• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Memahami Arena Budaya dan Modal Budaya di Dalam Sumber Mata Air (‘‘SMA”) Senjoyo di Desa Tegalwaton, Kabupaten Semarang: Dari Perspektif Pierre Bourdieu"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

41 BAB V

Sumber Mata Air Senjoyo Sebagai Sebuah Arena Budaya

5.1 Ritual “Kungkum” Malam 1 Suro

Ritual Malam 1 Suro merupakan ritual yang umum dilakukan masyarakat Jawa pada

umunya. Beragam kegiatan dilakukan untuk memperingati hari besar bagi masyarakat Jawa ini.

Salah satu bentuk tata ritual yang dilakukan masyarakat Jawa untuk memperingati hari besar ini yakni dengan melakukan ritual tapa “Kungkum”. Ritual tapa “Kungkum” adalah ritual merendam diri di dalam air sebatas dada dengan durasi beberapa waktu. Kegiatan ini biasanya memanfaatkan embung, sungai, pertemuan 2 sungai sebagai tempat pelaksanaan “Kungkum”. “SMA” Senjoyo bagi masyarakat Jawa Tengah merupakan pusat kegiatan ritual “Kungkum”. Beragam masyarakat dari berbagai daerah pada waktu malam 1 Suro memadati tempat ini untuk melakukan beragam kegiatan “Kungkum”..

Ritual “Kungkum” merupakan bentuk tradisi yang diturunkan dari satu generasi ke generasi. Awalnya kegiatan ini merupakan kegiatan yang dilakukan oleh nenek-moyang

masyarakat desa Tegalwaton. Melalui proses perulangan kebudayaan ini tanpa disadari kegiatan

ini membentuk kebiasaan (habitus) masyarakat disana. Kebiasaan (habitus) masyarakat ini

mendasari tebentuknya arena budaya disana (Fashri, 2014 : 112).

Ritual “Kungkum” merupakan bagian dari arena budaya di “SMA” Senjoyo. Sebagai

sebuah arena tentunya didalamnya terdapat beragam modal yang tersebar. Modal-modal tersebut

yang menjadikan arena ini menarik bagi aktor-aktor (Fashri, 2014 : 113). Kegiatan “Kungkum”

di “SMA” Senjoyo biasanya dilakukan oleh masyarkat yang masih menganut kpercayaan

Kejawen. Hal ini terlihat dengan masih adanya kepercayaan dengan adanya penunggu,

danyang-danyang serta arwah-arwah nenek moyang. Hal ini sperti yang diungkapkan oleh bapak Jasmin.

“Nek ting umbul niku enten sing nunggu mas namine nyai sobrah joyo mas, byasane nek

mbahe niku ngetok ngih opo sing di gayuh bakal kelakon mas”

Menurut kepercayaan masyarakat desa Tegalwaton penunggu yang disebutkan diatas

meruapakan cikal-bakal keberadaan “SMA” Senjoyo, Hal ini diperkuat dengan pernyataan dari

(2)

42

“menurut sejarah orang tua2 dulu,dulunya disini ini alas ada salah satu orang prajurit

itu dari madang kawulan itu dari daerah singasari. Itu ada putra raja bernama Raden

Sanjaya terang keseser itu artinya kewalahan perang sampai disin bertapa didaerah sini

katanya itu lama itu musnah atau hilang,yang tapa itu jadinya sumber mata air. Itu dari

putra raja. Setelah itu di temukan oleh para wali yang madegani Sunan Kalijaga setelah

itu datang juga pangeran dari Penging yaitu Bekti Kanigara membawa anak kecil

namanya Karebet itu datang di Senjaya dan dijadikan murid oleh wali Sunan Kalijaga

Petikan wawancara diatas menunjukan sebagai sebuah arena budaya ritual “Kungkum” memiliki

dimensi pengetahuan. Mitos-mitos inilah yang terakumulasi menjadi modal pengetahuan

masyarakat disana. Bourdieu dalam fashri menerangkan modal budaya merupakan segala bentuk

akumulasi pengetahuan yang diperoleh melalui pendidikan formal maupun non formal (Fashri,

2014: 106).

