjadi selama ini, membuat konflik-konflik dilihat sebagai salah satu

budaya manusia, yang dimana selama manusia masih ada di muka bumi,

maka selama itu pula konflik masih eksis dan tidak dapat dihindari.

Namun konflik tidak selamanya bersifat negatif atau berdampak

buruk bagi kehidupan manusia. Seringkali bersifat positif yang membuat

suatu kelompok menjadi lebih solid ketika berkonflik dengan kelompok

lain. Persoalan lainnya adalah konflik sering muncul dalam bentuk

kekerasan dan dapat merugikan manusia.

Dalam upaya memahami permasalahan yang terjadi di dalam

(26)

upaya penyelesaian konflik Papua adalah konsep konflik. Konflik dapat

dipahami sebagai suatu proses sosial dimana dua orang atau dua kelompok

orang berusaha menyingkirkan pihak lain dengan cara menghancurkan

atau membuatnya tidak berdaya. Pihak-pihak yang terlibat konflik

dikuasai oleh suatu keinginan untuk mencapai suatu hasil yang

dipersengketakan. Konflik merupakan suatu kenyataan hidup yang bersifat

kreatif dan tidak dapat dielakkan keberadaannya.

Konflik meliputi semua hubungan kemanusiaan, baik hubungan

sosial, hubungan ekonomi, maupun hubungan kekuasaan. Konflik muncul

akibat ketidakseimbangan pada hubungan-hubungan ini, misalnya status

sosial, kekayaan, dan akses terhadap sumber daya, serta kekuasaan yang

tidak adil mengakibatkan berbagai persoalan seperti diskriminasi,

pengangguran, kemiskinan, tekanan, dan kejahatan. Masing-masing

tingkatan berhubungan dengan tingkatan lainnya, dan membentuk rantai

kekuatan yang kukuh dan potensial untuk mencapai perubahan yang

konstruktif atau kekerasan yang destruktif.17

Konflik yang terjadi di Papua merupakan konflik yang

dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan masyarakat Papua secara ekonomis,

Papua yang memiliki luas empat kali lipat dari Pulau Jawa dan sumber

daya alamnya berlimpah seharusnya membuat masyarakat Papua hidup

sejahtera. Namun kenyataannya kekayaan alam Papua tidak sebanding

dengan kesejahteraan masyarakat di sana. Kondisi ini disertai oleh kinerja

pemerintah daerah yang dianggap gagal dalam menjalankan fungsinya dan

(27)

akhirnya memunculkan sentimen terhadap pemerintah pusat yang

dianggap bertanggung jawab atas kondisi yang ada.

Konflik juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang dimana dua

atau lebih pelaku mencoba untuk mendapat tujuan yang saling berlawanan

dengan mengabaikan proses pencapaian tujuan dari pihak-pihak yang lain.

Sedangkan situasi konflik biasanya muncul dalam kondisi dimana:

sumber-sumber terbatas (dalam kasus kemiskinan, pekerjaan, perumahan,

air bersih); miskinnya dialog atau bahkan tidak adanya dialog diantara

pihak-pihak yang bertikai; pihak-pihak yang bertikai memiliki persepsi

yang salah tentang pihak yang lain; adanya ketidakpercayaan; adanya hal

yang tidak terselesaikan dimasa lalu; pihak yang bertikai tidak menghargai

hubungan yang ada diantara mereka; kekuasaan tidak terbagi dengan rata. Papua sebagai salah satu pulau di Indonesia yang menyimpan

sumber daya alam yang berlimpah ruah tidak memperoleh hak mereka

yang semestinya. Tingkat kesejahteraan, akses infomasi, sarana dan

prasarana umum di bidang pendidikan dan kesehatan juga masih berada

pada status yang memprihatinkan. Hal tersebutlah yang menyebabkan

terjadinya ketidakseimbangan pembangunan dan kesejahteraan yang

terjadi antara wilayah atau pulau-pulau lain di Indonesia dan Papua

sehingga masyarakat Papua merasa kecewa dan tidak puas dan

menimbulkan perlawanan terhadap pemerintah.

Sebagian besar akar konflik yang terjadi berasal dari hubungan

antar komunitas/kelompok minoritas dan mayoritas. Tidak diragukan lagi

bahwa sistem yang tidak stabil dari perpecahan sosial antara kelompok

mayoritas dan minoritas lebih mungkin dipandang tidak sah dibandingkan

(28)

tidak sah akan mengandung benih-benih ketidakstabilan. Hubungan antara

pandangan ketidakstabilan dan ketidaksahan sistem (pihak-pihak) yang

berbeda inilah yang kemungkinan menjadi bumbu yang ampuh terjadinya

peralihan dari penerimaan kelompok minoritas terhadap status quo

kepenolakannya. Akibatnya, kelompok-kelompok itu menempatkan

pentingnya pandangan keabsahan ke dalam lingkungan sosialnya.

Legitimasi (keabsahan) merupakan konsep yang penting bagi

kelompok-kelompok yang terlibat konflik karena mereka memandang negara tidak

sah.

