41 BAB V
Sumber Mata Air Senjoyo Sebagai Sebuah Arena Budaya
5.1 Ritual “Kungkum” Malam 1 Suro
Ritual Malam 1 Suro merupakan ritual yang umum dilakukan masyarakat Jawa pada
umunya. Beragam kegiatan dilakukan untuk memperingati hari besar bagi masyarakat Jawa ini.
Salah satu bentuk tata ritual yang dilakukan masyarakat Jawa untuk memperingati hari besar ini yakni dengan melakukan ritual tapa “Kungkum”. Ritual tapa “Kungkum” adalah ritual merendam diri di dalam air sebatas dada dengan durasi beberapa waktu. Kegiatan ini biasanya memanfaatkan embung, sungai, pertemuan 2 sungai sebagai tempat pelaksanaan “Kungkum”. “SMA” Senjoyo bagi masyarakat Jawa Tengah merupakan pusat kegiatan ritual “Kungkum”. Beragam masyarakat dari berbagai daerah pada waktu malam 1 Suro memadati tempat ini untuk melakukan beragam kegiatan “Kungkum”..
Ritual “Kungkum” merupakan bentuk tradisi yang diturunkan dari satu generasi ke generasi. Awalnya kegiatan ini merupakan kegiatan yang dilakukan oleh nenek-moyang
masyarakat desa Tegalwaton. Melalui proses perulangan kebudayaan ini tanpa disadari kegiatan
ini membentuk kebiasaan (habitus) masyarakat disana. Kebiasaan (habitus) masyarakat ini
mendasari tebentuknya arena budaya disana (Fashri, 2014 : 112).
Ritual “Kungkum” merupakan bagian dari arena budaya di “SMA” Senjoyo. Sebagai
sebuah arena tentunya didalamnya terdapat beragam modal yang tersebar. Modal-modal tersebut
yang menjadikan arena ini menarik bagi aktor-aktor (Fashri, 2014 : 113). Kegiatan “Kungkum”
di “SMA” Senjoyo biasanya dilakukan oleh masyarkat yang masih menganut kpercayaan
Kejawen. Hal ini terlihat dengan masih adanya kepercayaan dengan adanya penunggu,
danyang-danyang serta arwah-arwah nenek moyang. Hal ini sperti yang diungkapkan oleh bapak Jasmin.
“Nek ting umbul niku enten sing nunggu mas namine nyai sobrah joyo mas, byasane nek
mbahe niku ngetok ngih opo sing di gayuh bakal kelakon mas”
Menurut kepercayaan masyarakat desa Tegalwaton penunggu yang disebutkan diatas
meruapakan cikal-bakal keberadaan “SMA” Senjoyo, Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari
42
“menurut sejarah orang tua2 dulu,dulunya disini ini alas ada salah satu orang prajurit
itu dari madang kawulan itu dari daerah singasari. Itu ada putra raja bernama Raden
Sanjaya terang keseser itu artinya kewalahan perang sampai disin bertapa didaerah sini
katanya itu lama itu musnah atau hilang,yang tapa itu jadinya sumber mata air. Itu dari
putra raja. Setelah itu di temukan oleh para wali yang madegani Sunan Kalijaga setelah
itu datang juga pangeran dari Penging yaitu Bekti Kanigara membawa anak kecil
namanya Karebet itu datang di Senjaya dan dijadikan murid oleh wali Sunan Kalijaga”
Petikan wawancara diatas menunjukan sebagai sebuah arena budaya ritual “Kungkum” memiliki
dimensi pengetahuan. Mitos-mitos inilah yang terakumulasi menjadi modal pengetahuan
masyarakat disana. Bourdieu dalam fashri menerangkan modal budaya merupakan segala bentuk
akumulasi pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal (Fashri,
2014: 106).
Masyarakat Tegalwaton percaya akan adanya Tuhan, Nabi dan Rasul, namun mereka
juga percaya adanya alam gaib atau makhluk gaib dan kekuatan sakti kejadian aneh yang
kadang muncul di sekitarnya yang tidak bisa dijangkau oleh alam pikiran manusia, namun
mereka tidak memuja penghuni alam gaib. Kepercayaan, adat-istiadat, dan tradisi yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka masih merupakan hal utama dalam kehidupan mereka.