Masyarakat Tegalwaton percaya akan adanya Tuhan, Nabi dan Rasul, namun mereka

juga percaya adanya alam gaib atau makhluk gaib dan kekuatan sakti kejadian aneh yang

kadang muncul di sekitarnya yang tidak bisa dijangkau oleh alam pikiran manusia, namun

mereka tidak memuja penghuni alam gaib. Kepercayaan, adat-istiadat, dan tradisi yang

diwariskan oleh nenek moyang mereka masih merupakan hal utama dalam kehidupan mereka.

Sehingga tidak mengherankan apabila ada hari-hari tertentu yang dianggap keramat oleh

masyarakat desa pada umumnya khususnya masyarakat Tegalwaton yaitu seperti malam Selasa

Kliwon dan Jum’at Kliwon, masih dijumpai di sekitar Sendang Senjaya yang melakukan

selamatan (kenduri) di tempat-tempat keramat, seperti Sendang Senjaya. Sendang Senjaya

merupakan tempat untuk mengalap berkah. Praktek pemujaan ini tersu rutin dilakukan di “SMA”

Senjoyo. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh kepala dusun Tegalwaton

“Sering to mas wong niku tinggalane mbah-mbah mbien kok mas, kudu diuri-uri mas gen mboten ilang. Mpun dadi kewajiban mas jogo opo peninggalane mbah-mbah mbien

mas…Selain jogo peniggalane mbah-mbah mbien niki sebagai ucapan syukur mas mpun diparingi banu sing kimplah-kimplah. Alhamdulilah mas warga tegalwaton mriki dereng

(3)

43

Petikan wawancara diatas menunjukan setiap ritual yang dilakukan di “SMA” Senjoyo merupakan kegaitan pemujaan terhadap Sang Maha Pencipta. Kegiatan ritual ini sebagai bentuk

komunikasi masyarakat kepada Sang Maha Pencipta. Ritual “Kungkum” merupakan kegiatan

yang mempererat relasi kepada Sang Maha Pencipta. Disamping itu kegiatan ini juga berperan

dalam mempererat ikatan sosial masyarkaat disana. Ikatan sosial yang terbentuk menjadi modal

sosial bagi masyarakat (Fashri, 2014: 108).

Cerita yang popular didalam masyarakat Jawa Tengah dahulu merupakan tempat bertapa

Jaka Tingkir. Diceritakan masyarakat Jaka Tingkir merupakan cikal-bakal keberadaan desa

Tegalwaton. Konon kesaktian Jaka Tingkir didapatkan karena sering bertapa “Kungkum” di

“SMA” Senjoyo. Dengan sering bertapa di “SMA” Senjoyo Joko Tingkir bahkan menjadi Sultan

Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. Di lereng bukit sebelah Utara Sendang Senjaya ada Makam

Ki Ageng Slamet dan Nyai Welas Asih. Makam tersebut menurut juru kunci Sendang Senjaya,

serta oleh masyarakat Tegalwaton dipercayai sebagai Makam Joko Tingkir dan isteri.

Diceritakan bahwa setelah lengser dari Kesultanan Pajang, beliau meninggalkan istana tanpa

sepengetahuan anak cucu. Masyarakat percaya bahwa rumah Joko Tingkir yang utama dan

pertama di makam tersebut sedangkan rumah yang kedua di mata air Sendang Senjaya.