Hubungan antara mayoritas dan minoritas di atas dapat

digambarkan oleh keadaan demografis Papua. Pada 1959 presentase

pendatang masih kurang dari 2%, menjadi 4% pada 1971, dan menjadi

lebih dari 35% pada 2000. Pada 2005 diperkirakan penduduk dan menjadi

41% dan melonjak menjadi 53,5% pada 2011.18

Transmigrasi yang pada hakekatnya bertujuan untuk memindahkan

penduduk dari daerah-daerah yang padat penduduknya seperti Jawa ke

daerah-daerah yang kurang padat penduduknya termasuk Papua. Namun

pertemuan antara kebudayaan penduduk asli Papua dengan kebudayaan

masyarakat pendatang yang berbenturan, lahan ekonomi yang semakin

berkurang bagi penduduk asli dan ketegangan sosial lainnya merupakan

akar dari timbulnya suatu konflik pula di tanah Papua.

Dalam perspektif sosiologi menurut Gillin and Gillin (1952),

seperti dikutip oleh Soerjono bahwa “konflik adalah suatu proses interaksi

sosial yang merupakan bentuk oposisi dari keragaman (operational

processes) atau disebut interaksi yang disosiatif”. Sementara itu Soerjono

(29)

mengemukakan bahwa “konflik adalah suatu proses sosial dimana

individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dnegan jalan

menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan kekerasan”.19

Hal serupa dikemukakan Minnery (1986) bahwa:

Konflik merupakan interaksi antara dua atau lebih pihak yang satu sama lain saling bergantung namun terpisahkan oleh perbedaan tujuan dimana setidaknya salah satu dari pihak-pihak tersebut menyadari perbedaan tersebut dan melakukan tindakan terhadap tindakan tersebut.20

terlibat di dalamnya. Sedangkan konflik intrastate (internal) dalam studi

hubungan internasional yang dikemukakan oleh Michael E. Brown (1996)

dalam bukunya yang berjudul The International Dimensions of Internal Conflict mendefinisakan konflik internal sebagai violent or potencially violent political disputes whose origin can be traced primarily domestic rather than systemic factors, and where armed violence takes place or threaten to take place primarly within the borders of a single state.21

Konflik di Papua adalah konflik interstate yang bersifat sangat

rumit karena melingkupi berbagai aspek seperti etnis, ras, politik,

19 Soerjono Soekanto, 2000, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, Rajawali Press, hal.106

20 John R Minnery, 1986, Conflict Management in Urban Planning, Gower Pub Co, hal. 75

(30)

ekonomi, dan aspek lainnya yang mempengaruhi kehidupan di Papua.

Permasalahan ekonomi dan kurangnya partisipasi politik masyarakat

Papua menjadi salah satu alasan bagi rakyat Papua berjuang untuk medeka

dan memisahkan diri dari NKRI. Permasalahan ini telah berlangsung

puluhan tahun, hal ini seperti dikemukakan oleh Edwar Azar (1990)

dengan teorinya mengenai konflik sosial yang terjadi berlarut/prottacted social conflict, menyatakan bahwa,

Konflik merupakan representasi dari konflik yang berkepanjangan yang seringkali penuh dengan kekerasan oleh kelompok komunal untuk keperluan dasar seperti keamanan, pengakuan bahwa suatu pemerintahan yang berlangsung tidak efektif lagi untuk dijalankan.22

Konsep ini sangat relevan bila melihat latar belakang konflik di

Papua yang penuh dengan aksi kekerasan, terror, pembunuhan, penculikan,

peledakan bom, penyerangan pada proyek vital aparat dan tempat umum. Konflik dapat terjadi dalam wujud perlawanan senjata oleh pihak

yang memberontak dan penumpasannya dengan kekerasan oleh

pemerintah, atau konflik pada tataran elit politik yang tanpa menggunakan

kekerasan senjata. Robert burr (1970) dalam tulisannya Why Men Rebel

mengemukakan bahwa:

Biasanya konflik dengan kekerasan terjadi dalam masyarakat karena adanya kekecewaan, frustasi timbul berkaitan dengan meningkatnya harapan-harapan (expectations) yang tidak terpenuhi dalam suatu sistem politik (suatu masyarakat atau Negara) frustasi menimbulkan perasaan tertindas oleh kelompok lain atau oleh pemerintah, lalu berlangsunglah konflik dengan menggunakan kekerasan.23

Ada beberapa macam hal yang dapat menjadi pemicu terjadinya

konflik. Dari sudut pandang ilmu politik, konflik dapat terjadi akibat

22 Ibid, hal. 88

(31)

adanya kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertical.

Kemajemukan horizontal yang dimaksud adalah struktur masyarakat yang

beraneka ragam dari segi suku, daerah, agama, budaya, dan juga bahasa.

Sedangkan kemajemukan vertical ialah struktur masyarakat yang

terpolarisasi menurut pemilihan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan.24

Dalam bidang keagamaan, menurut data tahun 2006 menunjukkan bahwa

umat Kristen protestan menjadi mayoritas agama yang dipeluk penduduk.