Sehingga tidak mengherankan apabila ada hari-hari tertentu yang dianggap keramat oleh
masyarakat desa pada umumnya khususnya masyarakat Tegalwaton yaitu seperti malam Selasa
Kliwon dan Jum’at Kliwon, masih dijumpai di sekitar Sendang Senjaya yang melakukan
selamatan (kenduri) di tempat-tempat keramat, seperti Sendang Senjaya. Sendang Senjaya
merupakan tempat untuk mengalap berkah. Praktek pemujaan ini tersu rutin dilakukan di “SMA”
Senjoyo. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh kepala dusun Tegalwaton
“Sering to mas wong niku tinggalane mbah-mbah mbien kok mas, kudu diuri-uri mas gen mboten ilang. Mpun dadi kewajiban mas jogo opo peninggalane mbah-mbah mbien
mas…Selain jogo peniggalane mbah-mbah mbien niki sebagai ucapan syukur mas mpun diparingi banu sing kimplah-kimplah. Alhamdulilah mas warga tegalwaton mriki dereng
43
Petikan wawancara diatas menunjukan setiap ritual yang dilakukan di “SMA” Senjoyo merupakan kegaitan pemujaan terhadap Sang Maha Pencipta. Kegiatan ritual ini sebagai bentuk
komunikasi masyarakat kepada Sang Maha Pencipta. Ritual “Kungkum” merupakan kegiatan
yang mempererat relasi kepada Sang Maha Pencipta. Disamping itu kegiatan ini juga berperan
dalam mempererat ikatan sosial masyarkaat disana. Ikatan sosial yang terbentuk menjadi modal
sosial bagi masyarakat (Fashri, 2014: 108).
Cerita yang popular didalam masyarakat Jawa Tengah dahulu merupakan tempat bertapa
Jaka Tingkir. Diceritakan masyarakat Jaka Tingkir merupakan cikal-bakal keberadaan desa
Tegalwaton. Konon kesaktian Jaka Tingkir didapatkan karena sering bertapa “Kungkum” di
“SMA” Senjoyo. Dengan sering bertapa di “SMA” Senjoyo Joko Tingkir bahkan menjadi Sultan
Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Di lereng bukit sebelah Utara Sendang Senjaya ada Makam
Ki Ageng Slamet dan Nyai Welas Asih. Makam tersebut menurut juru kunci Sendang Senjaya,
serta oleh masyarakat Tegalwaton dipercayai sebagai Makam Joko Tingkir dan isteri.
Diceritakan bahwa setelah lengser dari Kesultanan Pajang, beliau meninggalkan istana tanpa
sepengetahuan anak cucu. Masyarakat percaya bahwa rumah Joko Tingkir yang utama dan
pertama di makam tersebut sedangkan rumah yang kedua di mata air Sendang Senjaya.
Sendang Senjaya sampai saat sekarang sangat dipercayai kekeramatannya oleh
masyarakat Desa Tegalwaton maupun masyarakat luar Desa Tegalwaton. Karena dengan nenepi
di Sendang Senjaya berbagai macam permohonan dapat terkabul antara lain ialah ingin diterima
sebagai pegawai negeri, lulus ujian, menjadi lurah, kenaikan pangkat, bahkan usaha diharapkan
menjadi lancar. Hal inilah yang mneyebabkan Sendang Senjaya masih tetap ramai dikunjungi
oleh pengunjung yang membutuhkan berkah air Sendang Senjaya. Desa Tegalwaton biasanya
diadakan pada hari malam Selasa Kliwon, dan pada hari Jumat Kliwon. Hal ini seperti
diungkapkan oleh bapak Jasmin.