Sendang Senjaya sampai saat sekarang sangat dipercayai kekeramatannya oleh

masyarakat Desa Tegalwaton maupun masyarakat luar Desa Tegalwaton. Karena dengan nenepi

di Sendang Senjaya berbagai macam permohonan dapat terkabul antara lain ialah ingin diterima

sebagai pegawai negeri, lulus ujian, menjadi lurah, kenaikan pangkat, bahkan usaha diharapkan

menjadi lancar. Hal inilah yang mneyebabkan Sendang Senjaya masih tetap ramai dikunjungi

oleh pengunjung yang membutuhkan berkah air Sendang Senjaya. Desa Tegalwaton biasanya

diadakan pada hari malam Selasa Kliwon, dan pada hari Jumat Kliwon. Hal ini seperti

diungkapkan oleh bapak Jasmin.

“manfaatnya beragam mas,kulo niku seksine mas pas malam seloso kliwon niku wonten piantun 2 nem-neman mas. Mertamu ting mriki madosi kulo nyuwun tulung pitedah

mergi kesaenan lha tujuane nopo mas, kulo niku ngeten pak nembe keno coba enten

masalah urusan wonten pengadilan negara.kulo ngih mboten kagungan niat

njlomprongke ngih mboten mas. Nganu mas kalau mau berani ya punya panyuwun lewat

(4)

44

keyakinan anda,ning kulo ken nunggu mas.nanti kalau sudah selesai nanti nyilem ambil

batu nah itu diambil dengan mulut yqa batu atau apa silahkan itu mulai jam 11 sampai

jam 3. Selesai ambil batu yang dicokot itu uang,uang bengol uang dari logam itu lho

100 rupiah itu ya diserahkan saya niki maksudnya apa pak. Ya itu kan panyuwunan ya

ini lambang mudah-mudahanurusan adnda dengan lambang uang seratus nanti bisa

putus ini harus disimpan dibawa. Dia pulang jangka1 bulan lebih ke senjaya

mengucapkan terima kasih membawakan oleh-oleh dan rokok sebagai sukuran disenjoyo.

saya tidak nyangka dan tidak tahu saya hanya menutruti anda ternyata bisa

tercapai.urusan kemarin itu kayaknya orang penting masih muda. Yg saya ketahuai dan

saya tahu seperti itu”

Petikan wawancara diatas menunjukan beragam motivasi yang melatrbelakangi para pelaku

ritual. Dalam konteks ini terdapat modal simbolik yang ingin dicapai oleh para pelaku ritual.

Modal simbolik dapat dijelaskan yakni segala bentuk pengakuan diri hal ini dapat berupa

prestice, status, otoritas dan bentuk legitimasi- legitimasi diri (Fashri, 2014: 109).

Kegiatan ritual ini juga menjadi berkah bagi masyarakat didesa Tegalwaton. Keramaian

pengunjung yang datang sering dimanfaatkan masayarakat untuk berjualan makanan dan

minuman bagi para pengunjung. Aspek ekonomi yang dapat dikembangkan dalam ritual ini

adalah penarikan retribusi parkir dan tiket masuk. Dalam aras kebijakan rencana tujuan ritual

budaya di “SMA” Senjoyo masukdidalam penyusunan Rencana Induk Pengembangan Pariwisata

Kabupaten Semarang, struktur perwilayahan pengembangan pariwisata Kabupaten Semarang

akan dibagi dalam 4 Wilayah Pengembangan Pariwisata (WPP) dan 10 Kawasan Pengembangan

Pariwisata (KPP). Kawasan Senjoyo masuk dalam WPP-4 dan KPP-1. KPP-1 ini termasuk

didalamnya Kecamatan Tengaran, Kecamatan Suruh, Kecamatan Susukan dan Kecamatan

Kaliwungu dengan pusat pelayanan di Kecamatan Tengaran. Obyek dan Daya Tarik Wisata

(ODTW) KPP-1 adalah Kawasan Senjoyo dengan mata airnya, Candi Kreo dan budaya kesenian

rakyat. Rencana pengembangan Kawasan Senjoyo menjadi obyek wisata didasarkan adanya

kunjungan orang yang percaya akan nilai mistis dari mata air Senjoyo. Mereka berkunjung pada

malam-malam tertentu seperti malam Selasa dan Jum’at kliwon, malam 1 Syuro, malam tanggal

15 dalam penanggalan Jawa dan kunjungan terbanyak terjadi pada malam ke 21 bulan Ramadhan

(5)

45

tujuan untuk memperoleh berkah maupun menyongsong datangnya Lailatul Qodar (Rahmawati,

2007: 56). Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan kepala dusun Jubug.