Presentasenya adalah Kristen protestan (50,7 persen), kemudian islam

(41,27 persen), Kristen katolik (7,70 persen), Hindu (0,12 persen), Budha

(0,08 persen) dan Konghucu (0,01 persen).25

Sebagai suatu bentuk pola interaksi yang tidak dapat dielakkan,

konflik tentunya memerlukan proses penanganan yang jelas dan akurat.

Adanya manajemen dan pengelolaan yang baik terhaddap konflik yang

terjadi akan menciptakan dinamika hubungan internasional yang stabil.

Dalam buku yang berjudul Ethnic Conflict In World Politics, Barbara Harff & Tedd Robert Gurr (2004) menyebutkan lima prinsip yang bias

digunakan untuk mengelola konflik. Pertama, negara dan civil society

perlu mengakui dan menghormati hak-hak sipil dan politik kaum

minoritas, etnis maupun keagamaan. Kedua lembaga demokratis dan

pembagian kekuasaan merupakan cara terbaik untuk melindungi hak-hak

kelompok. Ketiga, pemberian otonomi yang luas bahkan konsep

self-government tetapi masih dalam kerangka negara induk. Keempat, aktor

(32)

internasional seperti PBB dan entitas internasional lainnya harus memiliki

komitmen untuk melindungi HAM dan penyelesaian konflik.26

Dalam strategi penyelesaian konflik, masalah sokongan dari

negara-negara lain serta pengakuan internasional cukup berperan.

Negara-negara baru bermunculan akibat perpecahan yang terjadi dengan Negara-negara

induknya dan juga lenyapnya negara lain karena bersatu dengan negara

lainnya (integrasi). Timbulnya suatu negara baru akibat pemisahan diri

dengan negara induknya, tidak dengan begitu saja menjadi anggota

masyarakat internasional. Mereka harus mendapat pengakuan dari

negara-negara laiun agar diterima sebagai komunitas masyarakat internasional.

Pengakuan itu bisa berupa:27

1. Pengakuan tidak langsung

Pengakuan tidak langsung atau diam-diam melebihi masalah kehendak

negara yang dinyatakan dalam pemberian pengakkuan. Kehndak

tersebut diungkapkan hanya apabila keadaan-keadaan secara tegas

mengindikasikan kemauan untuk menjalin hubungan resmi dengan

pemerintah baru. 2. Pengakuan bersyarat

Negara-negara diakui secara bersyarat, berupa suatu kewajiban yang

harus dipenuhi negara tersebut. 3. Pengakuan kolektif

Pengakuan diberikan secara terpisah antara pengakuan kepada suatu

negara, pengakuan terhadap kepala negara dan kepala pemerintahan

dari negara baru tersebut. Dalam praktek sebagian negara digambarkan

adanya perbedaan antara pengakuan de jure dan de facto. Pengakuan de jure berarti menurut negara yang mengakui, negara maupun

pemerintah yang diakui secara formal telah memenuhi persyaratan

(33)

yang ditentukan hokum internasional untuk sementara dan secara

temporer serta dengan segala reservasi yang layak di masa mendatang,

sedangkan pengakuan de facto berarti negara atau pemerintah yang diakui telah memenuhi syarat berdasarkan fakta.

B. Konsep Kepentingan Nasional

Seluruh Negara di dunia pada hakekatnya memiliki kepentingan

nasional yang terwujud dan akan dicapai melalui konsep dan pola politik

luar negerinya masing-masing. Setiap negara akan berusaha sejauh

mungkin agar kepentingan nasionalnya tidak sampai merugikan dalam

pergaulan baik dalam ruang lingkup regional maupun global. Bahkan

suatu negara akan berusaha sejauh mungkin untuk memperoleh

keuntungan yang sebesar-besarnya dari pergaulan internasional untuk

kepentingan nasionalnya tersebut.

Kepentingan nasional lahir dari adanya keterbatasan sumber daya

nasional atau kekuatan nasional. Kekuatan nasional meliputi berbagai

aspek yaitu sumber daya, jumlah penduduk, luas wilayah, kualitas

diplomasi, moral nasional, kesigapan militer, dan lain sebagainya.

Kondisi-kondisi dalam negeri akan tercerminkan dalam kepentingan

nasional yang juga sekaligus menjadi cita-cita atau tujuan nasional suatu

Negara. Sebagaimana yang diungkapkan Jack S. Plano dan Roy Olton

(1999):

Kepentingan nasional suatu Negara adalah kepentingan-kepentingan mempertahankan kelangsungan hidup (survival), kemerdekaan dan kedaulatan Negara, keamanan militer, politk, dan kesejahteraan ekonomi.28

(34)

Kepentingan nasional itu sendiri sangat erat kaitannya dengan

masalah keamanan, integritas dan posisi Negara melalui perimbangan

kekuatan. Apabila tercipta keamanan nasional maka kepentingan nasional

akan mudah tercapai. Keamanan nasional adalah bagian dari kepentingan

nasional yang tidak dapat dipishakan. Bahkan tujuan politik luar negeri

untuk mempertahankan kepentingan nasional berkaitan erat dengan upaya

mempertahankan keamanan nasional.