“manfaatnya beragam mas,kulo niku seksine mas pas malam seloso kliwon niku wonten piantun 2 nem-neman mas. Mertamu ting mriki madosi kulo nyuwun tulung pitedah
mergi kesaenan lha tujuane nopo mas, kulo niku ngeten pak nembe keno coba enten
masalah urusan wonten pengadilan negara.kulo ngih mboten kagungan niat
njlomprongke ngih mboten mas. Nganu mas kalau mau berani ya punya panyuwun lewat
44
keyakinan anda,ning kulo ken nunggu mas.nanti kalau sudah selesai nanti nyilem ambil
batu nah itu diambil dengan mulut yqa batu atau apa silahkan itu mulai jam 11 sampai
jam 3. Selesai ambil batu yang dicokot itu uang,uang bengol uang dari logam itu lho
100 rupiah itu ya diserahkan saya niki maksudnya apa pak. Ya itu kan panyuwunan ya
ini lambang mudah-mudahanurusan adnda dengan lambang uang seratus nanti bisa
putus ini harus disimpan dibawa. Dia pulang jangka1 bulan lebih ke senjaya
mengucapkan terima kasih membawakan oleh-oleh dan rokok sebagai sukuran disenjoyo.
saya tidak nyangka dan tidak tahu saya hanya menutruti anda ternyata bisa
tercapai.urusan kemarin itu kayaknya orang penting masih muda. Yg saya ketahuai dan
saya tahu seperti itu”
Petikan wawancara diatas menunjukan beragam motivasi yang melatrbelakangi para pelaku
ritual. Dalam konteks ini terdapat modal simbolik yang ingin dicapai oleh para pelaku ritual.
Modal simbolik dapat dijelaskan yakni segala bentuk pengakuan diri hal ini dapat berupa
prestice, status, otoritas dan bentuk legitimasi- legitimasi diri (Fashri, 2014: 109).
Kegiatan ritual ini juga menjadi berkah bagi masyarakat didesa Tegalwaton. Keramaian
pengunjung yang datang sering dimanfaatkan masayarakat untuk berjualan makanan dan
minuman bagi para pengunjung. Aspek ekonomi yang dapat dikembangkan dalam ritual ini
adalah penarikan retribusi parkir dan tiket masuk. Dalam aras kebijakan rencana tujuan ritual
budaya di “SMA” Senjoyo masukdidalam penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata
Kabupaten Semarang, struktur perwilayahan pengembangan pariwisata Kabupaten Semarang
akan dibagi dalam 4 Wilayah Pengembangan Pariwisata (WPP) dan 10 Kawasan Pengembangan
Pariwisata (KPP). Kawasan Senjoyo masuk dalam WPP-4 dan KPP-1. KPP-1 ini termasuk
didalamnya Kecamatan Tengaran, Kecamatan Suruh, Kecamatan Susukan dan Kecamatan
Kaliwungu dengan pusat pelayanan di Kecamatan Tengaran. Obyek dan Daya Tarik Wisata
(ODTW) KPP-1 adalah Kawasan Senjoyo dengan mata airnya, Candi Kreo dan budaya kesenian
rakyat. Rencana pengembangan Kawasan Senjoyo menjadi obyek wisata didasarkan adanya
kunjungan orang yang percaya akan nilai mistis dari mata air Senjoyo. Mereka berkunjung pada
malam-malam tertentu seperti malam Selasa dan Jum’at kliwon, malam 1 Syuro, malam tanggal
15 dalam penanggalan Jawa dan kunjungan terbanyak terjadi pada malam ke 21 bulan Ramadhan
45
tujuan untuk memperoleh berkah maupun menyongsong datangnya Lailatul Qodar (Rahmawati,
2007: 56). Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan kepala dusun Jubug.
“Ya, itu mas dari penjual-penjual itu bisa memanfaatkan kegiatan ini untuk berjualan makanan dan minuman, dan penyewaan tempat untuk para pengunjung yang datang
mas. Ya kaalu missal hari-hari biasa itu pendapatan 100.000 pas ada kegiatan ini bisa
lah mas pendapatan meningkat dau kalilipat mas. Mosok orang yang darang kesini ndak
minum dan ndak makan to mas. Kegiatan ini biasanya ramai mas sampai pagi hari. Jadi
pengunjung itu juga membawa berkah mas bagi para penjual makan dan minuman
masyarakat disana”
Petikan wawancara diatas menunjukan sebagai sebuah arena “SMA” Senjoyo terdapat modal ekonomi. Hal inilah yang menjadikan arena ini menarik bagi beragam aktor. Arena lahir tidak
dari kekosongan. Selalu ada pergerakan-pergerakan imajinatif yang dilakukan aktor (Fashri,
2014: 92).