“Ya, itu mas dari penjual-penjual itu bisa memanfaatkan kegiatan ini untuk berjualan makanan dan minuman, dan penyewaan tempat untuk para pengunjung yang datang

mas. Ya kaalu missal hari-hari biasa itu pendapatan 100.000 pas ada kegiatan ini bisa

lah mas pendapatan meningkat dau kalilipat mas. Mosok orang yang darang kesini ndak

minum dan ndak makan to mas. Kegiatan ini biasanya ramai mas sampai pagi hari. Jadi

pengunjung itu juga membawa berkah mas bagi para penjual makan dan minuman

masyarakat disana”

Petikan wawancara diatas menunjukan sebagai sebuah arena “SMA” Senjoyo terdapat modal ekonomi. Hal inilah yang menjadikan arena ini menarik bagi beragam aktor. Arena lahir tidak

dari kekosongan. Selalu ada pergerakan-pergerakan imajinatif yang dilakukan aktor (Fashri,

2014: 92).

5.2 Ritual Padusan

Masyarakat Jawa khusunya yang mememluk agama Islam terdapat suatu tradisi yang

rutin dilakukan. Tradisi tersebut yakni tradisi Padusan. Padusan sendiri dalam bahasa Jawa

beerasal dari kata adus yang berarti mandi. Sehari sebelum menjalankan puasa masyarakat sering melakukan tradisi padusan. Tradisi padusan yang dilakukan di “SMA” Senjoyo merupakan tradisi yang diturunkan dari para wali yang menyebarkan agama Islam di Indonesia. Makna dari

padusan sendiri adalah membersihakan segala kotoran yang menempel di badan dan jiwa

manusia. Hal ini bertujuan dalam menjalani puasa agar bersih dari jasmani dan rohani. Umunya

ritual padusan dilakukan di umbul, sungai, sumber mata air dan pertemuan-pertemuan dua sumber mata air. Kegiatan ini biasanya dilakukan secara masal. “SMA” Senjoyo merupakan salah satu lokasi favorit masyarakat dalam melakukan ritual tradisi ini. Menurut cerita

masyarakat desa Tegalwaton dulunya daerah ini pernah dijadikan tempat mandi Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga merupakan salah satu wali yang ikut menyebarkan ajaran-ajaran Islam di Jawa

Tengah. Lantas kondisi inilah yang mendorong masyarakat memilih tempat ini untuk melakukan

(6)

46

Tradisi padusan dan puasa merupakan bagian dari tradisi yang jauh sebelum ajaran Islam

masuk ke Indonesia. Jauh sebelum itu pada masa kerajaan Hindu tradisi puasa dan padusan

sudah dilakukan oleh masyarakat pada waktu itu. Kegiatan padusan dan puasa umumnya

dilakukan para ksatria dan brahmana. Hal ini merupakan sebagai bentuk penyucian diri. Padusan

dalam konteks sekarang merupakan hasil akulturasi budaya yang dilakukan oleh para wali songo

yang menyebarkan agama Islam di Nusantara. Hal ini sebagaiamana diungkapkan oleh kepala

dusun Jubug

“bisa dibilang padusan itu peninggalan para wali mas. Dulu Sunan Kalijaga sering

memanfaatkan kejernihan air Senjoyo ini untuk mandi padusan mas. Tepatnya di Umbul

Senjoyo itu mas. Kanjeng Sunan Kalijaga merupakan guru dari Jaka Tingkir mas . Tapi

didalam ajaran Kejawen pun puasa itu juga dianjurkan mas. Malah didalam aj aran

Kejawen itu jenis-jenis puasa banyak mas. Seperti puasa mutih, ngkropo, ngebeleng

dll”1.