Kepentingan nasional merupakan konsep umum yang dapat

dirumuskan secara luas sehingga perlu memasukkan

pertimbangan-pertimbangan-pertimbangan moral, agama, kesejahteraan, dan hal-hal

yang bersifat altruistik lainnya, kadang kala dalam prakteknya interpretasi

atau penafsiran tentang kepentingan nasional ini tergantung pada kondisi

dan ideology yang dominan. Dengan penafsiran tertentu seorang

negarawan bias saja menjustifikasi tindakannya terhadap negara lain atas

nama kepentingan nasional. Morgenthou menyebutkan bahwa:

Kepentingan nasional adalah hasil kompromi dari kepentingan-kepentingan politik yang saling bertentangan; hasil dari persaingan politik internal yang berlangsung terus menerus. Pemerintahlah dengan segala institusinya yang akhirnya bertanggung jawab dalam mendefenisikan dan menerapkan kebijaksanaan yang diarahkan untuk mencapai kepentingan nasional.29

Selain itu, dalam bukunya Teuku May Rudy (2002) membagi

kepentingan nasional kedalam tiga macam kepentingan inti yang secara

mendasar dapat mendapatkan ancaman dari luar, yang pertama adalah

physical security atau keamanan fisik dari masyarakat suatu negara dan hak milik pribadi mereka; yang kedua adalah rules and institution yang dilaksanakan suatu masyarakat negara, khususnya konstitusi dan aturan

(35)

formal lainnya; ketiga adalah prosperity yaitu sumber modal, barang mentah, sistem keuangan dan lain-lain.30

Dari beberapa pendapat di atas dapat dikemukakan bahwa

kepentingan nasional merupakan konsepsi yang sangat umum, dalam

artian bahwa konsep tersebut senantiasa dipergunakan untuk merumuskan

kebijaksanaan politik luar negeri oleh suatu negara dalam percaturan politk

dunia internasional. Kepentingan nasional juga merupakanunsur yang

sangat penting bagi suatu negara yang meliputi kelangsungan hidup

bangsa dan negara, kemerdekaan, keutuhan wilayah, keamanan militer dan

kesejahteraan ekonomi.

Dapat dikatakan bahwa kepentingan nasional merupakan faktor

determinan atau merupakan konstanta dalam perumusan kebijakan luar

negeri suatu negara. Arah dan kebijaksanaan luar negeri bias saja berubah

tergantung persepsi atau penafsiran terhadap fenomena internasional tetapi

kepentingan nasional merupakan faktor yang paling konstan dan tetap

menjadi pedoman bagi para pembuat keputusan dalam menentukan arah

kebijakan luar negeri.

C. Konsep Hubungan Bilateral

Hubungan Internasional dewasa ini tidak semata-mata hanya

terbatas pada hubungan politik yang terjadi antar pemerintah, tetapi sudah

melibatkan aktor lain bukan negara dengan objek hubungan yang lebih

beragam. Beberapa aktor yang turut serta berpartisipasi dalam politik

internasional meliputi organisasi internasional, organisasi non-pemerintah

serta individu-individu yang saling berinteraksi dalam berbagai ragam

dimensi.

(36)

Walaupun demikian, negara tetap menjadi subjek yang paling

mendominasi dalam interaksi hubungan internasional. Ragamnya dimensi

interaksi negara-negara ini berangkat dari tingginya tingkat

interdependensi yang disebabkan oleh adanya keterbatasan setiap negara

dalam hal sumber daya alam maupun sumber daya manusia sehingga

menjadi faktor pedoman bagi setiap negara untuk menjalin kerjasama

dengan negara lain dalam rangka pencapaian.

Interaksi antar dua negara dalam hubungan internasional selalu

berada dalam dua konteks konflik dan kerjasama. Kedua konteks

hubungan internasional berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan

dinamika hubungan internasional itu sendiri. Tidak jarang yang terjadi

adalah sebaliknya dimana hubungan antar dua negara justru memberikan

pengaruh terhadap hubungan internasional atau dengan kata lain terdapat

hubungan saling mempengaruhi antara hubungan dua negara dan

hubungan internasional.

Hubungan antar negara biasanya dimulai dari tingkat paling

sederhana yakni hubungan bilateral. Hubungan bilateral merupakan

kerangka hubungan yang hanya melibatkan dua negara sebagai aktornya,

baik itu yang berdekatan secara geografis maupun yang berjauhan

letaknya. Sebagaimana yang diungkapkan Kusumohidjojo (1987)

mengenai hubungan bilateral:

Hubungan bilateral adalah suatu bentuk kerjasama diantara kedua negara baik yang berdekatan secara geografis ataupun yang jauh di seberang lautan dengan sasaran utama untuk menciptakan perdamaian dengan memperhatikan kesamaan politik, kebudayaan dan struktur ekonomi.31

(37)

Definisi di atas dapat menjelaskan bahwa tujuan dilaksanakannya

hubungan bilateral atau kerjasama adalah untuk mencapai kepentingan

nasional negaranya dan mempererat persahabatan dan kerjasama dengan

negara-negara lain. Oleh karena itu, dalam menentukan terjalinnya

kerjasama dengan negara lain maka diperlukan langkah yang tepat dalam

mengambil keputusan, mengingat dalam setiap hubungan bilateral

mengandung kepentingan-kepentingan strategis dan sasaran utama dari

negara-negara yang terlibat di dalamnya dalam pelaksanaan politk luar

negerinya.