5.2 Ritual Padusan
Masyarakat Jawa khusunya yang mememluk agama Islam terdapat suatu tradisi yang
rutin dilakukan. Tradisi tersebut yakni tradisi Padusan. Padusan sendiri dalam bahasa Jawa
beerasal dari kata adus yang berarti mandi. Sehari sebelum menjalankan puasa masyarakat sering melakukan tradisi padusan. Tradisi padusan yang dilakukan di “SMA” Senjoyo merupakan tradisi yang diturunkan dari para wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia. Makna dari
padusan sendiri adalah membersihakan segala kotoran yang menempel di badan dan jiwa
manusia. Hal ini bertujuan dalam menjalani puasa agar bersih dari jasmani dan rohani. Umunya
ritual padusan dilakukan di umbul, sungai, sumber mata air dan pertemuan-pertemuan dua sumber mata air. Kegiatan ini biasanya dilakukan secara masal. “SMA” Senjoyo merupakan salah satu lokasi favorit masyarakat dalam melakukan ritual tradisi ini. Menurut cerita
masyarakat desa Tegalwaton dulunya daerah ini pernah dijadikan tempat mandi Sunan Kalijaga.
Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali yang ikut menyebarkan ajaran-ajaran Islam di Jawa
Tengah. Lantas kondisi inilah yang mendorong masyarakat memilih tempat ini untuk melakukan
46
Tradisi padusan dan puasa merupakan bagian dari tradisi yang jauh sebelum ajaran Islam
masuk ke Indonesia. Jauh sebelum itu pada masa kerajaan Hindu tradisi puasa dan padusan
sudah dilakukan oleh masyarakat pada waktu itu. Kegiatan padusan dan puasa umumnya
dilakukan para ksatria dan brahmana. Hal ini merupakan sebagai bentuk penyucian diri. Padusan
dalam konteks sekarang merupakan hasil akulturasi budaya yang dilakukan oleh para wali songo
yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Hal ini sebagaiamana diungkapkan oleh kepala
dusun Jubug
“bisa dibilang padusan itu peninggalan para wali mas. Dulu Sunan Kalijaga sering
memanfaatkan kejernihan air Senjoyo ini untuk mandi padusan mas. Tepatnya di Umbul
Senjoyo itu mas. Kanjeng Sunan Kalijaga merupakan guru dari Jaka Tingkir mas . Tapi
didalam ajaran Kejawen pun puasa itu juga dianjurkan mas. Malah didalam aj aran
Kejawen itu jenis-jenis puasa banyak mas. Seperti puasa mutih, ngkropo, ngebeleng
dll”1.
Kepala dusun Jubug juga menambahkan.
“Padusan itu sebagai sarana mensucikan diri mas sebelum berpuasa. Ini juga sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Gusti. Agar dalam menjalankan puasa sebulan itu di
ijabahi mas kalian Gusti (di berkati mas dengan Tuhan)”2
Hal serupa juga diungkapkan oleh bapak Jasmin yakni
“Tradisi padusan itu tradisi yang sifatnya turun temurun mas. Dari jaman para wali
kegiatan ini sudah dilakukan dan sampai sekarang kegiatan ini masih dilakukan. Kan
sebagai orang Jawa kita harus meneruskan apa yang sudah menjadi kewajiban kita
menjaga dan meneruskan ajaran-ajaran nenek-moyang mas3”
Dalam konteks ini ritual Padusan memiliki makna pengetahuan bagi masyarakat yang
menjalankan tradisi ini disini. Pengetahuan dalam tradisi ini berdasarkan ajaran agama Islam.
Corak Islami sangat kental didalam ritual tradisi ini. Pengethuan ini terbangun melalui
praktek-praktek ajaran agama Islam (Fashri, 2014 : 106).
1
Hasil wawancara dengan kepala dusun Jubug 2
Hasil wawancara dengan kepala dusun Jubug 3
47
Tradisi padusan seiring perkembangan zaman mengalami perkembangan. Dalam konteks
“SMA” Senjoyo tradisi ini menagalami pergeseran. Pengunjung pada saat tradisi ini dilakukan
tidak hanya didominasi oleh para pelaku yang ingin melakukan tradisi ini namun yang hanya
sekedar berjalan-jalan dan sifatnya plesiran. Hal ini seperti diungkapkan oleh kepala dusun
Jubug.