Kepala dusun Jubug juga menambahkan.

“Padusan itu sebagai sarana mensucikan diri mas sebelum berpuasa. Ini juga sebagai bentuk mendekatkan diri kepada Gusti. Agar dalam menjalankan puasa sebulan itu di

ijabahi mas kalian Gusti (di berkati mas dengan Tuhan)”2

Hal serupa juga diungkapkan oleh bapak Jasmin yakni

“Tradisi padusan itu tradisi yang sifatnya turun temurun mas. Dari jaman para wali

kegiatan ini sudah dilakukan dan sampai sekarang kegiatan ini masih dilakukan. Kan

sebagai orang Jawa kita harus meneruskan apa yang sudah menjadi kewajiban kita

menjaga dan meneruskan ajaran-ajaran nenek-moyang mas3”

Dalam konteks ini ritual Padusan memiliki makna pengetahuan bagi masyarakat yang

menjalankan tradisi ini disini. Pengetahuan dalam tradisi ini berdasarkan ajaran agama Islam.

Corak Islami sangat kental didalam ritual tradisi ini. Pengethuan ini terbangun melalui

praktek-praktek ajaran agama Islam (Fashri, 2014 : 106).

1

Hasil wawancara dengan kepala dusun Jubug 2

Hasil wawancara dengan kepala dusun Jubug 3

(7)

47

Tradisi padusan seiring perkembangan zaman mengalami perkembangan. Dalam konteks

“SMA” Senjoyo tradisi ini menagalami pergeseran. Pengunjung pada saat tradisi ini dilakukan

tidak hanya didominasi oleh para pelaku yang ingin melakukan tradisi ini namun yang hanya

sekedar berjalan-jalan dan sifatnya plesiran. Hal ini seperti diungkapkan oleh kepala dusun

Jubug.

“Pada saat Padusan malah lebih ramai mas pengunjungnya, biasanaya masyarakat ya itu tadi mas memanfaatkan padusan untuk berjualan makanan dan minuman mas. Trus

dari penarikan retribusi parkir dan tiket masuk mas dari para pengunjung. Dana ini

anantinya kan bisa digunakan untuk merawat fasilitas-fasilitas di Senjoyo mas. Seperti

penerangan, jalan-jalan yang rusak”4

Keberadan ritual padusan ini mnjadikan berkah bagi masyarakat disana. Keramaian

pengunjung menambah ekonomi masyarakat disana khususnya bagi para pedagan. Masyarakat

sendiri juga diuntungkan dengan adanya kegiatan ini. Dalam hal ini secara tidak langsung juga

mempromosikan potensi-potensi lainyang ada di desa Tegalwaton. Selain potensi “SMA”

Senjoyo, potensi lain di desa Tegalwaton adalah arena pacuan kuda. Terkhusus untuk kegiatan

tradisi ini ramainya pengunjung menambah nilai ekonomis masyarakat disana. Hal ini seperti diungkapkan oleh penjual di “SMA” Senjoyo.

“Kalu pas rame itu hari Sabtu dan Minggu itu hari-hari biasa mas. Tapi ya kalau pas ada padusan ya ramai mas. ya sedikit-sedikit naik lah mas pendapatanya. heheh tapi

pastinya berapa ndak tau mas. Tapi yang jelas meningkat mas”5

Pernyataan serupa juga diungkapkan oleh kepala dusun Jubug.

“Itu diadakan dari desa mas. Kemarin itu ada drumblek mas. Kemarin itu juga ada mas reog dan dangdut mas. Ini untuk pengunjung yang datang kesini mas. Terkadang kan

orang kesini tidak hanya padusan mas, tetapi yang jalan jalan banyak mas. Waktunya

pas siang jadi pengunjung yang datang banyak mas. Ratusan hingga ribuan yang datang

kesini mas”

4

(8)

48

Keberadaan hiburan seperti yang telah diungkapkan diatas merupakan salah satu cara menarik pengunjung dari luar daerah agar berkunjung ke “SMA” Senjoyo. Karena sebagian para pengunjung hanya ingin berjalan-jalan dan menikmati keasrian “SMA” Senjoyo. Kegiatan ini

juga melibatkan masyarakat sekitar sebagai penyelengara kegiatan ini. Perihal ini diungkapkan

oleh bapak Edi Siswanto.