Dalam hal hubungan Indonesia dan Australia sendiri, walaupun

memiliki banyak perbedaan, tetapi posisi geografis menjadi dasar

hubungan kedua negara untuk menciptakan hubungan yang harminis dan

juga hidup bertetangga yang baik. Karena tujuan untuk untuk

melaksanakan hubungan bilateral itu sendiri adalah untuk memberikan

keuntungan timbal balik kepada kedua belah pihak melalui hubungan yang

baik dan harmonis. Hal ini senada dengan yang dikemukakan oleh

Mahmuddin (2001):

Bahwasanya hubungan bilateral merupakan interaksi antar dua negara yang dikembangkan dan dimajukan dengan menghormati hak-hak kedua negara untuk melakukan berbagai kerjasama pada aspek-aspek kehidupan berbangsa dan bernegara tanpa mengabaikan atau mengucilkan keberadaan negara tersebut, serta mewujudkan perdamaian dan memberikan nilai tambah yang menguntungkan dari hubungan bilateral ini.32

Adapun manfaat atau keuntungan yang diharapkan dapat diperoleh

setiap negara yang menjalin hubungan bilateral dengan negara lain,

diungkapkan oleh Mahmuddin sebagai berikut:

(38)

Bahwa setiap negara yang melakukan kerjasama bilateral memiliki empat keuntungan dasar yang memperkuat kerjasama bilateral tersebut yaitu; (1) saling memahami dan mengetahui keberadaan masing0masing negara dalam melakukan hubungan bilateral, (2) saling memberikan manfaat dan keuntungan di dalam mendukung kelangsungan hidup dari masing-masing negara, (3) mencitakan suatu kerjasama yang berkelanjutan dan berkesinambungan untuk meciptakan adanya perdamaian dan (4) menumbuhkan dan memperkuat aspek-aspek dominan yang dimiliki oelh kedua negara tersebut.33

Bertolak dari keuntungan atau manfaat inilah yang menyatukan

satu negara dengan negara lain dalam suatu kerangka kerjasama. Dalam

kerangka pemahaman Holsti (1998) dalam bukunya Politik Internasional:

Kerangka Untuk Analisis dijelaskan bahwa terbentuknya suatu kerjasama

berdasar pada:

Dalam kebanyakan kasus, sejumlah pemerintah saling mendekati dengan penyelesaian yang diusulkan atau membahas masalah, mengemukakan bukti-bukti teknis untuk menyetujui satu penyelesaian atau lainnya dan mengakhiri bperundingan dengan perjanjian atau pengertian tertentu yang memuaskan kedua belah pihak. Proses ini disebut kerjasama.34

Pada kenyataannya, pola interaksi antar negara tak hanya berupa

kerjasama (cooperation). Tetapi juga dapat berupa persaingan

(competition) dan pertentangan (conflict). Namun saat terjadi masalah,

yang paling penting adalah bagaimana memelihara, mempertahankan, dan

meningkatkan kerjasama yang adil dan saling menguntungkan; mencegah

dan menghindari konflik; serta mengubah kondisi-kondisi persaingan

(kompetisi) dan pertentangan (konflik) menjadi kerjasama. Jadi, dari

persaingan dan pertentangan juga dapat melahirkan kerjasama, tergantung

bagaimana pemerintah antar negara yang terlibat pertentangan itu

menyelesaikan masalah yang terjadi.

33 Ibid. Hal.93

(39)
(40)

BAB III

GAMBARAN UMUM

A. Konflik Papua

1. Sejarah Konflik Papua

Konflik Papua merupakan konflik yang terjadi di tanah Papua yang

meliputi Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat secara administratif.

Penyebab konflik ini terjadi sejak wilayah ini resmi menjadi bagian dari

NKRI dan berkembang menjadi konflik yang sangat kompleks dengan

berbagai faktor internal dan eksternal yang menunjang konflik ini.

Sumber konflik Papua mencakup empat isu strategis sebagai

berikut: sejarah integrasi Papua ke wilayah NKRI dan identitas politik

orang Papua; kekerasan politik dan pelanggaran HAM; gagalnya

pembangunan di Papua; dan inkonsistensi pemerintah dalam implementasi

Otsus serta marjinalisasi orang asli Papua. Secara historis, penafsiran

terhadap sejarah integrasi, status politik, dan identitas politik Papua

muncul sebagai hasil pertarungan politik kekuasaan pada masa

dekolonisasi Papua. Sedangkan kekerasan politik dan kegagalan

pembangunan merupakan implikasi dari rezim otoritarianisme Orde Baru.