“Pada saat Padusan malah lebih ramai mas pengunjungnya, biasanaya masyarakat ya itu tadi mas memanfaatkan padusan untuk berjualan makanan dan minuman mas. Trus
dari penarikan retribusi parkir dan tiket masuk mas dari para pengunjung. Dana ini
anantinya kan bisa digunakan untuk merawat fasilitas-fasilitas di Senjoyo mas. Seperti
penerangan, jalan-jalan yang rusak”4
Keberadan ritual padusan ini mnjadikan berkah bagi masyarakat disana. Keramaian
pengunjung menambah ekonomi masyarakat disana khususnya bagi para pedagan. Masyarakat
sendiri juga diuntungkan dengan adanya kegiatan ini. Dalam hal ini secara tidak langsung juga
mempromosikan potensi-potensi lainyang ada di desa Tegalwaton. Selain potensi “SMA”
Senjoyo, potensi lain di desa Tegalwaton adalah arena pacuan kuda. Terkhusus untuk kegiatan
tradisi ini ramainya pengunjung menambah nilai ekonomis masyarakat disana. Hal ini seperti diungkapkan oleh penjual di “SMA” Senjoyo.
“Kalu pas rame itu hari Sabtu dan Minggu itu hari-hari biasa mas. Tapi ya kalau pas ada padusan ya ramai mas. ya sedikit-sedikit naik lah mas pendapatanya. heheh tapi
pastinya berapa ndak tau mas. Tapi yang jelas meningkat mas”5
Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh kepala dusun Jubug.
“Itu diadakan dari desa mas. Kemarin itu ada drumblek mas. Kemarin itu juga ada mas reog dan dangdut mas. Ini untuk pengunjung yang datang kesini mas. Terkadang kan
orang kesini tidak hanya padusan mas, tetapi yang jalan jalan banyak mas. Waktunya
pas siang jadi pengunjung yang datang banyak mas. Ratusan hingga ribuan yang datang
kesini mas”
4
48
Keberadaan hiburan seperti yang telah diungkapkan diatas merupakan salah satu cara menarik pengunjung dari luar daerah agar berkunjung ke “SMA” Senjoyo. Karena sebagian para pengunjung hanya ingin berjalan-jalan dan menikmati keasrian “SMA” Senjoyo. Kegiatan ini
juga melibatkan masyarakat sekitar sebagai penyelengara kegiatan ini. Perihal ini diungkapkan
oleh bapak Edi Siswanto.
“Sudah mas, kami sudah mulai terlibat didalam setiap aktivitas seperti itu kemarin
Padusan dan Suronan kami mulai terlibat didalamya Seperti penarikan tiket masuk dan
ikut menjaga acara agar kondusif. Kami juga ikut terlibat didalam pelaksanaan acara.
Dari mulai publikasi acara, dekor dan acara pelaknsanaan”6 .
Kegiatan ini juga dimanfaatkan untuk menambah pendapatan desa dengan memanfaatkan
penarikan retribusi parkir dan tiket masuk. Pada saat kegiatan ini para pengunjung dikenakan
biasya masuk sebesar 7.000 rupiah. Dengan ketentuan 3.000 sebagai biaya parkir dan 4.000
sebagai tiket masuk. Dengan dikenakan biaya sebesar itu diharapkan dana yang sudah masuk dapat digunakan masyarkat untuk beragam perawatan dan perbaikan di “SMA” Senjoyo.
Fakta-fakta yang dipaparkan diatas menunjukan arena budaya ritual padusan sebagai
arena yang strategis. Dalam hal ini arena padusan juga menjadi arena produksi ekonomi.
Menurut Bourdieu dalam kutipanya modus berpikir ekonomi yang semula hanya dalam tataran
organisasi dalam dunia kehidupan ekonomi sekarang mengkooptasi dunia kehidupan yang
mencakup tatanan kehidupan sosial, politik hingga budaya (Fashri, 2014: 180).
5.3 Tradisi Dawuhan
Tradisi yang berkaitan dengan “SMA” Senjoyo adalah tradisi Dawuhan. Tradisi Dawuhan merupakan tradisi yang sering dilakukan masyarakat dusun Jubug dan Rekesan. Seperti tradisi
“Kungkum” tradisi ini merupakan tradisi peninggalan nenek-moyang masyarakat dusun Jubug.