“Sudah mas, kami sudah mulai terlibat didalam setiap aktivitas seperti itu kemarin

Padusan dan Suronan kami mulai terlibat didalamya Seperti penarikan tiket masuk dan

ikut menjaga acara agar kondusif. Kami juga ikut terlibat didalam pelaksanaan acara.

Dari mulai publikasi acara, dekor dan acara pelaknsanaan”6 .

Kegiatan ini juga dimanfaatkan untuk menambah pendapatan desa dengan memanfaatkan

penarikan retribusi parkir dan tiket masuk. Pada saat kegiatan ini para pengunjung dikenakan

biasya masuk sebesar 7.000 rupiah. Dengan ketentuan 3.000 sebagai biaya parkir dan 4.000

sebagai tiket masuk. Dengan dikenakan biaya sebesar itu diharapkan dana yang sudah masuk dapat digunakan masyarkat untuk beragam perawatan dan perbaikan di “SMA” Senjoyo.

Fakta-fakta yang dipaparkan diatas menunjukan arena budaya ritual padusan sebagai

arena yang strategis. Dalam hal ini arena padusan juga menjadi arena produksi ekonomi.

Menurut Bourdieu dalam kutipanya modus berpikir ekonomi yang semula hanya dalam tataran

organisasi dalam dunia kehidupan ekonomi sekarang mengkooptasi dunia kehidupan yang

mencakup tatanan kehidupan sosial, politik hingga budaya (Fashri, 2014: 180).

5.3 Tradisi Dawuhan

Tradisi yang berkaitan dengan “SMA” Senjoyo adalah tradisi Dawuhan. Tradisi Dawuhan merupakan tradisi yang sering dilakukan masyarakat dusun Jubug dan Rekesan. Seperti tradisi

“Kungkum” tradisi ini merupakan tradisi peninggalan nenek-moyang masyarakat dusun Jubug.

Bebeda dengan kegiatan “Kungkum” kegiatan ini adalah kegiatan yang rutin dilakukan khususnya masyarakat dusun Jubug dan Rekesan. Hal ini seperti diungkapkan oleh kepala dusun

Jubug.

6

(9)

49

“Masyarakat disini bersyukur mas karena masih diberikan air yang berlimpah. Setiap

kemarau panjang pun masyarakat disini tidak pernah kekurangan air bersih mas.

Sebagai ucapan terima kasih kepada mbahe yang telah meberikan air berlimpah kita

harus menjaganya mas”7

Kegiatan tradisi merupakan kegiatan yang dilakukan masyarkat sebagai ucaan syukur kepada

Tuhan yang memelihara masyarakat disana dengan memberikan keberlimpahan air. Berdasarkan

nilai- nilai pengetahuan inilah yang menentukan bentuk praktek kegiatan ini (Fashri, 2014: 109).

“Kegiatan yang sering dilakukan disini adalah bersih sendang mas. Kegiatan ini dilakukan oleh masyarkat desa Tegalwaton mas. Kegiatan ini biasanya didahului dengan

perawatan kebersihan sendang mas. Sampah-sampah itu dibersihkan mas. Setelah itu

kegiatan dilanjutkan dengan upacara slametan di Umbul mas. Dulu hanya sering

dilakukan oleh warga sini mas. Tapi sekarang orang-orang dari luar juga sering gabung

mas. Sing kemarin itu juga ada dari pak tantara mas. itu katane dari 411 atau dari mana

itu saya lupa mas. Trus ada juga beberapa dari warga Bener, Tugu Kadipurwo mas”