Sementara itu, inkonsistensi pemerintah dalam imlementasi Otsus lebih

merupakan persoalan yang muncul pada masa pasca-Orde Baru.

a. Sejarah Integrasi dan Identitas

Konflik Papua lebih disebabkan oleh perbedaan tajam dalam

(41)

nasionalis Indonesia, Papua adalah bagian dari masyarakat Indonesia,

terlepas perbedaan-perbedaan ras maupun kebudayaan. Sementara

menurut nasionalsi Papua, ke-Papua-an didasarkan pada perbedaan ras

antara orang Indonesia ras melayu dengan orang Papua ras Melanesia. Pada sisi lain, dapat dilihat bahwa ke-Papua-an merupakan

identitas politik yang dibentuk oleh pengalaman pada masa kolonial

dan dikonstruksi sebagai anti-tesis dari ke-Indonesiaan. Menurut

Chauvel, nasionalisme Papua dibentuk oleh empat faktor utama

sebagai berikut. Pertama, sebagian Papua berbagi kekecewaan sejarah

dimana tanah airnya diintegrasikan dengan Indonesia. Kedua, elite

Papua merasakan sebuah persaingan dengan pejabat Indonesia yang

telah mendominasi pemerintahan sejak periode Belanda. Ketiga,

pembangunan ekonomi dan pemerintahan di Papua melanjutkan sense

of difference (perasaan berbeda). Keempat, banyaknya pendatang dari

luar Papua yang memperbesar perasaan bahwa orang Papua

dimarjinalisasikan.35

Sementara itu, Mc Gibbon berpendapat bahwa berkembangnya

nasionalisme Papua di dorong oleh janji Pemerintah Belanda untuk

memberikan kemerdekaan kepada Papua. Namun karena posisi

Belanda lemah, Belanda menjadi segan untuk membicarakan

kemerdekaan dengan elite-elite Papua. Menurut McGibbon, walaupun

gagal mendeklarasikan kemerdekaan Papua, tindakan ini telah

dimajukan oleh nasionalis Papua kontemporer sebagai momen

(42)

mendasar yang menandai Papua sebagai negara merdeka. Penerimaan

hasil Pepera oleh sidang umum PBB menunjukkan bagaimana model

penyelesaian status politik Papua dalam konteks perang dingin tanpa

melibatkan peranan dari pemimpin-pemimpin Papua.36

Berdasarkan paparan di atas, dapat diketahui bahwa pengalaman

bersama rakyat Papua pada masa kolonisasi Belanda telah

menumbuhkan identitas kolektif orang Papua dan pemahaman

mengenai sejarah Papua. Istilah Papua sendiri pada awalnya

merupakan terminologi politik yang dipopolerkan pada masa kolonial.

Wacana mengenai sejarah integrasi Papua dan status politik Papua oleh

pemerintah Indonesia merupakan wacana kolonial yang bersifat

politik. Historiografi dan status politik Papua harus dilihat sebagai

hasil pertarungan politik antara Indonesia dan Belanda di mana rakyat

Papua tidak dilibatkan di dalamnya. Namun, yang harus menjadi

catatan adalah bahwa konstruksi nasionalisme Papua ini telah dibentuk

pada masa kolonial Belanda yang mungkin saja ditujukan oleh

Belanda untuk mengklaim perbedaan ras orang Papua dengan orang

Indonesia dan mempertahankan kekuasaan Belanda di Tanah Papua.37

b. Kekerasan Politik

Sebagai Implikasi dari konstruksi nasionalisme Indonesia yang

didefinisikan secara militeristik, maka upaya untuk mempertahankan

keutuhan NKRI serupa dan sebangun dengan perang melawan musuh

yang nyata dan bersenjata. Bagi para nasionalis Indonesia yang

36 Rodd McGibbon, 2004, Plural Society in Perils: Migration, Economic Change, and the Papua Conflict, Policy studies, hal. 9

(43)

didominasi oleh wacana patriotisme, keutuhan NKRI adalah harga

mati dan gagasan untuk memisahkan dari NKRI ialah bertentangan

dengan hokum. Konsepsi NKRI sampai sekarang ini adalah hegemonic

official text tentang nasionalisme yang absah dan mendapat legitimasi.

Pada masa Orde Baru, negara direpresentasikan oleh militer dan

kepentingan negara ialah kepentingan militer dengan formulasi poltik

NKRI.38

Ketika kebijakan politik negara gagal mengakomodasi

kepentingan rakyat maka tindakan mengkritik institusi negara tidak

lain adalah mengkritik institusi militer. Implikasinya, gerakan protes

yang dilakukan oleh rakyat Papua terhadap kebijakan negara yang

meminggirkan mereka dihadapi dengan pendekatan keamanan. Selain

itu, gerakan separatis yang dipelopori oleh OPM dihadapi dengan

menggunakan kekuatan militer. Walaupun orde baru telah jatuh, namun

karakteristik militerisme yaitu kekerasan dan sentralisme, dalam

pendekatan negara terhadap rakyat Papua masih nampak.