Bebeda dengan kegiatan “Kungkum” kegiatan ini adalah kegiatan yang rutin dilakukan khususnya masyarakat dusun Jubug dan Rekesan. Hal ini seperti diungkapkan oleh kepala dusun
Jubug.
6
49
“Masyarakat disini bersyukur mas karena masih diberikan air yang berlimpah. Setiap
kemarau panjang pun masyarakat disini tidak pernah kekurangan air bersih mas.
Sebagai ucapan terima kasih kepada mbahe yang telah meberikan air berlimpah kita
harus menjaganya mas”7
Kegiatan tradisi merupakan kegiatan yang dilakukan masyarkat sebagai ucaan syukur kepada
Tuhan yang memelihara masyarakat disana dengan memberikan keberlimpahan air. Berdasarkan
nilai- nilai pengetahuan inilah yang menentukan bentuk praktek kegiatan ini (Fashri, 2014: 109).
“Kegiatan yang sering dilakukan disini adalah bersih sendang mas. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarkat desa Tegalwaton mas. Kegiatan ini biasanya didahului dengan
perawatan kebersihan sendang mas. Sampah-sampah itu dibersihkan mas. Setelah itu
kegiatan dilanjutkan dengan upacara slametan di Umbul mas. Dulu hanya sering
dilakukan oleh warga sini mas. Tapi sekarang orang-orang dari luar juga sering gabung
mas. Sing kemarin itu juga ada dari pak tantara mas. itu katane dari 411 atau dari mana
itu saya lupa mas. Trus ada juga beberapa dari warga Bener, Tugu Kadipurwo mas”
Pelaksananan Bersih Sendang di Tegalwaton dilakukan pada bulan Agustus jatuhhari Jum’at
Legin dan untuk waktu pelaksanaanya kegiatan ini dimulai pada pagi hari dan menjeang siang
hari pukul 11.00 WIB . Selesainya kegiatan ini biasanya ditandai dengan berdoa bersama
dipelataran Umbul Senjoyo, setiap warga yang datang membawa ayam yang sudah dimasak
dengan cara dibakar dan sambal untuk perlengkapan kenduri bersama dengan macam-macam
makanan pelengkap dari semua warga.
“Kegiatan ini murni mas dilakukan mandiri oleh masyarakat disini. Kegiatan ini gotong -royong mas dari masyarakat. Masyarakat secara sukarela mas membawa nasi tumpeng
sebagai selamatan. Ini kan karena kita melihat Senjoyo itu sebagai warisan yang kita
tinggal meneruskan, menjaga dan merawat mas. Coba kalau tidak ada Senjoyo kita bakal
kesusahan dapat air mas”
Petikan wawancara diatas menunjukan kegiatan ini adalah kegiatan yang secara swadaya dilakukan masyarakat. Latar belakang rasa memiliki bersama “SMA” Senjoyo inilah yang
7
50
mendorong masyarakat secara sukarela melaksanakan kegiatan ini. Pernyataan ini diungkapkan
oleh kepala dusun Jubug.
“Kegiatan ini sebagai capan syukur mas karena telah diberi air yang berlimpah. Bahwasanya setiap hal apapun kalau tidak dijaga dan dirawat kan rusak to mas. Ini juga
sebagai bentuk kegiatan dalam meneruskan apa yang sudah ditinggalkan oleh
mbah-mbah dulu mas. Kita sebagai generasi muda hanya bisa meneruskan dan menjaga,
merawat apa yang sudah diberikan kepada kita to mas”.
Petikan wawancara diatas menunjukan nilai-nilai yang hidup ini berkembang menjadi norma
didalam masyarakat. Norma-norma yang hidup inilah yang membangun ikatan kolektif
masyarakat dusun Jubug. Ikatan-ikatan ini tumbuh menjadi modal sosial didalam masyarkat.
Modal sosial adalah adalah corak-corak kehidupan sosial jaringan-jaringan, norma-norma dan
kepercayaan yang menyanggupkan para partisipan untuk bertindak bersama lebih efektif untuk