Pelaksananan Bersih Sendang di Tegalwaton dilakukan pada bulan Agustus jatuhhari Jum’at

Legin dan untuk waktu pelaksanaanya kegiatan ini dimulai pada pagi hari dan menjeang siang

hari pukul 11.00 WIB . Selesainya kegiatan ini biasanya ditandai dengan berdoa bersama

dipelataran Umbul Senjoyo, setiap warga yang datang membawa ayam yang sudah dimasak

dengan cara dibakar dan sambal untuk perlengkapan kenduri bersama dengan macam-macam

makanan pelengkap dari semua warga.

“Kegiatan ini murni mas dilakukan mandiri oleh masyarakat disini. Kegiatan ini gotong -royong mas dari masyarakat. Masyarakat secara sukarela mas membawa nasi tumpeng

sebagai selamatan. Ini kan karena kita melihat Senjoyo itu sebagai warisan yang kita

tinggal meneruskan, menjaga dan merawat mas. Coba kalau tidak ada Senjoyo kita bakal

kesusahan dapat air mas”

Petikan wawancara diatas menunjukan kegiatan ini adalah kegiatan yang secara swadaya dilakukan masyarakat. Latar belakang rasa memiliki bersama “SMA” Senjoyo inilah yang

7

(10)

50

mendorong masyarakat secara sukarela melaksanakan kegiatan ini. Pernyataan ini diungkapkan

oleh kepala dusun Jubug.

“Kegiatan ini sebagai capan syukur mas karena telah diberi air yang berlimpah. Bahwasanya setiap hal apapun kalau tidak dijaga dan dirawat kan rusak to mas. Ini juga

sebagai bentuk kegiatan dalam meneruskan apa yang sudah ditinggalkan oleh

mbah-mbah dulu mas. Kita sebagai generasi muda hanya bisa meneruskan dan menjaga,

merawat apa yang sudah diberikan kepada kita to mas”.

Petikan wawancara diatas menunjukan nilai-nilai yang hidup ini berkembang menjadi norma

didalam masyarakat. Norma-norma yang hidup inilah yang membangun ikatan kolektif

masyarakat dusun Jubug. Ikatan-ikatan ini tumbuh menjadi modal sosial didalam masyarkat.

Modal sosial adalah adalah corak-corak kehidupan sosial jaringan-jaringan, norma-norma dan

kepercayaan yang menyanggupkan para partisipan untuk bertindak bersama lebih efektif untuk

Referensi

Dokumen terkait

Makna yang terkandung dari tradisi Lamporan diantaranya adalah makna tradisi Lamporan dalam bidang religi/ agama yaitu sebagai ritual untuk menjaga desa dari segala

Makna yang terkandung dari tradisi Dhawuhan diantaranya dalam bidang religi/ agama yaitu sebagai ritual untuk menjaga desa dari segala macam roh-roh jahat yang akan datang

Ijtihad budaya yang dilakukan oleh para wali di Jawa dan luar Jawa tempo dulu, sehingga berhasil mendakwahkan agama Islam (sebagai bagian dari strategi Islamisasi) sampai ke

“Jadi kewajiban kami atas menggunakan air senjoyo kita bayar pajak ke profinsi dengan kepentingan sendiri kita bayar ke jasa tirta yaitu BUMN punya PU, jadi mau

Penyebaran Islam juga tidak dapat di lepaskan dari peranan para Wali. Ada Sembilan wali yang menyebarkan Islam yang dikenal dengan cara berdakwah, yang di sebut juga Walisongo.

Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang

Oleh karena ritus ini juga memiliki makna sebuah bentuk permohonan, maka dibutuhkan kesiapan dari para pihak yang terlibat dalam ritus tersebut termasuk korban

Makna sosial Massorong sesajen di masyarakat Pengkajoang Kabupaten Luwu Utara yaitu adalah sebuah tradisi atau kebiasaan para leluhur yang diturunkan kepada penerusnya di daerah