Sejak Soeharto jatuh pada 1998 dan reformasi politik bergulir,

kekerasan oleh aparat negara tidak berhenti. Saat itu tuntutan

kemerdekaan Papua meluas dan dilakukan dengan terbuka. Tuntutan

ini mengundang represi yang juga meningkat. Tahun-tahun 1998

hingga 2006 adalah masa yang diwarnai secara dominan oleh

kekerasan politik, utamanya oleh aparat keamanan, baik TNI maupun

polisi.39

38 Muridan S. Widjojo, Op. Cit, hal. 11

(44)

Jika ditelusuri lebih jauh, kekerasan terhadap rakyat Papua

memiliki dimensi yang sangat kompleks dan luas, yaitu tidak hanya

kekerasan fisik namun juga kekerasan psikologis dan struktural.

Berkaitan dengan konflik Papua, Theo Van Den Broek sebagaimana

dikutip oleh laporan penelitian LIPI tahun 2005, mengidentifikasi

kekerasan dan pelanggaran HAM secara lebih detail ke dalam

beberapa bentuk sebagai berikut:40 (1) kekerasan terhadap individu, (2)

kekerasan terhadap masyarakat pada suatu daerah, (3) kekerasan

psikologis, (4) kegiatan bisnis yang berpeluang melanggar HAM, dan

(5) kekerasan struktural dalam yaitu kebijakan-kebijakan negara yang

berpeluang melanggar HAM.

Pada masa reformasi, militer tidak lagi menjadi satu-satunya

representasi negara baik di Jakarta maupun di Papua. Tindakan

kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan baik pada masa orde

baru maupun pasca orde baru sangat sulit untuk diselesaikan melalui

jalur hukum. Hal ini disebabkan oleh logika negara yang masih

didominasi oleh konsepsi NKRI dan konstruksi nasionalisme-militer.

Walaupun HAM di atur dalam undang-undang negara dan diberikan

tempat dalam wacana politik nasional, namun hanya menjadi simbol

yang tidak bermakna. c. Kegagalan Pembangunan

Menurut hasil penelitian LIPI tahun 2004, disparitas ekonomi

dan pembangunan antara Papua dengan daerah-daerah lain di

No.3, hal 410-430

(45)

Indonesia tidak terlepas dari adanya conflict of interest para pendatang

di Tanah Papua, diskriminasi kebijakan pusat kepada daerah, dan

eksploitasi budaya dan SDA Papua yang menyebabkan terjadinya

kesenjangan pembangunan di Papua.41

Kesenjangan Pembangunan juga terlihat dari kondisi

pertumbuhan ekonomi yang rendah walaupun pada saat ini ada

otonomi khusus namun jumlah penduduk yang hidup di bawah garis

kemiskinan semakin meningkat. Dari 2.556.419 orang penduduk

Papua pada tahun 2004, jumlah penduduk miskin mencapai 43%.

Menurut keterangan ketua BPS Provinsi Papua terdapat 47,99%

keluarga di Papua dan 36,85% keluarga di Papua Barat pada Maret

2006 dapat dikategorikan sebagai keluarga miskin. Selain itu

kempung-kampung (desa) di Papua juga termasuk dalam kategori

kampong (desa) miskin atau tertinggal. Mayoritas kampung di Papua

(82,83%) dan Papua Barat (81,29%) merupakan kampung tertinggal.42

Belum adanya pembangunan infrastruktur dasar seperti

pembangunan jalan dan jembatan yang dihubungkan antara wilayah

kota pesisir dan pedalaman menyebabkan kehidupan masyarakat Papua

yang tinggal di wilayah terpencil atau pedalaman tetap mengalami

keterisolasian. Kehidupan mereka jarang tersentuh dari perubahan

peradaban baru. Kondisi ketertinggalan kehidupan tersebut selalu

dieksploitasi oleh kelompok tertentu untuk kepentingan politik dan

(46)

ekonomi termasuk bahan kampanye yang mendiskreditkan pemerintah

Indonesia bahwa tidak mampu membangun rakyat Papua.

Pembangunan dibidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi

sejak Papua berintegrasi dengan republik Indonesia sampai dengan

saat ini tetap saja tertinggal jauh dari kemajuan daerah lain di

Indonesia. Tercatat bahwa pada tahun 2001, 75% penduduk asli Papua

tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang layak, 50% tidak

pernah mendapatkan pendidikan formal atau tidak lulus dari sekolah

dasar, 22% hanya lulus dari sekolah dasar, 10% lulus dari sekolah

menengah umum, dan 2% lulus dari universitas.43 Hal ini senantiasa

mendorong pemikiran kritis dari sebagian orang Papua bahwa

berintegrasi dengan Republik Indonesia ternyata membawa nasib

kurang beruntung bagi bangsa Papua, Pemikiran kritis tesebut

kadangkala mempengaruhi opini publik bagi orang Papua, kemudian

sewaktu-waktu muncul ekspresi penentangan yang berhadapan dnegan

aparat negara. Kondisi demikian, bisa diasumsikan bahwa ternyata

secara ideologis dan sosiologis orang Papua belum berintegrasi penuh

ke dalam NKRI. Hal ini juga ditegaskan oleh Sofyan Socrates Yoman,

bahwa pemerintah Indonesia hanya berhasil mengintegrasikan wilayah

dan ekonomi, tetapi gagal mengintegrasikan manusia Papua ke dalam

Indonesia, manusia Papua selalu menjadi lawan.44

43 Yulia Suganda, 2008, Analisis Konflik dan Rekomendasi Kebijakan Mengenai Papua, Jakarta, hal. 5

44 Sofyan Socrates Yoman, 2007, Pemusnahan Etnis Melanesia, Memecah

(47)

Sebenarnya, Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang

Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua hadir untuk menjawab semua

masalah termasuk kesenjangan pembangunan di tanah Papua. Akan

tetapi kenyataannya masih menunjukkan bahwa, pelaksanaan dari

undang-undang tersebut belum mampu menjawab semua masalah

termasuk kesenjangan pembangunan tadi. Kondisi kehidupan orang

Papua sebelum otonomi khusus sampai dengan diberlakukannya

otonomi khusus tetap sama, bahkan setelah otonomi khusus semakin

parah kehidupan orang Papua. Oleh sebab itu rakyat Papua merasa

bahwa tidak ada manfaatnya otonomi khusus bagi orang Papua, lalu

mereka beramai-ramai menyatakan menolak otonomi khusus dan

menawarkan solusi lain dengan mendesak dilakukannya dialog

nasional dan internasional antara Indonesia-Papua dan PBB bahkan

meminta dilakukan referendum.45

Data BPS (2010) menunjukkan angka kemiskinan Provinsi

Papua sampai dengan bulan Juli 2009 mencapai 34,77%, Provinsi

Papua Barat mencapai 34,88%, sedangkan Index Pembangunan

Manusia (IPM) terendah dari seluruh Provinsi di Indonesia yaitu 63,53

untuk Provinsi Papua dan 68,58 untuk Papua Barat.46 Dari data statistik

tersebut menunjukkan bahwa walaupun saat ini di wilayah Tanah

Papebut menunjukkan bahwa walaupun saat ini di wilayah Tanah

Papua berlaku otonomi khusus dengan dibarengi pelimpahan

45 Paskalis Kossay, 2011, Konflik Papua: Akar masalah dan Solusi, Jakarta, Tollelegi, hal. 109

(48)

kewenangan Pemerintahan maupun peningkatan kapasitas keuangan

daerah untuk pembangunan Papua, ternyata tidak mensejahterakan

kehidupan rakyat Papua. Malahan kehidupan orang Papua tetap

tertinggal.

d. Marjinalisasi orang asli Papua

Ketika pemerintah RI berkuasa dan situasi politik semakin

stabil, jumlah dan arus migrasi mulai membesar sejak 1970-an.

Pendatang dari berbagai daerah di Indonesia, baik melalui transmigrasi

yang disponsori pemerintah maupun migrasi spontan, secara kualitatif

memang sudah lebih unggul daripada orang asli Papua. Marjinalisasi

sudah dimulai sejak awal. Di semua bidang mulai dari birokrasi sipil

dan militer, partai-partai plitik, ekonomi produksi, perdagangan,

hingga jasa. Secara simbolis ketersingkiran atau marjinalisasi orang

asli Papua seringkali ditunjukkan dengan kondisi para pedagang

eceran.47

Sebagian besar pendatang lebih berpengalaman dan

berpendidikan daripada orang asli Papua. Selain itu mereka biasanya

juga memilki jaringan sosial dan ekonomi lebih baik. Kekalahan

bersaing, marjinalisasi dan perasaan terdiskriminasi menumbuhkan

perasaan kolektif orang asli Papua bahwa eksistensi mereka sebagai

entitas dan penduduk asli yang seharusnya menjadi tuan di tanah

Papua benar-benar terancam. Di kalangan elitnya, kenyataan ini

dipertajam dengan wacana yang intinya mengatakan bahwa orang asli

Referensi

Dokumen terkait

Nilai tambah pertumbuhan ekonomi Aceh dari kegiatan usaha hulu Migas yang baik dan benar akan mampu membangun peradaban moderen yang sesuai dengan prinsip-prinsip, teori-teori

3 daring yang dilaksanakan oleh guru sehingga interaksi guru dalam proses pembelajaran daring tidak berjalan dengan efektif dikutip oleh (Pohan, 2020). Hal itu

Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 81 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Informasi Publik Di Lingkungan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang telah

Di samping itu, kulit juga banyak dimanfaatkan bendel buku serta dalam dunia desain interior, kulit dimanfaatkan sebagai wallpaper atau pelapis mebel.Seluas pemanfaatannya, jenis

Evaluasi terhadap pegawai tata usaha atas aktivitas pegawai tata usaha tersebut merupakan suatu bentuk penilaian, jika pada saat evaluasi ditemukan hal-hal

Iako je u Republici Hrvatskoj zakonski propisano upravljanje i raspolaganje nekretninama i Državni ured za reviziju provodi godišnje kontrole učinkovitosti, to ne

Tradisi padusan yang dilakukan di “SMA” Senjoyo merupakan tradisi yang diturunkan dari para wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia.. Makna

Hasil tangkapan utama nelayan trammel net adalah udang banana yang sering disebut dengan istilah lokal udang putih. Hal ini dikarenakan lokasi pengoperasian yang